Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM DARI MASA KE


MASA, KEDUDUKAN DAN FUNGSI FILSAFAT HUKUM
DALAM ILMU HUKUM
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum
Dosen pengampu: Samsudin, M.H

Dibuat oleh:
Kelompok 1
Julyanda Fadhilah (2222222222)
M. Amin Badali (2221609021)
Sofiatun Hasanah (2222222222)
Ummar Ahmad Syahid (2222222222)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
2023
PRAKATA
Pertama-tama dan paling utama, puji syukur kami berikan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, Allah SWT yang dengan izin-Nya lah, kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan
menuju zaman terang-benderang seperti saat ini.
Kami senang dan bangga dengan pencapaian dalam membuat makalah
yang berjudul “Perkembangan Filsafat Hukum dari Masa ke Masa,
Kedudukan dan Fungsi Filsafat Hukum dalam Ilmu Hukum” ini. Tentunya
dalam menyelesaikan makalah, terdapat banyak tantangan yang harus kami
hadapi, walau begitu rasa susah payah menghadapinya terbayarkan dengan
selesainya makalah.
Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu pembuatan makalah, teman-teman anggota kelompok, dan juga
para penulis buku dan jurnal yang menjadi sumber di dalam makalah ini.
Kami menyadari adanya keterbatasan waktu dan sumber daya dalam
pembuatan makalah, yang membuatnya memiliki beberapa kekurangan seperti
banyaknya hal yang tidak mampu kami tulis dalam makalah. Walau begitu, kami
percaya dengan adanya makalah ini, dapat membantu pembaca mendapatkan
pengetahuan dan inspirasi yang akan berguna di kemudian hari.

Senin, 20 Februari 2023

Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai seorang mahasiswa yang masuk ke dalam dunia perkuliahan, tentu
saja tidak asing dengan ilmu yang bernama filsafat. Ia merupakan ilmu yang
muncul dari kehendak manusia untuk mengetahui kebenaran hakiki yang ada di
sekitar mereka. Oleh karena sifatnya yang berusaha untuk mendapatkan
kebenaran, maka filsafat layak untuk dikatakan sebagai ibu dari segala ilmu.
Poedjawijatna, menyatakan bahwa kata filsafat dalam Bahasa Indonesia
memiliki akar kata dari Bahasa Arab yang pada akhirnya berhubungan dengan
kata dalam Bahasa Yunani philosophia. Philosophia sebenarnya merupakan
gabungan dari dua kata, philo yang berarti cinta dalam arti luas, dan sophia yang
berarti kebijaksanaan. Dengan kata lain, philosophia atau filsafat memiliki arti
cinta kebijaksanaan.1
Filsafat memiliki 3 cabang utama, yaitu metafisika (ontology),
epistemology, aksiologi. Metafisika membahas tentang hakikat atau dasar dari
segala sesuatu yang ada. Epistemologi membahas tentang pengetahuan, contohnya
yaitu membahas mengenai asal atau sumber dari pengetahuan yang didapatkan
manusia. Aksiologi membahas tentang nilai-nilai dan prinsip kehidupan.
Filsafat memiliki banyak objek bahasan, meliputi semua hal yang dapat
dipikirkan oleh manusia, dan berusaha untuk memberi makna pada dunia. Hal ini
tentu saja berbeda dengan hukum. Hukum hanya mempelajari tentang norma atau
aturan hukum, sehingga memiliki ruang lingkup yang terbatas. Persoalan-
persoalan mendasar yang tidak dijawab oleh hukum menjadi objek bahasan ilmu
filsafat.
Filsafat hukum secara sederhana merupakan cabang filsafat yang berusaha
memahami hakikat dari hukum. Utrecht, seorang filsuf memiliki pendapat bahwa
filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan seperti:
1. Apa itu hukum?
2. Apa alasan kita mentaati hukum?
3. Apakah keadilan yang menjadi tolak ukur dari hukum?
Satjipto Rahardjo, mendefinisikan filsafat hukum sebagai:
“Dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum dan merupakan contoh-
contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu.”

