Anda di halaman 1dari 23

ALIRAN DAN PEMIKIRAN TERPENTING DALAM

FILSAFAT HUKUM
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum

Oleh :

MUHAMMAD WAHYUDIN NASKUN

NIM : G2R120009

PASCASARJANA MAGISTER HUKUM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah yang berjudul
“ALIRAN DAN PEMIKIRAN TERPENTING DALAM FILSAFAT HUKUM”. Atas
dukungan moral dan materil yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: dosen mata kuliah filsafat
hukum yang meberikan saran dan kesempatan dalam penyelesaian makalah ini.
Makalah initelah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunankalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan
tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Kendari, 20 November 2020

Muh. Wahyudin N

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................................................4

A.  Latar Belakang Masalah.................................................................................4

B.  Rumusan Masalah...........................................................................................5

C.  Tujuan.............................................................................................................5

BAB II

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

A.  Aliran dan Pemikiran Hukum Alam...............................................................7

B.  Aliran dan Pemikiran Hukum Positif...........................................................10

C.  Aliran dan Pemikiran Utilitarianisme...........................................................13

D.  Aliran dan Pemikiran Sejarah.......................................................................14

E.  Aliran dan Pemikiran Sociological Jurisprudence........................................16

F.   Aliran dan Pemikiran Realisme Hukum......................................................19

BAB III

KESIMPULAN.....................................................................................................21

3
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah


Manusia adalah makhluk yang diciptakan Tuhan dengan keistimewaan
akal sebagai ruang cipta dan hati sebagai ruang rasa. Keduanya menuntun
manusia untuk selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu, yang hasil dari keinginan
ini disebut pengetahuan. Pengetahuan yang dimiliki manusia bisa berbentuk
pengetahuan indera, pengetahuan ilmiah, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan
agama. Pengetahuan filsafat sering sekali menjadi fokus pengkajian dalam sejarah
perkembangannya dengan tidak menyampingkan ketiga pengetahuan lainnya yang
saling berkontribusi dalam hal menghasilkan ilmu selalu berkembang.
Ketidakpuasan dan kehausan para pemikir dalam menghasilkan ilmu yang
dinamis menjadikan berkembangnya aliran-aliran yang saling mempertahankan
ilmu atau buah pikiran yang telah mereka hasilkan. Hal demikian juga terjadi
dalam disiplin ilmu filsafat pada umumnya , dan filsafat hukum pada khususnya.
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan
mendalam tentang pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia, dengan
artian filsafat merupakan sesuatu yang bersifat abstrak. Adalah pengethuan yang
membangun banyak dasar-dasar keilmuan atas pengetahuan-pengetahuan yang
dipelajari manusia. Dan diantara ilmu yang dihasilkan dan dikembangkan oleh
manusia dari berfilsafat, ilmu hukum merupakan salah satunya. Sebuah adagium
mengatakan, ibi ius ibi societas, yakni dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
Sebagian keilmuan, teori-teori dan penemuan norma-norma dalam hukum didasari
oleh filsafat hukum sebagai cabang dari filsafat.
Filasafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat
hukum, apa tujuannya, mengapa dia ada, dan mengapa orang harus tunduk kepada

4
hukum. Filsafat mengajak kita untuk berpikir radikal dan spekulatif, sehingga
selalu ingin mengetahui mengenai kebenaran produk hukum, bagaimana
datangnya kebenaran itu dan bagaimana mempertahankannya, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai keadilan, kepastian hukum serta kemanfaatan yang
mampu diaplikasikan.
Berbagai pergulatan pemikiran hukum yang terus menerus berkembang
dalam filsafat hukum, menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar
aliran-aliran atau mazhab-mazhab filsafat hukum tersebut terjadi dialektika yang
membahas asal usul terciptanya hukum. Apabila pada masa lalu, filsafat hukum
merupakan produk sampingan dari para filosuf, dewasa ini kedudukannya tidak
lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian
tersendiri bagi para ahli hukum. Karena memang aliran-aliran filsafat hukum
tersebut sangat diperlukan dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum
sampai dasar-dasar filsafatnya. Dengan demikian dalam kajian ini, penulis akan
menguraikan beberapa aliran filsafat hukum yang menurut kami paling dominan
atau memiliki pengaruh yang cukup besar dalam iklim hukum di Indonesia .
B.  Rumusan Masalah
1.   Apakah definisi aliran hukum itu?
2.   Apa saja aliran-aliran terpenting dalam filsafat hukum dan bagaimana
perkembanganya di dunia?
3.   Aliran-aliran apa saja yang relevan serta berkembang dalam iklim hukum
Indonesia?
C.  Tujuan
1.   Memahami definisi aliran secara etimologi bahasa dan istilah.
2.   Memahami perkembangan aliran-aliran dominan dalam filsafat hukum di
dunia.
3.    Memahami aliran-aliran yang relevan dalam iklim hukum Indonesia.
D.  Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah
pendekatan kepustakaan, dengan mempelajari buku-buku dan karya tulisan
lainnya yang berkaitan dengan materi makalah.

