Anda di halaman 1dari 15

Presidensial Cita Rasa Parlementer

Jumat, 28 November 2008 | 01:03 WIB Perdebatan tentang sistem demokrasi presidensial yang diawali artikel Donny Gahral Ardian (Kompas, 17/11 dan 27/11), kemudian Denny Indrayana (Kompas, 26/11), dan secara tak langsung oleh Saldi Isra (Kompas, 27/11), menarik direspons. Mengapa presidensialisme yang diadopsi konstitusi hasil amandemen tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif? Ahli perbandingan politik, seperti Juan J Linz (1994), mengingatkan, secara institusional, demokrasi presidensial adalah pilihan berisiko, apalagi bagi negara yang baru mengalami fase transisi demokrasi. Sebagai konsekuensi logis pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif dalam presidensial, Linz tak hanya menggarisbawahi kemungkinan munculnya legitimasi demokratis ganda (dual democratic legitimacy), tetapi juga pemerintahan terbelah (the divided government) yang berimplikasi pada konflik dan instabilitas demokrasi presidensial sendiri. Perangkap konflik Skema presidensial lebih berisiko lagi jika dikombinasikan sistem multipartai ekstrem, seperti di Indonesia. Konsekuensi dari kombinasi presidensial-multipartai adalah terpilihnya presiden minoritaspresiden dengan basis politik relatif kecil di DPRdan fragmentasi politik tanpa kekuatan mayoritas di DPR, seperti berlangsung sejak era Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati (2001-2004), lalu Presiden Yudhoyono. Realitas ini memberi peluang bagi DPR mengganggu Presiden yang mendorong munculnya konflik Presiden-DPR. Scott Mainwaring (1993) mengingatkan potensi kebuntuan politik (deadlock) jika presidensialisme dikombinasikan sistem multipartai. Pembentukan kabinet yang bersifat koalisi partai, baik pada era Wahid, Megawati, maupun Yudhoyono, pada dasarnya adalah upaya meminimalkan gangguan DPR meski gagal pada era Wahid saat dimakzulkan MPR pada 2001. Perangkap situasi konflik juga muncul pada era Yudhoyono, tetapi tidak deadlock karena putra Pacitan ini mengefektifkan kembali mekanisme Rapat Konsultasi Presiden-Pimpinan DPR sebagai forum penyelesaian konflik. Namun, sikap kompromistis Presiden Yudhoyono tak hanya harus dibayar dengan terbentuknya relasi eksekutif-legislatif yang cenderung politik-transaksional, tetapi juga berdampak pada tidak begitu efektifnya pemerintahan hasil Pemilu 2004. Mengapa demikian?

DPR heavy Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah konstitusi hasil amandemen tak sekadar mengadopsi sistem presidensial yang mendekati murni, tetapi juga kian memperkuat otoritas DPR. Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi hak tunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, seperti pimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kepala Polri, serta pimpinan dan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui undang-undang. Otoritas yang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidesialisme menjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan gangguan terhadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menyeimbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkap pada situasi sarat DPR (DPR heavy). Karena itu, koalisi partai dalam skema presidensial tidak pernah menjadi satu-satunya solusi untuk mengefektifkan pemerintahan, apalagi koalisi yang diadopsi dari skema parlementer itu bersifat semu dan tidak didasarkan platform politik atau konsensus minimum di antara partai yang berkoalisi. Maka, tidak mengherankan jika kita saksikan fenomena menarik saat partaipartai pendukung pemerintah justru menentang kebijakan pemerintah. Intensitas usul hak interpelasi dan hak angket DPR yang relatif tinggi pada era Yudhoyono menjelaskan kecenderungan itu. Ada beberapa solusi lain. Pertama, penyederhanaan sistem kepartaian secara konsisten melalui mekanisme electoral threshold atau parliamentary threshold. Melalui sistem kepartaian sederhana diharapkan terbentuk partai mayoritas di DPR sehingga politik dagang sapi bisa dikurangi. Kedua, menata ulang jadwal penyelenggaraan pemilu sehingga dukungan populer terhadap presiden berimbas pada dukungan elektoral terhadap partai-partai pengusung kandidat presiden di DPR. Ketiga, mendesain format koalisi yang memungkinkan tegaknya disiplin partai-partai berikut klausul ganjaran dan hukuman bagi mereka jika mengingkari. Keempat, mendesain UU Pemilu Presiden yang memungkinkan presiden dan wapres berasal dari partai yang sama sehingga potensi konflik terhindarkan.

