Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH DEMOKRASI

Oleh:
Amy Mukaromatun Luthfiana (K2312005)
Fathoni Reza . A (K2312028)
Mega Permata . H (K2312044)
Mustofa Nafis (K2312047)

Prodi/Semt: Pendidikan Fisika 2012 A / II

FAKULTAS KEGURUAN dan ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


DEMOKRASI
1. Pengertian dan Jenis Demokrasi
A. Pengertian Demokrasi Menurut Para Ahli
 Abraham Lincoln 
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
 Charles Costello 
Demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri dengan
kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk
melindungi hak-hak perorangan warga negara.
 John L. Esposito 
Demokrasi pada dasarnya kekuasaan adalah dari dan untuk rakyat. Oleh
karenanya, semuanya berhak untuk berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun
mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja
lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
 Hans Kelsen 
Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang
melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih.
Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan
diperhatikan di dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
 Sidney Hook 
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan-keputusan
pemerintah yang penting secara langsung atau tidak didasarkan pada
kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa.
 Rifhi Siddiq 
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang kedaulatannya dipegang
oleh rakyat bertujuan mensejahterakan rakyat dan hak dan kewajiban
rakyatnya diakui secara hukum ketatanegaraan.
 C.F. Strong 
Demokrasi adalah Suatu sistem pemerintahan di mana mayoritas anggota
dewan dari masyarakat ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan
yang menjamin pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-
tindakannya pada mayoritas tersebut.
 Hannry B. Mayo 
Kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
di mana terjadi kebebasan politik.
 Merriem 
Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat; khususnya,
oleh mayoritas; pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat
dan dilakukan oleh mereka baik langsung atau tidak langsung melalui sebuah
sistem perwakilan yang biasanya dilakukan dengan cara mengadakan pemilu
bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum khususnya untuk
mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas atau privelese
berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
 Samuel Huntington 
Demokrasi ada jika para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam
sebuah sistem dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan
berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh
suara dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.

B. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan
“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara
bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di
mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,
pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi secara umum adalah bentuk pemerintahan yang semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat
mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi -
baik secara langsung atau melalui perwakilan - dalam perumusan, pengembangan,
dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara.
C. Jenis - Jenis Demokrasi Yang Ada di Dunia Saat Ini
 Demokrasi Presidentil.
Demokrasi presidetil disebut juga sebagai demokrasi presidensial. Dalam
demokrasi presidensial, orang-orang yang menjalankan pemerintahan (para
menteri dalam susunan kabinet presidensial) bertanggungjawab kepada
presiden karena yang memilih menteri-menteri itu adalah presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi presidensial antara lain negara
Pakistan pada masa pemerintahan Presiden Ayub Khan tahun 1960. Negara
Indonesia sejak tahun 1966 hingga sekarang juga menjalankan demokrasi
presidentil.

 Demokrasi Parlementer.
Dalam demokrasi parlementer, orang-orang yang menjalankan pemerintahan
(eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen dan kekuasaan legislatif (DPR)
berada di atas kekuasaan eksekutif. Para menteri kabinet bertanggungjawab
kepada badan legislatif. Kabinet harus mendapat kepercayaan dari DPR dan
DPR dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Negara yang menjalankan demokrasi parlementer dalam pemerintahan mereka
antara lain Belgia, Belanda, Perancis dan Indonesia pada masa Demokrasi
Liberal (tahun 1950 sampai 1959).

 Demokrasi dengan sistem pemisahan kekuasaan.


Sistem demokrasi dengan pemisahan kekuasaan hampir sepenuhnya diterapkan
di negara Amerika Serikat. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Kongres,
kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, sedangkan kekuasaan yudikatif
dipegang oleh Mahkamah Agung.
Masing-masing badan berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Kekuasaan
yang diberikan pada setiap badan dibatasi untuk mencegah penumpukan
kekuasaan. Antar lembaga negara bekerja dengan saling mengawasi sehingga
terjadi keseimbangan diantara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

 Demokasi melalui referendum dan inisiatif rakyat.


