Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN
Wayang Sebagai Identitas Nasional Indonesia

Oleh :

Nama : Amy Mukaromatun Luthfiana

NIM : K2312005

Kelas : A

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SEURAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas – identitas yang
sifatnya nasional. Sedangkan pada proses pembentukan identitas nasional
umumnya membutuhkan waktu dan perjuangan panjang diantara warga
bangsa- bangsa yang bersangkutan. Hal ini disebabkan identitas nasional
adalah hasil kesepakatan dari masyarakat bangsa itu sehingga setelah bangsa
Indonesia bernegara, mulailah dibentuk dan disepakati apa yang dapat menjadi
identitas nasional bangsa Indonesia. Dimana salah satu bentuk dari identitas
nasional bangsa Indonesia yakni kebudayaan daerah yang diterima sebagai
kebudayaan nasional.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang
kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang timbul dan berkembang dalam setiap
suku memiliki keunikan dan kekhasan yang berbeda-beda sehingga setiap
daerah memiliki minimal satu kebudayaan yang dapat dibanggakan, salah
satunya adalah kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dalam hal ini Jawa Tengah
mempunyai ragam kebudayaan, salah satunya adalah wayang. Wayang
merupakan salah satu unsur kebudayaan asli Indonesia yang telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia sebelum kedatangan bangsa India. Seperti kita ketahui bahwa
wayang mempunyai arti harfiah bayangan yang dalam perkembangannya
pengertian dapat berarti pertunjukan panggung atau teater. Sebagai salah satu
bentuk dan hasil kebudayaan yang bernilai tinggi maka wayang banyak
menyimpan nilai-nilai seperti nilai religius, nilai ilmu pengetahuan atau filsafat
dan nilai seni. Bagi masyarakat Jawa pagelaran wayang yang hanya
dipentaskan pada hari-hari tertentu seperti hari perayaan keagamaan dan acara-
acara slametan, dan untuk merayakan peristiwa penting, misalnya kelahiran,
sunatan, perkawinan itu, tidak hanya sebagai hiburan akan tetapi pada
perkembangannya, cerita-cerita atau lakon yang dipentaskan disesuaikan
dengan kondisi dan keadaan yang sedang dialami oleh masyarakat.
Di dalam wayang juga terkandung simbol-simbol tertentu. Bahkan sering
kali pementasan wayang ini menyindir bahkan mengkritik para tokoh
masyarakat, politikus, dan pemimpin negara yang perilakunya dianggap
‘menyimpang' dari harapan masyarakatnya.
Banyak para ahli yang senantiasa membicarakan wayang dari masa ke
masa, baik dalam kesempatan diskusi, seminar, kongres, terbitan buku,
majalah, koran dan sebagainya. Ini dilakukan karena pengetahuan wayang yang
demikian luas menarik untuk dibicarakan dan memberikan kontribusi terhadap
kehidupan masyarakat, baik di Indonesia maupun mancanegara. Nilai-nilai
kehidupan yang tergambar dalam wayang terbukti dapat dipergunakan sebagai
renungan dan referensi hidup berbangsa dan bernegara.

I. 2 Perumusan Masalah
1. Apa itu identitas nasional ?
2. Apa yang disebut dengan identitas nasional Indonesia?
3. Bagaimana sejarah wayang di Indonesia?
4. Bagaimana kedudukan wayang dalam masyarakat Indonesia?
5. Bagaimana wayang dalam fiksi Indonesia?
6. Apa saja nilai yang terkandung dalam pertunjukan seni wayang?
BAB II
ISI

II.1 IDENTITAS NASIONAL


Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan.
Secara etimologis, identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan
“nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki
pengertian harfiah; ciri,tanda atau jati diri yang melekat pada seseorang,
kelompok, sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Dengan demikian,
identitas berarti ciri – ciri, tanda – tanda atau jati diri yang dimiliki seseorang,
kelompok, masyarakat bahkan suatu bangsa sehingga dengan identitas itu bisa
membedakannya dengan yang lai. Kata “nasional” merujuk pada konsep
kebangsaan. Nasional menunjuk pada kelompok – kelompok persekutuan
hidup manusia yang lebih besar dari sekedar pengelompokan berdasarkan
ras,agama,budaya,bahasa, dsb. Oleh karena itu, identitas nasional lebih
merujuk pada identitas bangsa dalam pengertian politik.

