Anda di halaman 1dari 9

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Masalah Reformasi yang terus berproses, hingga kini telah ditandai oleh sejumlah perubahan kebijakan negara mulai dari tingkat peraturan perundang-undangan (undang-undang) sampai undang-undang dasar (UUD 1945). Perubahan kebijakan negara, selain sudah menjadi tuntutan dan kehendak reformasi, juga bertujuan hendak menata ulang sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang selama ini tidak demokratis. Dimana sebelumnya, sepanjang masa orde baru desain kebijakan negara yang dibuat hanya untuk melegitimasi kepentingan penguasa yang dipakai sebagai sarana merepresi hak-hak rakyat. Sejumlah kebijakan negara yang telah dibuat pemerintah bersama DPR, sejak Pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Oktober 1999) hingga pemerintahan Megawati (2001 sekarang) diantaranya yang terpenting adalah UU dibidang politik, UU tentang Pers, Kekuasaan Kehakiman, HAM dan Pengadilan HAM, Pemberantasan Korupsi/KKN, Otonomi Daerah serta UU tentang Kepolisian (Keamanan). Selain itu, UUD 1945 yang dahulu disakralkan telah diubah oleh MPR dan telah memasuki tahap ke-empat atau fase terakhir dari seluruh perubahan UUD 1945. MPR juga telah menghasilkan beberapa Ketetapan (TAP MPR) yang dalam konteks Indonesia menjadi salah satu sumber rujukan hukum. Secara kuantitatif, perubahan kebijakan itu mengesankan upaya yang sungguh-sungguh dari setiap rezim pemerintahan bersama DPR/MPR memenuhi harapan reformasi. Namun, sampai dimana kemudian perubahan kebijakan itu benar-benar telah sesuai harapan sehingga mampu menjadi sandaran yang kokoh buat demokrasi kedepan, masih perlu ditelaah lebih lanjut. Perubahannya, apakah mempertegas demokrasi yang berpihak pada kepentingan rakyat atau sebaliknya hanya untuk kepentingan elit-elit penguasa yang memberi ruang kembalinya rezim otoriter, atau menampakkan wajah kedua-duanya. Makalah ini mencoba melihat bagaimana peranan dan fungsi DPR dalam era reformasi dalam bidang keamanan. Perkembangan yang terjadi sekarang dirasakan membuat reformasi yang telah berjalan selama 4 tahun ini semakin tidak jelas arahnya. Oleh karena itu, reformasi dalam atomosfir politik yang masih terbuka harus terus menerus dikawal sampai titik perubahan yang diharapkan bersama. Dengan dilatar belakangi semangat itulah, maka makalah ini dibuat. B. Tujuan 1. Mendeskripsikan peranan dan fungsi DPR pada era reformasi bidang keamanan 2. Memperoleh gambaran yang jelas arah dan kecendrungan dari perubahan kebijakan negara.

BAB II PEMBAHASAN A. Peranan dan Fungsi DPR Dalam Era Reformasi Bidang Keamanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen sebagai lembaga yang mewakili suara politik warga negara memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendorong keberhasilan agenda-agenda transisi demokrasi di Indonesia, termasuk agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK). DPR merupakan lembaga yang terdiri dari anggota-anggota/ perwakilan dari partai politik yang dipilih langsung oleh warga negara dalam pemilihan umum yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Karenanya DPR memiliki klaim mewakili suara, kepentingan dan aspirasi warga negara. Secara keseluruhan jumlah anggota DPR 550 anggota/perwakilan. Sebagaimana dinyatakan didalam konstitusi dan diatur dalam Undang-undang (UU) No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis permusyaratan Rakyat (MPR), DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), DPR mempunyai tiga fungsi utama yaitu: fungsi penyusunan Undang-undang( legilastion), fungsi anggaran (budgeting), dan fungsi pengawasan (oversight). Prinsip demokrasi menyatakan bahwa institusi keamanan merupakan barang publik (public goods). Peran DPR, sebagai wakil publik, dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan harus memastikan bahwa institusi keamanan di Indonesia bekerja secara maksimal, prosedural dan akuntabel, sehingga kepentingan publik sebagai pengguna atau penerima manfaat langsung dari jasa keamanan dapat terpenuhi. DPR memiliki dua instrumen untuk menjalankan fungsinya secara efektif dalam sektor pertahanan dan keamanan: Pertama, Komisi I DPR mempunyai tanggungjawab dalam bidang Pertahanan, Luar Negeri, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara (LSN), Lembaga Ketahanan Negara dan Lembaga Informasi Nasional; dan Kedua, Komisi III DPR mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hukum dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Secara teoritik, peran DPR ini merupakan pengejawantahan Supremasi sipil dalam sistem demokrasi, dimana militer berfungsi sebagai alat yang dikendalikan dibawah (subordinate tools)

pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis. Samuel P Huntington menyebut peran ini sebagai kontrol sipil objektif (objective civilian control) yang ditandai dengan: 1). Profesionalisme militer yang tinggi; 2). Subordinasi efektif militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang militer; 3).Pengakuan dan persetujuan pemimpin politik (sipil) atas kewenangan profesional dan otonomi tugas militer; dan 4). Minimalisasi intervensi militer dalam politik maupun intervensi politik dalam militer. Selain itu, politisi sipil juga bisa melakukan kontrol sipil subjektif (subjective civilian control); yaitu, upaya politisi sipil untuk mengendalikan militer dengan cara mempolitisasi mereka agar lebih dekat kepada politisi sipil tersebut yang pro maupun yang anti pemerintah, khususnya yang aktif di parlemen maupun di partai politik (Ikrar Nusa Bakti 2001). Reformasi sektor keamanan juga didefinisikan sebagai pengaturan keamanan dalam sebuah Negara secara efektif dan efisien dalam kerangka pengawasan sipil yang demokratis (Timothy Edmunds, 2003). Sejalan dengan pengertian ini, peran dan fungsi DPR dalam membentuk undang-undang, menetapkan anggaran belanja dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang diharapkan dapat meningkatkan efektifitas kinerja sektor keamanan sebagai manifestasi kontrol sipil terhadap sektor keamanan.

Tugas dan Wewenang DPR sebagaimana ditaur dalam UU No 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPD: 1. Membentuk Undang-undang (UU) yang dibahas bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; 2. Membahas dan memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu); 3. Menerima dan membahas usulan Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan DPD berkaitan dengan bidang tertentu danmengikutsertakannya dalam pembahasan; 4. Memperhatikan pertimbangan DPD atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; 5. Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD; 6. Melaksanakan pengawasan pelaksanaan UU, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta kebijakan pemerintah;

7. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan UU mengenai Otonomi Daerah, Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah, hubungan Pusat dan Daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama; 8. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; 9. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; 10. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial; 11. Memberikan persetujuan calon Hakim Agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden; 12. Memilih tiga orang calon anggota Hakim Konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk ditetapkan; 13. Memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengangkat Duta, menerima penempatan Duta negara lain, dan memberikan pertimbangan dalam pemberian amnesti dan abolisi;
14. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat

perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau pembentukan UU;
15. Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan

Melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang ditentukan dalam UU.