5
BAB II
PEMBAHASAN

Secara etimologi bahasa aliran adalah haluan, pendapat atau paham.


Secara istilah aliran hukum merupakan suatu paham seseorang atau kelompok
mengenai nilai-nilai, dasar beserta hakikat hukum yang memiliki penganut dengan
yakin mengikutinya. Jika kita bandingkan dengan pemahaman teori hukum maka
ada beberapa ahli yang menyamakannya namun ada juga yang membedakannya.
Akan tetapi penulis cenderung membedakannya, karena teori hukum itu adalah
pendapat yang dikemukakan seseorang sebagai pedoman dalam merumuskan
suatu produk hukum sehingga hukum itu dapat dilaksanakan dalam praktek
kehidupan masyarakat. Aliran cenderung lebih umum karena satu aliran yang
sama dapat melahirkan berberapa teori hukum.
Para pakar hukum memiliki pandangan yang hampir sama tentang konsep
aliran dalam filsafat hukum. Satjipto Rahardjo membagai aliran filsafat hukum
sebagai teori yunani dan romawi, positivisme dam utilitarianisme, hukum alam,
teori hukum murni, pendekatan sejarah dan antropologis, serta pendekatan
sosiologis. Sedangkan Soejono Soekanto membaginya sebagai aliran
utilitarianisme, mazhab sejarah dan kebudayaan, mazhab formalitas, aliran
realisme hukum, dan aliran sociological jurisprudence. Adapun Lili Rasjidi
membaginya ke dalam mazhab sejarah, aliran hukum alam, aliran hukum positif,
aliran sociological jurisprudence, dan aliran pragmatic legal realism.
Akan tetapi dalam makalah ini penulis akan membatasi pembahasan
kepada beberapa aliran filsafat hukum, meliputi:
1.    Aliran Hukum Alam
2.    Aliran Hukum Positif
3.    Aliran Utilitarianisme
4.    Aliran Sejarah

6
5.    Aliran Sociological Jurisprudence
6.    Aliran Realisme Hukum

A.  Aliran dan Pemikiran Hukum Alam


            Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma yang paling
tua sekaligus  serta paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum
sampai hari ini. Teori-teori hukum yang dikembangkan setelah periode hukum
alam, sesungguhnya merupakan perkembangan atau penyempurnaan saja dari
paradigma hukum alam. Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang
universal dan selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini
disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan moral yang
menjadi guideline bagi hukum itu sendiri. Bahkan disebutkaan bahwa di atas
sistem hukum positif negara, ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex
divina), bersifat ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi hukum alam itu
sendiri, jadi hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena
adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-tindakan
kemauan manusia; karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk adalah sama sekali
tidak sewenang-wenang (arbitraiy), subjektif atau relatif. Hukum alam tampil
sebagai suatu hukum dari akal budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat
penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri
(bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.
            Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada nilai
moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-nilai keadilan
bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum alam, berkeyakinan
bahwa keadilan merupakan sebuh esensial (essential value) dari hukum, bahkan
sering diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan  menyatu. Hukum
memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi
sebgai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga berfungsi
sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu negara.
            Pada abad ke-5 SM masih bersifat primitif, yaitu hukum masih bersifat
primitif, yaitu hukum masih dipandang sebagai suatu keharusan alamiah, baik

