Anda di halaman 1dari 3

Konflik antara KPU Kota dengan Panwas Kota

Konflik antara KPU Kota dan Panwas Kota dilatarbelakangi, pertama


oleh kurang akuratnya data pemilih. Data pemilih diambil dari data di Kantor
Catatan Sipil, namun masih banyak menyimpan kesalahan. Panwas menemukan
kasus ada penduduk yang belum 17 tahun telah terdaftar sebagai pemilih,
sementara itu ada warga yang sudah berhak memilih tidak terdaftar sebagai
pemilih.
Beberapa warga melaporkan ke Panwas setelah ditetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bahkan saat menjelang
pemilihan yaitu ketika didistribusikan kartu pemilih. Menurut Ketua Panwas Kota, dibandingkan dengan data
Pimilihan Gubernur (Pilgub) tahun 2005, data untuk Pilkada jauh lebih meningkat. Data Pilgub berjumlah 67 ribu,
sementara data Pilkada 73 ribu, bertambah 10 %. Pertambahan warga yang mempunyai hak pilih ini mengundang
pertanyaan Panwas, “apakah pertumbuhan penduduk Kota Payakumbuh dalam kurun waktu
2 tahun sedemikian tinggi ?” Bagi pemilih yang tidak mendapat kartu pemilih dimungkinkan menunjukkan Kartu
Tanda Penduduk (KTP) untuk mencoblos. Catatan yang ada di Panwas, ada sekitar 100 warga yang tidak
mendapat kartu pemilih.
\

Masalah kedua, terkait dengan jumlah pemilih, terdapat perbedaan antara KPU Kota dengan Panwas. Perbedaan
tersebut terkait dengan masalah jumlah pemilih di daerah perbatasan. Masalahnya mereka berdomisili di daerah
Kabupaten Limapuluh Kota tapi mereka memiliki KTP Kotamadya Payakumbuh. Masalah itu timbul karena
peraturan perundangan yang terkait dengan pemilihan kepala daerah tidak mengatur masalah penduduk
perbatasan. Karena yang menjadi patokan adalah KTP, maka ketika ada pemilihan di Kabupaten Limapuluh Kota
mereka terdaftar sebagai pemilih di Kabupaten tersebut. Hal itu terjadi karena mereka mempunyai dua KTP, yakni
KTP Kota Payakumbuh dan KTP Kab. Limapuluh Kota. Wilayah perbatasan tersebut adalah wilayah antara Kota
Payakumbuh Utara dengan Kabupaten Limapuluh Kota yakni Api-Api yang statusnya tidak jelas. Pejabat Provinsi
pun tidak berani mengambil keputusan yang tegas dengan batas wilayah itu, dan masalah tersebut diserahkan ke
Kabupaten Limapuluh Kota dan Kotamadya Payakumbuh. Namun, di tingkat kabupaten dan kota tidak dibicarakan
secara tuntas. Hal itu karena wilayah administratif bisa dibagi, akan tetapi wilayah kesukuan tidak bisa dibagi.
Karena orang-orang tersebut berdomisili di Payakumbuh, mereka mengaku orang Payakumbuh, walaupun secara
administratif masuk ke Kabupaten Limapuluh Kota. Untuk mengatasi masalah ini maka telah bertemu pihak KPUD,
Panwas, Muspida Kota Payakumbuh dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Limapuluh Kota. Hasilnya adalah
bahwa penduduk di Api-Api tidak boleh menggunakan hak pilihnya untuk
Pilkada Kota Payakumbuh.