Fungsi Legislasi DPR Bidang Pertahanan dan Keamanan Sejak gerakan reformasi bergulir pada 1998, DPR bersama lembaga tertinggi dan tinggi

Negara lainnya serta pemerintah telah melaksanakan fungsinya di bidang legislasi dengan membuat rancangan sejumlah UU dan kebijakan lainnya dalam usaha menata institusi-institusi keamanan seperti TNI, Polri dan BIN. Sejumlah undang-undang yang dihasilkan antara lain Ketetapan (TAP) MPR No VI tentang Pemisahan TNI-Polri, TAP MPR No VII tentang Peran TNI-Polri, UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Untuk menghentikan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan aktor keamanan, DPR juga merancang UU di bidang penegakan hukum, hak asasi manusia, pengadilan pelanggaran hak asasi manusia dan komisi-komisi yang secara langsung melakukan pengawasan terhadap institusi keamanan. Sejumlah Legislasi Sektor Keamanan yang masih dibahas dan belum disahkan oleh DPR No 1 2 3 4 5 6 7 8 Nama Rancangan Undang-Undang RUU Peradilan Militer RUU Intelijen RUU Rahasia Negara RUU Keamanan Nasional RUU Komponen Cadangan RUU Komponen Pendukung RUU Wajib Militer RUU Keadaan Bahaya Upaya DPR menjalankan fungsinya di bidang legislasi memang belum maksimal. Salah satu buktinya adalah mandegnya proses penyelesaian sejumlah legislasi di DPR sampai dengan saat ini. Tidak dipungkiri bahwa DPR menghadapi resistensi, baik dari internal anggota DPR maupun dari pemerintah dan aktor keamanan. Sebagai contoh adalah pembahasan RUU Peradilan Militer yang telah menghabiskan waktu 5 tahun, namun sampai saat ini belum rampung atau masih berupa rancangan. Contoh lain adalah pembahasan RUU Intelijen yang juga mandeg. Meskipun DPR memonitor dan mengontrol BIN, lembaga ini belum dapat mengeluarkan payung hukum setingkat UU. Masalah penting lainnya berkaitan dengan substansi legislasi yang dirasakan belum memenuhi aspirasi masyarakat. Sebagai contoh adalah substansi UU No 2 tahun 2002 tentang Polri dan Undang-undang No 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mendapat kritik tajam dari kalangan organisasi masyarakat sipil. Substasi kedua undang-undang ini dianggap belum cukup mendorong, memastikan dan menjamin bahwa Polri dan TNI akan bekerja secara bertanggungjawab dan profesional. Meskipun juga diakui bahwa Kedua UU tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan UU sebelumnya.

Dijalankannya Fungsi Anggaran dan Fungsi Pengawasan DPR Sejak masa reformasi prosentase anggaran untuk sektor keamanan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Anggaran Polri naik rata-rata 4 10 % per tahun. Untuk 2008, anggaran Polri

berjumlah 23 Trilyun, naik dari 18 Trilyun pada tahun 2007. Sementara alokasi anggaran pertahanan naik dari 29,5 Trilyun pada 2007 menjadi 33,7 Trilyun pada 2008. Kenaikan anggaran ini juga merupakan hasil kerja DPR, walaupun kenaikan ini dikeluhkan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan TNI dan Polri, misalnya untuk mengganti peralatan TNI yang sudah tua atau memenuhi biaya operasi Polri. Langkah lain yang diambil DPR adalah melakukan monitoring, pendampingan dan advokasi terhadap isu dan peristiwa yang terkait dengan sector keamanan. Dalam kasus penembakan oleh Marinir TNI Angkatan Laut yang menewaskan 4 warga sipil Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur misalnya, DPR menuntut proses peradilan yang terbuka. DPR juga melakukan tekanan dalam penghapusan bisnis militer dengan meminta Menteri Pertahanan untuk menertibkan bisnis TNI dan mengingatkan Panglima TNI untuk menghentikan kontrak kerjasama Angkatan Laut dengan PT. Rajawali Nusantara Indonesia dan PT. KGA di Pusat Latihan Tempur Pasuruan. Semua upaya ini sebagai bentuk dari fungsi pengawasan pelaksanaan UU. Kontrol dan Monitoring DPR juga dilakukan terhadap kinerja kepolisian melalui rapat kerja DPR-Polri. Sebagai contoh adalah kecaman DPR dalam kasus penyerangan yang dilakukan secara oleh aparat kepolisian secra membabi buta kampus Universitas Muslim Makasar pada tahun 2004. Selain kecaman yang dilakukan, DPR juga mengancam untuk melakukan pemotongan anggaran Polri. Sayangnya, respon semacam ini belum muncul secara konsisten dalam kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang sampai saat ini belum mendapatkan proses hukum yang adil dan akuntabel. Sejauh ini fungsi pengawasan belum berjalan efektif. Akibatnya potensi munculnya penyelewengan terutama dalam hal anggaran dapat terjadi karena tidak berjalannya mekanisme kontrol anggaran yang baik, misalnya adanya pendapatan institusi keamanan yang berasal dari luar APBN, dan belum adanya proses hukum yang memadai untuk pelanggaran semacam ini. Karenanya untuk lebih mengefektifkan peran dan fungsinya, DPR perlu segera membenahi mekanisme pengawasan.

