Anda di halaman 1dari 8

KELEMAHAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA;

1. Melahirkan wakil rakyat karbitan yang masih belajar, belum teruji dan sebagian bukan kader
terbaik partai, sehingga terpilih wakil yang gagal menjaga pintu (gate keepers) moral dan
tanggung jawab, alih-alih perjuangkan rakyat, fungsi pengawasan pun tidak maksimal.

2. Rakyat berdaulat penuh. Namun realitas kondisi masyarakat yang masih lapar dan miskin,
cenderung memilih wakil yang memiliki modal dan berduit, mengabaikan soal fatsun politik,
moralitas apalagi kapasitas.

3. Fakta selama ini menunjukkan trend proporsional terbuka melahirkan wakil rakyat instan,
berbekal akses kapital dan popularitas semata.

4. Konsekuensi dari proporsional terbuka, terjadi persaingan yang kurang sehat (politik destruktif)
antar caleg dalam satu partai, tabiat ganjil kontestasi sesama caleg satu partai, bukan berperang
dengan partai lain.

5. Seorang caleg tidak perlu bersusah payah menjadi pengurus partai. Cukup menjadi
penumpang gelap dan terpilih dalam sebuah hajatan pemilu lewat operasi sentuhan akhir
(finishing touch) yang sempurna.

6. Kader yang sudah berjuang dan berdarah-darah membesarkan partai selama ini tidak terpilih
dalam pemilu legislatif karena minim modal.

7. Bagi seorang caleg membutuhkan modal politik yang cukup besar sehingga peluang
terjadinya politik uang sangat tinggi.

8. Penghitungan hasil suara rumit.

9. Sulit menegakkan kuota gender dan etnis.

10. Muncul potensi mereduksi peran parpol.

11. Persaingan antar kandidat di internal partai.

12. Biaya pemilu menjadi sangat besar, terutama untuk mencetak Surat Suara, kertas
Rekapitulasi Penghitungan Suara dari tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kab/Kota, KPUD dan KPU
Nasional.

Yusril mewakili Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Pihak Terkait dalam Perkara
Nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal pengujian materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Permohonan pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh
Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi,
Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Sidang tersebut digelar dengan agenda
mendengarkan keterangan Pihak Terkait.
Yusril mengatakan, pergeseran hak untuk menempatkan kandidat dari partai politik kepada
kuantitas suara terbanyak ini jelas bertentangan konsep kedaulatan rakyat yang diatur oleh Pasal
1 ayat (2), (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat (2), (3) dan Pasal 28D ayat (1) UU NRI 1945. Hal
ini dikarenakan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UU 1945 telah menegaskan kedaulatan yang berada di
tangan rakyat itu tidaklah dilaksanakan oleh seluruh rakyat Indonesia melainkan dilakukan
menurut cara yang ditentukan oleh UUD yakni oleh ketentuan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E ayat
(2) dan ayat (3) UUD 1945 dilakukan oleh partai politik melalui kepersertaannya di pemilu untuk
memilih DPR, DPRD dan Presiden serta Wakil Presiden.“Dengan ditegaskan partai politik
pemain utama peserta dalam pemilihan umum maka ketika jumlah suara yang diperoleh telah
mencukupi syarat untuk itu maka sudah selayaknya partai politik diberikan peran signifikan untuk
menentukan kandidat mana yang akan ditentukan duduk di post jabatan terpilih,” kata Yusril di
hadapan sidang.

Sisi Gelap Sistem Proporsional Terbuka

Menurut Yusril, penyerahan keputusan keterpilihan suara terbanyak dalam empat kali
pemilu telah menampilkan banyak sisi gelap dari sistem proporsional terbuka. Sistem
proporsional terbuka yang awalnya bertujuan menghilangkan jarak pemilih dan kandidat wakil
rakyat, ternyata memunculkan jarak antara pemilih dan kandidat wakil rakyat yang melemahkan
posisi partai politik. Partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana
penyalur pendidikan dan partisipasi politik yang benar.

Lebih lanjut Yusril mengatakan, partai politik tidak lagi fokus mengejar fungsi sebagai
penyalur, pendidikan dan partisipasi politik yang benar. Partai politik tidak lagi berupaya
meningkatkan kualitas program-programnya yang mencerminkan ideologi partai melainkan
hanya sekedar untuk mencari fokus kandidat-kandidat yang dapat menjadi magnet untuk
meraih suara terbanyak. Di sinilah letak pelemahan partai politik itu terjadi secara struktural.
Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka
panjang ideologi partai melainkan fokus mencari jalan pintas dengan memburu kader-kader
popular berkemampuan finansial untuk mendanai kebutuhan partai.

“Kader-kader terbaik yang ideologis punya kapasitas untuk bekerja namun tidak begitu
popular, perlahan-lahan tersingkir dari lingkaran partai dan digantikan oleh figur-figur terkenal
yang nyatanya kadang-kadang belum tentu bisa bekerja dengan baik,” tegasnya.

