Anda di halaman 1dari 3

Pelaksanaan Pilkada Kota Palopo putaran ke dua dibayang-bayangi kekurangan

anggaran. Jika kekurangan anggaran ini tidak teratasi maka pelaksanaan pilkada
putaran ke dua ini terancam gagal.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota
Palopo Maksum Runi saat wawancara live di acara OBROLAN PAGI radio
Makara pada hari Selasa 5/3/2013.

Oleh karenanya pihak KPU Palopo kata Maksum, tengah berupaya meminta
tambahan kekurangan anggaran tersebut ke Pemkot dan DPRD Palopo agar segera
diakomodir. Maksum mengatakan permintaan tambahan anggaran tersebut karena
awalnya pilwalkot Palopo dianggarkan dua putaran bersamaan dengan pilgub yang
diprediksi berjalan dua putaran, namun nyatanya pilgub hanya berjalan satu pitaran
sehingga hal inilah yang menyebabkan pilwalkot Palopo kekurangan anggaran
yang nilainya mencapai 1 milyar rupiah.
Untuk kesekian kalinya pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) memicu
kerusuhan. Akhir pekan lalu, massa salah satu pendukung pasangan calon wali kota
dan wakil wali kota Palopo, Sulawesi Selatan, yang tidak puas dengan hasil pilkada
yang ditetapkan KPU setempat, membakar kantor wali kota. Mereka tidak puas karena
pasangan yang didukungnya kalah.
Ini adalah potret buram pelaksanaan pilkada langsung. Jika ditilik lebih dalam, konflik
horizontal dan konflik vertikal, serta tindakan anarkistis yang kerap membayangi
pelaksanaan pilkada disebabkan dua hal.
Pertama, dari sisi penyelenggara. Dalam hal ini KPU dan Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) menjadi organ paling vital untuk menjamin pelaksanaan pilkada sukses dan
lancar tanpa persoalan berarti.
Sayangnya, banyak persoalan yang muncul terkait dengan pelaksanaan tugas kedua
lembaga itu, seperti verifikasi bakal calon pasangan kepala daerah, penyusunan daftar
pemilih tetap (DPT), hingga pengawasan terhadap pelanggaran pelaksanaan seluruh
tahapan pilkada, mulai dari kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara, hingga
pengumuman hasil pilkada.
Selain dua lembaga tersebut, lembaga lain yang juga terkait dengan penyelenggaraan
pilkada adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Keduanya bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Namun
demikian, harus diakui konflik terkait pilkada jarang berkaitan dengan tugas PTUN dan
MK.
Kedua, dari sisi pendukung dan calon kepala daerah. Ini adalah elemen krusial untuk
menjamin pilkada berlangsung lancar. Sebab, pada umumnya calon berikut massa
pendukungnya tidak siap kalah. Dukungan yang diberikan seolah menjadi bentuk
fanatisme tanpa akal sehat. Padahal, sebagian pendukung umumnya merupakan
massa bayaran.
Ironisnya, mereka kerap justru berada di garis terdepan untuk melakukan tindakan
anarkistis memprotes kekalahan calon yang didukungnya. Massa bayaran ini umumnya
berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Anarkisme yang mereka
perlihatkan, sejatinya ekspresi kekecewaan terhadap beratnya beban hidup yang
dihadapi sehari-hari.
Selain massa pendukung, pasangan calon kepala daerah yang tidak siap kalah kerap
juga memprovokasi massa pendukungnya untuk memprotes hasil penghitungan suara
dengan cara apa pun. Bisa jadi kekecewaan yang teramat berat tersebut karena
pasangan calon telanjur mengeluarkan dana yang sangat besar, untuk membiayai
ambisi politik mereka. Ini juga menjadi ekses negatif dari pilkada secara langsung, yang
melahirkan praktik demokrasi teramat mahal.
Secara umum, kita bisa mendapati euforia kehidupan demokrasi selama 13 tahun
terakhir, telah menyedot energi publik dalam siklus pilkada secara langsung yang
seolah tiada putus sepanjang tahun. Hal itu mengingat Indonesia terdiri dari lebih dari
490 kabupaten dan kota, serta 33 provinsi.
Banyaknya pilkada yang harus digelar, terbukti memunculkan ekses negatif, seperti
potensi konflik horizontal, menjamurnya politik uang, serta maraknya gugatan hukum
akibat ketidakpuasan pasangan yang kalah dalam pilkada.
Di sisi lain sumber daya manusia sangat terbatas untuk menangani begitu banyak
persoalan yang menyertai proses pilkada langsung. Dengan demikian, ada
kemungkinan kita akan menyaksikan persoalan yang sama akan terus berulang setiap
kali pelaksanaan pilkada.
Kasus pilkada di Palopo, dan juga peristiwa anarkistis yang sebelumnya terjadi dalam
pilkada di wilayah lain, harus menjadi bahan koreksi oleh pemerintah dan DPR. Hal ini
agar dapat diperoleh formula pilkada yang benar-benar demokratis sesuai amanat
konstitusi, dengan mengeliminasi semua dampak negatif yang selama ini muncul.
Kalaupun tetap mempertahankan pilkada secara langsung, pemerintah harus benar-
benar menyiapkan seluruh elemen yang terlibat di dalamnya, terutama sumber daya
manusia KPU di daerah, Panwaslu, maupun perangkat peraturan, agar bisa menjamin
pilkada digelar secarafair, sehingga menghasilkan pasangan pemenang berdasarkan
kriteria objektif karena mendapat dukungan mayoritas oleh rakyat.
Kalaupun ada wacana mengembalikan pilkada ke DPRD, bukan hal yang tabu dalam
konteks kehidupan demokrasi. Namun, harus dijamin proses pemilihannya tidak
berdasarkan politik dagang sapi antarfraksi di DPRD.
Inilah pelajaran penting yang harus menjadi pertimbangan pemerintah pusat dan DPR,
untuk menata kembali praktik pilkada. Rencana revisi UU 32/2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan momentum untuk mengevaluasi dan meluruskan
kembali pelaksanaan pilkada.

Anda mungkin juga menyukai