Cita rasa parlementer Di luar semua proposal itu, skema presidensial yang saat ini cenderung sarat DPR, perlu dipikirkan ulang, apalagi tidak pernah serius diperdebatkan, termasuk oleh MPR yang melakukan amandemen konstitusi, mengapa presidensialisme yang cenderung berisiko menjadi pilihan kita? Wajarkah kita melembagakan trauma terhadap demokrasi parlementer hanya karena indoktrinasi militer dan Orde Baru bahwa seolah sistem parlementer rentan konflik dan instabilitas politik? Jika tidak, desain presidensial dengan cita rasa parlementer akan terus mewarnai relasi Presiden-DPR. Situasi konflik namun relatif stabilkarena tersedia mekanisme konsultasi tetap berpeluang muncul, dengan risiko relasi keduanya bersifat transaksional dengan implikasi pemerintahan tidak efektif. Pengecualian hanya berlaku jika, pertama, kepemimpinan presiden lebih efektif, tidak kompromistis, tidak ikut terperangkap skema parlementer. Pembentukan kabinet misalnya, tidak harus melibatkan banyak partai seperti sekarang. Kedua, partai-partai tidak hanya berebut kursi dan memburu jabatan presiden, tetapi efektif memikirkan pengelolaan presidensial agar nasib rakyat dan bangsa lebih terurus.

Janji Sistem Parlementer untuk Yaman


Josephus Primus | Kamis, 10 Maret 2011 | 19:02 WIB

AFP PHOTO/MUHAMMED MUHEISEN Seorang pengunjuk rasa anti pemerintahmengacungkan tanda kemenangan dari sela-sela bendera yang dikibarkan oleh pengunjuk rasa lainnya dalam demonstrasi menuntut mundurnya Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh di Sanaa, ibu kota Yaman, Sabtu (5/3/2011).

Pemerintah menutup perguruan tinggi di Sanaa dan kota pelabuhan Aden, yang menjadi pusat kelompok antipemerintah. KOMPAS.com - Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh mengumumkan rencana mengubah konstitusi menjadi sistem pemerintahan parlementer. Dalam pidato di televisi nasional, sebagaimana warta AP dan AFP pada Kamis (10/3/2011) dia mengatakan referendum akan dilaksanakan tahun ini termasuk mengenai undang-undang pemilihan umum. Janji itu disampaikan setelah berminggu-minggu aksi protes terhadap 32 tahun kekuasaannya yang menewaskan 30 orang. Dua orang tewas dalam insiden terbaru pada Rabu dan aksi massa baru direncanakan pada Jumat (11/3/2011). Para pemrotes menolak janjinya untuk tidak mengikuti pemilihan presiden saat berakhir masa jabatannya pada 2013. Siaran televisi nasional mengganti acara rutinnya dengan pidato Saleh kepada massa pendukungnya di ibu kota Sanaa. Presiden Saleh mengatakan reformasi berarti pemerintah yang dipilih parlemen akan mengendalikan kekuasaan eksekutif. Dia juga mengumumkan kebijakan untuk mempercepat desentralisasi kekuasaan. Republik Yaman dibentuk dengan penggabungan Yaman Utara dan Selatan pada 1990. Saleh memimpin Republik Arab Yaman di bagian utara Yaman sekarang sejak 1978 ketika dia berkuasa melalui kudeta militer. Pemilihan presiden secara langsung di Yaman dimulai pada 1999. Yaman merupakan salah satu negara di Afrika Utara dan kawasan Timur Tengah yang dilanda kerusuhan sejak Presiden Mesir dan Tunisia digulingkan revolusi rakyat. Ribuan orang berdemonstrasi di Sanaa mengecam korupsi dan pengangguran serta menuntut presiden mengundurkan diri. Para pengunjuk rasa dihadapi polisi anti huru hara atau pendukung Presiden Saleh yang bersenjata pisau dan pentungan.

Presidensial atau Parlementer?


