DOSEN:
DISUSUN OLEH:
2210117890
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2023
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Pembahasan
2.1.1 Penerapan Asas Desentralisasi Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, telah menetapkan beberapa asas
penyelenggaraan Negara yang bersih tersebut. Asas umum penyelenggaraan
Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 meliputi:
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan.
2. Asas tertib penyelenggaraan Negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
Negara.
3. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
4. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara Negara.
5. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat.
Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 selain menerapkan asas-
asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu kepentingan umum, asas efektif,
dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
· Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga menjadi urusan rumah tangga
daerah itu.
· Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
· Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas yang menyatakan turut serta
dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang member tugas.
Asas desentralisasi yang telah diterapkan kepada pemerintahan daerah
seharusnya memberikan dampak positif dengan tujuan untuk membentuk suatu
pemerintahan yang baik (good governance). Namun, dalam implementasinya asas
desentralisasi ini masih banyak mengalami penyimpangan. Dimensi tersebut
sekaligus menunjukkan konsepsi dan arah kebijakan desentralisasi yang diinginkan
policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam UU No 32/2004
menitik-beratkan pada apa yang sering disebut sebagai desentralisasi administratif
(administrative decentralization).
Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya
menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi
tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan
berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada
berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah argumentasi
bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika
diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya,
semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin
bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain,
desentralisasi administratif dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan
efektifitas pelayanan umum.
Dimensi desentralisasi administratif sebagaimana telah disebutkan diatas
dalam konsep desentralisasi di Indonesia sangat menekankan pada kewenangan
pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara otonom
untuk memenuhi permintaan layanan (services demand) dari masyarakat. Pendek
kata, pusat atau lokus dari desentralisasi administratif dan keuangan adalah pada
pemberian otoritas kepada Pemerintah Daerah.
Partisipasi perlu dilihat sebagai meningkatnya peran masyarakat dalam memilih
pemimpin mereka (proses politik lokal) dan meminta mereka melaksanakan apa
yang diinginkan oleh masyarakat. Sementara accountability dapat diterjemahkan
sebagai penjelasan atas keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan
pemerintahan lokal kepada masyarakat.
Robert Klitgaard, seorang pakar di bidang kajian korupsi memberikan
rumus sederhana untuk mendefinisikan korupsi. Menurutnya korupsi terjadi karena
adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai
kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban. Dengan kata
lain, unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi
atau peluang besar untuk terjadinya korupsi. Konsepsi desentralisasi yang berhenti
hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun
kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi
kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan
mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada
elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan
wewenang.
Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab
terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program
otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan
kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa
disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program
otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka
peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya,
program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk
mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap
korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif
penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong
struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat
ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan
kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik
gubernur, bupati maupun walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat,
melainkan oleh mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD dan
bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya
fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada
pemerintah daerah.
Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol.
Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD
sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi,
sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu
digarisbawahi bahwa adanya lembaga control seperti DPRD yang secara konstitusi
harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti
kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang. Justru
ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi
masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena
otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Menurut data ICW (Indonesian Cooruption Watch) bahwa terdapat
beberapa kasus korupsi yang terjadi di berbagai belahan daerah Indonesia.
Contohnya adalah adanya dugaan korupsi di daerah Sumatera Selatan oleh Syahrial
Oesman tentang kasus korupsi pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air telang,
Sumatera Selatan.
3.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis penulis di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Asas-asas dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 selain menerapkan asas-
asas diatas juga menambahkan tiga asas lagi yaitu kepentingan umum, asas efektif,
dan asas efisien. Selain itu juga terdapat asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
medebewind atau tugas pembantuan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah terdapat asas-asas yang
digunakan untuk menjalankan pemerintahan tersebut antara lain:
1. Asas desentralisasi yaitu penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga menjadi urusan rumah tangga
daerah itu.
2. Asas dekonsentrasi yaitu asas yang menyatakan pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah.
3. Asas medebewind atau tugas pembantuan yaitu asas yang menyatakan turut serta
dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah
dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang member tugas.
2. Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya
menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah. Delegasi
tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan
berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada
berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).
3. Menurut TA. Legowo (2001) terdapat tiga hal yang menjadi penyebab
terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program
otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan
kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa
disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara
yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah.
Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga
tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan
struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat. Ketiga, legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai
lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah
daerah dan DPRD sehingga control terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah
tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.
4. solusi yang nantinya dapat digunakan untuk menghindari adanya
penyimpangan-penyimpangan yang terorganisir. Cara-cara tersebut antara lain :
~Adanya transparansi system pengawasan penyelenggaraan daerah. System ini
dititikberatkan pada pengawasan keuangan yang terjadi di pemerintahan daerah.
Dan lebih memperkuat hubungan antara pemerintaha dengan pemerintah daerah
khususnya dalam hal keuangan seperti pemberian sumber-sumber keuangan,
pengalokasian dana perimbangan, dan pemberian pinjaman dan/atau hibah. Dengan
adanya keseimbangan di dalam sector tersebut maka akan terwujud suatu good
governance.
~Adanya birokrasi yang tidak berbelit-belit terkait dengan penyelenggaraan
system pemerintahan daerah. Adanya hubungan antara pemerintah daerah dengan
masyarakat juga sangat diperlukan seperti dalam hal pelayanan umum, pelestarian,
serta pemanfaatan sumber daya alam yang ada. Sehingga penyelenggaraan
pelaksanaan pemerintah daerah terwujud dengan baik dan terwujud masyarakat
yang sejahtera.
3.2 Saran
Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan yaitu:
Seyogyanyalah pemerintah khususnya pemerintahan daerah lebih
mengutaman adanaya transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah
sehingga dapat memperkecil kemungkinan adanya tindakan penyalahgunaan
pengawasan.
Bagi masyarakat seyogyanya ikut berpartisipasi akti dalam penyelenggraan
pemerintahan daerah sehingga kasus penyalahgunaan seperti korupsi di daerah
dapat cepat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan
Daerah.
2. Buku
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Pemerintahan Daerah di Indonesia,hukum administrasi daerah Prof C.S.T.
Kansil
Robert Klitgaard, “Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan
Daerah”, Yayasan Obor Indonesia: 2002, hal. 29.
Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sunarso Siswanto, 2008,Sinar Grafika,
Jakarta, hlm.33.
3. Internet
Decentralization Thematic Team, “What is Decentralization?”, World
Bank. Lengkapnya
http://www.ciesin.org/decentralization/English/General/Different_forms.html
http://www1.worldbank.org/publicsector/decentralization/admin.htm#4