Anda di halaman 1dari 19

Sistem Pemilu: Daulat Rakyat vs

Daulat Parpol (2)


kumparanNEWS

27 Februari 2023 10:15


·
waktu baca 12 menit

“[Sistem pemilu] di kita sangat mahal. Saya mengalami sendiri. Saya pernah
jadi timses beberapa caleg. Semua caleg berlomba-lomba bikin poster
ditempel-tempel di pohon. Yang punya duit bisa bikin baliho di pinggir jalan.
Itu konyol. Demokrasi kita ada di uang.”
– Nono Marijono dan Riyanto, penggugat sistem pemilu

Nono Marijono dan Riyanto adalah dua di antara enam penggugat


sistem pemilu. Mereka pernah ikut mendirikan Partai Serikat Rakyat
Independen (SRI) pada 2011. Namun partai itu tak lolos verifikasi
administrasi parpol pada 2012 sehingga tak bisa ikut Pemilu 2014.
Gagal dengan Partai SRI tak membuat Nono jauh dari politik. Ia ikut
tim sukses Jokowi pada Pemilu 2014. Pokoknya, ia sudah pernah
mengalami dinamika pemilu di Indonesia, termasuk menelan pil pahit
dalam sistem itu.
Pahit bukan cuma dirasa Nono dan Riyanto, tapi juga kawan-kawan
mereka yang kebetulan satu almamater di Universitas Indonesia.
Mereka semua resah dengan situasi politik di Indonesia dan kerap
berdiskusi soal pemilu dalam forum kecil.
Bergabung dalam forum diskusi itu Yuwono Pintadi, eks kader
NasDem yang berniat nyaleg; Fahrurrozi, kader NasDem yang gagal
nyaleg karena tak punya cukup biaya untuk mengerek elektabilitas
dan membiayai kampanye; Demas Brian Wicaksono, kader PDIP di
Banyuwangi yang ingin nyaleg tapi pesimistis karena tak populer dan
tak punya banyak duit; Ibnu Rachman Jaya, pengajar yang mencita-
citakan kebijakan politik sesuai nilai-nilai Pancasila; serta Sururudin,
pengacara yang kemudian membantu mereka mengajukan gugatan
sistem pemilu.
Perbesar

Kiri ke kanan: Iwan Maftukhan (kuasa hukum), Riyanto (pemohon), Sururudin (kuasa hukum), Ibnu
Rachman Jaya (pemohon), dan Nono Marijono (pemohon). Mereka menggugat sistem pemilu
proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi. Foto: Erandhi/kumparan
Nono dkk. kecewa melihat semakin maraknya caleg yang berlatar
belakang artis dan pengusaha, mulai tingkat DPR sampai DPRD.
Sementara orang-orang yang berlatar belakang akademik dan punya
program politik lebih baik justru kerap gagal.
Caleg dengan kualitas lebih baik tapi kurang populer dan kurang duit
pun tak bisa berkutik dalam pemilihan langsung. Singkat kata,
menurut mereka, sistem pemilu terbuka saat ini lebih banyak
melahirkan orang-orang yang tak kompeten duduk di badan legislatif.
Sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif yang dianut
Indonesia saat ini didasarkan pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-
VI/2008 pada 23 Desember 2008. Kala itu, sistem proporsional
tertutup digugat karena menuai kritik. Rakyat tidak tahu siapa caleg-
caleg yang akan lolos ke parlemen karena mereka hanya memilih
partai.
Kini, Nono dkk. melakukan hal sebaliknya. Mereka ingin
mengembalikan sistem ke proporsional tertutup seperti dahulu karena
sistem terbuka mereka nilai punya banyak kelemahan.
Perbesar