Rabu, 9 April 2008 | 01:12 WIB Relasi antara presiden dan parlemen yang terjadi setelah rezim militer Soeharto tumbang ditandai dengan membesarnya peran atau kewenangan parlemen berdasarkan UUD 1945. Kendati disebut berbeda kamar, DPR juga sekaligus adalah MPR. Jika sebelumnya bersama Fraksi Utusan Daerah dan Golongan, kini dengan Dewan Perwakilan Daerah.

Secara resmi DPR bertugas dan menjalankan fungsi pengawasan atas pemerintahan. Namun, dengan beberapa hak (baca: wewenang), DPR telah berkembang menjadi superbody sehingga kewenangan interpelasi telah beberapa kali digunakan. Inilah yang kerap terjadi pertunjukan antara Presiden dan DPR bertarik ulur dalam adu kekuatan. Persoalan itu terletak pada ketidakjelasan sistem pemerintahan. Dengan relasi seperti di atas, pemerintahan tidaklah menganut sistem presidensial sepenuhnya dan tidak pula sistem parlementer. Namun, kenyataannya, parlemen berdaulat dengan kewenangan yang besar. Fungsi pengawasan Selain menjalankan fungsi legislasi untuk mengambil inisiatif dan membahas RUU, serta menyetujui UU, DPR juga mempunyai fungsi pengawasan untuk memeriksa jalannya pemerintahan yang dikemudikan Presiden. Sejauh mana pemerintah telah menjalankan kebijakan dan program sesuai UU? Apakah dalam pelaksanaan itu terjadi penyimpangan atau pelanggaran UU? Dengan dukungan sejumlah aparaturnya, termasuk aparat birokrasi, pemerintahan pun diharapkan dapat menjalankan fungsi untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi kemerdekaan atau kebebasan setiap orang, memperkokoh penegakan hukum, serta menjaga kedaulatan negara atau Tanah Air. Namun, bisa diduga atau diasumsikan bahwa pemerintahan yang dijalankan tak mungkin bebas dari penyimpangan. Selalu saja terjadi error, terutama terkait penggunaan anggaran atau kolusi dengan kalangan bisnis. Pada titik inilah fungsi pengawasan DPR dijalankan untuk memeriksa penyimpangan aparat pemerintah. Setelah reformasi, fungsi pengawasan DPR telah dijalankan dalam beberapa bentuk. Pertama, mekanisme rapat DPR dan pemerintah. Kedua, membuka diri dengan menerima pengaduan, laporan, protes, dan aspirasi dari berbagai kalangan masyarakat terkait jalannya pemerintahan, realisasi hak-hak asasi manusia, pelayanan publik, korupsi, dan penegakan hukum lain. Ketiga, melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah untuk mengamati dan memeriksa pelaksanaan program yang dijalankan pemerintah sehingga dapat menyaksikan secara langsung perkembangan dan hasil-hasil yang telah dicapai. Keempat, DPR juga dapat membentuk panitia khusus (pansus) dan panitia kerja (panja) yang menangani beberapa isu yang banyak menjadi sorotan masyarakat.

Mengarah ke parlementer Fungsi pengawasan yang dijalankan DPR dalam sembilan tahun terakhir memang mengarah pada kedaulatan parlemen. Pada dasarnya UUD memberikan peluang DPR mengarahkannya ke sistem parlementer. Salah satu yang memungkinkannya ialah hak atau wewenang interpelasi, selain angket. Sejauh ini wewenang interpelasi yang lebih digunakan karena wewenang angket harus lebih banyak bekerja, seperti menyusun angket dan melakukan survei lapangan. Wewenang DPR yang besar bertalian interpelasi tersebut telah ditunjukkan ketika menyidangkan mantan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Akhirnya, dari interpelasi naik ke MPR untuk mengambil keputusan yang menebas habis kekuasaan presiden. Dalam relasi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonokendati sukses memetik hasil dengan format pemilihan presiden secara langsung 2004tetap dihadapkan pada interpelasi. Presiden harus mempertanggungjawabkan atas apa yang telah dijalankan pemerintahan bertalian dengan suatu kasus. Persoalan yang dihadapi bukanlah karena menghambat kelancaran pemerintahan, melainkan justru karena kenyataannya sebagai arena adu kekuatan. Kelemahan presidendengan pemerintahan koalisinyajustru dimanfaatkan untuk menuai tekanan dan inilah yang membuat presiden terganggu kinerjanya. Memang salah satu pengaman buat Presiden adalah memastikan sistem presidensial. Namun, persoalannya, gerak-gerik adu kekuatan dalam koalisi politik tetap saja lebih dominan.

Presidensial Indonesia?

Murni,

Mungkinkah

Diterapkan

di

Inggried Dwi Wedhaswary | Selasa, 23 Juni 2009 | 12:59 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia dinilai tidak efektif karena berkombinasi dengan sistem kepartaian yang multipartai. Sekjen Perhimpunan Pendidikan untuk Demokrasi Robertus Robert berpendapat, kombinasi ini berpeluang menciptakan kemandekan politik. Menurutnya, hal inilah yang membuat kebijakan pemerintah menjadi tidak efektif untuk rakyat.

"Dengan presidensialisme yang ditopang multipartai, kemungkinan kemandekan politik bisa lebih sering. Jadi, perlu mengubah jalan meskipun tidak bisa berubah total," ujar Robert pada diskusi "Memperkuat Sistem Presidensial Pascapilpres 2009", Selasa (23/6) di Jakarta. Pemerintahan yang lebih efektif, menurut dia, bisa berjalan jika tidak terganggu dengan praktik transaksional politik. Marzuki Darusman, politisi Golkar yang juga aktif di Partnership for Governance Reform, mengakui, kombinasi sistem presidensial dan multipartai tidak bisa dihindarkan sering menciptakan hubungan yang tegang antara eksekutif dan legislatif. Salah satunya, kata dia, karena presiden dan wakil presiden tidak berasal dari satu partai. "Lima tahun terakhir, 2004-2009, sepertinya masih ada pencarian perimbangan antara presiden dan realitas demokrasi yang multipartai. Jadi, pemerintahan tidak secepat dan seefektif yang diharapkan," ujar anggota Komisi I DPR ini. Wakil Ketua Tim Pakar SBY-Boediono, Bara Hasibuan, juga berpendapat sama. Menurut dia, sistem presidensial saat ini tidak murni diterapkan. Berbagai kebijakan pemerintahan dinilai sering kali terganjal restu parlemen. "Presiden akhirnya tidak bisa full melaksanakan kebijakan pemerintahan," kata Bara. Oleh karena itu, diharapkan presiden terpilih bisa melakukan "pemurnian" terhadap sistem presidensial sesuai dengan UUD 1945 meskipun sistem presidensial murni dengan dukungan kuat parlemen akan merumitkan fungsi check and balances di parlemen.

Indonesia Akan Tinggalkan Sistem Presidensial


Suhartono | Jumat, 14 November 2008 | 18:37 WIB

JAKARTA, JUMAT - Sistem pemerintahan presidensial yang selama ini diterapkan dalam pemerintahan di Indonesia, sadar atau tidak sadar, lambat laun akan ditinggalkan. Sebaliknya, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan yang parlementer.