Referendum adalah pemungutan suara rakyat mengenai suatu rencana
pemberlakukan undang-undang. Sistem demokrasi melalui referendum ini
berlaku di negara Swiss. Setiap wilayah administratif di Swiss disebut sebagai
kanton.
Kanton-kanton tersebut berbentuk republik yang masing-masing kanton
memiliki kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam praktek
demokrasi di negara Swiss, tugas legislatif berada di bawah pengawasan
rakyat. Pengawasan oleh rakyat dilakukan melalui referendum. Referendum
dibagi menjadi dua, yaitu referendum obligator dan referendum fakultatif.
Referendum obligator atau referendum wajib adalah pemungutan suara rakyat
yang wajib dilakukan untuk suatu rencana undang-undang dasar negara bagian
atau undang-undang lain yang dianggap penting. Sedangkan referendum
fakultatif adalah pemungutan suara rakyat mengenai rencana undang-undang
yang tidak diharuskan, kecuali jika pada masa tertentu setelah rencana undang-
undang itu diumumkan sejumlah rakyat meminta diadakan referendum kembali

Di Seluruh Dunia ada banyak macam-macam demokrasi berbeda yang di


laksanakan negara tertentu dan kita dapat membedakannya menjadi 3 yaitu :

 Demokrasi langsung

Pada demokrasi langsung rakyat di ikutsertakan dalam segala proses


pengambilan keputusan untuk menjalankan kebijakan pemerintahan di negara
itu.

 Demokrasi Perwakilan atau demokrasi tidak langsung.

Demokrasi ini menjalankan sistem oleh rakyat melalui wakil rakyat yang
dipilihnya melalui Pemilu. Rakyat memilih wakilnya pada saat pemilu untuk
membuat keputusan politik Aspirasi rakyat yang disalurkan melalui wakil-
wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

 Demokrasi perwakilan dengan sistem pengawasan langsung dari rakyat.

Demokrasi ini adalah campuran anatra demokrasi langsung dan demokrasi


perwakilan. Rakyat memilih wakilnya untuk duduk didalam lembaga
perwakilan rakyat, tetapi wakil rakyat dalam menjalankan tugasnya diawasi
rakyat melalui referendum dan inisiatif rakyat. Demokrasi ini antara lain
dijalankan di negara Swiss.
2. Pelaksanaan Demokrasi Di Indonesia
Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia dibagi menjadi beberapa periodesasi:
A. Pelaksanaa Demokrasi di Indonesia Sebelum Reformasi
1) Pelaksanaan demokrasi pada masa revolusi ( 1945 – 1950 ).
Tahun 1945 – 1950, Indonesia masih berjuang menghadapi Belanda yang ingin
kembali ke Indonesia. Pada saat itu pelaksanaan demokrasi belum berjalan
dengan baik. Hal itu disebabkan oleh masih adanya revolusi fisik. Pada awal
kemerdekaan masih terdapat sentralisasi kekuasaan hal itu terlihat Pasal 4
Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi sebelum MPR, DPR dan DPA
dibentuk menurut UUD ini segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden denan
dibantu oleh KNIP. Untuk menghindari kesan bahwa negara Indonesia adalah
negara yang absolut pemerintah mengeluarkan :
 Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945, KNIP berubah
menjadi lembaga legislatif.
 Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945 tentang Pembentukan
Partai Politik.
 Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tentang perubahan sistem
pemerintahn presidensil menjadi parlementer

2)   Pelaksanaan demokrasi pada masa Orde Lama

a)  Masa demokrasi Liberal 1950 – 1959

Masa demokrasi liberal yang parlementer presiden sebagai lambang atau


berkedudukan sebagai Kepala Negara bukan sebagai kepala eksekutif. Masa
demokrasi ini peranan parlemen, akuntabilitas politik sangat tinggi dan
berkembangnya partai-partai politik. Namun demikian praktik demokrasi
pada masa ini dinilai gagal disebabkan :