Ilustrasi surat suara yang digunakan saat simulasi pemungutan suara dalam sistem pemilu
proporsional terbuka: banyak nama caleg di bawah logo parpol yang akan dipilih. Foto: Jamal
Ramadhan/kumparan
“Demas sebagai orang yang aktif di parpol sekarang sulit [menjadi
caleg]. Meski orang lokal, kalau mau maju caleg tapi profesinya dosen,
juga sulit. Mencalonkan diri butuh duit banyak. Akhirnya mereka
(pemohon gugatan) merasa sistem pemilu ini perlu dikritisi,” ujar
Sururudin, kuasa hukum penggugat, kepada kumparan di kantornya,
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (22/2).
Mereka pun sepakat melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
melalui nomor perkara 114/PUU-XX/2022 pada 14 November 2022.
Saat ini sidang gugatan mereka sampai pada tahap pengucapan
putusan. Mereka berharap MK mengubah sistem pemilu dari
proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Daulat Rakyat vs Daulat Parpol
Sistem proporsional tertutup merupakan skema pemilihan umum
yang hanya menyediakan gambar partai bagi pemilih, tanpa daftar
nama caleg. Dengan sistem pemilu ini, partai yang memutuskan siapa
caleg yang akan duduk di kursi legislatif berdasarkan nomor urut.
Melalui sistem proporsional tertutup, caleg di nomor urut kecil (1, 2,
3) berpeluang lebih besar lolos ke parlemen. Daftar nomor urut berisi
nama caleg tersebut diserahkan parpol ke KPU saat masa pendaftaran
caleg.
Sistem ini dipakai pertama kali ketika Indonesia menggelar pemilu
perdana pada 1955, dan dipertahankan hingga Pemilu 1999. Terbitnya
UU 12/2003 tentang Pemilu membuat sistem pemilu berubah
menjadi proporsional terbuka bersyarat yang diterapkan di Pileg
2004. Barulah pada Pileg 2009, sistem pemilu benar-benar menjadi
proporsional terbuka.
Komisioner KPU RI periode 2012-2017, Hadar Nafis Gumay,
menyatakan sistem pemilu proporsional tertutup akan memberikan
kekuasaan penuh kepada partai politik (parpol) untuk memilih caleg
akan lolos ke parlemen. Calon-calon 'favorit' parpol ini yang kerap
ditaruh di nomor urut teratas.
Perbesar

Surat suara pemilu tahun 1955. Foto: Dok. Istimewa


“Mungkin dia anaknya ketua partai, mungkin dia ketua partai di
wilayah situ, atau orang baru tapi ngasih duit banyak. Seringkali
parpol tidak punya mekanisme demokratis menentukan itu [nomor
urut], lebih oligarki yang menguasainya, sehingga yang ditaruh adalah
elite-elitenya saja,” kata Hadar pada kumparan di Jakarta, Selasa
(21/2).
Hadar berpendapat, daulat yang diberikan ke parpol untuk
menentukan siapa caleg terpilih bisa menggerus ikatan antara caleg
dan pemilih. Sebab tak jarang pemilih kecewa dengan partai yang
dicoblosnya lantaran caleg yang dikirim ke parlemen bukan yang
dikehendaki.
“Lebih parahnya sering kali saya pilih partainya, terapi ternyata yang
jadi [caleg] adalah orang yang enggak kami sukai,” kata Hadar.
Berbeda dengan sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut
memberikan daulat kepada rakyat untuk memilih caleg yang
dikehendaki. Ini sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
bahwa kedaulatan di tangan rakyat.
"Dengan sistem proporsional terbuka, suara dari para pemilih menjadi
penentu," kata Hadar.
Selain itu, sistem proporsional terbuka mampu memunculkan relasi
antara caleg dan konstituennya. Sehingga ketika caleg terpilih duduk
di parlemen, pemilihnya bisa menagih janji yang pernah disampaikan
ketika masa kampanye.
"Waktu terpilih dia [caleg] akan merasa punya tanggung jawab untuk
merealisasikan apa yang dijanjikan. Di sisi lain rakyatnya akan merasa
dulu saya pilih dia, saya akan tagih orang ini. Ini kelebihan sistem
proporsional terbuka," ucap Hadar.
Perbesar