Yusril menilai keterpilihan suara terbanyak yang diusung oleh sistem proporsional terbuka
secara langsung telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan
pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan
berkemampuan finansial dikarenakan kader terkenal dan berkemampuan finansial ini menjadi
magnet dari partai demi meraih suara terbanyak. Maka tidak jarang partai tidak mampu atau
bahkan ragu untuk melalukan pembinaan dalam bentuk pengawasan atau kontrol atau bahkan
sekedar melakukan penindakan atau menjatuhkan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan
kader-kader popular dan berkemampuan finansial tersebut semata-mata karena basis masa
besar dan berkemampuan finansial di baliknya yang sewaktu-waktu dianggap dapat merugikan
kepentingan partai. Akibatnya partai maju mundur dalam melakukan pembinaan dan
menjalankan fungsinya.

Suara Tidak Sah

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Periode 2017-2022 ini menjelaskan proses
pemungutan suara, dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara adalah proses yang rumit,
melelahkan dan sangat berpotensi kepada kesalahan. Proses pemungutan suara di mana harus
memilih calon, dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah.

Pada pemilu 2019, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953, atau setara 11,12%. Proses
penghitungan suara juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka. Proses
penghitungan yang memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon
atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.

“Potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses penghitungan suara dalam proses
pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan
yang sering terjadi TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada
calon lain dalam satu partai,” jelas Fritz.

Hilangkan Politik Uang

Persoalan yang sering terjadi dalam suatu pemilu, ungkap Fritz, adalah tingginya politik uang.
Dalam Pemilu 2019, terdapat sebanyak 69 putusan pengadilan terkait pelanggaran pidana politik
uang.

Begitu banyak literatur, baik yang ditulis para ilmuwan dari dalam atau luar negeri,
bagaimana politik uang merusak proses pemilu yang sedang terjadi. “Dan perubahan
melaksanakan pemilu dengan sistem propostional tertutup, menjadi salah satu cara yang efektif
untuk menghilangkan politik uang dalam proses pemilu.” Tegas Fritz di hadapan Wakil Ketua
MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusional lainnya.
Pelemahan Partai Politik

Agus Riewanto dalam persidangan secara daring mengatakan sistem pemilu proporsional
terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, tidak sesuai kehendak
konstitusi. “Sehingga patut dinyatakan inkonstitusional,” kata Agus.

Menurut Agus, sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan pelembagaan


organisasi partai politik (parpol) di negara demokrasi. Bentuk pelemahan pelembagaan parpol
dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang
terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol,
karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis
suara terbanyak.

Dalam praktik penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2009, 2014 dan 2019 di
Indonesia tidak sesuai kehendak konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945,
karena peserta pemilu bukan parpol melainkan individu atau caleg. Organisasi Parpol kehilangan
perannya secara signifikan dalam sistem pemilu proporsional terbuka. Karena sistem ini
dimaknai dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu penentuan caleg terpilih berdasarkan suara
terbanyak bukan berdasarkan nomor urut yang disiapkan oleh parpol dalam surat suara.

“Dalam praktiknya sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih
berdasarkan suara terbanyak ini berdampak pada pemilu yang hanya bergantung pada figur
atau kandidat (candidate-centered politics). Sehingga pemilih dalam memilih lebih
mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang. Dalam praktiknya kendati
Parpol diberi kewenangan melakukan perekrutan caleg dan menempatkan ke dalam nomor urut,
namun hanya bersifat formalitas belaka karena caleg yang ada di nomor urut tersebut tidak
secara otomatis dapat terpilih dalam Pemilu,” terang Agus.

Menurut Agus, sistem pemilu proporsional terbuka ini telah mendorong parpol untuk
berlomba-lomba merekrut caleg yang memiliki modal dana yang besar dan popular agar dipilih
oleh pemilih bukan merekrut caleg berdasarkan pada ikatan ideologi dan struktur partai politik,
dan memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis
sosial politik. Akibatnya saat caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan
mewakili organisasi partai politik, namun mewakili dirinya sendiri.

Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka telah menjadi penyebab utama mengapa
caleg memiliki sikap yang tak loyal pada organisasi parpol, karena caleg merasa parpol hanya
kendaraan dan yang menentukan keterpilihannya adalah pemilih bukan organisasi parpol.
Akibatnya berdampak pada krisis kewibawaan organisasi parpol. Melemahkan partisipasi
masyarakat untuk menjadi pengurus partai politik. Akibatnya partai politik tidak menjalankan
fungsinya sebagai organisasi yang bersifat ideologis dan organ pengkaderan calon pemimpin
politik.