Konflik antara KPUD dengan PKS pada Pencalonan Walikota/Wakil Walikota


Konflik pada proses pencalonan terjadi antara KPUD dengan pasangan calon dari PKS. KPUD menetapkan aturan
bahwa pakaian calon adalah memakai Pakaian Sipil Lengkap (PSL). Namun pasangan calon dari PKS memakai
pakaian adat. Terjadi misinterpretasi antara KPUD dengan PKS. KPUD menetapkan bahwa pakaian calon baik
dalam pendaftaran calon di KPUD dengan pakaian digambar untuk kampanye sama yakni berpakaian PSL.
Sementara PKS bersikeras bahwa pakaian PSL hanya digunakan saat pendaftaran saja, sementara gambar untuk
kepentingan kampanye bisa memakai pakaian adat. Namun begitu KPUD mengalah dan membiarkan calon dari
PKS memakai pakaian adat sesuai dengan ciri partai PKS yang bercirikan Islam.

Konflik antar Anggota Partai Pendukung Calon dengan Panwas pada Masa Kampanye
Sebelum tahap kampanye dimulai banyak partai-partai pendukung pasangan calon tertentu yang melakukan
pelanggaran yakni menempel atributatribut calon seperti poster, dan spanduk. Persiapan dari calon incumbent
relatif sudah berjalan lebih dahulu, sementara pasangan calon yang lain baru memulai. Pendukung dari pasangan
incumbent menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebar poster, alat-alat peraga. Secara umum itu
dianggap sebagai pelanggaran. Hal ini karena masuk dalam kategori kampanye yang sifatnya mengajak,
memberitahu sehingga orang tertarik untuk memilih. Melihat pelanggaran-pelanggaran tersebut Panwas mengkaji
pelanggaran-pelanggaran itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait penyelenggaraan
Pilkada. Namun menurut Ketua Panwas, hal tersebut sulit dijangkau karena menurut UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 116 dinyatakan bahwa yang masuk pada kategori kampanye seperti yang
diatur dalam Pasal 75 (2) yakni kampanye diluar dari waktu yang telah diatur KPUD. Rentang waktu antara tahap
pendaftaran pemilih hingga tahap kampanye cukup panjang yakni sebulan. Waktu sebulan ini digunakan oleh para
calon dan partai pendukungnya dengan aktivitasnya masing-masing. Selain itu, terjadi juga konflik antara tim
kampanye pasangan Josrizal- Syamsul Bahri. Konflik itu terjadi saat berlangsungnya kampanye arak-arakan
yang dilakukan oleh pendukung dan partai pengusung pasangan tersebut. Pawai tersebut melanggar Pasal 78 (J)
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang melarang melakukan kampanye arak-arakan dengan
pawai. Pihak kepolisian mengambil tindakan untuk memecah arak-arakan tersebut dan diarahkan ke 4 (empat)
arah, sehingga tidak berkonvoi panjang. Arak-arakan hanya sekitar 20 – 30 mobil, arak-arakan tidak sempat
masuk kota karena diblokir.
Namun sewaktu kasus ini diproses secara hukum, “ternyata kasus ini tidak bisa didekati dengan pasal 116 UU No.
32 Tahun 2004 yakni pasal tentang kampanye di luar jadwal”. Sehingga langkah yang diambil Panwas adalah;
“pertama; tindakan preventif dalam arti memberikan pemahaman, sosialisasi, kesadaran pada pasangan calon
untuk tidak melakukan hal-hal itu. Pasangan calon dan timnya diundang ke kantor Panwas kemudian dijelaskan
aturan main pilkada. Kedua; menggunakan pendekatan persuasif. Apabila masih ada indikasi mengarah pada
terjadinya pelanggaran, maka diberitahu, ditelpon, disurati agar tidak melakukan kembali. Apabila hal ini juga tidak
berpengaruh, maka Panwas sebatas menertibkan semua atributatribut
pasangan calon atau partai pengusungnya.” Disinyalir, pada masa kampanye ini pasangan calon Josrizal-Syamsul
Bahri juga banyak menggunakan fasilitas dan memoblisasi staf Pemerintah Kota untuk kepentingan kampanye.
Tapi kritik dari partai pendukung pasangan calon lain tidak diperhatikan. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh
salah satu fungsionaris partai Golkar dengan mangatakan; “Tapi kritik dari pendukung calon pasangan lain tidak
mendapat tanggapan yang semestinya baik dari aparat kepolisian, demikian juga dengan Panwas yang tidak
banyak berbuat atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di masa kampanye”.29 Sepengakuan Ketua Panwas,
bahwa memang instruksi tertulis tidak ada tapi desas desus di masyarakat memang itu dikondisikan, terutama
pada kampanye terakhir.”