7
semesta alam maupun alamiah. Namun, pada abaad ke-4 SM para filsuf mulai
insaf peran manusia dalam membentuk hukum misalnya Socrates. Socrates
menuntut upaya para penegak hukum mengindahkan keadilan sebagai nilai yang
melebihi manusia. Demikian juga pendapat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles
(348-322 SM) yang mulai mempertimbangkan bahwa manakah aturan yang lebih
adil yang harus menjadi alat untuk mencapai tujuan hukum, walaupun mereka
juga tetap mau taat pada tuntutan-tuntutan alam sehingga zaman ini dikenal
dengan zaman atau aliran hukum alam.
            Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam pemikiran di
zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama oleh pikiran Socrates,
Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi yang banyak mengemukakan
pemikirannya tentang hukum alam adalah Cicero,  seorang yuris dan seorang
negarawan. Cicero mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar)
yang disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta sesuai
dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan
sifat immutable dan enternal. Hukum apapun harus bersumber dari true law itu.
Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir untuk keadilan. Dan
hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi pada man’s very nature. Selain
Cicero sebagai salah seorang tokoh pemikir zaman Romawi  tersebut, maka salah
satu pemikir terkenal adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius
gentium. Ius Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu,
sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang bersumber
pada akal pemikiran manusia.
            Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan yang
konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat Achmad Ali,
pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis dan filosofis, sedangkan
pemikiran Romawi lebih menitikberatkan pada hal-hal yang praktis dan berkaitan
dengan hukum positif.
            Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar abad ke-16
dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa Jerman yang bernama

8
Rudolf Stammler. Stammler memberikan pokok-pokok pikirannya mengenai
hukum alam sebagai berikut: 
a.  Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum yang adil;
b.  Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang dapat digunakan
untuk menentukan kebenaran yang relatif dari hukum dalam setiap situasi.
c.  Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal dalam ujian dan
membawanya lebih dekat pada tujuannya.
            Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis hukum,
melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para
ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam. Hal ini
sejalan dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang mengatakan bahwa istilah
hukum alam ini didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan
pada masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam
merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedman,
sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang mutlak) di samping
kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-
ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadan politik di zaman
itu.
            Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang
mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :
1.   Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2.  Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi
suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3.   Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
4.   Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui akal;
5.   Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam masyarakat.
            Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran hukum
alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal melalui
bukunya Summa Theologica dan De Regimen Principum. Pemikiran yang
dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum alam banyak

9
mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran gereja hingga saat ini.
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat golongan, yaitu :
1.  Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur segala hal dan
bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak dapat ditangkap oleh panca
indra manusia.
2.  Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan
waktu yang diterimanya.
3.  Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu penjelmaan dari lex
aeterna di dalam rasio manusia.
4.  Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam
oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh
keadaan dunia.

B.  Aliran dan Pemikiran Hukum Positif


Aliran Hukum Positif juga yang sering dikenal dengan positivisme hukum
menurut Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh Lili Rasjidi merupakan suatu teori
tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan senyatanya itu, yakni
apakah hukum positif itu adil atau tidak adil. Selain itu dapat juga dikatakan
bahwa hukum positf merupakan kebalikan hukum alam. Sebab, aliran ini
mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang. Menurut aliran  positivisme, hukum ditinjau dari sudut
pandang positivisme yuridis dalam arti yang mutlak. Artinya adalah ilmu
pengetahuan hukum adalah undang-undang positif yang diketahui dan
disistematikan dalam bentuk kodifikasi-kodifikasi yang ada. Positivisme hukum
juga berpandangan bahwa perlu dipisahkan secara tegas antara hukum dan moral
(antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya / antara das
Sollen dan das Sein).
Dalam kacamata positivis tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law
is command from the lawgivers). Bahkan bagi sebagian aliran Positivisme Hukum
yang disebut juga Legisme, berpendapat bahwa hukum itu identik dengan
Undang-undang. Positivisme Hukum juga sangat mengedepankan hukum sebagai

10
pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Aliran ini memiliki
beberapa tokoh terkemuka diantaranya Hans Kelsen, John Austin, L.A. Hart,
Rudolf Von Jhering, Georg Jellinek, Roguin, Jeze, Saleiles, dan Ripert. Akan
tetapi penulis hanya akan membahas aliran positivisme yang dikembangkan oleh
John Austin dan L.A Hart, karena peran andil mereka yang cukup signifikan
dalam perkembangan aliran ini sehingga banyak menuai kritikan yang bersifat
kontroversial dari para filosuf hukum lainnya.
Melalui aliran ini John Austin mengeluarkan suatu karya mengenai teori
hukum yaitu digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita
keadilan dalam definisi hukum. Sehingga buah pemikirannya sangat terlihat
dalam pendefinisian hukumnya, yaitu “peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang
berkuasa atasnya”. Sedangkan inti dari ajaran Austin dapat diikhtisarkan dalam
beberapa butir berikut:
1.  Hukum adalah perintah pihak yang berdaulat atau bahasa aslinya: Law...was
the command of sovereign. Bagi Austin: No low, no sovoreign; and no
sovoreign, no low;
2.  Ilmu hukum selalu berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-
ketentuan lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau
keburukannya;
3.  Konsep tentang kedaulatan negara (doctrine of sovoreignty) mewarnai hampir
keseluruhan dari ajaran Austin. Hal ini dapat dikhtisarkan sebagai berikut:

1)   Kedaulatan yang digunakan dalam ilmu hukum menunjuk pada suatu atribut
negara yang bersifat internal maupun eksternal;
2)      Sifat ekskternal dari kedaulatan negara tercermin pada hukum internasional,
sedangkan sifat internal kedaulatan negara tercermin pada hukum positif;
3)      Pelaksanaan kedaulatan membutuhkan ketaatan. Yaitu ketaatan tersebut
terletak pada legitimasi kedaulatan negara yang didasarkan pada undang-
undang yang berlaku dan diakui secara sah, dan subjeknya merasakan a moral
duty to obey ( ada kewajiban moral untuk mentaatinya).

11
Sedangkan tokoh aliran ini yang juga terpenting adalah H.L.A Hart, yang
mana tercerminkan dalam esensi positivismenya betapa kuatnya pengaruh teori
hukum murni dari Hans Kelsen. Yang mana diartikan esensi positivisme sebagai
berikut:

1.    Pernyataan bahwa hukum adalah perintah manusia;


2.    Pernyataan bahwa tidak ada hubungan yang penting antara hukum dan
kesusilaan atau hukum sebagai apa adanya dan hukum yang diharapkan;
3.    Pernyataan bahwa studi hukum harus dibedakan dengan studi hukum dari
sudut historis, atau dari sudut sosiologis atau dari sudut kritis (Critical Legal
Studies);
4.    Pernyataan bahwa sistem hukum bersifat tertutup (Close Legal System) di
mana putusan yang benar adalah yang tidak mempertimbangkan tujuan
kesusilaan dan standar moral;
5.    Pernyataan bahwa penilaian moralitas tidak dapat dipertahankan sebagai
pernyataan mengenai fakta atas dasar argumen rasional, bukti-bukti.

H.L.A Hart telah memberikan kritik terhadap konsep hukum sebagai


perintah penguasa yang bersifat memaksa (ajaran Austin yang mana hukum
sebagai alat untuk mencapai tujuan dimaksudkan untuk menunjukan bahwa
hukum tergantung dari paksaan, dan bahwa hak untuk memaksa adalah monopoli
mutlak negara). Dia mengatakan bahwa konsep hukum Austin memiliki tiga
cacat (defects). Pertama, dalam primary rules of the social structure tidak
mencerminkan kepastian (uncertainty); cacat kedua, konsep hukum Austin
bersifat statis (static character); dan cacat ketiga, konsep hukum Austin tidak
efesien (ineffeciency). Tidak hanya H.L.A Hart, pemikiran Austin juga sangat
ditentang keras oleh Mazhab sejarah dan Mazhab Sociological
Jurisprudence yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari kekuasaan
dan perintah.

12
C.  Aliran dan Pemikiran Utilitarianisme
Aliran ini di pelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Aliran ini akan penulis awali
dengan ajaran Jeremy Bentham, yang berpendapat bahwa alam memberikan
kebahagiaan dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan
dan mengurangi kesusahannya. Standar penilaian etis yang dipakai disini adalah
apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan. Kebaikan adalah
kebahagiaan dan kejahatan adalah kesusahan. Tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Dengan kata lain, untuk memelihara kegunaan.
Dalam sistem pemidanaan, menurutnya harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan dana seberapa beratnya pidana itu tidak boleh melibihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu.
Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya
kejahatan yang lebih rendah, Keberadaan hukum diperlukan untuk menjaga agar
tidak terjadi bentrokan kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan yang
sebesar-besarnya, untuk itu perlu ada batasan yang diwujudkan dalam hukum, jika
tidak demikian, maka akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala
bagi manusia yang lain). karena itu, ajaran Bentham dikenal
sebagai utilitarianisme yang individual.
Penulis lain yang tidak kalah pentingnya ialah John Stuart Mill yang lebih
banyak dipengaruhi oleh pertimbangan psikologis. Ia menyatakan bahwa tujuan
manusia ialah kebahagiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan melalui
hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Mill juga menolak pandangan Kant yang
mengajarkan bahwa individu harus bersimpati pada kepentingan umum.
Kemudian Mill lalu menganalisis hubungan antara kegunaan dan keadilan. Ia
berpendapat bahwa asal-usul perasaan akan keadilan itu tidak ditemukan pada
kegunaan melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahanka
diri dan perasaan simpati. Pada hakekatnya, perasaan individu akan keadilan dapat
membuat individu itu menyesal dan ingin membalas dendam kepada tiap yang

13
tidak menyenangkannya. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia
untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri,
maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita.
Pendapat lain dilontarkan Rudolf von Jhering yang menggabungkan antara
utilitarianisme yang individual maupun yang sosial, karena Jhering dikenal
sebagai pandangan utilitarianisme yang bersifat sosial, jadi merupakan gabungan
antara teori yang dikemukakan oleh Bentham, Mill, dan positivisme hukum dari
John Austin. Bagi Jhering, tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-
kepentingan. Dalam mendefinisikan kepentingan, ia mengikuti Bentham, dengan
melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan
tetapi kepentingan individu dijadikan bagian dari tujuan sosial dengan
menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan orang
lain. Jhering sangat tidak menyukai apa yang disebut dengan ilmu hukum yang
menekankan pada konsep-konsep, bahwa kebijaksanan hukum itu tidak terletak
pada permainan teknik-teknik pengehalusan dan penyempurnaan konsep,
melainkan kepada penggarapan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan
yang praktis.

D.  Aliran dan Pemikiran Sejarah


Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat
tergantung dari aliran pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik
dalam rangka membangun kerangka teoritik berikutnya. Disamping itu kelahiran
satu aliran sangat terkait dengan kondisi lingkungan tempat suatu aliran itu
pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran atau mazhab hukum
dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian pada
zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran
sejarah terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik.
Demikian juga halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme
terhadap kemapanan modernisme. Kelahiran mazhab sejarah dipelopori oleh
Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) melalui tulisannya yang berjudul ”Von
Beruf unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft” (Tentang Pekerjaan

14
pada Zaman Kita di Bidang Perundang-undangan dan Ilmu Hukum), di pengaruhi
oleh dua faktor yaitu pertama ajaran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des
Lois” dan pengaruh faham nasionalisme yang mulai timbul pada awal abad ke 19.
Disamping itu, munculnya aliran ini juga merupakan reaksi langsung dari
pendapat Thibaut yang menghendaki adanya kodifikasi hukum perdata Jerman
yang didasarkan pada hukum Prancis (Code Napoleon). Kedua pengaruh tersebut
bisa digambarkan sebagai berikut:
Menurut Friedmann Aliran ini juga memberikan aksi tertentu terhadap dua
kekuatan besar yang berkuasa pada zamannya. Kedua hal tersebut menurut
Friedmann adalah :
1.    Rasionalisme dari abad 18 dengan kepercayaan terhadap hukum alam,
kekuasaan akal dan prinsip-prinsip pertama yang semuanya dikombinasikan
untuk meletakkan suatu teori hukum dengan cara deduksi dan tanpa
memandang fakta historis, cirri khas nasional, dan kondisi sosial;
2.    Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis dengan pemberontakannya
terhadap tradisi, kepercayaan pada akal dan kekuasaan kehendak manusia
atas keadaan-keadaan zamannya.
Sedangkan Lili Rasjidi mengatakan kelahiran aliran/mazhab sejarah
merupakan reaksi tidak langsung dari terhadap aliran hukum alam dan aliran
hukum positif. Hal pertama yang mempengaruhi lahirnya mazhab sejarah adalah
pemikiran Montesqueu dalam bukunya “L’ esprit des Lois” yang mengatakan
tentang adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya. Menurut
W. Friedman gagasan yang benar-benar penting dari L’esprit des Lois adalah tesis
bahwa hukum walaupun secara samar didasarkan atas beberapa prinsip hukum
alam mesti dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaan seperti: iklim, tanah, agama,
adat-kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya.
Berangkat dari ide tersebut Montesqueu kemudian melakukan studi
perbandingan mengenai undang-undang dan pemerintahan. Seperti yang telah
diuraikan diatas, selain dipengaruhi oleh pemikiran Montesque lahirnya mazhab
sejarah juga banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme Jerman yang mulai
muncul pada awal abad 19. Dengan memanfaatkan moment (semangat

15
nasionalisme), Savigny menyarankan penolakan terhadap gagasan Tibhaut tentang
kodifikasi hukum yang tersebar dalam pamfletnya “Uber Die Notwetdigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland” (Keperluan akan adanya
kodefikasi hukum perdata negara Jerman).  
Hakikat dari setiap sistem hukum menurut savigny adalah sebagai
pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum itu. Dikemudian hari hal
tersebut oleh G. Puchta, murid Savigny yang paling setia, dicirikan
sebagai Volkgeist,  menurut Puchta hukum adalah perwujudan dari kesadaran
yang umum ini. Dikatakannya:
“Hukum itu bersama-sama dengan pertumbuhan, dan menjadi kuat bersama-
sama dengan kekuatan dari rakyat, dan pada akhirnya ia mati manakala bangsa
itu kehilangan kebangsaannya.”

E.  Aliran dan Pemikiran Sociological Jurisprudence


Aliran Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran
filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat.
Aliran ini berkembang di Indonesia dan di Amerika, dipelopori oleh Roescoe
Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowich, Gurvitch, dan lain-lain.
Akan tetapi Romli Atmasasmita berpendapat bahwa aliran ini berasal dari Oliver
Wendell Holmes (1841-1935) yang juga menurut para teoritis merupakan tokoh
terpenting dalam aliran Realisme Hukum. Menurut aliran ini hukum yang baik
haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup  di dalam masyarakat.
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive
law) dengan hukum yang hidup (the living law). Singkatnya yaitu, aliran hukum
yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yang
hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak tertulis.
Misalnya dalam hukum yang tertulis jelas dicontohkan Undang- Undang
sebagai hukum tertulis, sedangkan yang dimaksudkan hukum tidak tertulis disini
adalah hukum adat yang dimana hukum ini adalah semulanya hanya sebagai
kebiasaan yang lama kelamaan menjadi suatu hukum yang berlaku dalam adat
tersebut tanpa tertulis. Dalam masyarakat yang mengenal hukum tidak tertulis

16
serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, Hakim merupakan perumus
dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu ia
harus terjun ditengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Aliran Sociological Jurisprudence berbeda dengan Sosiologi Hukum.
Dengan rasio demikian, Sosiologi Hukum merupakan cabang sosiologi yang
mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedang Sociological Jurisprudence
merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh
timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum
sebagai cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum
dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat
mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu
pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut di atas
(sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara
pendekatannya. Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari
hukum kepada masyarakat, sedang sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak
dari masyarakat kepada hukum.
Dalam hal ini penulis hanya akan membahas pemikiran dari dua tokoh
aliran ini yang kami anggap berperan penting dalam perkembangan aliran ini yaitu
Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich. Roscoe Pound menganggap bahwa hukum
sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering and social
controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal
dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan
adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam
mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk
kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh
penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam
hukum digantikan dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan
manusia (Lebens forschung und Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih

17
memikirkan keseimbangan kepentingan-kepentingan (balancing of interest,
private as well as public interest).
Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living
law merupakan synthese dari these positivisme hukum dan antithese mazhab
sejarah. Maksudnya, kedua aliran tersebut ada kebenarannya. Hanya, hukum yang
sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur
kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas
pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan
akal diuji oleh pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di
dalam sistem hukum. Hukum adalah pengalaman yang diatur dan dikembangkan
oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang membuat
undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat yang
berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu.
Eugen Ehrlich (1862-1922) dalam karyanya “Fundamental Principles of
the Sociology of Law (1913) yang telah melakukan kritik terhadap peranan ahli
hukum dengan sebutan “Lawyer’s Law”. Sebutan sinis ini telah membuka mata
para ahli para ahli hukum ketika itu atas kekeliruannya dalam memahami konsep
hukum dan penerepanya dalam masyarakat. Bahkan Ehrlich lebih jauh mengkritisi
peranaan para hakim yang hanya menerapkan hukum atas suatu fakta tanpa
mempertimbangkan aspek-aspek sosiologis atas putusannya. Pernyataan Ehrlich
yang sangat terkenal sebagai pelopor aliran ini adalah “pusat gravitasi
perkembangan hukum sepanjang waktu dapat ditemukan, bukan di dalam
perundang-perundangan dan dalam ilmu hukum atau putusan pengadilan
melainkan di dalam masyarakat itu sendiri”. Aliran sangat mempengaruhi para
ahli hukumnya untuk betul-betul menarik perhatiannya kepada problem-problem
kehidupan sosial yang nyata. Kritik yang bisa dilontarkan terhadap pendapat
Ehrlich yang demikia itu adalah, bahwa ilmu hukum yang dilahirkanya menjadi
tanpa bentuk (amorphous), bahkan menjadikan arti penting dari hukum itu
tenggelam dan menuntun kepada kematian ilmu tersebut.