Sebagai informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU


Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono
Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono. Para Pemohon
mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2)
hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3)
bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan


berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional
berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal
popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki
pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi
partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian
yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti
pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan


individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai
politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik
atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai
politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan


calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya
sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Sistem proporsional terbuka dinilai
Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena
mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia
penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi
praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil. Di samping itu, sistem
pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini
juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai
percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa
“terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
berkekuatan hukum mengikat.
Peristiwa pemilu 2019

Diketahui, berdasarkan data Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan tiap provinsi
mencatat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang sakit sudah
mencapai 11.239 orang dan korban meninggal 527 jiwa. Berdasarkan siaran pers Kementerian
Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/5/2019), seperti dikutip Antara, jumlah korban
sakit dan meninggal tersebut hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019.
Jumlah petugas pemilu yang meninggal bertambah dari 4 provinsi, yakni Sumatera Utara
dengan jumlah petugas meninggal sembilan jiwa; Sulawesi Selatan empat jiwa; Bangka Belitung
satu jiwa; dan Sulawesi Barat satu jiwa.

contoh UU yang mungkin tidak sejalan dengan sistem pemilu proporsional terbuka:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum: UU ini mengatur


tentang penyelenggaraan pemilu di Indonesia, termasuk sistem pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang menggunakan metode pemilu proporsional dengan daftar calon
terbuka (DCT) dan sistem perolehan suara terbanyak.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik: UU ini mengatur tentang
pendirian, pengorganisasian, dan kegiatan partai politik di Indonesia. UU ini menyebutkan bahwa
partai politik harus memperoleh suara minimal 4% dari suara sah secara nasional atau 3% dari
suara sah di setiap provinsi yang tersebar di setidaknya setengah jumlah provinsi di Indonesia
untuk dapat mengajukan calon anggota DPR.

beban kerja di Pemilu 2019 cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor banyak
petugas yang sakit atau meninggal dunia.Para peneliti juga menyimpulkan, beban kerja yang
berat memicu kelelahan. Dampak lanjutan dari kelelahan adalah penyakit-penyakit para petugas
muncul ke permukaan. Peneliti berkeyakinan, para petugas sebelumnya memang memiliki
masalah kesehatan seperti diabetes atau jantung. Namun, jika tidak menerima tekanan kerja
yang berlebihan, faktor risiko dimungkinkan tidak muncul begitu cepat.

H. 22

Sistem Proporsional Terbuka melanggar Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dimana Pemilu ditujukan
untuk memilih Anggota DPR dan DPRD melalui Partai Politik jo Pasal 18 ayat (3) dan dan Pasal 19
ayat (1) serta Kepastian Hukum yang Diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pasal 22E Ayat (3) Peserta pemilu DPR & DPRD adl parpol.

Pasal 18 Ayat (3) Pemda Prov,kab,kota punya DPRD yg dpilih pemilu


Pasal 19 Ayat (1) Susunan DPR diatur UU

Pasal 28D Ayat (1) Typ org berhak atas pengakuan, jaminan, prlindungan hukum yg adil dan
sama di depan hukum.

H. 24

Bangunan ketatanegaraan kita, menghendaki bahwa sistem proporsional tertutup, dengan


memberikan keleluasaan kepada Partai Politik.

H. 25

Sistem Proporsional Terbuka Menyebabkan Kerumitan dalam Pelaksanaan Pemilu.

H. 27

Sistem Proporsional Terbuka Menyebabkan Pemborosan Anggaran Negara.

H. 29

Sistem Proporsional Terbuka Menyebabkan Politik Uang (Money Politics) dan Mendorong
Terjadinya Tindak Pidana Korupsi

H. 31

Proposional Terbuka Mengakibatkan Pelemahan Pelembagaan Partai Politik

H.32

Sistem Proporsional Terbuka Menimbulkan Masalah Multidimensi

Sistem proporsional terbuka mempermudah keterpilihan kandidat populer meski


minim kapasitas dan mempersulit kader ideologis yang berkapasitas namun tidak populer. Kader-
kader yang kurang populer ini juga merespon sistem proporsional terbuka dengan
mengupayakan segala macam cara untuk membuat dirinya populer agar menjadi magnet suara.
Jadi para kandidat bukan fokus membuat karya program, gagasan dan ide perbaikan melainkan
sibuk memoles dirinya sendiri. Sementara pemilih kita tidak kalah kelirunya ikut terbawa
pengaruh penyakit keterkenalan kandidat itu sehingga ketika sampai di belik suara pemilih kita
hanya sekedar memilih kandidat yang terkenal atau yang ia kenal kerabat atas keluarganya
tanpa memastikan apakah kandidat tersebut punya kapasitas untuk bekerja atau tidak.

Demokrasi survey

Partai politik bengong terpaksa mencalonkan orang populer padahal dalam demokrasi
partai politik itu harus difungsikan untuk melakukan nominasi berdasarkan ideologi partai,
peringkat karir partai, keyakinan partai bahwa orang ini bisa membawa ideologi, gagasan partai,
baru dia dinominasi. Ini nggak nominasi nunggu survei. Survei di atur orang, tiktok & twiter di atur
orang terpaksalah partai politik surrender kepada calon yang ditetapkan oleh market mechanism
sehingga enggak ada namanya leadership eh bangsa indonesia leadership tidak sama dengan
popularitas itu perlu dicatat baik-baik itu. Popularitas itu beda maling, pelawak & penyanyi bisa
populer, tapi mereka bukan leader. Leader lahir dari partai politik penggedokan partai politik.
Itulah namanya demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai