Oleh:
Amy Mukaromatun Luthfiana (K2312005)
Fathoni Reza . A (K2312028)
Mega Permata . H (K2312044)
Mustofa Nafis (K2312047)
B. Pengertian Demokrasi
Secara etimologis “demokrasi” terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat, dan
“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi secara
bahasa demos-cratein atau demos-cratos (demokrasi) adalah keadaan negara di
mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,
kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,
pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Demokrasi secara umum adalah bentuk pemerintahan yang semua warga
negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat
mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi -
baik secara langsung atau melalui perwakilan - dalam perumusan, pengembangan,
dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan
budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara.
C. Jenis - Jenis Demokrasi Yang Ada di Dunia Saat Ini
Demokrasi Presidentil.
Demokrasi presidetil disebut juga sebagai demokrasi presidensial. Dalam
demokrasi presidensial, orang-orang yang menjalankan pemerintahan (para
menteri dalam susunan kabinet presidensial) bertanggungjawab kepada
presiden karena yang memilih menteri-menteri itu adalah presiden.
Negara yang menganut sistem demokrasi presidensial antara lain negara
Pakistan pada masa pemerintahan Presiden Ayub Khan tahun 1960. Negara
Indonesia sejak tahun 1966 hingga sekarang juga menjalankan demokrasi
presidentil.
Demokrasi Parlementer.
Dalam demokrasi parlementer, orang-orang yang menjalankan pemerintahan
(eksekutif) bertanggungjawab kepada parlemen dan kekuasaan legislatif (DPR)
berada di atas kekuasaan eksekutif. Para menteri kabinet bertanggungjawab
kepada badan legislatif. Kabinet harus mendapat kepercayaan dari DPR dan
DPR dapat memberikan mosi tidak percaya kepada kabinet.
Negara yang menjalankan demokrasi parlementer dalam pemerintahan mereka
antara lain Belgia, Belanda, Perancis dan Indonesia pada masa Demokrasi
Liberal (tahun 1950 sampai 1959).
Demokrasi langsung
Demokrasi ini menjalankan sistem oleh rakyat melalui wakil rakyat yang
dipilihnya melalui Pemilu. Rakyat memilih wakilnya pada saat pemilu untuk
membuat keputusan politik Aspirasi rakyat yang disalurkan melalui wakil-
wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Dominasi Presiden
Terbatasnya peran partai politik
Berkembangnya pengaruh PKI
Namun demikian perjalanan demokrasi pada masa orde baru ini dianggap
gagal sebab:
Pengertian reformasi
Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah
ada pada suatu masa. Di Indonesia, kata Reformasi umumnya merujuk kepada
gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan presiden
Soeharto atau era setelah Orde Baru. Kendati demikian, kata Reformasi sendiri
pertama-tama muncul dari gerakan pembaruan di kalangan Gereja Kristen di
Eropa Barat pada abad ke-16, yang dipimpin oleh Martin Luther, Ulrich Zwingli,
Yohanes Calvin, dll.
Pelaksanaan demokrasi masa reformasi hingga sekarang
Demokrasi Indonesia saat ini telah dimulai dengan terbentuknya DPR – MPR
hasil Pemilu 1999 yang telah memilih presiden dan wakil presiden serta
terbentuknya lembaga-lembaga tinggi yang lain.
Sistem pemerintahan masa orde reformasi dapat dilihat dari aktivitas kenegaraan
sebagai berikut :
Kebijakan pemerintah yang memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-
hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran baik lisan atau tulisan sesuai pasal
28 UUD 1945 dapat terwujud dengan dikeluarkannya UU No 2 / 1999 tentang
partai politik yang memungkinkan multi partai
Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta
bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkan ketetapan MPR No IX / MPR /
1998 yang ditindaklanjuti dengan UU No 30/2002 tentang KOMISI
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dengan Amandemen UUD 1945 masa jabatan presiden paling banyak dua kali
masa jabatan, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat . MPR
tidak lagi lembaga tertinggi negara melainkan lembaga negara yang
kedudukannya sama dengan presiden , MA , BPK, kedaulatan rakyat tidak lagi
ditangan MPR melainkan menurut UUD.
3. Kasus Penyelewengan Demokrasi di Indonesia
A. Kasus Pilkada Palopo
Demokrasi yang sudah disepakati di Indonesia barulah sebatas ritual dan demokrasi
Prosedural. Hal ini tercermin dalam Pemilu, Pemilukada atau kongres-kongres Partai
politik. Budaya demokrasi seperti mentalitas demokratis, tenggang rasa terhadap
perbedaan pendapat, etika sportif, dan sebagainya, masih sangat lemah. Itulah
sebabnya, kalau kalah atau kecewa mereka mutung dan melakukan tindakan yang
sangat anarkis.
Lebih jauh, kecenderungan politik menarik diri atau political withdrawal itu
diwujudkan dalam Politik yang sedikit-sedikit mengancam dan kemudian mengamuk
dan Ini pertanda demokrasi belum matang karena tidak adanya paralelisme antara
format demokrasi dan substansi demokrasi, antara ritual-ritual demokrasi dan mental
demokrasi. Ironis memang di Palopo yang indah permai bersih dan terkenal sebagai
Kota yang menerima Adipura, juga kota yang Religius di kota ini dikenal dengan
mesjid tuanya , juga sebagai kota yang dikenal cukup aman dan tentram tiba tiba
menyala karena Pilkada. Bukan Pilkada sebenarnya yang membuatnya menyala, tapi
nafsu para peserta Pilkada yang sudah dikejar impian Jabatan Walikota, didepan
mata. Apalagi dengan selisih suara yang tipis. Membuat setan pun ikut memperkeruh
suasana dengan meniupkan bisikan bisakan bahwa si anu curang si ini curang di TPS
ini dan itu. Padahal kalau mau tenang dan mendahulukan nurani mestinya jika
memang suaranya ada yang hilang dan bisa dibuktikan dengan C1 dipengadilan maka
bisa dilakukan tuntutan. Hanya saja sekarang masyarakat juga belum sepenuhnya siap
menerima alternatif Pengadilan sebagai satu jalan Demokrasi , jadi memang
makhluk Demokrasi Pilkada Walikota dan Bupati serta Gubernur ini bukan juga anak
yang manis tetapi untuk Indonesia ini adalah “anak liar” yang bisa menghanguskan
demokrasi itu sendiri.
Pilkada sejak lama disamping boros Sumberdaya memang juga memicu persaingan
Elit disetiap daerah dalam berebut pengaruh dalam masyarakat dengan ekses yang
masih lebih banyak merugikan Masyarakat luas.
Berkaca dari Kasus Palopo ini dimana sebagian Pendukung yang tidak puas Calonnya
kalah yaitu HATI justru menjadi ironis sebab aksi bakar Kantor Walikota dan Media
di Palopo ini mencerminkan Masyarakat menjadi liar dan tidak terkendali jika
bergaul dengan anak demokrasi yang bernama Pilkada ini.
Polisi yang berjaga tentu kalah jumlah dibanding Massa pendukung yang memang
dalam kasus Palopo ini Massa pendukung seimbang karena selisih suara antara
Menang dan Kalah tidak sampai seribu Suara.
Masalahnya Makhluk Pilkada itu mengatur walaupun selisihnya satu suara tetap saja
yang lebih banyak satu suara dianggap sebagai pemenang apatah lagi ada ratusan
suara. Kerendahan hati menerima kekalahan karena Masyarakat memilih lebih
banyak peserta yang lain seharusnya sudah diatur oleh para pihak yang bertanding
didalam manajemen hati mereka bahwa hari ini pasti diantara dua pasang yang
bertarung mesti ada yang tidak terpilih sebab kecil sekali kemungkinan suaranya
persis sama banyaknya.
Jadi sudah seharusnya Semua Peserta Pilkada di Indonesia itu sebelum mengikuti
Pilkada diikutkan dulu Pelatihan Manajemen Hati yaitu bagaimana mengatasi gejolak
hati yang berkecamuk karena selisih suaranya tipis saja dengan yang terpilih di medan
yang berat inilah para peserta pelatihan mesti dinyatakan lulus baru boleh mengikuti
Pilkada.
Sebab sebenarnya semua kandidat harus memahami di Pilkada Manapun di Indonesia
saat ini yang menang itu hanya satu pasangan saja disetiap daerah Pemilihan dan
yang kalah lebih banyak sebab sudah berapa ribu pasangan Pilkada sejak anak
demokrasi ini lahir di Indonesia. dengan memahami hal ini para Kandidat bukan saja
dituntut menerima kekalahan yang terjadi tetapi juga menjadi lebih rendah hati dan
jujur mengakui bahwa diantara yang disukai Masyarakat ada saja orang yang lebih
disukai dibanding dirinya dan pasangannya.
Yang terjadi di Indonesia saat ini adalah .semua merasa paling disukai oleh
Masyarakat dan lupa bahwa rasa suka dan keterpilihan itu bukan saja ditentukan oleh
Masyarakat itu sendiri tetapi ada Tuhan yang mengclick setiap tangan dan mata yang
ada di TPS TPS dan bilik bilik suara meskipun bukan Tuhan secara langsung yang
menangani hal itu setidaknya ada bala tentara Tuhan yang bekerja untuk
mempengaruhi setiap hati di setiap bilik suara Pilkada.
"Kasus Palopo seharusnya bisa dicegah. Sudah amat banyak kejadian, begitu
hasil pilkada diumumkan, banyak yang marah, tidak puas, lalu merusak, membakar.
Kalau banyak kasus seperti itu mestinya pejabatnya, kepolisiannya, komando
teritorialnya bisa mengantisipasi dan mencegahnya," kata Presiden, dalam rapat
terbatas di Kantor Presiden di Jakarta, Senin (1/4/2013).
Seperti diberitakan, massa pendukung calon wali kota/wakil wali kota Palopo
yang kalah, Haidir Basir-Thamrin Jufri, diduga membakar enam gedung perkantoran
karena tidak menerima kekalahan. Gedung yang dibakar, yakni kantor Dewan
Pimpinan Daerah Partai Golkar, kantor Wali Kota Palopo, kantor Dinas Perhubungan,
kantor Panitia Pengawas Pemilu, kantor Kecamatan Wara Timur, dan kantor harian
Palopo Pos. Massa juga membakar empat mobil dinas. Pasangan Haidir-Thamrin
diusung Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan sejumlah partai politik lain. Pasangan itu kalah dengan pasangan Judas
Amir-Akhmad Syarifuddin yang diusung Partai Golkar. Dalam pemilihan kepala
daerah putaran pertama pada 22 Januari lalu, Haidir-Thamrin meraih 19.561 suara dan
Judas-Akhmad 19.489 suara. Keduanya pun lolos ke putaran kedua mengalahkan lima
pasangan calon lain. Dalam rekapitulasi penghitungan suara putaran kedua, Judas-
Akhmad berbalik unggul dengan 37.469 suara. Haidir-Thamrin meraih 36.731 suara.
Hasil hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU itu lalu memicu kerusuhan.
Ilmuwan politik Juan J Linz dan Alfred Stepan mengatakan, suatu negara
dikatakan demokratis bila memenuhi prasyarat antara lain memiliki kebebasan kepada
masyarakat untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur
perserikatan, informasi dan komunikasi; memberikan ruang berkompetisi yang sehat
dan melalui cara-cara damai; serta tidak melarang siapapun berkompetisi untuk
jabatan politik. Dalam hal ini jelas, kompetisi politik yang damai menjadi prasyarat
penting bagi demokrasi. Oleh karena itu, salah satu agenda terpenting dalam konteks
Pilkada langsung adalah meminimalisasi potensi-potensi konflik tersebut, antara lain
dengan :
1) Conflict Governance
Harapan kemenangan di tingkat massa grass root terhadap para figur elite politik
seringkali merupakan refleksi kepentingan identitas kelompok. Kemenangan figur
tertentu dianggap kemenangan kelompok identitas tertentu. Sehingga pada
dasarnya massa grass root memiliki suatu proses tersendiri dalam memaknai
sengketa pilkada yang tidak selalu bisa dikontrol oleh elite politiknya. Sehingga
fakta sosiologis ini sangat sulit hanya ditangani oleh meknisme pengamanan dan
resolusi konflik. Sebenarnya mekanisme rekonsiliasi di setiap tingkat
kepemimpinan grass root.
2) Kesadaran Demokrasi
3) Undang-Undang
Dengan adanya Good Government, secara perlahan ajang pilkada tidak akan
diperebutkan sebagai serana mendapatkan keuntungan materi dan politik semata,
namun sebagai sarana melayani publik serta mensejahterkan rakyat sehingga
potensi konflik pemilu yang terjadi baik itu karena kekalahan dalam hasil
pemungutan suara dan lain sebagainya dapat diminalisir.
Pada konteks ini, tersedianya modal sosial kultural berupa kepercayaan dari
setiap warga dan terbukanya ruang dialog akan berguna untuk
mentransformasikan konflik politik. Ketika persoalan muncul, peritmbangan
rasional dan jernih berbasis social trust akan mereduksi cara-cara kekerasan.
Social trust antara warga dan keterbukaan ruang publik akan membuat warga
semakin peka terhadap lingkungan sosial maupun provokasi dari luar atau elite
yang mengguncang stabilitas di wilayah tersebut.
Tujuan utama penyelenggara pemilu adalah mengantar pemilu yang bebas dan
adil kepada para pemilih. Untuk itu, KPU harus melakukan semua fungsinya
dengan dengan tidak berpihak dan secara efektif harus menyakinkan bahwa
integritas setiap proses atau tahapan pemilu terlindungi dari oknum-oknum yang
tidak kompeten dan yang ingin bertindak curang. Kegagalan memenuhi tugas
yang paling sederhana pun tidak hanya mempengaruhi kualitas pelayanan, tapi
juga akan menimbulkan persepsi publik tentang kompetensi dan
ketidakberpihakan dari aministrator pemilu.
Penyelenggaraan pemilu yang bebas, adil, dan ideal untuk melaksanakan pemilu
harus memperhatikan hal berikut:
a) Adanya kemandirian dan ketidakberpihakan. KPU tidak boleh menjadi alat yang
dikendalikan oleh seseorang, penguasa atau partai politik tertentu. KPU harus
berfungsi tanpa bias atau kecenderungan politis. Adanya dugaan kebohongan
menyebabkan persepsi publik akan bias atau dugaan adanya intervensi akan
berdampak langsung tidak hanya pada kredibilitas lembaga yang berwenang,
tetapi juga pada keseluruhan proses pemilu.
b) Efisiensi. Efisiensi adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan
kredibilitas proses pemilu. Pada saat dihadapkan dengan dugaan-dugaan dan
contoh-contoh ketidakmampuan, sulit bagi lembaga pemilu untuk
mempertahankan kredibilitasnya. Efisiensi menjadi sangat penting dalam proses
pemilu ketika terjadi masalah di tingkat teknis dan masalah-masalah yang dapat
menstimulasi kericuhan dan pelanggaran aturan. Berbagai faktor mempengaruhi
efisiensi, misalnya staf yang kompeten, profesionalisme, sumber daya, dan yang
terpenting adalah waktu yang cukup untuk mengorganisir pemilu.
d) Kompeten, tidak berpihak dan penanganan yang cepat terhadap pertikaian yang
ada. Ketetapan undang-undang harus dijabarkan pada hal yang sangat operasional
sehingga setiap anggota KPU dapat mengatasi setiap permasalahan yang muncul
dalam memproses dan menengahi keluhan atas pelaksanaan pemilu, seperti
dugaan kecurangan ataupun konflik antar kelompok atau dalam regulasi yang
bersifat memaksa sekalipun. Partai-partai politik, dan masyarakat pada umumnya
berkeinginan agar keluhan mereka didengar dan ditindak lanjuti dengan cepat dan
efisien oleh KPU atau lembaga terkait. Kredibilitas administrasi KPU, pada
banyak kesempatan, tergantung pada kemampuan untuk mengurusi hal-hal yang
berkaitan dengan keluhan-keluhan dalam pemilu. Berhadapan dengan
kekhawatiran dan kecurigaan yang biasanya hadir pada masa transisi, KPU harus
memiliki sumber daya dan kompeten memahami aturan untuk dapat memenuhi
harapan masyarakat dalam memastikan terselenggaranya pemilu yang bebas dan
adil.