18
F.   Aliran dan Pemikiran Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan salah satu subaliran dari positivisme
hukum yang dipelopori oleh John Chipman, Oliver Wendel Holmes, Karl
Liwellyn, Jerome Frank, William James, dan lain-lain. Roescoe Pound pun dapat
digolongkan dalam aliran ini melalui pendapatnya yang mengungkapkan bahwa
hukum itu merupakan a tool of social engineering.
Gerakan realisme mulai melihat apa sebenarnya yang dikehendaki
hukum dengan menghubungkan kedua sisinya, seperti fakta-fakta dalam
kehidupan sosial. Realisme yang berkembang di Amerika Serikat menjelaskan
bagaimana pengadilan membuat putusan. Penemuan mereka mengembangkan
formula dalam memprediksi tingkah laku hakim (peradilan) sebagai suatu fakta
(kenyataan).
Jadi, hal yang pokok dalam ilmu hukum realis adalah “gerakan dalam
pemikiran dan kerja tentang hukum”. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn
menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya:
1.    Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja
tentang hukum.
2.    Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk tujuan-
tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme
mengandung konsepsi tentang masyarakat yang berubah lebih cepat daripada
hukum.
3.    Realisme menganggap adanya pemisahan sementara antara hukum yang ada
dan yang seharusnya ada untuk tujuan-tujuan studi. Pendapat-pendapat
tentang nilai harus selalu diminta agar tiap penyelidikan ada sasarannya,
tetapi selama penyelidikan, gambaran harus tetap sebersih mungkin, karena
keinginan-keinginan pengamatan atau tujuan-tuan etis.
4.    Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-konsepsi
hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan apa yang
sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orang. Realisme

19
menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-ramalan umum tentang apa
yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5.    Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan
mengingat akibatnya.
Llewellyn sebagai salah satu tokoh pragmatic legal realism, menganalisa
perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-
pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat. Hukum
merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup kebiasaan, sikap-
sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu generasi tertentu ke
generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum merupakan bagian kebudayaan
yang telah melembaga. Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis
dalam Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar
ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada
kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum ketika
menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam beberapa hal
tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-Undang atau aturan
lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat menentukan kualitas
hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu. Dengan demikian, tidak ada
alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak dapat diadili karena belum ada
hukum tertulis yang mengaturnya. 
Holmes dikenal sebagai “the founder of the realist shoud”. Holmes,
selama 30 tahun menjabat jabatan Hakim Agung Amerika Serikat. Kata-katanya
yang paling terkenal adalah: The life of the law has been, not logic, but
experience. Aspek-aspek empiris dan pragmatis dari hukum merupakan hal yang
penting. Bagi Holmes, yang disebutnya sebagai hukum adalah apa yang
diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan: Buku Holmes
yang terkenal terbit pada tahun 1920 berjudul: The Path of Law.
            Jadi bagi Holmes, hukum adalah kelakuan aktual para hakim ( Patterns of
behaviors) dimana patterns of behavior hakim itu ditentukan oleh tiga faktor,
masing-masing:

20
1.    Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakim dengan metode
interpretasi dan konstruksi.
2.    Moral hidup pribadi hakim.
3.    Kepentingan sosial.

BAB III
KESIMPULAN

Keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum adalah sebuah doktrin


hukum yang telah berkembang pada zaman keemasan  masing-masing dari ketiga
hal tersebut. Pada hakekatnya, timbulnya setiap aliran-aliran dalam filsafat hukum
yang membawakan doktrin-doktrin yang merupakan buah pemikiran di tiap-tiap
periode adalah wujud ketidakpuasan atas apa yang mereka dapatkan dalam realita
konteks bermasyarakat yang selalu menginginkan ketiga doktrin tersebut berjalan
searah dan sepadan. Akhirnya mereka para filosuf mulai berkontemplasi untuk
menghasilkan suatu ajaran hukum yang tertuang berdasarkan ide-ide
imajinatif (law in abstracto) dan pengalaman yang secara langsung mereka
rasakan (law in concreto).
Perkembangan hukum indonesia yang bisa dikatakatan masih dalam
pasang surut, tidak berpendirian tetap pada satu doktrin dan lebih cenderung
menerima adalah salah satu contoh negara yang terpengaruhi dengan ajaran-ajaran
hukum era klasik maupun modern. Setelah kita  terlepas dari jeratan kolonialisme,
indonesia menerima begitu saja doktrin hukum belanda yang terpengaruhi oleh
doktrin hukum perancis dalam suatu peralihan yang akhirnya terkodifikasi
menjadi suatu tatanan hukum nasional. Menurut penulis, terlihat jelas dalam
praktik penegakan hukum diawal kemerdekaan Indonesia bagaiamana para
penegak hukum sangat terpengaruhi dengan apa yang diajarkan oleh aliran
legisme-positivisme dengan doktrin kepastian hukum. Dimana setiap para
penegak hukum, dan hakim khususnya dituntut untuk mengadili setiap perkara
sesuai dengan apa yang tertera dalam kitab undang-undang demi terjaminnya
kepastian hukum tanpa memasukkan sumber-sumber nilai normatif lainnya.

