Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KORUPSI


ANGGARAN PENDAPATAN BELANJA DAERAH (APBD)

NAMA

1. AKBAR
2. SYAHRIR

PROGRAM STUDI S2 ILMU KEDOKTERAN DASAR


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Semenjak di tetapkannya Undang-Undang Ootonomi daerah semakin
sering kita mendapatkan

dari berbagai media cetak dan elektronik

berita

mengenai kasus korupsi para kepala daerah. Dari 536 kabupaten/ kota yang ada
saat ini, sudah ada 291 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Jika
dilihat proporsinya, lebih dari separuh kepala daerah (54 persen) telah terjerat
kasus korupsi. Jumlah tersebut sangat mungkin masih akan bertambah karena
masih banyak kasus-kasus yang belum ditangani, baik karena hambatan politis
maupun

hambatan-hambatan

nonteknis

lainnya.

Fakta

tersebut

adalah

keprihatinan kita semua. (SUARA MERDEKA Rabu, 03 April 2013).


Berdasarkan catatan Kemdagri, sebanyak 304 kepala daerah tercatat terlibat
dalam kasus korupsi. Angka tersebut melambung cukup signifikan selama
sepekan, termasuk kasus dugaan suap Bupati Gunung Mas Hambit Bintih
terhadap Ketua non-aktif Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar baru-baru ini.
(Republika Online- Sabtu, 08 Oktober 2013). Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi mengatakan semakin banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi.
"Dari data kami ada 330 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, atau sekitar
86,22 persen," kata Gamawan di gedung Kementerian Dalam Negeri, Rabu,
(TEMPO.CO Jakarta, 23 Juli 2014.)

Keuangan daerah yang dikorupsi membuat upaya pembangunan daerah


tidak berjalan dengan semestinya. Dalam jangka pendek korupsi menumpulkan
program-program yang

seharusnya

tepat

guna. Sebutlah,

pembangunan

infrasuktur seperti sarana irigasi dan jalan. Karena dana pengembangan atau
perbaikan jalan dikorupsi maka masyarakat tidak ada akses

untuk

memperdagangkan produk pertanian dan peternakan yang mereka hasilkan,


sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi dan menyengsarakan masyarakat.
Terkait pengembangan sumber daya masyarakat jangka panjang, korupsi
membuat kuantitas dan kualitas sekolah tidak memadai, demikian pula dengan
upaya perbaikan kebutuhan dasar seperti ketersediaan air bersih dan pelayanan
kesehatan masyarakat.
Seiring gelombang otonomi daerah, ada beberapa perubahan dalam
hubungan antara eksekutif dengan legislatif. Pertama, eksekutif bersama dewan
mempunyai otonomi penuh untuk membuat kebijakan-kebijakan lokal; dan kedua,
anggota dewan memiliki otonomi penuh dan mempunyai peluang besar dalam
proses legislasi. Kewenangan dewan dalam membuat kebijakan tidak terbatas hanya
dalam memilih kepala daerah, tetapi juga berwenang membuat undang-undang,
pengawasan, investigasi, dan bersama-sama dengan eksekutif menyusun APBD
yang sebelumnya tidak pernah dilakukan. Implikasi lain dari otonomi daerah adalah
pelimpahan dana ini dibarengi dengan dilaksanakannya reformasi penganggaran
dan reformasi sistem akuntansi keuangan daerah (Halim, 2003). Reformasi
penganggaran yang terjadi adalah munculnya paradigma baru dalam penyusunan
anggaran yang mengedepankan prinsip akuntabilitas publik, partisipasi masyarakat,