Tantangan yang dihadapi oleh DPR dalam Mendorong Reformasi Sektor Keamanan a. Penggunaan Kewenangan;

Penggunaan kewenangan oleh DPR dengan sungguh-sungguh dapat memberi energy Besar bagi keberhasilan RSK di Indonesia. Untuk memastikan bahwa DPR menggunakan kewenangannya secara maksimal, perlu juga dikembangkan mekanisme pengawasan efektif terhadap anggota-anggotanya.
b.

Sikap Terbuka dan Tegas; Anggota DPR harus bersikap terbuka dan bertindak tegas terhadap pemerintah dan aktor keamanan dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, termasuk terhadap ketidakberesan-ketidakberesanyang membawa konsekuensi hukum terhadap aktoraktor di pemerintahan dan institusi keamanan.
c. Peningkatan Kemampuan;

Kewenangan yang luas dan tugas yang berat tanpa dibarengi kemampuan yang baik akan memandulkan DPR dalam menjalankan peran dan fungsinya. Karenanya DPR seyogyanya melibatkan kalangan masyarakat sipil yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam mendukung, dan memberikan input yang nantinya akan memperkuat kerja-kerja mereka.
d. Melawan Resistensi;

Terutama resistensi yang berasal dari institusi keamanan. Sebagai representasi suara, kepentingan dan aspirasi masyarakat, DPR harus mampu mengatasi resistensi yang dihadapi.

BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Parlemen sebagai lembaga yang mewakili suara politik warga negara memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendorong keberhasilan agenda-agenda transisi demokrasi di Indonesia, termasuk agenda Reformasi Sektor Keamanan (RSK).
2. Secara teoritik, peran DPR merupakan pengejawantahan Supremasi sipil dalam sistem

demokrasi.
3. Salah satu peranan DPR yang paling penting adalah membentuk Undang-undang (UU)

yang dibahas bersama Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.


4. Salah satu fungsi DPR yang paling penting adalah membuat rancangan sejumlah UU dan

kebijakan lainnya dalam usaha menata institusi-institusi keamanan seperti TNI, Polri dan BIN.

DAFTAR PUSTAKA Dr Marie Vlachova, Democratic Control of Armed forces in Czech Republic: Transformation The Way Out of Isolation, Ministry of Defence, The Czech Experience, 2006 Timothy Edmund, Democratic and Civilian Control of Armed Forces, The Adelphi Papers, 2003 http://www.voanews.com/indonesian/archive/200107/a-2001-07-11-1-1.cfm Mufti Makaarim A dan S. Yunanto (Ed), Efektifitas Strategi Organisasi Masyarakat Sipil Dalam Reformasi Sektor Keamanan di Indonesia, IDSPS, 2008 Panduan Parlemen Indonesia, API, 2001 Pengawasan Badan Intelijen Oleh Parlemen, DCAF, 2006 Reformasi Sektor Keamanan Indonesia, Propatria, 2004

Anda mungkin juga menyukai