KEWARGANEGARAAN
Wayang Sebagai Identitas Nasional Indonesia
Oleh :
NIM : K2312005
Kelas : A
I. 1 Latar Belakang
Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas – identitas yang
sifatnya nasional. Sedangkan pada proses pembentukan identitas nasional
umumnya membutuhkan waktu dan perjuangan panjang diantara warga
bangsa- bangsa yang bersangkutan. Hal ini disebabkan identitas nasional
adalah hasil kesepakatan dari masyarakat bangsa itu sehingga setelah bangsa
Indonesia bernegara, mulailah dibentuk dan disepakati apa yang dapat menjadi
identitas nasional bangsa Indonesia. Dimana salah satu bentuk dari identitas
nasional bangsa Indonesia yakni kebudayaan daerah yang diterima sebagai
kebudayaan nasional.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap
suku memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda sehingga setiap
daerah memiliki minimal satu kebudayaan yang dapat dibanggakan, salah
satunya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini Jawa Tengah
mempunyai ragam kebudayaan, salah satunya adalah wayang. Wayang
merupakan salah satu unsur kebudayaan asli Indonesia yang telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa India. Seperti kita ketahui bahwa
wayang mempunyai arti harfiah bayangan yang dalam perkembangannya
pengertian dapat berarti pertunjukan panggung atau teater. Sebagai salah satu
bentuk dan hasil kebudayaan yang bernilai tinggi maka wayang banyak
menyimpan nilai-nilai seperti nilai religius, nilai ilmu pengetahuan atau filsafat
dan nilai seni. Bagi masyarakat Jawa pagelaran wayang yang hanya
dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti hari perayaan keagamaan dan acara-
acara slametan, dan untuk merayakan peristiwa penting, misalnya kelahiran,
sunatan, perkawinan itu, tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi pada
perkembangannya, cerita-cerita atau lakon yang dipentaskan disesuaikan
dengan kondisi dan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Di dalam wayang juga terkandung simbol-simbol tertentu. Bahkan sering
kali pementasan wayang ini menyindir bahkan mengkritik para tokoh
masyarakat, politikus, dan pemimpin negara yang perilakunya dianggap
‘menyimpang' dari harapan masyarakatnya.
Banyak para ahli yang senantiasa membicarakan wayang dari masa ke
masa, baik dalam kesempatan diskusi, seminar, kongres, terbitan buku,
majalah, koran dan sebagainya. Ini dilakukan karena pengetahuan wayang yang
demikian luas menarik untuk dibicarakan dan memberikan kontribusi terhadap
kehidupan masyarakat, baik di Indonesia maupun mancanegara. Nilai-nilai
kehidupan yang tergambar dalam wayang terbukti dapat dipergunakan sebagai
renungan dan referensi hidup berbangsa dan bernegara.
I. 2 Perumusan Masalah
1. Apa itu identitas nasional ?
2. Apa yang disebut dengan identitas nasional Indonesia?
3. Bagaimana sejarah wayang di Indonesia?
4. Bagaimana kedudukan wayang dalam masyarakat Indonesia?
5. Bagaimana wayang dalam fiksi Indonesia?
6. Apa saja nilai yang terkandung dalam pertunjukan seni wayang?
BAB II
ISI
Wayang adalah salah satu mitos lama yang memegang peranan penting
dalam masyarakat Jawa. Wayang dalam kebudayaan Jawa dianggap sebagai
simbolisasi mencapai kesempurnaan hidup. Dalam serat Centini dijelaskan
bahwa wayang berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang
menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari puturan hukum
sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut cakra manggilingan. Dalam
sastra Indonesia mutahir, wayang menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi
estetis yang tidak jarang membuat wayang “bergeser” dari mitos lamanya.
Beberapa pengarang Indonesia modern memanfaatkan wayang untuk
warna estetika karya-karya mereka. J.B Mangun Wijaya memanfaatkan alur,
aspek pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh pewayangan dalam novelnya
Durga Umayi dan Burung-burung Manyar. Putu Wijaya mengolah episode
Barata Yudha (Mahabarata) dalam novel Perang. Umar Kayam memanfaatkan
tokoh-tokoh Citraksi-Citraksi untuk cerpennya. Goenawan Muhhamad
terinspirasi lakon Parikesit dalam sebuah puisi panjangnya, dan Seno Gumira
Ajidarma dengan novel Kitab Omong Kosong menggugat mitos dalam lakon
wayang Ramayana.
Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira mencoba
mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba
membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai-nilai tentang
lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya pembongkaran
ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau kitab Ramayana
asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda,
Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara
Kanda, dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno justru memulai dari ide cerita
Utara Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak
populer di Jawa.
Pada bagian awal novel langsung tampak myth of freedom, dimana tokoh
Rama yang dalam masyarakat Jawa dimitoskan sebagai simbol satriya utama
yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terjaga dari segala
perbuatan buruk, justru digambarkan sebagai tokoh raja yang kejam yang
menaklukan beratus-ratus negara. Tokoh Rama yang dalam konsep Jawa
dimitoskan sebagai titisan (awatara) Dewa Wisnu pemelihara dunia malahan
dimunculkan sebagai raja haus kekuasaan dan melaksanakan upacara
aswameda parwa (persembahan kuda), yakni melepaskan kuda yang telah
diberi mantera dan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda tersebut harus takluk
atau ditaklukan.
Kalau dalam pewayangan Jawa. perang Rama dan Rahwana merupakan
lambang perlawanan antara yang benar dan yang jahat, maka dalam novel
Kitab Omong Kosong menjadi kabur mana yang mewakili kebenaran dan yang
mewakili kejahatan. Fokus utamanya bukan peperangan antara Rama dan
Rahwana tetapi peperangan antara Rama dengan dirinya sendiri. Persoalan
siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi kabur atau tidak didikotomi
secara jelas dan ekstrim seperti dalam cerita-cerita wayang di masyarakat.
Kalau dalam cerita pewayangan, kebaikan itu “diputihkan” dan kejahatan
“dihitamkan”, sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam,
kebaikan senantiasa terpisah dari kejahatan dan kebaikan selalu menang
melawan yang jahat. Justru dalam novel Kitab Omong Kosong dinyatakan
bahwa dalam hidup putih dan hitam dapat bercampur, adakalanya yang jahat
dapat demikian berkuasan dan yang baik bisa sangat menderita, demikian pula
sebaliknya.
Pembongkaran mitos juga tampak dengan munculnya tokoh-tokoh utama
yang tidak pernah disebut-sebut dalam cerita Ramayana yang justru tokoh-
tokoh ini berasal dari kalangan marginal atau rakyat kecil (kawula alit). Tokoh-
tokoh baru tersebut ---Satya dan Maneka--- merupakan sepasang muda-mudi,
yang satu seorang pemuda desa lugu yang desa dan sanak saudaranya musnakh
akibat upacara persembahan kuda Rama. Maneka malahan berasal dari
kalangan pelacur yang sejak kecil lahir di rumah bordil dan mencoba lari dari
nasibnya yang malang. Kedua tokoh baru ini lebih mendominasi cerita dan
tampil sebagai hero melebihi tokoh-tokoh pakem seperti Laksamana, Wibisina,
Sugriwa, dan Rama.
Munculnya tokoh Satya dan Maneka dalam novel ini merupakan upaya
penghancuran mitos pewayangan Jawa yang mengagung-agungkan
kebudayaan ksatria. Selama ini wayang dianggap sebagi symbol konsep
manusia ideal Jawa yang menekankan tentang hidup ksatria (satriya
pinandhita). Di pusat kebudayaan ksatria ini selalu dicitrakan cita-cita yang
indah serta ‘halus” dan tampillah para ksatria yang gagah berani tanpa cela
yang harus diteladani kawula alit (rakyat jelata). Dengan munculnya tokoh
Satya dan Maneka yang berasal dari rakyat jelata yang malahan berhasil
meneukan Kitab Omong Kosong sehingga dapat menyelamatkan kebudayaan
dunia, maka runtuhlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia
dari rakyat jelata. Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anoman, tak lebih
sakti, lebih luhur dan lebih baik dibanding dengan Satya anak petani dan
Maneka yang seorang pelacur.
Novel ini juga menjungkirbalikkan mitos kekuasaan dan konsep
kepemimpinan Jawa. Dalam pewayangan Jawa semenjak kebudayaan Hindu
masuk dan berkembang di Indonesia konsep kekuasaan selalu bertumpu pada
raja (ksatriya). Menurut konsep Jawa yang disimbolkan melalui wayang, raja
adalah “warenaning Allah”, proyeksi Tuhan, karena itu kekuasaanya bersifat
mulak. Konsep ini dalam bahasa pedhalangan dikatakan sebagai “gung
binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa
leksana” (sebesar kekuasan dewa, pemelihara hokum dan penguasa dunia,
memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur mulia dan
sifat adil terhadap sesama).
Konsep kepemimpinan ini dibongkar habis-habisan dalam novel Kitab
Omong Kosong. Dalam novel ini wajah cerita Ramayana menjadi sangat
berbeda karena rakyat jelata seperti Satya dan Maneka justru menajdi semacam
personifikasi rakyat yang tidak lagi tergantung dan bergantung pada raja
bahkan mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding kekuatan para
satriya.
Upaya dimunculkannya mitos baru yakni kekuatan rakya jelata semakin
kuat ketika di akhir cerita pengarang memunculkan tokoh Togog. Togog dalam
wayang Jawa adalah seorang abdi yang terbuang dan tersia-sia. Kebalikan dari
tokoh Semar yang merupakan punakawan (abdi) para kaum satriya yang sering
dianggap titisan Dewa Ismaya sehingga mendapat posisi yang khusus dalam
konsep Jawa, tokoh Togog justru nyaris tidak pernah diperbincangkan dan
bahkan tidak pernah mendapatkan peranan besar. Togog merupakan bagian
dari “kultur tertawa” yang membangun dunianya sendiri melawan dunia dari
mereka yang “resmi berkuasa”. Lawan dari kultur tertawa adalah “kultur
ketegangan”, kultur yang penuh formalitas, basa-basi, kepura-puraan serta
kemunafikan. Dan dalam novel ini justru Togoglah penulis “Kitab Omong
Kosong” yang dicari-cari dan diperebutkan kaum satriya.
Pengambilan estetika wayang dan sekaligus pendekontruksiannya dalam
sastra Indonesia mutahir seperti contoh di atas, merupakan bukti bahwa
satrawan mutahir Indonesia (etnis Jawa) adalah manusia perbatasan yang
sedang bertranformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-
tradisi Jawa menuju ke dalam negara-bangsa Indonesia yang notabene
merupakan ‘kampung halaman‘ dan budaya yang relatif baru. Hal ini
merupakan sebuah proses panjang yang berat karena pada satu sisi menuntut
mereka menata kembali keberadaan, kedudukan dan fungsi budaya dan sastra
Jawa sebagai akar mereka, dan di sisi lain mereka “terpaksa” melakukan
perantauan budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.
III.1 KESIMPULAN
1. Identitas nasional adalah ciri, tanda, jati diri yang dimiliki seseorang,
kelompok, masyarakat dan bangsa sehingga ia berbeda dengan lainnya
2. Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas – identitas yang
sifatnya nasional. Sedangkan proses pembentukan identitas nasional
umumnya membutuhkan waktu dan perjuangan panjang di antara warga
bangsa – negara yang bersangkutan.
3. Wayang adalah kebudayaan asli Indonesia dan erat hubungannya dengan
pemujaan “hyang” dan lakon-lakonnya pun diambil dari cerita-cerita yang
asalnya dari India.
4. Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting
untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada
masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan
nilai-nilai positif dan negatif.
5. Pagelaran wayang kulit syarat dengan nilai-nilai dan petuah hidup bagi
manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam pengertian
sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan
kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa.
Sebagai suatu kebudayaan, dalam wayang terkandung ajaran-ajaran
bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang masyarakat
Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup
sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya.
6. Wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur
yang dapat membantu manusia dalam melangsungkan, mempertahankan
hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya, yakni
dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu
kehidupan yang lebih baik.