1
Ahdar Djamaluddin et al., FILSAFAT PENDIDIKAN (Educational Phylosophy), 2014.
Bagaimana filsafat hukum berkembang, dan bagaimana kedudukan dan
fungsi filsafat hukum relatif terhadap ilmu hukum akan dibahas dalam makalah
ini secara ringkas.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang, dapat ditentukan rumusan masalahnya,
yaitu:
1. Bagaimana perkembangan filsafat hukum dari masa ke masa?
2. Apa kedudukan filsafat hukum dalam ilmu hukum?
3. Apa fungsi filsafat hukum dalam ilmu hukum?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui perkembangan filsafat hukum dari masa ke masa
2. Mengetahui kedudukan filsafat hukum dalam ilmu hukum
3. Mengetahui fungsi filsafat hukum dalam ilmu hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Filsafat Hukum pada Masa Yunani Kuno

Di era Pra Sokrates, pada awalnya orang Yunani Kuno menganggap


hukum sebagai keharusan alamiah (nomos). Contoh dari keharusan alamiah yang
diyakini oleh orang Yunani pada waktu itu ialah laki-laki memiliki kuasa di atas
perempuan, budak adalah budak, dan sebagainya. Para filsuf pada masa pra-
sokrates lebih memfokuskan pada pengetahuan dan hakikat akan alam, sehingga
filsafat hukum pada masa itu belum terlalu berkembang.2

Filsafat hukum mulai berkembang di zaman tiga filsuf besar, Sokrates,


Plato, dan Aristoteles. Pada masa itu, fokus filsafat mulai beralih dari alam
menuju manusia. Dalam bukunya, politeia dan nomos, Plato berusaha untuk
menjelaskan tentang hukum dan keadilan. Menurutnya, keadilan adalah jika tiap-
tiap kelompok berbuat sesuai dengan tempat dan tugasnya. Plato juga
menyarankan bahwa peraturan-peraturan yang ada haruslah ditulis dalam kitab
perundangan.

Aristoteles, yang merupakan murid dari Plato, mengklasifikasikan hukum


menjadi dua jenis, yaitu hukum alam (nature) dan hukum positif. Hukum alam
merupakan hukum yang berlaku secara universal, tidak dapat berubah, dan semua
umat manusia yang berakal dapat mengetahuinya dengan akal. Hukum positif
ialah hukum yang dibuat oleh manusia, khususnya instansi pemerintahan atau
yang berkuasa.

Pada abad ke 5 SM, muncul kaum yang menyatakan bahwa tidak ada yang
namanya hukum alam. Pemahaman akan baik dan buruk, adil dan sanksi, dibuat
relatif oleh manusia. Karena hal itu, hukum dapat berubah dan juga berbeda antara
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Pemahaman ini ditentang oleh
Sokrates, yang berpendapat bahwa terdapat hukum yang universal dan objektif.

B. Perkembangan Filsafat Hukum pada Masa Romawi

Perkembangan filsafat hukum pada masa ini sangat dipengaruhi oleh


filsafat Yunani Kuno khususnya filsafat Stoa. Dalam gagasan Stoa, segala sesuatu
yang merupakan kesatuan yang teratur (kosmos). Keteraturan ini disebabkan
adanya prinsip yang menjamin, yaitu Logos atau jiwa dunia. Karena manusia juga
termasuk dalam kosmos, maka mereka juga memiliki hubungan dengan Logos.

Hubungan manusia dengan Logos dapat dilihat dengan manusia mengikuti


hukum alam. Hukum alam tidak bergantung pada manusia, tidak berubah, dan
bersifat universal. Hukum alam menjadi dasar dari semua hukum positif. Dengan
menekankan pada hubungan manusia dengan hukum alam, yang pada akhirnya
berhubungan dengan Logos. Dapat disimpulkan, pada masa ini kebajikan tertinggi
2
Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum, 2018.
yang dapat digapai manusia bukanlah dengan menaati hukum positif, tetapi
dengan menaati hukum alam. Hukum positif hanya dapat ditaati jika mereka
sesuai dengan hukum alam. Orang-orang yang mengikuti hukum positif kadang
dianggap sebagai seseorang yang merugikan keadilan (summon ius summon
iniuria).

