NAMA
1. AKBAR
2. SYAHRIR
BAB I
PENDAHULUAN
berita
mengenai kasus korupsi para kepala daerah. Dari 536 kabupaten/ kota yang ada
saat ini, sudah ada 291 kepala daerah yang menjadi tersangka kasus korupsi. Jika
dilihat proporsinya, lebih dari separuh kepala daerah (54 persen) telah terjerat
kasus korupsi. Jumlah tersebut sangat mungkin masih akan bertambah karena
masih banyak kasus-kasus yang belum ditangani, baik karena hambatan politis
maupun
hambatan-hambatan
nonteknis
lainnya.
Fakta
tersebut
adalah
seharusnya
tepat
guna. Sebutlah,
pembangunan
infrasuktur seperti sarana irigasi dan jalan. Karena dana pengembangan atau
perbaikan jalan dikorupsi maka masyarakat tidak ada akses
untuk
merupakan
birokrasi
patrimonial
dan
negara
hegemonik
tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
suap,
mengurangi
standar
spesifikasi
atau
volume
dan
dan
birokrasi
yang
memang
kondusif
untuk
melakukan
penyimpangan, (2) belum adanya sistem kontrol dari masyarakat yang kuat, dan
belum adanya perangkat peraturan dan perundang-perundangan yang tegas. Faktor
lainnya menurut Fadjar (2002) adalah tindak lanjut dari setiap penemuan
pelanggaran yang masih lemah dan belum menunjukkan greget oleh pimpinan
instansi. Terbukti dengan banyaknya penemuan yang ditutup secara tiba-tiba tanpa
alasan yang jelas serta tekad dalam pemberantasan korupsi dan dalam penuntasan
penyimpangan yang ada dari semua unsur tidak kelihatan. Disamping itu kurang
memadainya sistem pertanggungjawaban organisasi pemerintah kepada masyarakat
yang menyebabkan banyak proyek yang hanya sekedar pelengkap laporan kepada
atasan.
Menurut Arifin (2000) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:
(1) aspek prilaku individu organisasi, (2) aspek organisasi, dan (3) aspek
masyarakat tempat individu dan organisasi berada. Sementara menurut Lutfhi
(2002) faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah: (1) motif, baik motif
ekonomi maupun motif politik, (2) peluang, dan (3) lemahnya pengawasan.
Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis mengelompokkan
empat aspek yang menyebabkan terjadinya korupsi APBD di wilayah Malang Raya
yaitu:
korupsi atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil terjadinya korupsi
karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi (Tunggal,
2000). Bilamana organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi
seseorang untuk melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspekaspek penyebab terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: (a)
kurang adanya teladan dari pimpinan, (b) tidak adanya kultur organisasi yang
benar, (c) sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai, (d)
manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh Kompas 29/7/2004 di
kota Surabaya, Medan, Jakarta dan Makasar, menyebutkan bahwa korupsi yang
terjadi di tubuh organisasi kepemerintahan (eksekutif) maupun legislatif. Tidak
kurang dari 40 persen responden menilai bahwa tindakan korupsi dilingkungan
birokrasi kepemerintahan dan wakil rakyat di daerahnya semakin menjadi-jadi.
hanya 20 persen responden saja yang berpendapat bahwa prilaku korupsi di
pemkot dan DPRD masing-masing sudah berkurang.
tindih
pengawasan
pada
berbagai
instansi,
(b)
kurangnya
meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan
masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih
keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah
pusat namun pemerintah menurut UU No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan
untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.
Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. Pertama,,
adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD
(Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi
beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan
meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan pajak adalah
alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi
dibandingkan jika mengekplorasi SDA. Oleh karena itu tidak heran bila
kecenderungan meningkatkan pajak ini terjadi di banyak daerah bahkan daerah
yang kaya sekalipun.
Dengan mengingat bahwa tingkat korupsi birokrasi daerah di Indonesia
masih tinggi, hal ini ditunjukkan dalam survey kecenderungan korupsi birokrasi
yang diselenggarakan oleh PERC. Pada tahun 1999, angka kecenderungan korupsi
birokrasi menunjukkan angka 8,0 dari skala 0-10. Dimana angka nol berarti mutlak
bersih dan 10 berarti mutlak memiliki kecenderungan korupsi. Dan satu tahun
kemudian, tahun 2000, angka ini tidak mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut maka meningkatkan PAD akan lebih baik bila diprioritaskan
dengan cara mengurangi kebocoran pendapatan pemerintah daerah yang selama ini
ada bukan dengan cara meningkatkan pajak karena akan menyengsarakan rakyat
(Ardyanto, 2002)
Kedua, otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan
menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD
karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai
kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran
adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD
untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat
mungkin terjadi.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa korupsi begitu merajalela di
Indonesia? Secara teoritis Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi APBD
dipengaruhi oleh faktor permintaan dan faktor penawaran. Dari sisi permintaan
dimungkinkan karena adanya (1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan
terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya
provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran
dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2)
rendahnya gaji di kalangan birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai,
dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum. Lebih Lengkap lihat catatan atas
kelompok Anggaran (Helmi, Ahmad dkk, 2002).
Pos Anggaran Catatan
Pendapatan
Belanja
Pelayanan
Publik
DAFTAR PUSTAKA
Ardyanto, Donny, 2002, Korupsi di sektor pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk.
(ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 2,
Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform, Jakarta
Baswir Revrisond, 1993, Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih,
BPFE, Yogyakarta.
______________, 1996, Ekonomi Politik Kesenjangan, Konglomerasi, dan korupsi di
Indonesia, dalam buku Pembangunan Ekonomi dan Pemberdayaan Rakyat,
BPFE, Yogyakarta.
Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.) 2002, Mencuri Uang Rakyat : 16
kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3, Yayasan aksara dan Patnership for Good
Governance Reform, Jakarta
Bernardi R.A. 1994, Fraud Detection : The Effect of Client Integrity and Competence and
Auditor Cognitive Style, Auditing : A Journal of Practice and Theory 13
(Supplement), hal. 68-84
De Asis, Maria Gonzales, Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the
Anti-Corruption Summit, World Bank Institute, November 2000.
Fadjar, Mukti, 2002, Korupsi dan Penegakan Hukum dalam pengantar Kurniawan, L,
2002, Menyingkap Korupsi di Daerah, Intrans Malang
Halim, Abdul, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Helmi, dkk, 2003, Memahami Anggaran Publik, Idea Press, Jogjakarta
Hermien H.K., 1994, Korupsi di Indonesia: dari delik Jabatan ke Tindak Pidana
Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung
Kaiser, H. Dan Rice, J., 1974, Educational and Psycological Measurement, Volume 34,
No.1, hal 111-117.
Khudori, Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004