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng menilai skema pemilu proporsional
tertutup jadi kemunduran demokrasi. Foto: Muthia Firdaus/kumparan
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng,
menilai jika Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya memutuskan Pileg
2024 memakai skema proporsional tertutup, maka hal itu akan
menjadi kemunduran demokrasi.
Sebab berdasarkan pengalamannya, sistem proporsional tertutup
memunculkan egoisme di parpol tanpa mempertimbangkan kehendak
rakyat. Suara parpol yang akan mempunyai kekuatan penuh dalam
pemilihan umum.
Pada akhirnya, parpol hanya mengincar kursi terbanyak tanpa
memperhatikan relasi caleg dengan rakyat.
“Yang penting bahwa partainya itu dapat kursi, dapat suara. Dapat
kursi karena yang dicoblos partai,” kata Andi saat ditemui di
kediamannya, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (23/2). Andi
merupakan anggota KPU di Pemilu 1999.
Andi menambahkan, daulat parpol yang begitu dominan di sistem
proporsional tertutup membuat caleg sibuk mendekati elite-elite
parpol untuk mendapat nomor urut teratas, ketimbang
menyampaikan gagasannya ke masyarakat.
Sebaliknya, Andi menganggap sistem pemilu proporsional terbuka
lebih fair. Persaingan antar caleg dalam meraih suara rakyat
dilakukan dengan cara mempromosikan program kerjanya ketika
berkampanye. Caleg dengan nomor urut besar juga memiliki
kesempatan lolos ke parlemen apabila mendapat suara terbanyak.
Ilustrasi: Dalam sistem pemilu proporsional terbuka, para caleg aktif mempromosikan dirinya lewat
baliho-baliho karena mereka dipilih langsung oleh rakyat. Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Andi menangkal argumen yang menyebut sistem pemilu proporsional
terbuka mengotori lingkungan akibat baliho yang terpampang di
beragam tempat umum. Menurutnya, masalah banyaknya baliho tidak
akan hilang meski dengan sistem proporsional tertutup.
“Bedanya sekarang [dengan sistem proporsional terbuka] yang Anda
lihat caleg-caleg. Nanti kalau (sistem) tertutup, baliho-baliho gambar
partai di mana-mana," ucap Andi.
Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, berpendapat pada
dasarnya setiap sistem pemilu memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Kelebihan sistem pemilu proporsional terbuka, kata Denny, yaitu
membuat rakyat leluasa memilih langsung caleg untuk duduk di kursi
dewan. Dari sisi caleg, dengan sistem proporsional terbuka, mereka
akan lebih maksimal dalam berkomunikasi dengan rakyat.
Namun, kekurangan sistem proporsional terbuka adalah
menghadirkan pasar bebas. Semisal caleg partai A tandem kampanye
dengan caleg partai B di daerah tertentu, lalu di wilayah lain tandem
dengan caleg partai C.
Prof. Dr. Denny Indrayana, pakar hukum tata negara.. Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
“Pasar bebas menjadikan mesin partai menjadi tidak punya kendali
lebih besar kepada anggota legislatif kader-kadernya,” jelas Denny
yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia era
SBY.
Sementara mengacu pada data di Pemilu 2019, KPU menyatakan
pemilih mayoritas mencoblos nama caleg dibanding logo partai.
Tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 mencapai 82%.
“Dari 82% tersebut pemilih mencoblos nama calon anggota legislatif
sebanyak 75% dan pemilih mencoblos lambang partai itu 25%," kata
Komisioner KPU Idham Holik kepada kumparan, Kamis (23/2).
Biaya Pemilu Tertutup Lebih Murah?
Pro kontra mengenai sistem pemilu juga merembet ke biaya. Sistem
proporsional tertutup dinilai lebih irit dana karena desain surat suara
lebih simpel.
Surat suara cukup berisi lambang partai, tanpa perlu memasukkan
daftar nama caleg. Alhasil, satu desain surat suara bisa digunakan di
berbagai daerah dan distribusi logistik bisa semakin mudah.
"Kalau pemilunya nyoblos tanda gambar, cost-nya tidak mahal, murah
meriah, dan anggota yang terpilih punya bobot," ujar Ketua DPP PDIP
Said Abdullah.
Sedangkan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menyatakan biaya sistem
pemilu proporsional tertutup bisa lebih hemat. Ia mencontohkan
Pemilu 2004. Padahal Pemilu 2004 sudah menerapkan sistem
proporsional terbuka di mana di surat suara tercantum daftar nama
caleg.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. Foto: PDIP
"Belajar dari Pemilu 2004 dengan Pemilu Legislatif, Pilpres I, dan
Pilpres II biaya hanya kurang lebih Rp 3,7 triliun,” kata Hasto di
Banda Aceh, Februari 2022.
Hadar mengakui biaya sistem pemilu proporsional tertutup memang
lebih murah. Meski demikian, menurut Hadar, pembahasan sistem
pemilu tidak tepat apabila hanya dilihat berdasarkan biaya.
"Jangan menurunkan nilai perdebatan suatu sistem pemilu terhadap
persoalan logistik, biaya, makna sistem itu tinggi," ucap Hadar.
Informasi yang diterima kumparan, KPU telah melakukan simulasi
berapa biaya yang dibutuhkan jika sistem proporsional tertutup
diterapkan. Simulasi tersebut sudah dijabarkan dalam jawaban
tertulis ke MK terkait gugatan sistem pemilu.
Dari simulasi itu, sistem tertutup dinilai mampu menghemat biaya
hingga 70%. Artinya jika anggaran pemilu 2024 yang masih dengan
sistem terbuka mencapai Rp 76 triliun, maka dengan sistem tertutup,
biaya yang dibutuhkan hanya sekitar Rp 23 triliun.
Politik Uang: Apakah Berkurang Bila Sistem Pemilu
Tertutup?
Dalam gugatan UU Pemilu yang dilayangkan keenam pemohon, salah
satu poin yang turut menjadi pertimbangan adalah makin masifnya
politik uang.
Kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyebut sistem proporsional
terbuka membuat biaya politik makin mahal. Sebab caleg berupaya
'membeli' suara pemilih dengan melakukan politik uang.
“Kalau mau caleg (tingkat) kabupaten di provinsi kecil minimal
(butuh) Rp 5 miliar. waktu berkuasa gimana cara balikin, itu makanya
banyak orang korupsi,” jelas Sururudin.
Menanggapi argumen sistem pemilihan terbuka yang menimbulkan
politik uang ini, Denny punya alasan. Menurutnya, tak ada sistem
pemilihan yang tidak bebas dari politik uang.
Ilustrasi: rakyat menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Mungkin dalam skema proporsional tertutup caleg tidak akan jor-
joran melakukan politik uang ke pemilih demi meraih suara rakyat.
Namun, politik uang justru beralih ke internal partai karena caleg
berebut menduduki nomor urut teratas.
“Jadi dia bisa beli nomor urut, dia lebih menyetor dananya ke partai
politik, elite, untuk bisa mendapatkan nomor urut satu,” ucap Denny.
Menurut Denny, meminimalisir politik uang harus dengan
memperkuat penegakan hukum.
“Bagaimana Bawaslu dan penegak hukum lebih efektif berikan sanksi
bagi pelaku tindak pidana politik uang, bukan mengubah sistem
pemilu,” terang Denny.
Sementara itu, Andi mengusulkan satu skema untuk mengurangi
penggunaan biaya politik yang berlebihan. Ia menyebutnya dengan
skema reformasi pendanaan kampanye (Campaign Finance Reform).
Melalui skema ini maka setiap parpol akan mengelola biaya kampanye
mereka secara mandiri. Artinya setiap suara yang akan diperoleh tak
serta merta mampu dibeli para oligarki dan konglomerat. Harus ada
aturan yang membatasi biaya kampanye politik.
Selain itu, sistem pendanaan kampanye ini mirip dengan yang pernah
dijalankan Amerika Serikat (AS). Bahwa setiap kandidat caleg
mendapat sumbangan langsung dari warga secara sukarela. Namun,
parpol yang mampu menggalang dana sukarela mendapat insentif
melalui pemerintah.
Perbesar