II.1.1 Faktor Pembentukan Identitas Bersama


Proses pembentukan bangsa-negara membutuhkan identitas – identitas
untuk menyatukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor – faktor
yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa, meliputi
primodial, sakral, tokoh, bhinneka tunggal ika, sejarah, perkembangan
ekonomi, dan kelembagaan (Ramlan Surbakti,1999).
a. Primodial
b. Sakral
c. Tokoh
d. Bhinneka Tunggal Ika
e. Sajarah
f. Perkembangan Ekonomi
g. Kelembagaan

II.2 IDENTITAS NASIONAL INDONESIA


Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas – identitas yang
sifatnya nasional. Sedangkan proses pembentukan identitas nasional umumnya
membutuhkan waktu dan perjuangan panjang di antara warga bangsa – negara
yang bersagkutan. Hal ini disebabkan identitas nasional adalah hasil
kesepakatan masyarakat bangsa itu.
Beberapa bentuk identitas nasional bangsa Indonesia, adalah sebagai
berikut.
1. Bahasa nasional atau bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia
2. Bendera negara yaitu Sang Merah Putih
3. Lagu kebangsaan yaitu Indonesia Raya
4. Lambang negara yaitu Garuda Pancasila
5. Semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika
6. Dasar falsafah negara yaitu Pancasila
7. Konstitusi (Hukum Dasar) negara yaitu UUD 1945
8. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan ditangan
rakyat
9. Konsepsi wawasan nusantara
10. Kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional.

II.3 SEJARAH WAYANG


Akar kata wayang adalah yang, yung, dan yong, antara lain terdapat dalam
kata layang yang berarti “terbang”, doyong yang berarti “miring”, tidak stabil,
kemudian royong yang berarti selalu bergerak dari tempat satu ke tempat yang
lain, dan Poyang-payingan yang berarti berjalan sempoyongan, tidak tenang,
dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan dari pengertian yang dan
variasinya adalah tidak stabil, tidak pasti, tidak tenang, terbang, bergerak kian-
kemari (Sri Mulyono, 1982:9).
Awalan wa di dalam bahasa Jawa modern tidak mempunyai fungsi lagi.
Namun, dalam bahasa Jawa kuno awalan tersebut masih jelas dan memiliki
fungsi tata bahasa seperti pada kata wahiri yang berarti iri hati, cemburu. Jadi,
bahasa Jawa wayang adalah mengandung pengertian berjalan kian-kemari,
tidak tetap, sayup-sayup. Oleh karena itu, boneka-boneka yang digunakan
dalam pertunjukan itu berbayangan atau member bayang-bayang sehingga
dinamakan wayang (Sri Mulyono, 1982:10).
Dalam sejarah wayang terjadi kontroversi antara pendapat para ahli
mengenai asal-usul wayang tersebut ada yang mengatakan bahwa kesenian
wayang berasal dari pulau Jawa dan ada juga menyatakan bahwa pertunjukan
wayang berasal dari kebudayaan Hindu. Namun pada initnya pendapat-
pendapat tersebut mwnunjuk titik kesamaan bahwa wayang berasal dari pulau
Jawa. Hal ini terlihat dari pandangan-pandangan beberapa para seperti ahli Dr.
G. A. J. Hazeu, Dr. W. H. Rassers, dan Drs Suroto. Menurut Dr. G. A. J. Hazeu
wayang berasal dari pulau Jawa ini dibuktikan dengan menyelidiki istilah-
istilah sarana pertunjukan wayang kulit seperti wayang, kelir, blencong,
kepyak, dalang, kotak dan cempala (Sri Mulyono, 1982:8-22). Namun,
pendapat tersebut dibantah oleh Dr. W. H. Rassers. Pada mulanya Rasser
membantah Hazeu bahwa wayang berasal dari Hindu, namun pada akhirnya
Rasser ragu akan pendapatnya sendiri (Sri Mulyono, 1982:23).
Beda halnya dengan Soeroto, Soeroto menekankan wayang lebih daripada
fungsi wayang itu sendiri yaitu sebagai upacara keagamaan (Sri Mulyono,
1982:33). Soroto pun menyatakan bahwa wayang adalah kebudayaan asli
Indonesia dan erat hubungannya dengan pemujaan “hyang” dan lakon-
lakonnya pun diambil dari cerita-cerita yang asalnya dari India (Sri Mulyono,
1982:34). Jadi, untuk menjawab pertanyaan mengenai dari mana wayang
berasal adalah bahwa wayang berasal dari Indonesia dan khususnya di pulau
Jawa meskipun lakon-lakon wayang diambil dari India.

II.4 KEDUDUKAN WAYANG DALAM MASYARAKAT


II.4.1 Wayang sebagai Budaya Nasional
Masyarakat jawa mempunyai jenis kesenian tradisional yang bisa
hidup dan berkembang hingga kini dan mampu menyentuh hati sanubari
dan menggetarkan jiwa, yaitu seni pewayangan. Secara lahiriah, kesenian
wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi
wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang
tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara
tersirat.
Sebagai salah satu bentuk kebudayaan, maka wayang menduduki
tempat yang terhormat dan menjadi suatu bentuk kebudayaan nasional.
Selain identik dengan budaya Jawa, wayang kulit kini juga sudah menjadi
budaya nasional dan merupakan ciri khas Bangsa Indonesia. Tidak hanya
tampil dalam pagelaran, wayang kulit kini juga banyak digunakan sebagai
pajangan dan produk kerajinan tangan lainnya. Memang wayang kulit
selama ini identik dengan tokoh-tokoh pewayangan, seperti Gatot Kaca,
Semar beserta anak-anaknya atau Arjuna. Wayang kulit selalu
dikonotasikan barang-barang budaya yang selalu digunakan dalam
pagelaran semalam suntuk dengan lakonnya masing-masing.

II.4.2 Wayang dan Kehidupan


Wayang dalam pengertian “bayang-bayang” memberikan gambaran
bahwa di dalamnya terkandung lukisan tentang berbagai aspek kehidupan
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam, dan Tuhan;
meski dalam pengertian harfiah wayang merupakan bayangan yang
dihasilkan oleh “boneka-boneka wayang” dalam seni pertunjukan.
Wayang dalam pengertian “hyang”, “dewa”, “roh”, atau “sukma”
memberikan gambaran bahwa wayang merupakan perkembangan dari
upacara pemujaan roh nenek moyang bangsa Indonesia pada masa lampau.
Benang merah dari tradisi ini tampak pada upacara ruwatan, yakni wayang
sebagai sarana pembebasan malapetaka bagi seseorang/ kelompok orang
yang terkena sukerta/ noda gaib.
Wayang bagi orang jawa merupakan sibolisme pandangan-pandangan
hidup orang jawa mengenai hal-hal kehidupan. Dalam wayang seolah-olah
orang jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang
manusia, melainkan model-model hidup dan kelakuan manusia
digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan
mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan
perbuatan dari kelompok sosial tetentu.
Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai nilai budaya yang
tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap
pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya serta
hubungan manusia jawa dengan manusia lain.
Pertunjukkan wayang terutama wayang kulit sering dikaitkan dengan
upacara adat: perkawinan, selamatan kelahiran bayi, pindahan rumah,
sunatan, dll, dan biasanya disajikan dalam cerita-cerita yang memaknai
hajatan dimaksud, misalnya dalam hajatan perkawinan cerita yang diambil
"Parto Krama" (perkawinan Arjuna), hajatan kelahiran ditampilkan cerita
Abimanyu lahir, pembersihan desa mengambil cerita "Murwa
Kala/Ruwatan".