 Dominannya partai politik


 Landasan sosial ekonomi yang masih lemah
 Tidak mampunya konstituante bersidang untuk mengganti UUDS 1950
Atas dasar kegagalan itu maka Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959 :
o Bubarkan konstituante
o Kembali ke UUD 1945 tidak berlaku UUD S 1950
o Pembentukan MPRS dan DPAS

b)    Masa demokrasi Terpimpin 1959 – 1966

Pengertian demokrasi terpimpin menurut Tap MPRS No. VII/MPRS/1965


adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat
secara gotong royong diantara semua kekuatan nasional yang progresif
revolusioner dengan berporoskan nasakom dengan ciri:

 Dominasi Presiden
 Terbatasnya peran partai politik
 Berkembangnya pengaruh PKI

Penyimpangan masa demokrasi terpimpin antara lain:

o Mengaburnya sistem kepartaian, pemimpin partai banyak yang


dipenjarakan
o Peranan Parlemen lembah bahkan akhirnya dibubarkan oleh presiden dan
presiden membentuk DPRGR
o Jaminan HAM lemah
o Terjadi sentralisasi kekuasaan
o Terbatasnya peranan pers
o Kebijakan politik luar negeri sudah memihak ke RRC (Blok Timur)

Akhirnya terjadi peristiwa pemberontakan G 30 September 1965 oleh PKI.

c)   Pelaksanaan demokrasi Orde Baru 1966 – 1998

Pelaksanaan demokrasi orde baru ditandai dengan keluarnya Surat Perintah


11 Maret 1966, Orde Baru bertekad akan melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara murni dan konsekwen. Awal Orde baru memberi harapan baru
pada rakyat pembangunan disegala bidang melalui Pelita I, II, III, IV, V dan
pada masa orde baru berhasil menyelenggarakan Pemilihan Umum tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap
gagal sebab:

 Rotasi kekuasaan eksekutif hampir dikatakan tidak ada


 Rekrutmen politik yang tertutup
 Pemilu yang jauh dari semangat demokratis
 Pengakuan HAM yang terbatas
 Tumbuhnya KKN yang merajalela

Sebab jatuhnya Orde Baru:

o Hancurnya ekonomi nasional ( krisis ekonomi )


o Terjadinya krisis politik
o TNI juga tidak bersedia menjadi alat kekuasaan orba
o Gelombang demonstrasi yang menghebat menuntut Presiden Soeharto
untuk turun jadi Presiden
o Pelaksanaan demokrasi pada masa Reformasi 1998 s/d sekarang.
Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan
dari Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21
Mei 1998.

B. Pelaksanaa Demokrasi di Indonesia Setelah Reformasi

Pengertian reformasi

Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah
ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada
gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden
Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri
pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di
Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli,
Yohanes Calvin, dll.
Pelaksanaan demokrasi masa reformasi hingga sekarang

Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari


Presiden Soeharto ke Wakil Presiden BJ Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.

Demokrasi yang dikembangkan pada masa reformasi pada dasarnya adalah


demokrasi dengan mendasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dengan
penyempurnaan pelaksanaannya dan perbaikan peraturan-peraturan yang tidak
demokratis, dengan meningkatkan peran lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi
negara dengan menegaskan fungsi, wewenang dan tanggung jawab yang mengacu
pada prinsip pemisahan kekuasaan dan tata hubungan yang jelas antara lembaga-
lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR – MPR
hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta
terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.

Masa reformasi berusaha membangun kembali kehidupan yang demokratis


antara lain dkeluarkannya :

 Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok reformasi


 Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan tap MPR tentang
Referandum
 Tap MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Negara yang bebas
dari KKN
 Tap MPR RI No. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan Masa Jabatan Presiden
dan Wakil Presiden RI
 Amandemen UUD 1945 sudah sampai amandemen I, II, III, IV

Keberhasilan demokrasi masa reformasi sampai sekarang

Setelah reformasi , keberhasilan akan demkrasi reformasi ini adalah telah


terlaksananya pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD,
DPD, dll. Keberhailan ini telah berjalan selam tiga periode yaitu pada tahun 1999,
2004, 2009
Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banyak memberi
ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga
permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol
pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan
tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap
menyimpang dari garis Reformasi.

Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi:

o Mengutamakan musyawarah mufakat


o Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara
o Tidak memaksakan kehendak pada orang lain
o Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan
o Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil
musyawarah
o Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur
o Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan
o Penegakan kedaulatan rakyat dengan memperdayakan pengawasan sebagai
lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat
o Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif.
o Penghormatan kepada beragam asas, ciri, aspirasi dan program parpol yang
memiliki partai
o Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak
asasi manusia

Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan
sebagai berikut :

Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-
hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal
28 UUD 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang
partai politik yang memungkinkan multi partai
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR /
1998 yang ditindaklanjuti dengan UU No 30/2002 tentang KOMISI
pemberantasan tindak pidana korupsi.

Lembaga MPR sudah berani mengambil langkah-langkah politis melalui


sidang tahunan dengan menuntut adanya laporan pertanggung jawaban tugas
lembaga negara ,UUD 1945 di amandemen,pimpinan MPR dan DPR dipisahkan
jabatannya, berani memecat presiden dalam sidang istimewanya.

Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali
masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih  langsung oleh rakyat . MPR
tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang
kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi
ditangan MPR melainkan menurut UUD.
3. Kasus Penyelewengan Demokrasi di Indonesia
A. Kasus Pilkada Palopo
Demokrasi yang sudah disepakati di Indonesia barulah sebatas ritual dan demokrasi
Prosedural. Hal ini tercermin dalam Pemilu, Pemilukada atau kongres-kongres Partai
politik. Budaya demokrasi seperti mentalitas demokratis, tenggang rasa terhadap
perbedaan pendapat, etika sportif, dan sebagainya, masih sangat lemah. Itulah
sebabnya, kalau kalah atau kecewa mereka mutung dan melakukan tindakan yang
sangat anarkis.
Lebih jauh, kecenderungan politik menarik diri atau political withdrawal itu
diwujudkan dalam Politik yang sedikit-sedikit mengancam dan kemudian mengamuk
dan Ini pertanda demokrasi belum matang karena tidak adanya paralelisme antara
format demokrasi dan substansi demokrasi, antara ritual-ritual demokrasi dan mental
demokrasi. Ironis memang di Palopo yang indah permai bersih dan terkenal sebagai
Kota yang menerima Adipura, juga kota yang Religius di kota ini dikenal dengan
mesjid tuanya , juga sebagai kota yang dikenal cukup aman dan tentram tiba tiba
menyala karena Pilkada. Bukan Pilkada sebenarnya yang membuatnya menyala, tapi
nafsu para peserta Pilkada yang sudah dikejar impian Jabatan Walikota, didepan
mata. Apalagi dengan selisih suara yang tipis. Membuat setan pun ikut memperkeruh
suasana dengan meniupkan bisikan bisakan bahwa si anu curang si ini curang di TPS
ini dan itu. Padahal kalau mau tenang dan mendahulukan nurani mestinya jika
memang suaranya ada yang hilang dan bisa dibuktikan dengan C1 dipengadilan maka
bisa dilakukan tuntutan. Hanya saja sekarang masyarakat juga belum sepenuhnya siap
menerima alternatif Pengadilan sebagai satu jalan Demokrasi , jadi memang
makhluk Demokrasi Pilkada Walikota dan Bupati serta Gubernur ini bukan juga anak
yang manis tetapi untuk Indonesia ini adalah “anak liar” yang bisa menghanguskan
demokrasi itu sendiri.
Pilkada sejak lama disamping boros Sumberdaya memang juga memicu persaingan
Elit disetiap daerah dalam berebut pengaruh dalam masyarakat dengan ekses yang
masih lebih banyak merugikan Masyarakat luas.
Berkaca dari Kasus Palopo ini dimana sebagian Pendukung yang tidak puas Calonnya
kalah yaitu HATI justru menjadi ironis sebab aksi bakar Kantor Walikota dan Media
di Palopo ini mencerminkan Masyarakat menjadi liar dan tidak terkendali jika
bergaul dengan anak demokrasi yang bernama Pilkada ini.
Polisi yang berjaga tentu kalah jumlah dibanding Massa pendukung yang memang
dalam kasus Palopo ini Massa pendukung seimbang karena selisih suara antara
Menang dan Kalah tidak sampai seribu Suara.
Masalahnya Makhluk Pilkada itu mengatur walaupun selisihnya satu suara tetap saja
yang lebih banyak satu suara dianggap sebagai pemenang apatah lagi ada ratusan
suara. Kerendahan hati menerima kekalahan karena Masyarakat memilih lebih
banyak peserta yang lain seharusnya sudah diatur oleh para pihak yang bertanding
didalam manajemen hati mereka bahwa hari ini pasti diantara dua pasang yang
bertarung mesti ada yang tidak terpilih sebab kecil sekali kemungkinan suaranya
persis sama banyaknya.
Jadi sudah seharusnya Semua Peserta Pilkada di Indonesia itu sebelum mengikuti
Pilkada diikutkan dulu Pelatihan Manajemen Hati yaitu bagaimana mengatasi gejolak
hati yang berkecamuk karena selisih suaranya tipis saja dengan yang terpilih di medan
yang berat inilah para peserta pelatihan mesti dinyatakan lulus baru boleh mengikuti
Pilkada.
Sebab sebenarnya semua kandidat harus memahami di Pilkada Manapun di Indonesia
saat ini yang menang itu hanya satu pasangan saja disetiap daerah Pemilihan dan
yang kalah lebih banyak sebab sudah berapa ribu pasangan Pilkada sejak anak
demokrasi ini lahir di Indonesia. dengan memahami hal ini para Kandidat bukan saja
dituntut menerima kekalahan yang terjadi tetapi juga menjadi lebih rendah hati dan
jujur mengakui bahwa diantara yang disukai Masyarakat ada saja orang yang lebih
disukai dibanding dirinya dan pasangannya.
Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah .semua merasa paling disukai oleh
Masyarakat dan lupa bahwa rasa suka dan keterpilihan itu bukan saja ditentukan oleh
Masyarakat itu sendiri tetapi ada Tuhan yang mengclick setiap tangan dan mata yang
ada di TPS TPS dan bilik bilik suara meskipun bukan Tuhan secara langsung yang
menangani hal itu setidaknya ada bala tentara Tuhan yang bekerja untuk
mempengaruhi setiap hati di setiap bilik suara Pilkada.

B. Tanggapan Presiden Terhadap Kasus Pilkada Palopo

Presiden Susilo Bambang Yudhdoyono mengkritik upaya pencegahan yang


dilakukan jajaran pemerintah daerah Sulawesi Selatan terkait kerusuhan yang terjadi
di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Kerusuhan terjadi pada Minggu (31/3/2013)
kemarin, dan terjadi pembakaran di sejumlah obyek vital Kota Palopo.

Presiden mengatakan, jajaran pemerintah Sulsel seharusnya bisa mencegah


peristiwa itu karena sudah banyak kerusuhan terkait pemilu kepala daerah.

"Kasus Palopo seharusnya bisa dicegah. Sudah amat banyak kejadian, begitu
hasil pilkada diumumkan, banyak yang marah, tidak puas, lalu merusak, membakar.
Kalau banyak kasus seperti itu mestinya pejabatnya, kepolisiannya, komando
teritorialnya bisa mengantisipasi dan mencegahnya," kata Presiden, dalam rapat
terbatas di Kantor Presiden di Jakarta, Senin (1/4/2013).

Presiden menyinggung Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 tahun 2013. Inpres


itu terkait penanganan gangguan keamanan dalam negeri. Menurut Presiden, dengan
Inpres itu seharusnya jajaran pemerintah daerah bisa membuat standar prosedur untuk
mengatasi gangguan keamanan di tiap-tiap daerah, termasuk upaya pencegahan.
Presiden lalu memberi analogi perbedaan pekerjaan tukang pos dengan jajaran
pemerintah. Tukang pos yang menerima paket kiriman dari warga hanya bertanggung
jawab mengantarkan sampai ke kotak paket. Setelah diantar melalui darat, laut, atau
udara, kata Presiden, ada tukang pos lain yang mengantarkan sampai tujuan. Presiden
mengaku, sudah memberi arahan kepada menteri terkait dan Gubernur Sulsel pada
Minggu malam melalui pesan singkat. Kepala daerah dan pejabat daerah lain, kata
Presiden, bertanggung jawab untuk menjaga ketertiban masyarakat.

