Anda di halaman 1dari 5

Tugas Mata Kuliah “ETIKA BISNIS”

Tentang Etika Dalam Bisnis Internasional

Dosen Pengampuh : Dr. Nur Ida Iriani, Dr.,MM

Di Susun Oleh:

Ferri kurniadi Musriono

Dayang Wulan Diniasih

Fransisco

UNIVERSITAS TRIBHUWANA TUNGGADEWI

MALANG 2017/2018
Bab 11

Etika Dalam Bisnis Internasional

Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi:
kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam
“pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar
ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak
globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa
dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak,
gejala yang sama bisa berakhir dalam suasan konfrontasi dan permusuhan, kerna
mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan
raksasa yang di pertaruhkan di situ.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis
yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diber perhatian khusus
kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibaha beberapa
masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.

Norma-Norma Moral yang Umum Pada Taraf Internasional?


Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di
bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita
anut, yaitu:

1. Menyesuaikan diri
Seperti peribahasa Indonesia: “Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung”. Maksudnya
adalah kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri
dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini
mengandung relativisme ekstrem.

2. Rigorisme moral
Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang sama
seperti di negeri sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya
boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh
menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat
ditemukan dalam pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam
perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat
tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.

3. Imoralisme naif
Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-
norma etika. Memang kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita
tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia
berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
 Masalah “Dumping” Dalam Bisnis Internasional
Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas
besar di suatu negara lain dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di
bawah biaya produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya
para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping
dilakukan. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu
motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan
untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha
untuk merebut monopoli dengan membanting harga.

Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Sebagaimana
doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap kurang etis karena merusak kompetisi
yang fair, demikian juga praktek seperti dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang
bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut
monopoli, dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen. Jika negara lain
bisa memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien
atau karena bisa menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara lain.
Misalnya jika negara berkembang sanggup memproduksi pakain jadi dengan lebih murah
karena biaya produksinya kurang dikarenakan upah karyawan yang relatif kecil, hal itu tidak
boleh dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping semata-mata menjadi kedok
untuk menyingkirkan saingan dari pasar. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk
membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya.

 Aspek-Aspek Etis Dari Korporasi Multinasional


Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai
investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan
dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional
(KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General
Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di
seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang.

Di sini kita membatasi diri pada masalah-masalah yang berkaitan dengan negara-negara
berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah mengambil berbagi tindakan
untuk melindungi diri. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan dua
aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau
instalasi nuklir. Sembilan aturan itu adalah:

1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung.


2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian
bagi negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada
pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua
karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi
Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya,
bukan menentangnya.
6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”.
7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat.

8. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
9. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi
Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga
dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.

 Masalah Korupsi Pada Taraf Internasional


Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun
perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama
diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral
besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak
mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat empat alasan
mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral.

 Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika
pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi
pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan
mainnya. Karena itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku
kurang fair terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah
pasar yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti
semestinya.
 Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga.
Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan.
 Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan dalam
keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit
mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap. Pembagian barang
langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh
orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak menjadi
tidak kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan.
Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak
etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi
yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap itu seperti mestinya
DAFTAR PUSTAKA :
Buku K. BERTENS, Pengantar Etika Bisnis

Anda mungkin juga menyukai