II.4.3 Wayang sebagai Sarana Pendidikan


Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan
tetapi bila dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang
sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau
perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai-
nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna
bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-
lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun
Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung
pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana
penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat
tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas
lahir di bumi Indonesia. Sifat lokal genius yang dimiliki bangsa Indonesia,
maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga
tidak terasa sifat asingnya.
Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan
Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang
itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.
Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia,
merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan
bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan
perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur
Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan
Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan
kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu
ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan
identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa
lain.

II.4.4 Fungsi Wayang


1. Fungsi religius.
Pada awalnya wayang diciptakan oleh manusia adalah sebagai alat
pemenuhan kebutuhan religiusnya. Manusia zaman dahulu,
mementaskan wayang (yang bentuknya tidak seperti kita kenal
sekarang) untuk memuja dan mempertemukan mereka dengan roh-roh
nenek moyang. Kepercayaan yang seperti demikian disebut
Animisme. Lalu untuk zaman sekarang, wayang masih dikaitkan
dengan nilai-nilai religius. Masih sering kali sebelum pementasan
wayang ada sesajen tertentu yang harus dibuat. Contoh yang lebih
nyata lagi dengan adanya upacara ruwatan dengan tujuan membuang
sial yang mengharuskan adanya pertunjukan wayang.
2. Fungsi Pendidikan.
Wayang digunakan juga oleh masyarakat sebagai media pendidikan.
Dengan wayang transformasi nilai-nilai luhur budaya dapat
berlangsung secara efektif. Banyak nilai-nilai kebaikan yang bisa
diambil dari cerita atau lakon yang ada dalam wayang. Transformasi
ini bersumber dari dalang yang biasanya adalah orang penting di
masyarakat, kepada masyarakat baik itu kalangan atas atau bawah.
Pada masa Sunan Kalijaga pun wayang dijadikan media pendidikan
dan wakwah. Melaluinya, ajaran-ajaran Islam disisipkan agar lebih
mudah dimengerti oleh masyarakat Jawa waktu itu.
3. Fungsi penerangan dan kritik sosial.
Dalam pertunjukan wayang, masyarakat bisa diinformasikan tentang
peristiwa apa yang penting untuk diketahui oleh para dalang. Misalnya
dengan mementaskan lakon-lakon tertentu yang sesuai dengan
keadaan masyarakat pada waktu itu. Lalu juga bisa dijadikan sarana
kritik sosial. Masyarakat bisa mengkiritik kebijakan pemimpin mereka
tanpa resiko kemarahan pemimpin melalui wayang. Dengan lakon-
lakon tertentu pula atau fragmen wayang “goro-goro” dalang bisa
bebas mengkritik kebijakan pemimpin.
4. Fungsi Hiburan.
Wayang di sini murni merupakan hiburan bagi masyarakat. Tidak
ditujukan untuk maksud-maksud religi tertentu. Tapi hanya untuk
menghibur masyarakat yang gemar akan seni pertunjukan ini. Seperti
pada acara khitanan, resepsi pernikahan, acara besar desa, yang
dipentaskan untuk menghibur khalayak ramai.