Seperti diberitakan, massa pendukung calon wali kota/wakil wali kota Palopo
yang kalah, Haidir Basir-Thamrin Jufri, diduga membakar enam gedung perkantoran
karena tidak menerima kekalahan. Gedung yang dibakar, yakni kantor Dewan
Pimpinan Daerah Partai Golkar, kantor Wali Kota Palopo, kantor Dinas Perhubungan,
kantor Panitia Pengawas Pemilu, kantor Kecamatan Wara Timur, dan kantor harian
Palopo Pos. Massa juga membakar empat mobil dinas. Pasangan Haidir-Thamrin
diusung Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan sejumlah partai politik lain. Pasangan itu kalah dengan pasangan Judas
Amir-Akhmad Syarifuddin yang diusung Partai Golkar. Dalam pemilihan kepala
daerah putaran pertama pada 22 Januari lalu, Haidir-Thamrin meraih 19.561 suara dan
Judas-Akhmad 19.489 suara. Keduanya pun lolos ke putaran kedua mengalahkan lima
pasangan calon lain. Dalam rekapitulasi penghitungan suara putaran kedua, Judas-
Akhmad berbalik unggul dengan 37.469 suara. Haidir-Thamrin meraih 36.731 suara.
Hasil hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU itu lalu memicu kerusuhan.

C. Cara Meminimalisasi dan Mengatasi Konflik Pilkada

Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada
masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur
perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat
dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk
jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat
penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks
Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik tersebut, antara lain
dengan :

1) Conflict Governance

Conflict governance idealnya adalah mekanisme politik yang


mentransformasikan konflik yang tidak produktif atau konflik kekerasan menjadi
konflik yang produktif, konflik produktif mengartikan dirinya sebagai praktik
negosiasi terus menerus dalam ruang politik yang mendasarkan pada prinsip-
prinsip demokrasi. Demokrasi deliberatif dalam hal ini adalah fondasi yang paling
tepat bagi conflict gevernance. Nogosiasi yang berdiri di atas akal sehat,
imparsialisme, mendengarkan, kesetaraan, nir-kekerasan, dan aturan main legal.

Pelembagaan democratic conflict governance menyediakan tiga mekanime. Yaitu


mekanisme pengamanan, resolusi konflik, dan rekonsiliasi di setiap tingkat
kepemimpinan grass root. Setiap mekanisme dilaksanakan oleh lembaga-lembaga
kompeten yang telah ada dalam struktur pemerintahan dan lembaga yang dibentuk
secara ad hoc oleh berbagai kelompok kepentingan terlibat. Seperti pada
mekanisme pengamanan, aparat keamanan dalam hal ini lembaga kepolisian
menjadi penanggung jawab utama. Untuk menjalanka mekanisme conflict
governance, lembaga kepolisian perlu memiliki kualitas dalam mobilitas aparat
keamanan ke pusat-pusat dinamika konflik massa. Kepolisian harus juga memiliki
kemampuan menilai dinamika konflik dalam masyarakat. Sehingga, penanganan
dini bisa segera diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan. Hal
yang tidak kalah penting adalah kapasitas persuasi terhadap massa yang telah
membakar emosi dan siap menciptakan kekerasan.

Mekanisme resolusi konflik memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi judicial


settlement dan negosiasi untuk win-win solution. Mekanisme ini difasilitasi oleh
lembaga-lembaga demokrasi formal seperti KPU dan Lembaga Peradilan.
Walupun demikian mekanisme ini hanya bisa berjalan tatkala elit politik memiliki
komitmen terhadap demokrasi. Mekanisme rekonsiliasi di setiap level
kepemimpinan grass root merupakan proses sosial yang mendorong kerukunan
lintas kelompok identitas massa pendukung. Idealnya mekanisme ini dijalankan
oleh lembaga lintas kelompok, partai politik dan lembaga formal pemerintah
seperti kepolisian dan KPU.