Konflik Terselubung antar Partai-Partai Pendukung Calon Walikota/Wakil Walikota


Pada Masa Tenang, muncul praktek yang beraroma money politic yang dilakukan oleh pasangan calon
incumbent. Pasangan calon tersebut membagibagikan uang insentif pada RT/RW yang dikatakan sebagai
insentif hari raya.
Ketua panwas merasakan ada kejanggalan dalam praktek tersebut. Terkait dengan posisi calon incumbent itu
salah satu fungsionaris PKS mengatakan bahwa ; “Calon incumbent yang hanya mendapat cuti 14 hari
menjelang pelaksanaan Pilkada sungguh merugikan pasangan calon yang lain. Semua sumberdaya yang ada di
Pemerintah Kota yang masih dikuasainya dimanfaatkan untuk kepentingan memenangkan pencalonannya.”32
Terkait dengan peran aparat desa dalam hal ini para ketua Rukun Tetangga (RT), pihak PKS menaruh kecurigaan
kepada ketua-ketua RT dalam hal pendaftaran pemilih. Kecurigaan tersebut yakni bahwa mereka dirasa kurang
maksimal, kurang teliti, ada indikasi kesengajaan karena para RT dikooptasi oleh Walikota yang juga menjadi
calon walikota. Pengakuan dari fungsionaris PKS tersebut bahwa “pada saat itu sudah diatasnamakan bahwa RT
adalah di kubu incumbent, bahkan ada di daerah tertentu lurah sampai RT dikoop oleh incumbent, mungkin
yang tidak setuju hanya beberapa orang.” PKS Payakumbuh berkeyakinan bahwa kalau ada incumbent
mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah, bisa dipastikan ada pengerahanpengerahan. PKS berkeberatan
ketika incumbent tidak mengundurkan diri, karena posisinya sebagai kepala daerah akan dimanfaatkan untuk
kepentingan dirinya. Menurutnya walaupun aturan itu berdasarkan UU yang legal, namun terasa tidak adil,
semestinya mengundurkan diri. Kasus lain adalah kasus kampanye hitam yakni adanya selebaran yang
mendiskreditkan Pasangan Benny-Hendri, tapi kasus itu segera ditangani oleh Panwas dan Polres Payakumbuh.34
Tindakan provokatif di masa tenang ini memang tidak mengakibatkan konflik yang melibatkan pihak-pihak tertentu,
karena dalam tindakan provokatif ini pihak yang melancarkan aksi tidak menampakkan diri secara terang-terangan.
Sehingga Panwas juga pihak kepolisian hanya bisa mengambil tindakan yang bersifat menormalkan keadaan.

