Anda di halaman 1dari 13

TEORI-TEORI SOSIOLOGI HUKUM

MAKALAH

Diajukan sebagai Salah Satu Tugas Kelompok pada Mata Kuliah Sosiologi Hukum

Dosen Pengampu: Sri Damayanti, M.Si.

Oleh:

Kelompok 1

Raihan Fikri 1198030211

Rainissa Tsalsa Putri 1198030212

Rizal Nurdin Maulana 1198030229

Salma Rizkia Rahmani 1198030237

Salsabila Fawwaz Jawanda 1198030238

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

2021 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirobbil’alamin, selawat serta salam kami panjatkan kepada kehadirat


Allah SWT, kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, dan para
pengikutnya, sehingga pada kesempatan ini kami dapat menyelesaikan makalah teori-teori
sosiologi hukum tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sosiologi hukum yang diampu
oleh Ibu Sri Damayanti, M.Si. pada Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Terimakasih kepada pihak-pihak yang telah turut serta membantu dalam menyusun
makalah ini. Makalah ini tentu jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami memohon kepada
para pembaca barangkali menemukan kesalahan atau kekurangan dalam makalah ini baik dari
bahasanya maupun isinya harap maklum. Selain itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun kepada semua pembaca agar kami bisa melakukan perbaikan dalam penyusunan
makalah di waktu yang akan datang demi karya kami kedepannya lebih baik lagi.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bandung, 17 September 2021

Kelompok 1

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................... 1

1.3. Tujuan..................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 2

2.1. Teori Sosiologi Hukum Auguste Comte................................................................. 2

2.2. Teori Sosiologi Hukum Emile Durkheim................................................................ 3

2.3. Teori Sosiologi Hukum Max Weber....................................................................... 5

2.4. Teori Sosiologi Hukum Karl Marx......................................................................... 7

BAB III PENUTUP.................................................................................................................. 9

3.1. Kesimpulan............................................................................................................. 9

3.2. Saran....................................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sosiologi hukum adalah salah satu spesialisasi sosiologi yang mengkaji keterkaitan
antara aspek-aspek hukum dengan aspek sosial. Dari sudut perkembangannya, sosiologi hukum
lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang hukum, ilmu hukum, maupun
sosiologi. Walaupun memperoleh pengaruh dari bidang tersebut, terdapat pengaruh yang
bersifat pokok atas perkembangan sosiologi hukum. Tokoh-tokoh teori sosiologi yang menjadi
peletak dasar dari sosiologi hukum tersebut adalah Auguste Comte dengan hukum tiga tahap
perkembangan manusianya, Emile Durkheim dengan teori solidaritas dan fakta sosialnya, Max
Weber dengan teori tindakannya, serta Karl Marx yang terkenal dengan teori kelasnya.

Dari keempat tokoh tersebut, terbangun beberapa hal pokok dalam sosiologi hukum.
Auguste Comte, yang merupakan bapak sosiologi, terkenal dengan hukum tiga tahap
perkembangan manusia. Durkheim melalui fakta sosialnya membagi tipologi solidaritas sosial
yang di dalamnya memuat kaidah hukum represif dan restitutif. Weber yang terkenal dengan
teori tindakannya yang mempunyai relevansi dengan tipe ideal hukum. Selanjutnya, Marx
melalui teori konfliknya menganggap bahwa hukum dan kekuasaan politik merupakan sarana
kapitalis yang berkuasa di bidang ekonomi, untuk melanggengkan kegunaan harta kekayaan
sebagai sarana produksi dan sarana eksploitasi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana teori sosiologi hukum menurut Auguste Comte?
2. Bagaimana teori sosiologi hukum menurut Emile Durkheim?
3. Bagaimana teori sosiologi hukum menurut Max Weber?
4. Bagaimana teori sosiologi hukun menurut Karl Marx?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui teori sosiologi hukum menurut Auguste Comte.
2. Untuk mengetahui teori sosiologi hukum menurut Emile Durkheim.
3. Untuk mengetahui teori sosiologi hukum menurut Max Weber.
4. Untuk mengetahui teori sosiologi hukum menurut Karl Marx.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Teori Sosiologi Hukum Auguste Comte