Harapan kemenangan di tingkat massa grass root terhadap para figur elite politik
seringkali merupakan refleksi kepentingan identitas kelompok. Kemenangan figur
tertentu dianggap kemenangan kelompok identitas tertentu. Sehingga pada
dasarnya massa grass root memiliki suatu proses tersendiri dalam memaknai
sengketa pilkada yang tidak selalu bisa dikontrol oleh elite politiknya. Sehingga
fakta sosiologis ini sangat sulit hanya ditangani oleh meknisme pengamanan dan
resolusi konflik. Sebenarnya mekanisme rekonsiliasi di setiap tingkat
kepemimpinan grass root.

2) Kesadaran Demokrasi

Fondasi dari conflict governance dalam konteks pilkada damai adalah


kesadaran demokrasi. Artinya mekanisme-mekanisme dalam democratic conflict
governance hanya akan berjalan efektif dan menjadi mesin perdamaian tatkala
seluruh masyarakat memiliki kesadaran demokratis. Yaitu suatu kesadaran yang
dibentuk oleh nilai-nilai kemanusiaan dan kepercayaan hukum.Baik di tingkat
politik dan massa grass root kesadaran nondemokratis masih mewarnai di setiap
dimensi tindkan politik.

3) Undang-Undang

Untuk mengatasi dan meminimalisasi konflik pilkada diperlukan suatu


Undang-Undang tersendiri tentang tata kelola konflik publik termasuk konflik
pemilu. Negara melalui organisasi-organisasinya harus mampu mereduksi
kekerasan partai politik dan menciptakan konflik kepentingan yang konstruktif
untuk pembangunan perdamaian.

4) Melaksanakan Good Government

Dengan adanya Good Government, secara perlahan ajang pilkada tidak akan
diperebutkan sebagai serana mendapatkan keuntungan materi dan politik semata,
namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterkan rakyat sehingga
potensi konflik pemilu yang terjadi baik itu karena kekalahan dalam hasil
pemungutan suara dan lain sebagainya dapat diminalisir.

5) Mempertimbangkan faktor penguatan masyarakat sipil dan modal sosial berupa


kepercayaan antara warga dan elemen-elemen masyarakat.

Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari
setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk
mentransformasikan konflik politik. Ketika persoalan muncul, peritmbangan
rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan.
Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga
semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite
yang mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.

Konflik memang tidak bisa dihindari di wilayah demokrasi yang


masyarakatnya multikultural, terlebih kalau elite politiknya tidak memiliki
kedewasaan dalam berdemokrasi. Tetapi paling tidak menurut Cohen dalam
manajemen konflik, bagaimana kita bisa secara cerdas meminimalisir konflik itu
sendiri. Dalam konteks pilkada, setiap kandidat harus memiliki modal dasar
demokrasi yaitu “Sportifitas” mengakui keunggulan orang lain dan menerima
kekalahannya dengan lapang dada tanpa mencari kambing hitam.

Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan
adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya
dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa
integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang
tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas
yang paling sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi
juga akan menimbulkan persepsi publik tentang kompetensi dan
ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu
harus memperhatikan hal berikut:

a) Adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang
dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus
berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan
menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan
berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang,
tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.

b) Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan
contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk
mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses
pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat
menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi
efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang
terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.

c) Profesionalisme. Pemilihan umum juga memiliki arti penting dalam fungsi


demokrasi dimana anggota KPU harus memiliki pengetahuan yang mendalam
mengenai prosedur pemilihan umum dan filosofi pemilihan umum yang bebas dan
adil, diberi wewenang untuk melaksanakan dan mengatur proses tersebut.

d) Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang
ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional
sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul
dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti
dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang
bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya
berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan
efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada
banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan
kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus
memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan
adil.

e) Transparansi. Keseluruhan kredibilitas dari proses pemilihan umum secara


substansial tergantung pada semua yang berkepentingan, baik KPU, Panwaslu,
Partai Politik, pemerintah maupun masyarakat untuk ikut terlibat dalam formasi
dan fungsi dari struktur dan proses pemilu. Dalam hal ini, komunikasi dan
kerjasama semua stakeholder: KPU, panwaslu, partai politik dan institusi-institusi
dalam masyarakat harus dibangun atas dasar collective action untuk kepentingan
bersama.

Anda mungkin juga menyukai