DOSEN PENGAMPU:
UPITA ANGGUNSURI S.H., M.H
OLEH KELOMPOK 5
ANGGOTA:
1. DESELAS TIRAMADHANI (1710112064)
2. ANDIKA WIRAPRATAMA (1710112057)
3. RACHMEDI WIRA SAPUTRA (1710112086)
4. RUZO RAMADHANA (1710112106)
5. SILVIA OCTAVIANI (1710112111)
6. VANIA AMANDA (1710113085)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
2018
DAFTAR ISI
i
BAB I
PENDAHULUAN
mulai dari kepentingan pribadi hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu
hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perikatan yang terdapat dalam buku III
Dalam kegiatan ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba.
Namun perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum yang dapat
dinilai dari harta kekayaan harus berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat
dalam undang-undang yang berlaku maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya
hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan subjek hukum dengan objek
ii
1.2 Rumusan Masalah
iii
BAB II
PEMBAHASAN
pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW baru).1
Pasal 1320 ini, merupakan pasal yang sangat populer karena menerangkan
tentang syarat yang harus dipenuhi untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut
baik mengenai pihak yang membuat perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif
maupun syarat mengenai perjanjian itu sendiri atau yang biasa disebut syarat
obyektif.2
Mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
empat syarat yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal”.
Syarat pertama dan kedua yang disebutkan di atas dinamakan syarat subyektif,
ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, karena menyangkut obyek dari peristiwa
1
Muhwan, Maman, 2011, Hukum Perikatan Dilengkapi Hukum Perikatan Dalam Islam, Bandung:
Pustaka Setia.
2
Miru, Ahmad, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
1
2.2 Syarat Sahnya Perjanjian
1) Adanya kesepakatan / izin (toesteming) kedua belah pihak. Kesepakatan antara para
pihak, yaitu persesuaian pernyataan kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada
2) Kedua belah pihak harus cakap bertindak. Cakap bertindak adalah kecakapan atau
golongan orang yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti : orang
adanya sebab yang halal, artinya ada sebab-sebab hukum yang menjadi dasar
perjanjian yang tidak dilarang oleh peraturan, keamanan dan ketertiban umum dan
sebagainya.
2
2.2.1 Kesepakatan
pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dalam
mewujudkan kehendaknya .
kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
Mengenai pernyataan ini dapat dilakukan secara tegas dan secara diam-diam. Secara
dia-diam umumnya terjadi dalam kehidupan kita sehari- hari, misalnya kalau
seseorang naik Kereta Api, maka secara diam-diam telah terjadi suatu perjanjian yang
meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak, yaitu pihak penumpang membayar
harga karcis sesuai dengan tarif, dan kondektur mengangkut penumpang dengan
kehendak yang disetujui oleh keduabelah pihak. Pihak yang menawarkan dinamakan
(Acceptatie).
KUHPerd menyebutkan ada 3 sebab tidak diberikan secara sukarela yaitu karena
adanya paksaan, kekhilafan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Hal ini di atur dalam
3
Pasal 1321 yang menyebutkan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan
Kekhilafan (dwaling), menyangkut hal- hal yang pokok dari yang dijanjikan
itu. Dalam hal ini meliputi mengenai obyeknya, misalnya, mau membeli lukisan asli
tersohor Inul Daratista, ternyata yang datang penyanyi lain hanya mirip denga n Inul
Paksaan dalam hal ini haruslah berupa paksaan rohani (bukan fisik). Misalnya
akan diancam atau ditakut-takuti akan dibuka rahasianya. Akan tetapi bila akan
walaupun hal itu tergolong rohani (phisikis), sebab pengadilan merupakan tempat
(rumah) mencari keadilan, tidak layak ditakuti. Mengenai paksaan haruslah mengenai
paksaan yang bukan absolut. Sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama
sekali tidak terjadi, misalnya kalau seseorang yang lebih kuat memegang tangan
seorang yang lemah dan membuat ia mencantumkan tanda tangan di bawah sebuah
perjanjian.
alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh
salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang
4
lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
2.2.2 Kecakapan
menurut hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329 KUHPerd “ setiap orang
dinyatakan tak cakap”. Undang-undang yang dimaksud menyatakan tidak cakap itu
perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya
persetujuan tertentu”.