Auguste Comte mendapat kehormatan sebagai bapak sosiologi melalui karya filsafat
positifnya.1 Comte beranggapan bahwa sosiologi terdiri dari dua bagian, yaitu social statistic
dan social dynamics. Konsepsi tersebut merupakan pembagian dari isi sosiologi yang bersifat
pokok. Sebagai social statistic, sosiologi merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan, social dynamics hendak
menjelaskan bagaimana lembaga-lembaga kemasyarakatan tersebut berkembang.
Perkembangan tersebut pada hakekatnya melewati tiga tahap. 2

Comte terkenal dengan teorinya mengenai hukum tiga tahap perkembangan manusia
atau disebut juga dengan the law of three stages, yaitu sebagai berikut.3

A. Tahap teologis, merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia. Periode ini
dibagi lagi ke dalam tiga subperiode, yaitu fetisisme yang merupakan bentuk pikiran
yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa semua benda
memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme, muncul anggapan
bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupan. Monotheisme, yaitu
kepercayaan dewa mulai digantikan dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan
adanya khatolisisme.
B. Tahap metafisik, merupakan tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap
ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat
ditemukan dalam akal budi.
C. Tahap positif, merupakan tahapan yang ditandai oleh kepercayaan akan data empiris
sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi pengetahuan itu sifatnya sementara dan
tidak mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa semangat positivisme yang selalu terbuka
secara terus menerus terhadap data baru yang terus mengalami pembaharuan dan
menunjukkan dinamika yang tinggi.

1 George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.2
2 Abintoro Prakoso, Sosiologi Hukum, (Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2016) h. 148-149
3 Chairul Basrun Umanaid, Buku Ajar Sosiologi Hukum, (Kediri: Fam Publishing, 2016), h. 108

2
3

Auguste Comte menghadapkan makna teori hukum tiga tahap tersebut kepada tiga
masalah, seperti bagaimana suatu masyarakat dapat diatur kembali dengan hadirnya sistem
industri yang membawa perubahan besar-besaran? Bagaimana kesatuan pendapat bisa dicapai
karena dibutuhkan sebagai dasar kehidupan masyarakat selanjutnya? Bagaimana ketertiban
sekaligus kemajuan dapat dicapai sebagai jaminan bagi kelestarian kehidupan masyarakat pada
masa-masa yang akan datang? Namun, dengan semboyan “savoir pour prevoir” disertai moto
“order in progress”, Comte berkeyakinan bahwa dengan hukum tiga tahapnya, yaitu tahap
positif, kehidupan masyarakat berdasarkan cinta kasih, dengan landasan ketertiban, dapat
digunakan untuk tujuan kemajuan. Sebab dalam tahap positif, moral selalu cenderung ke arah
cinta kasih yang universal. 4

Auguste Comte mengembangkan gagasannya yang kemudian melahirkan hukum-


hukum sosial dan reorganisasi sosial sesuai dengan sistem nilai. 5 Menurut Comte, alam
semesta diatur oleh hukum-hukum alam yang sejalan dengan evolusi dan perkembangan alam
pikiran atau nilai-nilai sosial yang dominan. Comte mengatakan bahwa di setiap tahapan selalu
terjadi suatu konsensus yang mengarah pada keteraturan sosial, di mana dalam konsensus itu
terjadi suatu kesepakatan pandangan dan kepercayaan bersama. Dengan kata lain, suatu
masyarakat dikatakan telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh
anggotanya telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat untuk
melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.

2.2. Teori Sosiologi Hukum Emile Durkheim

Emile Durkheim adalah seorang ahli sosiologi yang mempunyai perhatian yang tinggi
terhadap hukum. 6 Durkheim dianggap cukup memiliki jasa besar dalam perkembangan
sosiologi hukum. Di dalam teori-teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian
yang besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas
yang dijumpai dalam masyarakat. 7 Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang
bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan, serta

4 Irham Nugroho, (2016) Paradigma hukum: Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descartes, Auguste Comte, Thomas S
Kuhn, Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 1 (1), h. 10-11
5 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008),

h.25
6 Chairul Basrun Umanaid, Buku Ajar Sosiologi Hukum, (Kediri: Fam Publishing, 2016), h.90
7 Munawir, Sosiologi Hukum, (Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo, 2010),

h.45
4

keyakinan masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi-sanksi
tersebut dalam masyarakat.8 Dalam pemikiran Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada
hakikatnya adalah suatu ekspresi solidaritas sosial yang berkembang di dalam suatu
masyarakat. Hukum menurutnya adalah cerminan solidaritas. 9