21
Maka kembali lagi kepada ketidakpuasan para sarjana hukum yang melihat
lemahnya doktrin legisme-positvisme  tersebut, timbul adanya kebutuhan untuk
mengadopsi dan membangun sebuah paradigma baru untuk menggantikan posisi
doktrin yang sudah tak relavan termakan usia tersebut. Maka ketika itu, ada
beberapa aliran dalam filsafat hukum yang ditawarkan untuk melengkapi
kesenjangan hukum di negeri ini, seperti  pernah diutarakan untuk
mempertimbangkan doktrin utilitarianisme tentang kemanfaatan hukum untuk
menyelesaikan (bukan sekedar memutusi) perkara. Bukan logika hukum para
yuris elit yang beroptik formalisme untuk mendahulukan berlakunya hukum
perundang-undangan saja yang terutama harus berbicara di sini, akan tetapi
terutama juga kearifan para pembuat hukum, baik yang duduk di badan-badan
legislatif (sebagai pembuat undang-undang alias hukum in abstracto) maupun
yang duduk di kursi-kursi sidang pengadilan (sebagai hakim, pembuat
hukum in concreto.
Bukan positivisme dan legisme yang diperlukan di sini, melainkan temuan
paradigma baru, khususnya untuk kinerja kehakiman, seperti misalnya apa yang di
Amerika, dirintis oleh Roscoe Pound, disebut sociological jurisprudence yang
menuntut para hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Juga tidak bisa terbantahkan dengan apa yang telah ditawarkan aliran sejarah yang
telah membuka mata para legislator untuk menjadikan hukum adat sebagai salah
satu  sumber hukum yang tidak bisa ditinggalkan. Maka apabila kita melihat
perkembangan hukum di Indonesia beserta relavansi aliran-aliran hukum dalam
filsafat yang berpengaruh dan berkembang didalamnya. Terlihat jelas terhadap
maju pesatnya perkembangan teori hukum yang terilhami dari beberapa aliran-
aliran yang tertera diatas, seperti dua teori yang telah menjadi tolak ukur
pembalajaran dan rujukan ilmiah para sarjana hukum di Indonesia yaitu teori
hukum pembangunan dan teori hukum progresif.
Akan tetapi apabila kita telaah lebih mendalam mengenai apa yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan hukum yang begitu kritis di Indonesia,
dengan tetap tidak menyampingkan sistem hukum yang begitu lemah. Adalah
sebuah integritas para penegak hukum, dimana mereka yang katanya ahli hukum

22
dengan sendirinya mengikis nilai integritas hanya demi memenuhi kepentingan
beberapa pihak tak bertanggungjawab. Maka di sini bukan
kehadiran good law yang sebenarnya pertama-tama diharapkan, melainkan
kehadiran good man (tentu  saja  juga good woman), khususnya di badan-badan
pengadilan. Inilah manusia arif dan bijaksana yang tahu bagaimana mendayakan
hukum guna merespons kebutuhan masyarakat warga, khususnya mereka yang
masih terpuruk di dalam derita kesenjangan yang sungguh diskriminatif. Di
tangan dan ditangani good (wo)man — baik yang duduk di kursi-kursi badan
legislatif maupun di kursi-kursi badan pengadilan — itu maka hukum
itu, in abstracto maupun in concreto, akan nyata terbilang ke dalam bilangan
‘hukum yang responsif’ dengan fungsinya sebagai pelindung kebebasan dan hak-
hak asasi manusia warganegara, yang tak cuma hendak berkutat pada tafsir formal
melainkan juga mengajuk ke kebenaran yang lebih bersifat materiil, ialah justice
for all.

23

Anda mungkin juga menyukai