dan transparansi anggaran. Disamping itu, anggaran harus dikelola dengan


pendekatan kinerja (performance oriented), prinsip efisien dan efektif (Value For
Money), keadilan dan kesejahteraan dan sesuai dengan disiplin anggaran
(Mardiasmo, 2003).
Namun, euforia otonomi daerah ternyata banyak memunculkan dampak
negatif. Menurut Khudori (2004) salah satu yang menonjol adalah munculnya
"kejahatan institusional". Baik eksekutif maupun legislatif seringkali membuat
peraturan yang tidak sesuai dengan logika kebijakan publik. Jika kejahatan
institusional itu dipraktikkan secara kolektif antara eksekutif dan legislatif.
Legislatif yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif justru ikut bermain dan
melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan cara yang "legal".
"Legal" karena dilegitimasi dengan keputusan.
Fenomena korupsi tersebut diatas menurut Baswir (1996) pada dasarnya
berakar pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial di negeri ini. Dalam birokrasi
ini, dilakukannya korupsi oleh para birokrat memang sulit dihindari. Sebab kendali
politik terhadap kekuasaan dan birokrasi memang sangat terbatas. Penyebab lainnya
karena sangat kuatnya pengaruh integralisme di dalam filsafat kenegaraan bangsa
ini, sehingga cenderung masih mentabukan sikap oposisi. Karakteristik negara kita
yang

merupakan

birokrasi

patrimonial

dan

negara

hegemonik

tersebut

menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi


itu.

Menurut Susanto (2001) korupsi pada level pemerintahan daerah adalah


dari sisi penerimaan, pemerasan uang suap, pemberian perlindungan, pencurian
barang-barang publik untuk kepentingan pribadi. Sementara tipe korupsi menurut
de Asis (2000) adalah korupsi politik, misalnya perilaku curang (politik uang) pada
pemilihan anggota legislatif ataupun pejabat-pejabat eksekutif, dana ilegal untuk
pembiayaan kampanye, penyelesaian konflik parlemen melalui cara-cara ilegal dan
teknik lobi yang menyimpang). Tipe korupsi yang terakhir yaitu clientelism (pola
hubungan langganan).
1.2. Rumusan masalah
Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi banyak kepala daerah terlibat
kasus korupsi?
1.2.1. Tujuan Umum
Menjeleskan banyak kepala daerah terlibat kasus korupsi.
1.2.2. Tujuan Khusus
1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
Dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bukti kongkrit
dalam diskursus korupsi dan upaya strategi pemberantasan korupsi, juga
sebagai bahan untuk mendidik publik untuk mengetahui struktur dan
komponen APBD atau kelompok anggaran yang selama ini di korupsi serta
besarnya ongkos sosial ekonomi yang ditimbulkan dari korupsi APBD.
1.3.2. Manfaat Aplikatif

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. Pengertian Korupsi


Korupsi berasal dari suatu kata dalam bahasa Inggris yaitu corrupt, yang
berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersamasama dan rumpere yang berarti pecah dan jebol. Menurut Bernardi (1994) istilah
korupsi juga dapat diartikan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau
penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Sementara
Hermien H.K. (1994) mendefinisikan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan
hukum. Oleh karena itu, selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai
suatu tujuan selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.
2.2. Pola-Pola Korupsi
Baswir (1993) menjelaskan ada 7 pola korupsi yang sering dilakukan oleh
oknum-oknum pelaku tindak korupsi baik daari kalangan pemerintah maupun
swasta. Ketujuh pola tersebut meliputi : (1) pola konvensional, (2) pola upeti, (2)
pola komisi, (4) pola menjegal order, (5) pola perusahaan rekanan, (6) pola kuitansi
fiktif dan (7) pola penyalahgunaan wewenang. Untuk menanggulangi terjadinya
korupsi yang bermacam-macam jenisnya ini diperlukan strategi khusus dari semua
bidang, meskipun untuk menghilangkan sama sekali praktik korupsi adalah sesuatu
yang mustahil, tertapi setidaknya-tidaknya ada upaya untuk menekan terjadinya
tindak korupsi. Strategi yang dibentuk hendaknya melibatkan seluruh lapisaan
masyarakat dan pejabat struktur pemerintahan.

Sementara menurut Fadjar (2002) pola terjadinya korupsi dapat dibedakan


dalam tiga wilayah besar yaitu ; Pertama, bentuk penyalahgunaan kewenangan
yang berdampak terjadinya korupsi adalah pertama; Mercenery abuse of power,
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang yang mempunyai suatu
kewenangan tertentu yang bekerjasama dengan pihak lain dengan cara sogokmenyogok,

suap,

mengurangi

standar

spesifikasi

atau

volume

dan

penggelembungan dana (mark up). Penyalahgunaan wewenang tipe seperti ini


adalah biasanya non politis dan dilakukan oleh level pejabat yang tidak terlalu
tinggi kedudukannya.
Kedua, Discretinery abuse of power, pada tipe ini penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh pejabat yang mempunyai kewenangan istimewa
dengan mengeluarkan kebijakan tertentu misalnya keputusan Walikota/Bupati atau
berbentuk peraturan daerah/keputusan Walikota/Bupati yang biasanya menjadikan
mereka dapat bekerjasama dengan kawan/kelompok (despotis) maupun dengan
keluarganya (nepotis).
Ketiga, Idiological abuse of power, hal ini dilakukan oleh pejabat untuk
mengejar tujuan dan kepentingan tertentu dari kelompok atau partainya. Bisa juga
terjadi dukungan kelompok pada pihak tertentu untuk menduduki jabatan strategis
di birokrasi/lembaga ekskutif, dimana kelak mereka akan mendapatkan kompensasi
dari tindakannya itu, hal ini yang sering disebut politik balas budi yang licik.
Korupsi jenis inilah yang sangat berbahaya, karena dengan praktek ini semua
elemen yang mendukung telah mendapatkan kompensasi.

2.3. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi


Terjadinya korupsi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) sistem
pemerintahan

dan

birokrasi

yang

memang

kondusif

untuk

melakukan

penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan
belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor
lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan
pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan greget oleh pimpinan
instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa
alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan
penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang
memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat
yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada
atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:
(1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi
(2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif
ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan
empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi APBD di wilayah Malang Raya
yaitu:

a) Aspek Prilaku individu


Apabila dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan
korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan
sebagai keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia
terdorong untuk melakukan korupsi antara lain : (a) sifat tamak manusia, (b)
moral yang kurang kuat menghadapi godaan, (b) penghasilan kurang mencukupi
kebutuhan hidup yang wajar, (d) kebutuhan hiduop yang mendesak, (e) gaya
hidup konsumtif, (f) tidak mau bekerja keras, (g) ajaran-ajaraan agamaa kurang
diterapkan secara benar.
Dalam teori kebutuhan Maslow, demikian dikatakan Sulistyantoro
(2004) korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua
kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh
komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup, namum saat ini
korupsi dilakukan oleh orang kaya, pendidikan tinggi. Selanjutnya, poling yang
dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW) berdasarkan jawaban dari 9273
responden, hasilnya menunjukkan sekitar 30,2% korupsi terjadi karena aspek
individu demi kepentingan pribadinya. Pola-pola penyimpangan yang terjadi
biasanya tidak bekerja pada saat jam kantor (14,2%), pemakaian fasilitas kantor
untuk kepentingan pribadi dan keluarganya (10%), dan (6)% adalah biaya
pengurusan sesuatu yang berkaitan dengan adminstarsi (MCW, 2004).
b) Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk
sistem pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban

korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi
karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal,
2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspekaspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a)
kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang
benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di
kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang
terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak
kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan
birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi.
hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di
pemkot dan DPRD masing-masing sudah berkurang.

c) Aspek Peraturan Perundang-Undangan


Tindakan korupsi mudah timbul karena ada kelemahan di dalam
peraturan perundang-undangan, yang dapat mencakup: (a) adanya peraturan
perundang-undangan yang monolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan
konco-konco presiden, (b) kualitas peraturan perundang-undangan kurang
memadai, (c) peraturan kurang disosialisasikan, (d) sangsi yang terlalu ringan, (e)
penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, (f) lemahnya bidang

evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide strategis untuk


menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah diantaranya dengan
mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan evaluasi atas
efektivitas suatu undang-undang secara terencana sejak undang-undang tersebut
dibuat.
Lembaga-lembaga ekskutif (Bupati/Walikota dan jajarannya) dalam
melakukan praktek korupsinya tidak selalu berdiri sendiri, akan tetapi melalui
suatu kosnpirasi dengan para pengusaha atau dengan kelompok kepentingan
lainnya misalnya, dalam hal penentuan tender pembangunan yang terlebih dahulu
pengusaha menanamkan saham kekuasaannya lewat proses pembiayaan
pengusaha dalam terpilihnya bupati/Walikota tersebut. Kemudian mereka secara
bersama-sama dengan DPRD, Bupati/Walikota membuat kebijakan yang koruptif
yang hanya menguntungkan sebagian kecil masyarakat yaitu para kolega,
keluarga maupun kelompoknya sendiri. Dengan kemampuan lobi kelompok
kepentingan dan pengusaha kepada pejabat publik yang berupa uang sogokan,
hadiah, hibah dan berbagai bentuk pemberian yang mempunyai motif koruptif
telah berhasil membawa pengusaha melancarkan aktifitas usahanya yang
berlawanan dengan kehendak masyarakat, sehingga masyarakat hanya menikmati
sisa-sisa ekonomi kaum borjuasi atau pemodal yang kapitalistik. Dari kasus ini
dapat disimpulkan bahwa terjadinya korupsi APBD sangat mungkin jika aspek
peraturan perundang-undangan sangat lemah atau hanya menguntungkan pihak
tertentu saja. Hal senada juga dikemukakan oleh Basyaib, dkk (2002) yang

menyatakan bahwa lemahnya sistem peraturan perundang-undangan memberikan


peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Hasil pooling yang dilakukan oleh Malang Corruption Watch (MCW)
berdasarkan jawaban dari 9273 responden menunjukan bahwa sekitar 22,2%
korupsi terjadi di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (MCW, 2004). Bentuk
korupsi ini terjadi karena lemahnya peraturan perundang-undangan didaerah.
Aspek Pengawasan
Pengawasan yang dilakukan instansi terkait (BPKP, Itwil, Irjen,
Bawasda) kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya (a) adanya
tumpang

tindih

pengawasan

pada

berbagai

instansi,

(b)

kurangnya

profesionalisme pengawas, (c) kurang adanya koordinasi antar pengawas (d)


kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas
sendiri. hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik korupsi.
belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan masyarakat dan
media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk pengawasan
APBD yang sarat dengan korupsi. Hal inis sejalan dengan pendapatnya Baswir
(1996) yang mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi
patrimonial dan negara hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi
pengawasan, sehingga merebaklah budaya korupsi itu.
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan
internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) serta
pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat).
Dimana pengawasan ini kurang bisa efektif karena adanya beberapa faktor,

diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurang


profesionalismenya pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum
maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. Dan berkaitan dengan hal ini
pengawas sendiri sering kali terlibat dalam praktek korupsi.
Korupsi APBD
Secara umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD)
adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode
tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah
daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum
anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat
maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban
terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka
seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan
rakyat itu sendiri (Sopanah & Wahyudi, 2004).
Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat
perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah. Pertama, sistem pengalihan
anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu
partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan
anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan
sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya
diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki
kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus
didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah

meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan
masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih
keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah
pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan
untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,,
adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi
beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan
meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah
alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi
dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila
kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah
yang kaya sekalipun.
Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia
masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi
yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi
birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak
bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun
kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan
dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini

ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat
(Ardyanto, 2002)
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan
menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD
karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai
kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran
adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD
untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat
mungkin terjadi.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di
Indonesia? Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD
dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan
dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan
terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya
provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran
dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2)
rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai,
dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas
kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
Pos Anggaran Catatan
Pendapatan

1. Darimana komponen PAD berasal, dan bagaimana pengaruhnya


bagi masyarakat. Apakah keinginan daerah untuk mengejar target
PAD seringkali ditempuh dengan cara membebani masyarakat,
misalnya menaikkan pajak dan retribusi.
2. Dana Perimbangan (selain DAU dan DAK) memang terlihat
memiliki angka prosentase yang cukup besar bagi daerah. Namun