330 KUHperd yaitu “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun dan sebelumnya belum kawin”. Bila perkawinan mereka
putus (cerai) sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak
Mengingat belum dewasa tidak tegas di atur dalam Hukum Adat, maka
berdasarkan Ordonansi 31 Januari 1931 L.N. 1921 – 54, maka kriteria yang
3
Setiawan, I Ketut Oka, 2014, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Jakarta: FH-Utama.
5
disebutkan dalam Pasal 330 KUHPerd dapat juga diberlakukan untuk golongan
bumiputra
Perkawinan, maka di Indonesia menjadi jelas ukuran seorang dewasa seperti yang
disebutkan dalam Pasal 50 ayat (1) undang- undang itu yaitu “anak yang belum
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah
kekuasaan wali”. Pernyataan dari pasal tersebut dapat disimpulkan bawah anak yang
belum dewasa itu adalah anak yang berusia belum mencapai 18 tahun atau belum
menyatakan bahwa “ setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan
dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia
menurut hukum haruslah diwakili oleh orang tua atau walinya. Untuk mereka yang
6
disebutkan dalam Pasal 433 KUHPerd, maka yang mewakili adalah pengampunya
atau kuratornya. Status mereka tidak cakap, maka haruslah dimintakan kepada
Pengadilan atau dengan perkataan lain, tidaklah dengan sendirinya keadaan yang
Dalam hal ditetapkan oleh undang- undang tidak cakap untuk membuat
perjanjian, dapat dijumpai dalam Pasal 105, 108 dan 110 KUHPerd yang antara lain
menyebutkan bahwa isteri tanpa bantuan suami tidak dapat melakukan perbuatan
hukum (termasuk membuat perjanjian), dengan kata lain, ketentuan pasal tersebut
Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 3 Tahun 1963. Ketentuan
ini disikapi negatif oleh Ketua Pengadilan Tinggi (PT) dan Ikatan Notaris (INI) Jawa
menyatakan bahwa SEMA RI No. 3 Tahun 1963 itu tidaklah bermaksud meniadakan
dan Pengadilan Tinggi dalam rangka melakukan pembinaan terhadap hakim- hakim
bawahannya, agar tidak merujuk lagi kepada ketentuan Pasal 105, 106 dan 110
KUHPerd, karena bunyi pasal tersebut diskriminatif atau bertentangan dengan bunyi
7
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala warga negara
Polemik itu hingga kini belum berakhir, dan bila sekarang dipersoalkan, tentu
harus diuji ke Mahkamah Agung karena bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat
(1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 31 ayat
(1) “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”,
perbuatan hukum”.
membuat perjanjian tertentu, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1467 KUHPerd,
yang menyebutkan larangan jual beli dengan suami isteri, Pasal 1601 i KUHPerd
menetapkan larangan membuat perjanjian perburuhan antara sua mi isteri, Pasal 1678
orang yang sama sekali tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum yang sah.
8
Ketidak berwenangan untuk bertindak (Handeling onbevoeghein), yaitu orang
yang tidak dapat membuat suatu perbuatan hukum tertentu dengan sah. Orang-orang
ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1467, 1601, 1678 KUHPerdata.
Mengenai perjanjian yang memuat hal- hal yang ringan dan dapat digolongkan
ke dalam pengertian keperluan rumah tangga, dianggap si isteri itu telah dikuasakan
oleh suaminya. Dengan begitu si isteri dimasukkan ke dalam golongan yang cakap
dalam hal itu, selain hal itu harus dibantu oleh suaminya.
Bedanya ketidakcakapan isteri dengan anak yang belum dewasa ialah bagi
yang disebutkan belakangan itu haruslah diwakili oleh orang tua atau walinya,
sedangkan isteri harus dibantu oleh seorang suami. Kecuali itu, bila seorang membuat
suatu perjanjian yang diwakili oleh orang lain (orang tua/wali), maka sebenarnya ia
tidak membuat perjanjian itu sendiri, melainkan wakilnya yang bertindak, lain halnya
kalau ia (isteri) dibantu oleh orang lain (si suami), ini berarti ia bertindak sendiri,
hanya saja ia didampingi oleh orang lain (suami) yang membantunya dan bantuan
Perlu diingatkan dalam hal ini ketentuan Pasal 113 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “seorang isteri yang mana dengan izin yang tegas, atau izin
secara diam-diam dari suaminya atas usaha sendiri melakukan sesuatu mata
9
Ketentuan ini merupakan pengecualian terhadap ketidakcakapan perempuan
yang bersuami dan hanya terhadap dalam hal ia mengikatkan diri atas usaha sendiri
dalam melakukan mata pencaharian. Pengecualian lain dapat dijumpai lagi dalam
Pasal 118 KUHPerdata “ setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin
suaminya”.
bersuami di negeri Belanda telah dicabut karena telah dianggap tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman. Di Indonesia hal itu disikapi oleh SEMA RI No. 3
Tahun 1963 dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seperti telah diuraikan di
muka.4
Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal tertentu”, yang
Obyek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333 KUHPerd menyatakan “ suatu
persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja
4
Ibid
10
Dalam hal yang disebutkan belakangan itu, maksud nya tidakla h barang itu
harus sudah ada, atau sudah ada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu
dibuat. Begitu juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat
dihitung atau ditetapkan, misalnya perjanjian membeli hasil panen kopi dari suatu
ladang dalam tahun yang akan datang, adalah sah karena telah memenuhi syarat hal
tertentu (Pasal 1333 KUHPerd), tetapi sebaliknya membeli mobil tanpa keterangan
Obyek tertentu itu dapat berupa benda, yang sekarang ada da n nanti akan ada,
kecuali warisan. Hal ini diterangkan oleh Pasal 1334 KUHPerd yang antara lain
warisan yang belum terbuka, ataupun untuk minta diperjanjikan sesuatu hal
mengenai warisan. itu sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan
“Causa”, merupakan syarat keempat dari suatu perjanjian yang disebutkan dalam
Menurut Badrulzaman, causa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab akibat,
sehingga pengertian causa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan
ajaran causaliteit, bukan juga merupakan sebab yang mendorong para pihak untuk
11
mengadakan perjanjian. Karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk
jangan turun, hal ini tidak menjadi perhatian hukum. Perhatian hukum adalah
membeli rumah tersebut, si pembeli ingin memiliki rumah itu dan si penjual ingin
memperoleh uang dari penjualan tersebut. Jadi, sesuatu yang menyebabkan seseorang
membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian tidak
berada dalam gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang, yang
masyarakat.
Hakim dapat menguji, apakah tujuan perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi
Adakalanya suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena sesuatu sebab yang
palsu atau terlarang. Sebab terlarang di sini maksudnya adalah sebab yang dilarang oleh
undang- undang, kesusilaan baik atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata).
5
Ibid
12
Misalnya bila seseorang membeli pisau untuk membunuh seseorang, hal ini
memenuhi causa yang halal, Tidak memenuhi causa yang halal, bila soal membunuh
menjual pisaunya, jika si pembeli mau memakai membunuh orang. Dalam hal ini isi
6
Ibid
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
pasal 1320 KUHPerdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru Belanda).
untuk lahirnya suatu perjanjian. Syarat tersebut baik mengenai pihak yang membuat
perjanjian atau biasa disebut syarat subjektif maupun syarat mengenai perjanjian itu
2. Syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yakni sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu
belah pihak dan kedua belah pihak harus cakap bertindak, sedangkan syarat obyektif
diantaraya ialah adanya obyek perjanjian (onderwerp der overeenskomst) dan adanya
14
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Miru, Ahmad. 2008. Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456
Setiawan, I Ketut Oka, 2014, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Jakarta: FH-Utama.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
15