II.5 WAYANG dalam FIKSI INDONESIA

Wayang adalah salah satu mitos lama yang memegang peranan penting
dalam masyarakat Jawa. Wayang dalam kebudayaan Jawa dianggap sebagai
simbolisasi mencapai kesempurnaan hidup. Dalam serat Centini dijelaskan
bahwa wayang berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang
menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari puturan hukum
sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut cakra manggilingan. Dalam
sastra Indonesia mutahir, wayang menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi
estetis yang tidak jarang membuat wayang “bergeser” dari mitos lamanya.
Beberapa pengarang Indonesia modern memanfaatkan wayang untuk
warna estetika karya-karya mereka. J.B Mangun Wijaya memanfaatkan alur,
aspek pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh pewayangan dalam novelnya
Durga Umayi dan Burung-burung Manyar. Putu Wijaya mengolah episode
Barata Yudha (Mahabarata) dalam novel Perang. Umar Kayam memanfaatkan
tokoh-tokoh Citraksi-Citraksi untuk cerpennya. Goenawan Muhhamad
terinspirasi lakon Parikesit dalam sebuah puisi panjangnya, dan Seno Gumira
Ajidarma dengan novel Kitab Omong Kosong menggugat mitos dalam lakon
wayang Ramayana.
Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira mencoba
mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba
membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai-nilai tentang
lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya pembongkaran
ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau kitab Ramayana
asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda,
Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara
Kanda, dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno justru memulai dari ide cerita
Utara Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak
populer di Jawa.
Pada bagian awal novel langsung tampak myth of freedom, dimana tokoh
Rama yang dalam masyarakat Jawa dimitoskan sebagai simbol satriya utama
yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terjaga dari segala
perbuatan buruk, justru digambarkan sebagai tokoh raja yang kejam yang
menaklukan beratus-ratus negara. Tokoh Rama yang dalam konsep Jawa
dimitoskan sebagai titisan (awatara) Dewa Wisnu pemelihara dunia malahan
dimunculkan sebagai raja haus kekuasaan dan melaksanakan upacara
aswameda parwa (persembahan kuda), yakni melepaskan kuda yang telah
diberi mantera dan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda tersebut harus takluk
atau ditaklukan.
Kalau dalam pewayangan Jawa. perang Rama dan Rahwana merupakan
lambang perlawanan antara yang benar dan yang jahat, maka dalam novel
Kitab Omong Kosong menjadi kabur mana yang mewakili kebenaran dan yang
mewakili kejahatan. Fokus utamanya bukan peperangan antara Rama dan
Rahwana tetapi peperangan antara Rama dengan dirinya sendiri. Persoalan
siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi kabur atau tidak didikotomi
secara jelas dan ekstrim seperti dalam cerita-cerita wayang di masyarakat.
Kalau dalam cerita pewayangan, kebaikan itu “diputihkan” dan kejahatan
“dihitamkan”, sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam,
kebaikan senantiasa terpisah dari kejahatan dan kebaikan selalu menang
melawan yang jahat. Justru dalam novel Kitab Omong Kosong dinyatakan
bahwa dalam hidup putih dan hitam dapat bercampur, adakalanya yang jahat
dapat demikian berkuasan dan yang baik bisa sangat menderita, demikian pula
sebaliknya.
Pembongkaran mitos juga tampak dengan munculnya tokoh-tokoh utama
yang tidak pernah disebut-sebut dalam cerita Ramayana yang justru tokoh-
tokoh ini berasal dari kalangan marginal atau rakyat kecil (kawula alit). Tokoh-
tokoh baru tersebut ---Satya dan Maneka--- merupakan sepasang muda-mudi,
yang satu seorang pemuda desa lugu yang desa dan sanak saudaranya musnakh
akibat upacara persembahan kuda Rama. Maneka malahan berasal dari
kalangan pelacur yang sejak kecil lahir di rumah bordil dan mencoba lari dari
nasibnya yang malang. Kedua tokoh baru ini lebih mendominasi cerita dan
tampil sebagai hero melebihi tokoh-tokoh pakem seperti Laksamana, Wibisina,
Sugriwa, dan Rama.
Munculnya tokoh Satya dan Maneka dalam novel ini merupakan upaya
penghancuran mitos pewayangan Jawa yang mengagung-agungkan
kebudayaan ksatria. Selama ini wayang dianggap sebagi symbol konsep
manusia ideal Jawa yang menekankan tentang hidup ksatria (satriya
pinandhita). Di pusat kebudayaan ksatria ini selalu dicitrakan cita-cita yang
indah serta ‘halus” dan tampillah para ksatria yang gagah berani tanpa cela
yang harus diteladani kawula alit (rakyat jelata). Dengan munculnya tokoh
Satya dan Maneka yang berasal dari rakyat jelata yang malahan berhasil
meneukan Kitab Omong Kosong sehingga dapat menyelamatkan kebudayaan
dunia, maka runtuhlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia
dari rakyat jelata. Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anoman, tak lebih
sakti, lebih luhur dan lebih baik dibanding dengan Satya anak petani dan
Maneka yang seorang pelacur.
Novel ini juga menjungkirbalikkan mitos kekuasaan dan konsep
kepemimpinan Jawa. Dalam pewayangan Jawa semenjak kebudayaan Hindu
masuk dan berkembang di Indonesia konsep kekuasaan selalu bertumpu pada
raja (ksatriya). Menurut konsep Jawa yang disimbolkan melalui wayang, raja
adalah “warenaning Allah”, proyeksi Tuhan, karena itu kekuasaanya bersifat
mulak. Konsep ini dalam bahasa pedhalangan dikatakan sebagai “gung
binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa
leksana” (sebesar kekuasan dewa, pemelihara hokum dan penguasa dunia,
memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur mulia dan
sifat adil terhadap sesama).
Konsep kepemimpinan ini dibongkar habis-habisan dalam novel Kitab
Omong Kosong. Dalam novel ini wajah cerita Ramayana menjadi sangat
berbeda karena rakyat jelata seperti Satya dan Maneka justru menajdi semacam
personifikasi rakyat yang tidak lagi tergantung dan bergantung pada raja
bahkan mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding kekuatan para
satriya.
Upaya dimunculkannya mitos baru yakni kekuatan rakya jelata semakin
kuat ketika di akhir cerita pengarang memunculkan tokoh Togog. Togog dalam
wayang Jawa adalah seorang abdi yang terbuang dan tersia-sia. Kebalikan dari
tokoh Semar yang merupakan punakawan (abdi) para kaum satriya yang sering
dianggap titisan Dewa Ismaya sehingga mendapat posisi yang khusus dalam
konsep Jawa, tokoh Togog justru nyaris tidak pernah diperbincangkan dan
bahkan tidak pernah mendapatkan peranan besar. Togog merupakan bagian
dari “kultur tertawa” yang membangun dunianya sendiri melawan dunia dari
mereka yang “resmi berkuasa”. Lawan dari kultur tertawa adalah “kultur
ketegangan”, kultur yang penuh formalitas, basa-basi, kepura-puraan serta
kemunafikan. Dan dalam novel ini justru Togoglah penulis “Kitab Omong
Kosong” yang dicari-cari dan diperebutkan kaum satriya.
Pengambilan estetika wayang dan sekaligus pendekontruksiannya dalam
sastra Indonesia mutahir seperti contoh di atas, merupakan bukti bahwa
satrawan mutahir Indonesia (etnis Jawa) adalah manusia perbatasan yang
sedang bertranformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-
tradisi Jawa menuju ke dalam negara-bangsa Indonesia yang notabene
merupakan ‘kampung halaman‘ dan budaya yang relatif baru. Hal ini
merupakan sebuah proses panjang yang berat karena pada satu sisi menuntut
mereka menata kembali keberadaan, kedudukan dan fungsi budaya dan sastra
Jawa sebagai akar mereka, dan di sisi lain mereka “terpaksa” melakukan
perantauan budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.