Mantan Presiden AS Barack Obama mendapat sumbangan kampanye dari rakyat saat pemilihan
presiden. Foto: Alex Edelman / AFP
“Misalnya, Obama pada waktu kampanye presiden rata-rata
sumbangan yang diterima adalah rata-rata USD 27 sumbangan. Tapi
datang dari jutaan orang. Ditambah matching fund oleh pemerintah
senilai yang sama,” jelas Andi.
Dengan demikian maka parpol akan memiliki kecenderungan utang
budi langsung kepada rakyat karena mereka membantu secara
langsung biaya kampanye.
Jika ditemukan partai yang melanggar batasan biaya kampanye politik
langsung ditindak tegas. Ada sanksi yang menunggu yang akan
mengancam keberlangsungan parpol.
“Bukan kemudian obatnya kembali ke sistem tertutup. Oligarki partai,
yang kemudian menghasilkan money politik dalam partai pada
puncak pimpinan partai,” jelas Andi.
Kualitas Caleg yang Tak Memuaskan
Menurut para pemohon, kehadiran sistem pemilu proporsional
terbuka hanya akan menguntungkan orang-orang yang populer. Salah
satu pemohon, Nono menjelaskan beberapa tokoh artis yang duduk di
kursi Senayan yang dinilai hanya bermodal popularitas.
“Walaupun dia caleg kader bagus. Kalau sama artis atau uang bisa
kalah. Yang dikalahin Krisdayanti cari saja di Jawa Timur (Ahmad
Basarah), salah satu jagoan PDIP," kata Nono.
Ahmad Basarah merupakan Wasekjen PDIP. Ia kalah suara dari
Krisdayanti di Dapil V Jatim. Ketika itu, Basarah meraih 104.914
suara. Sedangkan Krisdayanti mendapatkan 131.131 suara. Walau
demikian, Basarah tetap lolos ke Senayan.
Perbesar

Krisdayanti, anggota DPR Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Foto: Helmi Afandi
Abdullah/kumparan
Kuasa hukum pemohon, Sururudin, menyebut indikator penurunan
kualitas para caleg yaitu dengan menurunnya jumlah UU yang dibuat.
Berdasarkan penelusuran kumparan, realisasi pengesahan UU
mengalami penurunan sejak DPR periode 2009-2014 menjadi di
bawah 50% dari target. Ketika itu sistem pemilu proporsional terbuka
penuh sudah diterapkan pada Pemilu 2009.
Sekjen) PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan penerapan sistem
pemilu proporsional tertutup bisa menghadirkan anggota dewan yang
berkualitas.
"Sistem proporsional tertutup menghadirkan anggota dewan based on
quality. Ini yang harus kita persiapkan dengan sebaik-baiknya,"
katanya, Jumat (3/2).
Hadar menyatakan, perdebatan mengenai kualitas caleg yang
dianggap menurun ketika sistem proporsional terbuka diterapkan,
merupakan tanggung jawab parpol.
Ia menyebut ada peran partai dalam menyeleksi para calegnya
sebelum mendaftarkannya untuk bertarung di pemilu. Menurutnya,
baik sistem proporsional tertutup atau terbuka, pemilihan caleg
merupakan kewenangan utuh parpol.
Perbesar

Hadar Nafis Gumay, Komisioner KPU RI periode 2012-2017. Foto: Tio Ridwan/kumparan
"Dalam memahami sistem terbuka maupun tertutup jangan dilupakan
caleg ini milik siapa, datang dari mana, semua dari parpol. Kalau Anda
khawatir dengan caleg-caleg ini ya cari yang bagus. Kalau nyarinya
salah, kalau nyarinya pakai duit ya begitu jadinya," jelas Hadar.
Di samping itu, Hadar mengatakan parpol juga mempunyai
kewenangan mengganti wakilnya di parlemen melalui mekanisme
Pergantian Antar Waktu (PAW).
"Benahilah sistem rekrutmen, pengawasannya, sehingga caleg-caleg
tidak liar, tidak liberal. Kesalahan di mereka [parpol] dalam
mempersiapkan," ucap Hadar.
Kini seluruh pihak sedang menunggu keputusan MK terkait sistem
pemilu. Terlepas dari perdebatan proporsional terbuka atau tertutup,
Denny Indrayana berharap Pemilu 2024 benar-benar berjalan jujur
dan adil.
"Tanpa pemilihan jujur dan adil yang akan tetap berkuasa adalah
oligarki yang berdiri dengan kekuasaan. Dan itu menghadirkan
Indonesia yang makin koruptif dan jauh dari sistem demokrasi," tutup
Denny.
“Sangat mungkin sistem pemilu Indonesia bisa kita sempurnakan… Namun
janganlah upaya penyempurnaannya hanya bergerak dari terbuka ke tertutup
semata… Lembaga-lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun
yudikatif tidak boleh begitu saja menggunakan kekuasaan untuk melakukan
perubahan sangat mendasar yang berkaitan dengan ‘hajat hidup rakyat secara
keseluruhan’.”

Anda mungkin juga menyukai