Terdapat dua prinsip minimal yang harus dipegang oleh orang Romawi
jika ingin dikatakan sebagai orang yang adil, yaitu tidak merugikan orang lain
(neminem laidere) dan memberikan kepada manusia hak-haknya (unicuiquesuum
tribuere)

Terdapat perbedaan pendapat mengenai tujuan negara antara kaum Stoa


dan filsuf hukum Cicero. Menurut kaum Stoa dan juga para filsuf Yunani Kuno
lainnya, negara bertujuan untuk membawa manusia ke arah kesempurnaan.
Dengan kata lain, negara memiliki tujuan untuk meningkatkan moral rakyatnya ke
arah yang lebih baik. Cicero di sisi lain, berpendapat bahwa tugas negara
utamanya adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Negara sebagai
masyarakat moral sudah dilepaskan. Selebihnya, menurut ia kepala negara
haruslah memerintah secara mutlak. Kepala negara merupakan sumber hukum
positif sebagai wakil ilahi dalam masyarakat Romawi. Masyarakat haruslah
tunduk pada hukum bangsa (ius gentium).

C. Perkembangan Filsafat Hukum pada Abad Pertengahan

Abad pertengahan merupakan masa dimana kekaisaran Romawi yang telah


lama berjaya, mengalami kemunduran dan runtuh setelah diserang oleh bangsa-
bangsa dari Jerman. Di masa ini jugalah agama besar di dunia yaitu Kristen dan
Islam menyebar dengan sangat luas dan sangat berpengaruh, termasuk ke dalam
bidang filsafat hukum.

Salah satu tokoh filsuf yang berpengaruh di Eropa pada zaman ini ialah
Thomas Aquinas. Thomas Aquinas merupakan seorang pengagum filsafat
Aristoteles, hal itu membuat dirinya berusaha untuk menggabungkan ajaran
Kristen dengan pemikiran filsafat Aristoteles. Ia membagi hukum menjadi hukum
tuhan, yang ada berdasarkan wahyu, dan hukum manusia, yang muncul dari akal
budi Hukum manusia itu pun terbagi menjadi hukum alam, dan juga hukum
bangsa-bangsa. Hukum alam dinilai terlalu umum, sehingga haruslah disusun
undang-undang negara yang mengatur (hukum positif).

Di masa ini, hukum islam atau yang disebut sebagai hukum syariah
disusun. Para ahli hukum di kekhalifahan Islam waktu itu bersepakat adanya
sumber hukum, yaitu al-Qur’an dan Hadits, selain itu beberapa sekolah hukum
juga menggunakan Ijma dan Qiyas sebagai sumber hukum.

Pada awalnya, terdapat banyak sekolah hukum di kekhalifahan. Tetapi sejak


abad IX, terdapat 4 aliran besar atau madzhab, yaitu: Maliki, Syafii, Hambali,
Hanafi.
D. Perkembangan Filsafat Hukum pada masa Renaissance

Maraknya korupsi dalam gereja dan dalam kegiatan keagamaan, serta


tereksposnya orang Eropa pada saat itu pada filsafat dan kesenian dar dunia kuno
yang dijaga oleh umat Islam, mengakibatkan Eropa masuk ke zaman berikutnya,
yaitu Renaissance, atau kelahiran kembali. Di zaman ini juga menyebar paham
humanisme, paham yang memfokuskan pada manusia saja. Manusia dianggap
sebagai makhluk yang unggul di antara makluk lainnya dan mampu untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri termasuk kebutuhannya akan hukum.

Terdapat banyak tokoh filsuf besar di zaman ini, seperti Machiavelli, Jean Bodim,
Hogo Gratius, Thomas Hobbes, serta nama cendikia dan filsuf lainnya yang
berpengaruh.

Machiavelli berpendapat bahwa keselamatan dan kesejahteraan negara merupakan


hal utama, apapun yang menghalangi tujuan ini, haruslah diabaikan, termasuk
agama dan moralitas. Penguasa boleh menggunakan kekerasan untuk mengontrol
dan mempertahankan kestabilan negara.

Jean Bodin berpendapat bahwa raja yang berdaulat tidaklah boleh terikat dengan
undang-undangnya. Hal ini sesuai dengan semboyan hukum Romawi, yaitu
princeps legibus solutes est elpianus, yang artinya sang penguasa tidak tunduk
pada undang-undang. Penguasa memiliki tugas untuk membuat undang-undang.

Hogo Gratius memiliki pendapat yang berbeda dengan pandangan kaum skolastik
mengenai hukum alam. Kaum skolastik berpendapat bahwa hukum alam berasal
dari Tuhan yang menyebabkan manusia menyadari apa yang baik dan buruk.
Sedangkan kaum humanisme seperti Hogo Gratius berpendapat bahwa hukum
alam ada disebabkan karena akal budi manusia itu sendiri, karena itulah seluruh
bangsa dapat mengetahui apa yang benar dan salah.

Thomas Hobbes terkenal atas teorinya tentang kontrak sosial. Menurutnya,


manusia pada dasarnya adalah makluk egois, yang ingin memenuhi kebutuhannya
sendiri. Keinginan untuk memenuhi kebutuhan akan sumber daya yang langka ini
akan menimbulkan peperangan jika tidak diatur. Oleh karena itu, manusia
melakukan kontrak sosial dengan pihak ketiga yaitu penguasa, manusia
memberikan hak-haknya kepada penguasa untuk mengatur mereka sehingga tidak
terjadi perselisihan. Penguasa bersifat absolut, dan merupakan sumber hukum dari
segala hukum.3

E. Perkembangan Filsafat Hukum pada masa Modern dan Post Modern


Zaman Modern dikenal juga sebagai masa Rasionalisme yang ditandai
dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu

3
Kamarusdiana, Filsafat Hukum, 2018.
pengetahuan pada zaman modern sudah dirintis sejak Zaman Renaissance.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan berasal dari diri
manusia sendiri. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan
adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal).
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada
zaman yunani kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Era ini berawal
sekitar abad ke-15.
Pada zaman ini filsafat dari berbagai aliran muncul. Secara garis besar ada tiga
paham yang muncul yaitu rasionalisme, idealisme, dan empirisme. Tapi yang
paling mendominasi pada zaman ini adalah paham rasionalisme.4
Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering
lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau
dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam,
saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan
terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak
dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer,
tetapi tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari
segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang
universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan
dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah
perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu
dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam
realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn
postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh
pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques
Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti
mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan),
bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada
kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah
kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah
usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan
penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu
memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan
bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara.
statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:
“Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat
ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “
(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).
Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal
dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu
realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap,
dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu
4
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, 2006, hal 16
pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa.
yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi
sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu
pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan
suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan
objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara.
bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa.

F. Kedudukan dan Fungsi Filsafat Hukum

Kedudukan filsafat hukum dalam struktur atau sistem hukum bisa menjadi
bagian hukum publik atau hukum privat, menurut JJH Bruggink terdapat tiga
lapisan ilmu hukum yang terkait dengan kedudukan filsafat hukum yaitu
dogmatik hukum, teori hukum dan filsafat hukum.

Filsafat hukum harus memberikan pencerahan, pencerdasan bagi


masyarakat serta kepatuhan pada hukum dalam suatu Negara atau masyarakat.
Hal tersebut penting karena filsafat hukum di harapkan memberi solusi atau
tempat menjawab aneka pertanyaan terkait hukum dan filsafat itu sendiri.

Fungsi filsafat hukum pada dasarnya adalah melakukan penertiban hukum,


penyelesaian pertikaian, mengatur, mempertahankan dan memelihara tata
tertib demi terwujudnya rasa keadilan berdasarkan kaidah hukum yang
berlaku. Sedangkan fungsi filsafat hukum, ditinjau dari fungsi ontologis yaitu
mencari dan menciptakan landasar-landasan hakiki yang mempersatukan
secara struktural dan ideal keseluruhan bangunan dan sistem hukum yang
berdiri di atasnya.

Banyak ahli yang mengutarakan pendapatnya tentang fungsi dari filsafat


hukum, diantaranya adalah pendapat dari :
1. G. Del Vecchio.
Del Vecchio membagi fungsi filsafat hukum menjadi tiga bagian, yaitu :
a. Fungsi transendental logis, yaitu menyusun pengertian hukum yang
fundamental.
b. Fungsi fenomenologis, yaitu meneliti sejarah universal dari hukum
sebagai bentuk pengejawantahan dari cita hukum yang lestari.
c. Fungsi de-ontologis, yaitu meneliti cita hukum, di mana hukum itu
keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi
keadilan atau kedzoliman hukum positif.
2. Prof. Soejono Koesoemo Siworo.
Menambahkan satu fungsi lagi dari fungsi filsafat hukum menurut Del
Vecchio tersebut, sehingga fungsi filsafat hukum menurut Prof. Soejono
Koesoemo Siworo adalah :
a. Fungsi transendental logis, yaitu menyusun pengertian hukum yang
fundamental.
b. Fungsi fenomenologis, yaitu meneliti sejarah universal dari hukum
sebagai bentuk pengejawantahan dari cita hukum yang lestari.
c. Fungsi de-ontologis, yaitu meneliti cita hukum, di mana hukum itu
keadilan atau hukum kodrat, sebagai ukuran idiil yang umum bagi
keadilan atau kedzoliman hukum positif.
d. Fungsi ontologis, yaitu mencari dan menciptakan landasan-landasan
hakiki yang mempersatukan secara struktural dan ideal keseluruhan
bangunan dan sistem hukum yang berdiri di atasnya.5

5
Zaini, Fungsi Hukum Presefektif Hukum, 2021
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai seorang mahasiswa yang masuk ke dalam dunia perkuliahan, tentu
saja tidak asing dengan ilmu yang bernama filsafat. Ia merupakan ilmu
yang muncul dari kehendak manusia untuk mengetahui kebenaran hakiki
yang ada di sekitar mereka. Oleh karena sifatnya yang berusaha untuk
mendapatkan kebenaran, maka filsafat layak untuk dikatakan sebagai ibu
dari segala ilmu.
Poedjawijatna, menyatakan bahwa kata filsafat dalam Bahasa
Indonesia memiliki akar kata dari Bahasa Arab yang pada akhirnya
berhubungan dengan kata dalam Bahasa Yunani philosophia. Philosophia
sebenarnya merupakan gabungan dari dua kata, philo yang berarti cinta
dalam arti luas, dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Dengan kata lain,
philosophia atau filsafat memiliki arti cinta kebijaksanaan.6
Filsafat memiliki 3 cabang utama, yaitu metafisika (ontology),
epistemology, aksiologi. Metafisika membahas tentang hakikat atau dasar
dari segala sesuatu yang ada. Epistemologi membahas tentang
pengetahuan, contohnya yaitu membahas mengenai asal atau sumber dari
pengetahuan yang didapatkan manusia. Aksiologi membahas tentang nilai-
nilai dan prinsip kehidupan.

B. Saran

6
Ahdar Djamaluddin et al., FILSAFAT PENDIDIKAN (Educational Phylosophy), 2014.
DAFTAR PUSTAssKA

Anda mungkin juga menyukai