II.6 NILAI DALAM WAYANG

II.6.1 Ajaran Moral dalam Wayang


Ceritera dalam pertunjukan wayang kulit sejatinya menampilkan
ajaran moral, dimana manusia hidup diharapkan dapat mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk. Tamsil etika nilai-nilai dalam wayang
biasanya disampaikan secara tegas misalnya jangan membunuh, jangan
berdusta, jangan berkhianat, tidak boleh marah, tidak boleh munafik dan
lain sebagainnya.
Hal lain yang ditampilkan dalam pergelaran wayang adalah soal
dilema atau pilihan. Manusia hidup ternyata selalu dihadapkan dengan
pilihan. Tetapi apapun pilihannya manusia toh harus memilih, meski pilihan
atau keputusan yang diambilnya tidak pernah sempurna. Hal ini
menunjukan bahwa manusia secara spikologis dan filosofis selalu
dihadapkan dengan problemanya yang tak pernah terpecahkan dengan
sempurna. Kemudian manusia harus mampu berdiri di salah satu pihak, mau
yang baik atau yang buruk misalnya; Jamadagni harus memilih membunuh
istrinya atau membiarkan istrinya berdosa Rama Parasu harus memilih
membunuh Ibunya atau menentang perintah Ayahnya Harjunasasrabau
harus memilih meninggalkan tahtahnya atau mencari Nirwana Wibisana
harus memilih ikut angkara atau ikut kebenaran. Sri Rama Harus memilih,
mengorbankan rakyatnya atau mengorbankan cintanya.
Sesudah manusia berani menetapkan pilihannya maka barulah
keputusan dan tindakan manusia itu berarti dan bermakna bagi
kehidupannya. Tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasarnya maka
sebenarnya manusia tidak menjalani kemanusiaaanya atau eksistensinya.
Jadi dengan demikian setiap tindakan manusia akan selalu didukung oleh
suatu sikap etis. Ia tidak akan dapat lari dan melepas tangung jawab dari
tindakan-tindakannya. Inilah salah satu ajaran wayang tentang bagaimana
manusia harus bersikap.

II.6.2 Asas Pancasila dalam Wayang


Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai
falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea
4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam
dunia pewayangan.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang
Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk
wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa
yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara
Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain
sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka
juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya
dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat
salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam
menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan
contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya
karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa
tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa
minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama
Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan
Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi
Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat
mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas.
Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila
Ketuhanan Yang Maha Esa
Asas Kemanusiaan
Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya
suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran.
Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun
kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun
untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk
kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat universal, artinya berlaku
kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun juga. Tokoh dalam dunia
pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak
jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam
Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang
mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan. Kisah inti dalam
Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu
Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini
dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal
tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan.
Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk
memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela
mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada dipihak yang salah.
Asas Persatuan
Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi
terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa,
namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna
memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu
Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang
ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak
Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya.
Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga
Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus
mengorbankan jiwa raga. Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang
sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat
Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama
Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan
baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa
pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati. Penampilan tokoh
Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan
sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar
sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria
disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat
ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai
Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat
Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang
Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus
menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para
ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut
segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap
memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai
penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul
rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang
berkuasa.
Asas Keadilan Sosial
Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri
tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna,
Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta.
Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita
Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu
dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam
menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal
sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih.
Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol
selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar..
BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

1. Identitas nasional adalah ciri, tanda, jati diri yang dimiliki seseorang,
kelompok, masyarakat dan bangsa sehingga ia berbeda dengan lainnya
2. Identitas nasional Indonesia menunjuk pada identitas – identitas yang
sifatnya nasional. Sedangkan proses pembentukan identitas nasional
umumnya membutuhkan waktu dan perjuangan panjang di antara warga
bangsa – negara yang bersangkutan.
3. Wayang adalah kebudayaan asli Indonesia dan erat hubungannya dengan
pemujaan “hyang” dan lakon-lakonnya pun diambil dari cerita-cerita yang
asalnya dari India.
4. Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting
untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada
masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan
nilai-nilai positif dan negatif.
5. Pagelaran wayang kulit syarat dengan nilai-nilai dan petuah hidup bagi
manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam pengertian
sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan
kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa.
Sebagai suatu kebudayaan, dalam wayang terkandung ajaran-ajaran
bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang masyarakat
Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup
sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya.
6. Wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur
yang dapat membantu manusia dalam melangsungkan, mempertahankan
hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya, yakni
dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu
kehidupan yang lebih baik.

III. 2 DAFTAR PUSTAKA

 Darmoko. 1999. Wayang Bentuk Isi dan Nilainya. Depok: FSUI.


 Gunarto, Padam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila.
Jakarta: UIP
 Winarno. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Bumi Aksara
 http://kenalilahilmu.wordpress.com/2010/11/pendidikan-
kewarganegaraan/22
(18 Maret 2013)
 http://forum.detik.com/wayang-sebagai-identitas-bangsa-t99520.html
(18 Maret 2013)

Anda mungkin juga menyukai