Perubahan itu diakibatkan reformasi politik dan amandemen konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik. Oleh sebab itu, amandemen UUD 1945 kembali merupakan sebuah kemestian, untuk merumuskan ulang sistem presidensial tersebut. Demikian disampaikan pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), John Pieris, dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap FH UKI di Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur, Jumat (14/11). Mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) itu menyampaikan pidatonya yang berjudul "Proporsionalitas Kekuasaan Presiden RI dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil". Acara itu dihadiri Rektor UKI Bernard SM Hutabarat, Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum UKI Yapto Suryosumarno, serta civitas akademika FH UKI. "Beberapa kali perubahan terhadap beberapa pasal dan ayat UUD 1945, Indonesia akan menuju pada sistem pemerintahan parlementer. Dan, secara sadar dan tidak sadar akan meninggalkan sistem pemerintahan presidensiil. Ini akibat reformasi politik dan konstitusi yang tidak terencana dan terukur dengan baik," tandas John Pieris. Menurut John Piries, konstitusi atau hukum dasar pada dasarnya merupakan kontrak sosial. Oleh karenanya, konstitusi yang dibuat itu harus pula mencerminkan aspirasi politik dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. "Konstitusi yang dibuat oleh para pembuatnya tidak boleh semata-mata untuk kepentingan pembentuknya, tetapi justru harus secara objektif dan rasional mengakomodir aspirasi dari semua lembaga negara," ujarnya. Diakui John Piries, proses perubahan konstitusi tidak dipersiapkan secara matang. Bahkan, terkesan terburu-buru, reaktif dan emosional. Pembentuk UUD (MPR yang dikuasai oleh anggota-anggota DPR) terkesan lebih mengutamakan kepentingan politik dan kekuasaannya. "Kekuasaan eksekutif dan judikatif diminimalisasi sedemikian rupa, sehingga secara perlahan-lahan sistem pemerintahan presidensiil bergeser menjadi sistem pemerintahan parlementer," jelasnya. John Pieris mencontohkan pasal-pasal dan ayat-ayat UUD 1945 yang sudah diamandemen, akan tetapi terdapat beberapa kerancuan mengenai kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam perspektif sistem pemerintahan presidensiil. "Ada juga ketentuan yang menegaskan prinsip-prinsip pemerintahan presidensiil, namun dalam politik ketatanegaraan justru tidak tampak," papar John Piries, menyebut sejumlah pasal UUD 1945.

Sistem Presidensial, Bermasalah?


Rabu, 28 Juli 2010 | 03:08 WIB Di antara argumentasi pokok para elite yang melakukan amandemen terhadap UUD 1945 secara eksplisit menetapkan sistem presidensial sebagai sistem pemerintahan adalah karena sistem ini dipandang lebih memungkinkan bagi adanya bangunan pemerintahan yang stabil. Pengalaman, dan diskursus tentang apa yang terjadi pada 1950-an, agaknya cukup kuat membayangi para elite itu untuk tetap memilih sistem presidensial. Bahwa sistem parlementer telah membuat adanya ketidakstabilan politik akibat seringnya pergantian di dalam pemerintahan. Di samping itu, pengalaman dijatuhkannya Gus Dur di tengah jalan juga jadi pertimbangan. Dalam sistem presidensial, presiden tidak bisa begitu saja dijatuhkan oleh parlemen tanpa prosedur sangat ketat. Proses penjatuhan Gus Dur tergolong sangat longgar. Para elite secara substansial menyadari adanya pemerintahan yang stabil akan memungkinkan proses pembuatan dan implementasi kebijakan yang lebih efektif dan efisien. Ujung-ujungnya, yang dilakukan pemerintah akan lebih bermanfaat untuk rakyat. Hanya saja, satu dekade setelah sistem presidensial itu secara sengaja ditetapkan dan diimplementasikan, harapan itu masih juga belum menjadi kenyataan. Betul bahwa pasca-Gus Dur tidak ada seorang pun presiden yang diturunkan di tengah jalan. Tetapi, adanya kebijakan-kebijakan yang efektif dan efisien untuk masyarakat akibat adanya penggunaan sistem presidensial masih belumlah terasa. Di balik adanya presiden yang telah dipagari oleh sistem presidensial, gonjang- ganjing di sana-sini masih sering terjadi. Konsekuensinya, presiden tidak leluasa membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan. Mengapa hal demikian terjadi? Bergantung kepada parlemen Secara kelembagaan, Indonesia tidak murni menganut sistem presidensial. Di satu sisi, presiden memiliki otoritas dan kekuasaan cukup substansial. Di sisi lain, dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan, presiden masih sangat bergantung kepada parlemen.

Konsekuensinya, presiden terpilih harus mengikuti alur pikir sistem parlementer dalam membentuk dan menjalankan roda pemerintahan. Karena bergantung kepada parlemen, presiden merasa harus membangun koalisi dengan partai-partai yang memiliki kekuatan di parlemen. Padahal, tradisi koalisi lebih banyak dipakai dalam sistem parlementer. Realitas semacam itu semakin menjadi keharusan karena Indonesia menganut sistem multipartai. Sejumlah studi menyimpulkan, sistem presidensial akan stabil manakala ditopang sistem dua partai. Oleh karena itu, ketika menjelaskan potret pemerintahan periode 2004-2009, secara sambil lalu saya pernah menyebut Indonesia lebih dekat menganut sistem semi-presidensial. Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi bertindak sebagai presiden dan Jusuf Kalla yang mengendalikan parlemen sebagai perdana menteri. Upaya mengatasi masalah semacam itu, secara kelembagaan, telah dicoba. Di antaranya adalah melalui upaya menyederhanakan sistem kepartaian, baik melalui electoral threshold maupun melalui parliamentary threshold. Namun, upaya semacam ini tidak membawa hasil yang berarti. Indonesia masih tetap menganut sistem multipartai. Upaya semacam itu bisa lebih mungkin dilakukan kalau threshold yang diberlakukan di atas kisaran 10 persen atau bahkan 15 persen. Namun, upaya semacam ini sering dianggap tidak ramah terhadap demokrasi karena mengabaikan fakta tentang kemajemukan masyarakat yang memang kuat di Indonesia sehingga tingkat keterwakilan politik sangat berkurang. Permasalahan semacam itu semakin mengemuka karena, secara politik, Indonesia pasca-Orde Baru memang telah mengarah pada situasi fragmented state. Di dalam negara demikian, kekuasaan menyebar ke banyak kelompok dan aktor, termasuk adanya penyebaran kekuasaan ke daerah-daerah. Presidensial setengah hati Sistem presidensial yang setengah hati itu selama ini masih belum mampu mengatasi situasi semacam itu. Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat oleh presiden, misalnya, acap kali tidak hanya telah melahirkan penolakan dari lawan-lawan politiknya, tetapi juga telah melahirkan penolakan dari daerah. Padahal, agar suatu pemerintahan berjalan efektif dan efisien, dibutuhkan sejumlah persyaratan. Pertama, proses pembuatan keputusan dilakukan dalam waktu yang lebih cepat.

Kedua, adanya birokrasi yang memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan keputusankeputusan melalui, misalnya, adanya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam kondisi semacam itu, memang tidak mudah harus memulai dari mana desain perbaikan dilakukan. Secara empiris, masyarakat Indonesia yang plural memang lebih cocok menganut sistem parlementer. Akan tetapi, mengingat adanya keinginan kuat untuk membangun pemerintahan yang demokratis dan stabil sekaligus, dipakailah sistem presidensial yang setengah hati itu. Formula sederhana untuk mengatasi hal itu adalah melalui perombakan konstitusional, misalnya menghilangkan unsur parlementarian dalam konstitusi maupun perundangundangan yang lain. Namun, ini jelas tidak mudah karena akan menempuh jalan berliku. Yang lebih mungkin, melalui improvisasi sistem presidensial setengah hati lewat sejumlah langkah, misalnya seperti berikut. Pertama, kekuatan-kekuatan politik menyadari pentingnya koalisi yang lebih permanen. Dengan demikian, kekuatan politik akan terbagi ke dalam dua pilahan besar, koalisi yang memerintah dan koalisi yang beroposisi. Koalisi semacam itu akan terwujud manakala tiap partai memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi, termasuk disiplin di dalam membangun komitmen berkoalisi. Selain itu, threshold di dalam pemilu juga tetap harus diberlakukan untuk meminimalisasi pendatang baru di luar mainstream koalisi besar itu. Kedua, adanya desain kelembagaan yang memungkinkan hidupnya koordinasi, baik secara vertikal maupun horizontal, misalnya melalui pembagian kekuasaan dan otoritas yang lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Ketiga, adanya seorang presiden yang memiliki kemampuan sebagai dirigen dalam memerintah. Kemampuan dirigen ini tidak hanya untuk mengoordinasikan koalisi yang dibangun, tetapi juga mengoordinasikan kebijakan- kebijakan yang akan dibuat dan diimplementasikan di daerah.

Sistem Presidensial Tak Efektif di Tengah Multipartai


Inggried Dwi Wedhaswary | Senin, 25 Mei 2009 | 12:15 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Penerapan sistem presidensial yang dianut Indonesia dinilai tidak efektif di tengah corak multipartai yang mewarnai perpolitikan Tanah Air. Pengamat

politik yang juga Direktur Eksekutif Charta Politika, Bima Arya Sugiarto, berpandangan, banyak ketidakkonsistenan dalam menjalankan sistem presidensial. Bima mengatakan, sistem presidensial sesungguhnya menawarkan kepastian, jika diukur dari dua sisi yaitu representasi dan governability. Sayangnya, kedua aspek ini tidak berjalan baik.

"Dari sisi representasi di parlemen, produk legislasi sangat memprihatinkan. Sedangkan governability, banyak kebijakan pemerintah yang diganjal di parlemen sehingga cukup membuang energi," ujar Bima, pada diskusi "Pilpres 2009 dan Dilema Sistem Presidensiil", Senin (25/5) di Jakarta. Menurut dia, koalisi yang saat ini dibangun oleh partai politik juga sulit diterapkan pada sistem presidensial, dibandingkan di negara penganut sistem parlementer. "Tidak ada aturan yang mengikat koalisi. Dukungan mayoritas di parlemen yang dibangun, akan percuma kalau disiplin partai rendah. Oleh karena itu, menurut saya, sistem presidensial tidak berjalan sempurna kalau partai politik tetap banyak," kata dia. Bima mengusulkan, parliamentary threshold sebaiknya dinaikkan menjadi 5 persen sehingga hanya meloloskan 5-6 partai ke parlemen. Selain itu, threshold mengusung pasangan capres dan cawapres sebaiknya juga tidak terlalu tinggi. "Kalau saja syarat capres-cawapres 15 persen, dengan 5-6 partai, maka partai-partai tidak akan punya kans untuk bergenit-genit dengan mengorbankan ideologinya," ujar Bima. Kontrak politik partai-partai yang bergabung di koalisi, menurutnya, juga harus dipertegas. Presiden yang menjabat, disarankan juga konsisten dengan logika sistem presidensial, dengan cara memperkuat lembaga kepresidenan.

Kerentanan Presidensial-Multipartai
Rabu, 28 Juli 2010 | 03:09 WIB Hanta Yuda AR Kerisauan publik atas problem efektivitas pemerintahan akibat banyaknya partai tecermin dalam hasil jajak pendapat Kompas, Senin (26/7).

Mayoritas publik (94 persen) menyetujui jika jumlah parpol di Indonesia disederhanakan. Pasalnya, penyelenggaraan negara dengan model banyak partai seperti sekarang ini dalam kemasan sistem pemerintahan presidensial dianggap kurang efektif. Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela (1994) berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. Pandangan ini diperkuat Scott Mainwaring dan Matthew Soberg Shugart (1997) bahwa presidensial-multipartai akan melahirkan presiden minoritas (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government), kondisi di mana presiden sangat sulit mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hasil studi di Amerika Latin ini memunculkan pertanyaan penting bagi kita: bagaimana praktik presidensial-multipartai di Indonesia? Kerentanan multipartai Ternyata sistem presidensial produk amandemen konstitusi juga sulit diimplementasikan di atas struktur politik multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam presidensial-multipartai. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Ditambah lagi faktor personalitas dan karakter kepemimpinan presiden yang cenderung kompromistis dan akomodatif menyebabkan presidensialisme kian tereduksi dan dijalankan setengah hati (presidensialisme setengah hati). Kekhawatiran tentang kerentanan presidensial-multipartai terbukti selama lima tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla serta hampir satu tahun pemerintahan SBY-Boediono. Paling tidak ada empat fakta politik yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Pada pembentukan dan reshuffle kabinet, parpol terutama partai-partai di DPRkerap memangkas hak prerogatif presiden dengan melakukan intervensi. Sebaliknya presiden cenderung selalu mengakomodasi kepentingan parpol. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Walaupun secara kuantitas persentase koalisi partai pendukung pemerintahan sangat gemukdidukung 75 persen kekuatan di DPRsangat rapuh dan mudah retak. Kasus Century potret paling anyar

kerapuhan itu. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulitperlu waktu terlalu lamauntuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Hak angket dan ancaman penarikan dukungan akan selalu menjadi alat bagi partai di DPR untuk bernegosiasi dengan presiden. Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Isu cabut mandat pada masa SBY-JK dan pemakzulan pada era SBY-Boediono cukup menguras energi politik bangsa. Menariknya, sikap kompromistis dan akomodatif SBY justru jadi faktor pengaman kursi kepresidenan dari ancaman itu. Meskipun kenyataannya ancaman-ancaman itu sulit terealisasi, bahkan mungkin tidak akan terjadi, ancaman semacam ini tetap saja akan memengaruhi efektivitas jalannya pemerintahan. Keempat realitas politik inilah bukti kerentanan presidensial-multipartai pada periode pertama ataupun kedua kepresidenan SBY. Bagaimana mengantisipasi situasi seperti ini? Di satu sisi multipartai merupakan keniscayaan dari pluralitas masyarakat dan kebebasan berpartai tetap harus dibuka. Namun, di sisi lain, multipartai ekstrem (jumlah partai sangat banyak) terbukti menyebabkan kerentanan dan ketidakefektifan sistem pemerintahan presidensial? Menuju dwipartai Solusi jalan tengahnya, kebebasan mendirikan partai tetap dibuka, tetapi perlu segera didorong jadi multipartai sederhana, bahkan dwipartai di parlemen. Sebab, dalam politik kesehariannya, presiden berhadapan dengan partai di parlemen, bukan partai-partai peserta pemilu. Oleh karena itu, yang perlu disederhanakan jadi sistem dwipartai adalah partai di parlemen, bukan jumlah peserta pemilu, agar demokrasi dan kebebasan berpartai tetap terjamin. Ada lima paket strategi penyederhanaan parlemenpenataan ulang desain institusi politik melalui rekayasa institusional yang dapat ditempuh DPR dan pemerintah melalui revisi UU Politik. Pertama, menerapkan sistem pemilu distrik (plurality/majority system) atau sistem campuran (mixed member proportional). Penerapan sistem distrik, tepatnya sistem First Past The Post (FPTP)satu wakil dipilih dari setiap daerah pemilihanberdasarkan pengalaman beberapa negara terbukti ampuh mengurangi jumlah partai. Solusi alternatif jika sistem distrik masih mengalami resistensi adalah menggabungkan sistem distrik dan proporsional menjadi sistem campuran. Pengalaman Jerman menerapkan sistem pemilu campuran menarik untuk dijadikan pelajaran.

Kedua, memperkecil besaran daerah pemilihan (district magnitude). Strategi memperkecil daerah pemilihan (dapil) secara evolutif juga akan menjadi katalisator menuju

penyederhanaan parpol. Semakin kecil besaran dapil dan semakin sedikit jumlah kursi yang diperebutkan, semakin kecil pula peluang bagi partai gurem mendapatkan kursi. Ketiga, menaikkan ambang batas kursi di parlemen (parliamentary threshold). Peningkatan angka parliamentary threshold di Pemilu 2014 juga akan semakin menyederhanakan parlemen. Jika parliamentary threshold diterapkan secara konsisten, jumlah parpol akan terus berkurang secara alamiah sampai dengan jumlah yang ideal, sekitar lima partai di parlemen. Keempat, selanjutnya perlu penyederhanaan jumlah fraksi melalui pengetatan persyaratan ambang batas minimal pembentukan fraksi (fractional threshold). Idealnya hanya sekitar 3 atau 4, bahkan 2 fraksi saja di DPR agar pemerintahan berjalan lebih efektif. Kelima, tahapan selanjutnya, jika fraksi di parlemen masih lebih dari dua, fraksi di DPR perlu direkayasa dan dipaksa secara konstitusional menjadi dua blok politik melalui regulasi koalisi permanen. Model dua kekuatan politik inilah strategi kita menuju sistem dwipartai di parlemen, yaitu hanya ada dua blok koalisi besar permanen di parlemen: pendukung pemerintah dan di luar pemerintahan. Tujuan utama menyederhanakan polarisasi kekuatan politik di parlemen menjadi dwipartai agar proses politik lebih efisien dan stabil. Di luar itu pemerintahan juga perlu didukung personalitas serta gaya kepemimpinan presiden yang kuat. Dengan konstruksi presidensial seperti ini, harapannya proporsi energi politik presiden untuk mengurus kesejahteraan rakyat jauh lebih besar ketimbang disibukkan urusan bernegosiasi dengan partai, dengan begitu demokrasi akan lebih bermanfaat bagi rakyat.

Anda mungkin juga menyukai