Durkheim terkenal dengan konsepsinya mengenai fakta sosial dan teori solidaritas
sosial. Menurut Durkheim, masyarakat terdiri dari fakta-fakta sosial, yang merupakan struktur-
struktur sosial, norma-norma, dan nilai-nilai kultural yang eksternal yang bersifat memaksa
kepada para aktor. Dalam teori solidaritasnya, Durkheim mengajukan tipologi yang
membedakan secara dikotomis dua tipe solidaritas, yaitu mekanis dan organis. 10 Dalam tipe
solidaritas mekanis, ikatan masyarakatnya terjalin karena mereka terlibat di dalam kegiatan-
kegiatan yang mirip dan mempunyai tanggung jawab yang mirip. Sedangkan, dalam solidaritas
organis, masyarakat dipersatukan oleh perbedaan-perbedaan, oleh fakta bahwa semuanya
mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda-beda. Dalam mengungkapkan idenya
tentang hukum, ia melihat jenis-jenis hukum dengan tipe solidaritas dalam masyarakat. Dalam
masyarakat dapat ditemukan dua macam kaidah hukum, yaitu represif dan restitutif.11

Hukum represif, seperti yang dikatakan oleh Durkheim, bisa disamakan dengan hukum
pidana. Hukum represif terjadi dalam masyarakat bersolidaritas mekanis karena mereka
mempunyai kepercayaan yang sangat kuat kepada moralitas bersama. Setiap kejahatan
dianggap sebagai serangan terhadap sistem nilai yang mereka anut bersama yang dianggap
penting bagi sebagian besar individu. Oleh karena itu, seorang pelaku kejahatan kemungkinan
besar dihukum dengan keras atas perbuatan yang menyerang sistem moral kolektif. Yang
dimaksud dengan kejahatan dalam masyarakat yang bersolidaritas mekanis adalah tindakan-
tindakan yang secara umum tidak disukai atau ditentang oleh warga-warga masyarakat.

Sedangkan, dalam masyarakat yang bersolidaritas organis, masyarakatnya berkembang


secara modern, heterogen, dan penuh dengan diferensiasi. Oleh karena itu, hukum represif
tidak lagi berfungsi secara dominan. Hukum represif akan digantikan oleh hukum restitutif
yang lebih menekankan arti pentingnya restitusi atau kompensasi untuk menjaga kelestarian

8 I Gusti Ngurah Dharma, Bahan Ajar Sosiologi Hukum, (Bali: Pustaka Ekspresi, 2017), h. 32
9 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), h.
135
10 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar), h. 458


11 Munawir, Sosiologi Hukum, (Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo,

2010), h. 45
5
12
masyarakat. Hukum restitutif bisa disamakan dengan hukum perdata. Hukum ini
menghendaki pelanggar memberikan ganti rugi atas kejahatan mereka. Pelanggaran-
pelanggaran mungkin dilihat sebagai perbuatan melawan individu tertentu, bukan melanggar
sistem moral itu sendiri. Karena moralitasnya lemah, sebagian besar orang tidak bereaksi
secara emosional terhadap pelanggaran hukum. 13 Sehingga, dalam hukum restitutif, hukum
dibutuhkan bukan untuk menindak, tetapi memberikan penggantian supaya keadaannya
14
menjadi pulih seperti semula. Tujuan utama kaidah hukum restitutif adalah untuk
mengembalikan kaidah pada situasi semula sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat
dilanggarnya suatu kaidah hukum. Kaidah-kaidah tersebut antara lain mencakup hukum
perdata, hukum dagang, hukum acara, hukum administrasi dan hukum tata negara setelah
dikurangi dengan unsur-unsur pidananya.15

Teori Durkheim berusaha menghubungkan hukum dengan struktur sosial. Hukum


dilihatnya sebagai suatu unsur yang tergantung pada struktur sosial masyarakat. Akan tetapi,
hukum juga dilihatnya sebagai suatu alat untuk mempertahankan keutuhan masyarakat maupun
untuk menentukan adanya perbedaan-perbedaan dalam masyarakat. 16

2.3. Teori Sosiologi Hukum Max Weber

Max Weber disebut sebagai bapak sosiologi hukum modern yang menggarap hukum
secara komprehensif dengan metode sosiologis. Weber memandang hukum sebagai kumpulan
norma-norma atau aturan-aturan yang dikelompokkan dan dikombinasikan dengan konsensus,
menggunakan alat kekerasan sebagai daya paksaan. 17 Dengan demikian, suatu alat pemaksa
menentukan adanya hukum. Alat pemaksa tersebut tidak perlu berbentuk badan peradilan
sebagaimana yang dikenal di dalam masyarakat yang modern dan kompleks. Alat tersebut
dapat berwujud suatu keluarga atau mungkin suatu klan. 18

Usaha Weber untuk menyingkap ciri yang menonjol dari masyarakat barat,
membawanya kepada rasionalitas sebagai kuncinya. Hal ini menjadi landasan baginya untuk

12 Fithriatus Shalihah, Sosiologi Hukum, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017), h.37


13 George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar), h. 520
14 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), h.

136
15 Munawir, Sosiologi Hukum, (Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo,

2010), h. 46
16 Gusti Ngurah Dharma, Bahan Ajar Sosiologi Hukum, (Bali: Pustaka Ekspresi, 2017), h. 33
17 Yesmil Anwar dan Adang, op. cit, h. 138
18 Munawir, Sosiologi Hukum, (Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo,

2010), h. 52
6

menyusun tipologi mengenai hukum. Tipologinya disusun melalui sumbu formal-subtantif dan
sumbu irasional-rasional. Yang pertama, menyangkut perbedaan bagaimana suatu sistem
hukum itu disusun, suatu sistem yang mampu menentukan sendiri peraturan dan prosedur yang
dipakai untuk mengambil suatu keputusan. Sistem yang formal melakukannya atas dasar
ketentuan-ketentuan yang dibuat sendiri oleh sistemnya, sehingga bersifat internal. Yang
kedua, (subtantif) bersifat eksternal dan merujuk kepada ukuran diluarnya, terutama kepada
nilai-nilai agama, etika, serta politik. 19 Weber berpendapat, hukum memiliki rasionalitasnya
yang substantif ketika subtansi hukum itu memang terdiri dari aturan-aturan umum yang siap
dideduksikan guna menangani berbagai kasus konkrit. 20 Sebaliknya, hukum dapat dianggap
tidak memiliki rasionalitasnya yang subtantif ketika setiap perkara diselesaikan atas dasar
kebijaksanaan-kebijaksanaan politik atau etika yang unik, bahkan juga emosional, tanpa bisa
merujuk sedikitpun pada aturan-aturan umum yang ada.

Max Weber juga menjelaskan perbedaan antara hukum formal dengan hukum material
yang merupakan syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Hukum formal dimaksudkan sebagai
keseluruhan sistem teori hukum yang aturan-aturannya didasarkan hanya pada logika hukum,
tanpa mempertimbangkan unsur-unsur lain di luar hukum. Sebaliknya, hukum material
memperhatikan unsur-unsur non yuridis seperti nilai-nilai politis, etis, ekonomis, atau agama.
Di dalam teori Max Weber tentang hukum, dikemukakan empat tipe ideal dari hukum yaitu
masing-masing sebagai berikut. 21

1. Irrasional-Material: Pembentuk undang-undang (UU) dan hakim mendasarkan


keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa merujuk suatu kaidah
manapun.
2. Irrasional-Formal: Pembentuk undang-undang (UU) dan hakim berpedoman pada
kaidah-kaidah di luar akal, didasarkan pada wahyu dan ramalan.
3. Rasional-Material Pembentuk undang-undang (UU) dan hakim, dalam mengambil
keputusannya menunjuk kepada kitab suci, kebijaksanaan penguasa, atau ideologi.
4. Rasional-Formal: Hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak dari
ilmu hukum.

Ada 3 (tiga) tipe dalam penyelenggaraan peradilan menurut Weber:

19 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya, 2014), h.293-294.


20 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, (Depok: Graha Ilmu, 2013), hlm.33.
21 Munawir, op. cit, h. 55
7

1. Peradilan kadi atau peradilan dengan fungsi perdamaian atas dasar kearifan dan
kebijaksanaan sang pengadil adalah peradilan yang sangat arbiter dan dinilai sebagai
peradilan yang sangat tidak rasional. Keputusan peradilan ini dipercayakan sepenuhnya
kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya kontrol oleh sistem lainnya.
2. Peradilan empiris, adalah peradilan yang lebih rasional sekalipun belum sepenuhnya.
Hakim memutuskan perkara-perkara sepenuhnya dengan cara beranalogi. Hakim
mencoba untuk merujuk kepada keputusan terdahulu untuk ditafsirkan dalam perkara
yang sedang ditangani tersebut. Dalam peradilan ini menggunakan cara berpikir
formalitas dari satu kasus ke kasus konkrit. Biasanya peradilan ini sering dilakukan oleh
mereka yang bernaung di bawah filsafat positivisme.
3. Peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas yang telah dirumuskan
dalam sebuah birokrasi yang hasilnya memiliki daya universal dalam penerapannya. 22

2.4. Teori Sosiologi Hukum menurut Karl Marx

Karl Marx dapat kita sebut sebagai seorang sosiolog hukum. Ia merupakan tokoh klasik
yang mencetuskan teori kelas. Menurut Marx, hukum adalah tatanan peraturan yang memenuhi
kepentingan kelas orang yang berkuasa dalam masyarakat. Hukum merupakan suatu bangunan
yang ditopang oleh interaksi antara kekuatan-kekuatan sektor ekonomi. Marx memandang
masyarakat sebagai suatu keseluruhan yang antagonistis, watak dasar seperti ini ditentukan
oleh hubungan konflik antar kelas-kelas sosial, yang kepentingan-kepentingannya saling
bertentangan dan tidak dapat didamaikan karena perbedaan kedudukan mereka dalam tatanan
ekonomi. Dalam masyarakat kapitalis, konflik utama terjadi antara kaum borjuis (kelas
kapitalis yang memiliki sarana-sarana produksi) dengan kaum proletar (kelas pekerja yang
tidak memiliki apapun, kecuali tenaga kerja mereka). Pada intinya, menurut Marx, hukum
bukan berlaku sebagai fungsi politik saja, melainkan sebagai fungsi ekonomi.

Pokok pemikiran Karl Marx dalam sosiologi hukum adalah sebagai berikut. 23

1. Hukum adalah alat yang menyebabkan timbulnya konflik dan perpecahan. Hukum
tidak berfungsi untuk melindungi. Hukum hanya melindungi kelompok-kelompok yang
dominan.
2. Hukum bukan merupakan alat integrasi, tetapi merupakan pendukung ketidaksamaan
dan ketidakseimbangan yang dapat membentuk perpecahan kelas.

22 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya, 2014), h.263


23 Fithriatus Shaliha, Sosiologi Hukum, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2017), h.34
8

3. Hukum dan kekuasaan merupakan sarana dari kaum kapitalis yang berkuasa di bidang
ekonomi, untuk melanggengkan kekuasaannya.
4. Hukum bukanlah model idealis dari moral masyarakat atau setidaknya masyarakat
bukanlah manifestasi normatif dari apa yang telah dihukumkan.

Sebenarnya Karl Marx sendiri tidak secara gamblang membahas sosiologi hukum, tapi
ada beberapa pendapatnya mengenai bagaimana hukum digunakan untuk mengontrol
masyarakat. Pendapatnya yang paling terkenal yaitu bahwa “Sejarah masyarakat yang ada
sampai sekarang adalah sejarah perjuangan kelas”. Jadi intinya, kekuasaan termasuk hukum
dijadikan alat untuk menguasai sumber daya alam, sumber daya manusia, dan lain-lain. Teori
konflik yang dikemukakan oleh Marx dan kaitannya dengan sosiologi hukum tercantum juga
pada teorinya yang menyatakan “the class which is ruling material force in society, is at the
same time its ruling intellectual force”. Artinya, kekuatan untuk menguasai materi otomatis
juga menguasai pemahaman atau kebenaran itu sendiri. Kata “intellectual force” merujuk pada
hukum untuk mengatur mana yang salah, mana yang benar, mana yang boleh, mana yang tidak
boleh, mana yang boleh dilakukan juga, mana yang tidak boleh dilakukan, dan sebagainya.

Karl Marx juga menambahkan bahwa urusan kapital tidak hanya persoalan uang, tetapi
persoalan kekuatan sosial atau kekuasaan dalam mengontrol masyarakat. Seperti dalam hal
menentukan upah yang bukan keinginan buruh tersebut, tetapi ditentukan oleh pemilik modal.
Social power tadi terdiri dari law (hukum), morality (nilai-nilai moral), dan religion (agama).
Hukum ada untuk mengatur moral dari pada proletar. Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah
harus bekerja dengan rajin, tekun, giat, dan lain-lain. Lalu, agama menurut marx yang menjadi
perdebatan yaitu “agama adalah candu”, maksudnya agama yang dijadikan alat supaya
proletar pasrah akan ketetapan takdir Tuhan dan menerima nasib kemiskinannya yang mana
ditukar dengan keberkahan.

Hukum dan kekuaaan politik merupakan sarana kapitalis yang berkuasa di bidang
ekonomi untuk melestarikan kegunaan hartanya sebagai sarana produksi dan sarana
eksploitasi. Dari kajian Karl Marx, dapat disimpulkan bahwa hukum bukan sekali-kali
idealisasi model masyarakat, atau setidak-tidaknya bahwa masyarakat adalah manifestasi
normatif apa yang telah dihukumkan, melainkan merupakan pengemban amanat kepentingan
ekonomi kapitalis yang tidak segan memarakkan kehidupannya lewat eksploitasi-eksploitasi
yang lugas.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Beberapa tokoh sosiologi, khususnya tokoh sosiologi klasik, turut serta dalam
gagasannya tentang sosiologi hukum. Auguste Comte, sebagai bapak sosiologi, merupakan
sosiolog klasik yang terkenal dengan the law of three stages atau hukum tiga tahap. Comte
membagi tiga tahap perkembangan manusia, yaitu tahap teologis, metafisik, dan tahap positif.
Comte mengatakan bahwa di setiap tahapan akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah
pada keteraturan sosial.

Berbeda dengan Emile Durkheim yang terkenal dengan fakta sosialnya, membagi
tipologi masyarakat kedalam dua tipe, yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Dasar
hukum dari kedua solidaritas itu adalah hukum represif yang identik dengan masyarakat yang
bersolidaritas mekanis, sedangkan hukum restitutif yang dipercaya oleh masyarakat yang
bersolidaritas organis.

Max weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan-
aturan yang dikelompokkan dan dikombinasikan dengan konsensus, menggunakan alat
kekerasan sebagai daya paksaan. Max Weber juga menjelaskan perbedaan antara hukum
formal dengan hukum material yang merupakan syarat bagi proses rasionalisasi hukum. Ia juga
menuangkan gagasannya untuk membagi empat tipe ideal dari hukum. Weber juga membagi
penyelenggaraan peradilan ke dalam tiga tipe.

Teori konflik antara borjuis dan proletar merupakan analisis dari Teori Karl Marx.
Menurut Marx, hukum adalah tatanan peraturan yang memenuhi kepentingan kelas orang yang
berkuasa dalam masyarakat. Menurutnya, hukum bukan berlaku sebagai fungsi politik saja,
melainkan sebagai fungsi ekonomi.

3.2. Saran

Berdasarkan makalah mengenai teori-teori sosiologi hukum, kami memberikan


beberapa saran bahwa sosiologi hukum tidak dapat dipisahkan dari para pemikir terdahulu
dalam sosiologi. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan adanya masukan yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini.

9
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Y. dan Adang. (2008). Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Gramedia


Widiasarana Indonesia.

Basrun Umanaid, C. (2016). Buku Ajar Sosiologi Hukum. Kediri: Fam Publishing.

Munawir. (2010). Sosiologi Hukum. Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan


Ilmiah STAIN Ponorogo.

Nugroho, I. (2016). Paradigma Hukum: Perspektif Filsafat Ilmu Rene Descartes, Auguste
Comte, Thomas S Kuhn. Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, 1 (1),hlm. 10-11.
Prakoso, A. (2016). Sosiologi Hukum. Yogyakarta: Laksbang Pressindo.

Rajardjo, S. (2014). Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya.

Ritzer, G. (2011) . Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada.
Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir

Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Shaliha, F. (2017). Sosiologi Hukum. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Wignjosoebroto, S. (2013). Hukum dalam Masyarakat. Depok: Graha Ilmu.

10

Anda mungkin juga menyukai