Anda di halaman 1dari 1

Apa itu Sistem Proporsional Tertutup dengan Sistem Proporsional Terbuka dalam

Pemilu?

Belakangan dunia perpolitikan Indonesia sedang ramai oleh isu Mahkamah Konstitusi (MK) akan
mengubah sistem Pemilu dari coblos nama caleg menjadi coblos gambar partai atau sistem
pemilu dari sistem proporsional terbuka akan kembali ke sistem proporsional tertutup. Isu
tersebut pertama kali di informasikan ke publik oleh Denny Indrayana melalui akun twitternya
pada hari Minggu (28/05).

Jadi apa sebenarnya perbedaan sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional
tertutup?
Sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif. “Kelebihan dari
sistem ini memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif (caleg)
yang dipilih, lalu dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa yang terpilih,
namun dalam sistem tertutup aspirasi elite partai yang menentukan,” ujar Wardani saat ditemu
oleh reporter Humas FISIP pada Rabu (31/05) di Departemen Ilmu Poltik.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih
hanya dapat memilih tanda gambar partai saja, ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun 1971
sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak ada di
surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang terpilih
berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.”

Apakah ada dampak jika sistem Pemilu Indonesia menggunakan proporsional tertutup
kembali?
Perdebatan tentang isu ini setiap revisi Undang-Undang Pemilu selalu ada, seperti tahun 2017
lalu, ada kelompok yang pro sistem proporsional tertutup ada juga yang pro sistem proporsional
terbuka.
“Tapi menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan ditengah jalan tunggu saja Pemilu tahun
2029 dengan revisi UU Pemilu, karena saat ini kan situasinya daftar caleg sudah masuk ke KPU
maka akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang tidak sebanyak caleg
laki-laki,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan sistem Pemilu proporsional terbuka caleg perempuan bisa
bersaing dengan peluang 22% terpilihnya, namun jika menggunakan proporsional tertutup maka
peluangnya sedikit karena belum tentu caleg perempuan ada di nomor urut awal. “Jadi kalau
partai hanya dapat satu kursi dan nomor urut satu nya laki-laki maka bisa jadi nanti laki-laki
semua yang menjadi dewan legislatif.”

Lalu kenapa Indonesia akhirnya memilih sistem Pemilu proporsional terbuka?


Karena pada masa orde baru (orba), sistem Pemilu mengunakan proporsional tertutup sehingga
ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa caleg yang akan
terpilih. Selama orde baru, partai tidak terbuka, merasa tidak punya kewajiban untuk
mempublikasikan caleg nya. Jadi sistem Pemilu proporsional terbuka dilakukan untuk
mengurangi mobilisasi dan dominasi dari partai tertentu seperti yang sudah terjadi di jaman orba.
“Saya pribadi melihat sistem Pemilu proporsional terbuka masih penting saat ini, untuk
mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sekarang sangat kuat
dan bisa meminggirkan kandidat caleg yang punya potensi. Jadi dalam konteks demokrasi
Indonesia saat ini dari sisi kepemberdayaan pemilih didalam menentukan pilihannya maka
kedaulatan rakyat itu ada di sistem proporsional terbuka,” jelas Wardani.

Anda mungkin juga menyukai