sumber-sumber daya tersebut hanya berada di beberapa daerah


tertentu.
Belanja
Aparatur
Daerah

1. Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam


belanja aparatur daerah potensial untuk dimanipulasi daan
digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan
tambahan.
2. Adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain, misalnya, tunjangan
anggota DPRD yang dititipkan di Sekwan.
3. Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas
tersebut sebenarnya adalah tugas pokok dan fungsinya sendiri.
4. Jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi
frekuensi kegiatan atau acara-acara pejabat dengan anggaran yang
bisa diambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasar
pembebanan atau urusan dari dinas-dinas. Contoh lain adalah
pengadaan barang/ATK/Kendaraan dinas/percetakan yang disertai
pemberian komisi atau potongan yang tidak dicatat.
5. Biaya perjalanan dinas dari berbagai sumber untuk tujuan
perjalanan yang sama, misalnya dari biaya rutin kantor dan dari
anggaran beberapa proyek. Selain itu, sering terjadi penyimpangan
berupa perhitungan yang dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan
biaya perjalanan dinas yang tidak wajar.
6. Pengeluaran tidak wajar atas suatu kegiatan tertentu dan
penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitan dengan belanja barang
misal ATK tidak dibelikan karena sudah dipenuhi dari anggaran
proyek dinas tersebut.
7. Overlapping sumber pengeluaran, misalnya dana untuk pembelian
obat-obatan atau peralatan Rumah sakit yang sangat banyak
sumbernya.

Belanja
Pelayanan
Publik

1. Pemerintah cenderung tidak mengakomodir adanya perbedaan atau


karakteristik masing-masing daerah. Adanya penyeragaman pos-pos
pengeluaran menyulitkan daerah untuk optimalisasi dana yang ada
pada jenis-jenis pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan masyarakat.
2. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pelayanan publik masih
belum dilandasi ukuran/indikator kinerja yang jelas.
3. Sering terjadi suatu proyek diselenggarakan lebih dari satu kali,
telah masuk dalam satu sektor tetapi masuk juga dalam sektor lain.
4. Pos anggaran biaya administrasi proyek potensial untuk dijadikaan
side income bagi pejabat.

DAFTAR PUSTAKA
Ardyanto, Donny, 2002, Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk.
(ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2,
Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Baswir Revrisond, 1993, Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih,
BPFE, Yogyakarta.
______________, 1996, Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di
Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat,
BPFE, Yogyakarta.
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16
kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3, Yayasan aksara dan Patnership for Good
Governance Reform, Jakarta
Bernardi R.A. 1994, Fraud Detection : The Effect of Client Integrity and Competence and
Auditor Cognitive Style, Auditing : A Journal of Practice and Theory 13
(Supplement), hal. 68-84
De Asis, Maria Gonzales, Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the
Anti-Corruption Summit, World Bank Institute, November 2000.
Fadjar, Mukti, 2002, Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar Kurniawan, L,
2002, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans Malang
Halim, Abdul, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Helmi, dkk, 2003, Memahami Anggaran Publik, Idea Press, Jogjakarta
Hermien H.K., 1994, Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kaiser, H. Dan Rice, J., 1974, Educational and Psycological Measurement, Volume 34,
No.1, hal 111-117.
Khudori, Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004

Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah,


Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia, Jakarta
Malang Corruption Watch, 2004, Laporan Investigasi kasus APBD Malang Raya, tidak
diterbitkan.
Mardiasmo, 2003, Konsep Ideal Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Layanan
Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM, Jogjakarta.
Nunnaly, 1967, Psycometric Theory, McGraw-Hill, New York.
Peraturan perundang-undangan Nomor 110 tahun 2000 dan 24 tahun 2004
Republik Indonesia, 2001, Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung.
Saptaatmaja, TS. Korupsi dan Hipokrisi, Kompas, Rabu, 8 September 2004
Sopanah & Wahyudi, Isa, 2004, Analisa Anggaran Publik : Panduan TOT, Malang
Corruption Watch (MCW) dan Yappika, Jakarta
Sulistyantoro, HT., Etika Kristen dalam Menyikapi Korupsi, Kompas, Senin, 2 Agustus
2004
Susanto, AA, 2002 Mengantisipasi Korupsi di Pemerintahan Daerah di ambil dari
http://www.transparansi.or.id/artikel/artikelpk/artikel15.html
Tunggal I.S. dan Tunggal A.W, 2000, Audit Kecurangan dan Akuntansi Forensik,
Harvarindo, Jakarta.
Tanzi, Vito, 1998, Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope, and
Cures, IMF Working Paper, WP/98/63, May 1998.

Anda mungkin juga menyukai