Konflik antara Pendukung dan Pasangan Calon Terpilih dengan


Pendukung dan Pasangan Calon yang Kalah dalam Pilkada
Pemungutan suara Pilkada Payakumbuh dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 2007. Warga yang menggunakan
hak pilihnya berjumlah 50.443 orang dari 73.032 Daftar Pemilih Tetap (DPT). Sementara itu, sebanyak 22.589
pemilih tidak menggunakan hak suaranya. Hasil Pilkada menunjukkan, pasangan Josrizal Zain - Syamsul Bahri
unggul dengan 49 persen suara (24.788 pemilih). Disusul pasangan Masrul Malik - Risman Mukhtar dengan 10.828
pemilih (21,93 persen), pasangan Benny Mukhtar - Hendri 7.208 suara (15,77 persen) dan Ardi-Nasrullah 6.799
suara (12.88 persen).
Sebelum pelantikan pasangan terpilih Josrizal Zain-Syamsul Bahri dilakukan, suasana konflik terlihat antara
pasangan dan pendukung calon terpilih dan pasangan serta pendukung calon yang kalah dalam Pilkada. Tiga
pasang calon yang kalah dalam Pilkada mengajukan protes karena telah terjadi beberapa kecurangan.
Kecurangan itu misalnya “surat suara yang tidak terdistribusikan secara benar. Ada pemilih yang berhak memilih,
tapi tak mendapatkan surat suara, ada pula yang malah mendapatkan surat suara ganda.”36
Saat itu ketiga pasangan tersebut mengajukan protes ke KPUD, Panwas Kota dan KPUD Sumbar. Mereka juga
menengarai ada permainan uang (money politics) pada saat menjelang pencoblosan. Setiap orang diberikan
Rp10 ribu - Rp15 ribu untuk memilih pasangan tersebut. Namun sampai acara pelantikan Walikota/Wakil Walikota
Payakumbuh dilaksanakan, ancaman ketiga pasangan yang gagal dalam Pilkada tidak direalisasikan. Bahkan
Gubernur Gamawan Fauzi yang melantik Walikota/ Wakil Walikota memuji kesuksesan Pilkada Payakumbuh dan
menyatakan bahwa Pilkada Payakumbuh patut diteladani oleh Kota/Kabupaten lain yang akan melaksanakan
Pilkada.

Konflik antara Pemantau Pilkada dengan KPU Kota dan Panwas Kota
Sampai pada saat pelantikan terhadap pasangan calon terpilih dilakukan tanggal 22 September 2007, namun
tahapan Pilkada Payakumbuh belum sepenuhnya sempurna dilalui. Satu hal yang belum dijalankan KPUD adalah
pengumuman hasil audit dana kampanye pasangan calon kepala daerah kepada publik. Padahal, pengumuman ini
mutlak dilakukan sesuai dengan pasal 84 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Akibatnya,
sejumlah lembaga yang pernah memantau jalannya Pilkada Payakumbuh menilai, KPUD telah mengabaikan
peraturan. Menurut UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 83 dan 94, sumbangan dana
kampanye yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan perseorangan dan atau badan hukum swasta, mesti
disampaikan pasangan calon kepada KPUD satu hari setelah dan sesudah masa kampanye berakhir.
Selain itu, KPUD mesti mengumumkan pula laporan sumbangan dana setiap pasangan calon kepala daerah
kepada masyarakat, melalui media massa. Pengumuman ini menurut Pasal 83 ayat 7 UU Nomor 32 tahun 2004
dilakukan KPUD satu hari setelah menerima laporan dari pasangan calon. Namun sampai 5 minggu setelah
pemungutan suara KPU Kota belum menmpublikasikan, seperti yang disitir oleh Ketua Panwas kota bahwa;
“namun sampai sekarang, KPUD belum juga mengumumkannya. Sehingga publik tidak tahu, apakah calon kepala
daerah sudah menyerahkan laporan dana kampanyenya? Atau KPUD yang memang belum menyampaikan
melalui media massa? Karena itu, kami harap
KPUD tidak lengah.”
Selain itu, pasca penghitungan suara, konflik yang melibatkan KPU Kota dengan Panwas Kota terkait dengan
penyampaian informasi kegiatan Pilkada kepada publik. Diatur dalam UU No. 22 tahun 2007, juga UU No. 32
Tahun 2004, dan PP No. 6 Tahun 2005 bahwa KPUD harus menyampaikan informasi kegiatannya kepada publik,
tapi yang menjadi permasalahan adalah; bagaimana mekanisme yang ditempuh untuk menyampaikan kegiatannya
kepada publik? bagaimana format penyampaian informasinya? Mempublikasinya dimana? menyangkut materinya,
materi apa yang dilaporkan ke publik? Yang dimaksud dengan publik tersebut publik yang mana? Terabaikannya
penyampaian informasi kegiatan ke publik ini oleh KPU Kota membuat Panwas tidak bisa menindaklanjuti, karena
tidak jelas standar/ukuran yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai