Anda di halaman 1dari 3

MANAJEMEN RISIKO KEUANGAN

BANK
Sistem Politik Proporsional Tertutup dengan Sistem Proporsional
Terbuka dalam Pemilu

DOSEN PENGAMPU:

MARTHA RIANTY, SE M.Si (0209039101)

NAMA:
KRISTINA MANALU (2101130010)

UNIVERSITAS TRIDINANTI PALEMBANG

FAKULTAS EKONOMI

D3 KEUANGAN PERBAKAN

2021/2022
Apa itu Sistem Proporsional Tertutup dengan Sistem Proporsional Terbuka dalam
Pemilu?

Belakangan dunia perpolitikan Indonesia sedang ramai oleh isu Mahkamah Konstitusi (MK)
akan mengubah sistem Pemilu dari coblos nama caleg menjadi coblos gambar partai atau
sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka akan kembali ke sistem proporsional tertutup.
Isu tersebut pertama kali di informasikan ke publik oleh Denny Indrayana melalui akun
twitternya pada hari Minggu (28/05).

Jadi apa sebenarnya perbedaan sistem proporsional terbuka dengan sistem


proporsional tertutup?
Sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif. “Kelebihan
dari sistem ini memang ada hubungan yang terbangun antara pemilih dengan calon legilatif
(caleg) yang dipilih, lalu dalam sistem ini memang aspirasi pemilih lebih menentukan siapa
yang terpilih, namun dalam sistem tertutup aspirasi elite partai yang menentukan,” ujar
Wardani saat ditemu oleh reporter Humas FISIP pada Rabu (31/05) di Departemen Ilmu
Poltik.
Lebih lanjut ia menjelaskan, “sedangkan sistem proporsional tertutup secara teknis pemilih
hanya dapat memilih tanda gambar partai saja, ini berlaku sejak masa orde baru dari tahun
1971 sampai 1997 yang mana jumlah partai dibatasi hanya tiga saja, jadi daftar caleg tidak
ada di surat suara hanya di umumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS), nantinya yang
terpilih berdasarkan nomor urut. Nomor urut ditentukan oleh mekanisme internal partai.”

Apakah ada dampak jika sistem Pemilu Indonesia menggunakan proporsional tertutup
kembali?
Perdebatan tentang isu ini setiap revisi Undang-Undang Pemilu selalu ada, seperti tahun 2017
lalu, ada kelompok yang pro sistem proporsional tertutup ada juga yang pro sistem
proporsional terbuka.
“Tapi menurut saya, keputusan ini tidak bisa diputuskan ditengah jalan tunggu saja Pemilu
tahun 2029 dengan revisi UU Pemilu, karena saat ini kan situasinya daftar caleg sudah masuk
ke KPU maka akan merugikan caleg itu sendiri terutama caleg perempuan yang tidak
sebanyak caleg laki-laki,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dengan sistem Pemilu proporsional terbuka caleg perempuan bisa
bersaing dengan peluang 22% terpilihnya, namun jika menggunakan proporsional tertutup
maka peluangnya sedikit karena belum tentu caleg perempuan ada di nomor urut awal. “Jadi
kalau partai hanya dapat satu kursi dan nomor urut satu nya laki-laki maka bisa jadi nanti
laki-laki semua yang menjadi dewan legislatif.”

Lalu kenapa Indonesia akhirnya memilih sistem Pemilu proporsional terbuka?


Karena pada masa orde baru (orba), sistem Pemilu mengunakan proporsional tertutup
sehingga ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa kenal siapa
caleg yang akan terpilih. Selama orde baru, partai tidak terbuka, merasa tidak punya
kewajiban untuk mempublikasikan caleg nya. Jadi sistem Pemilu proporsional terbuka
dilakukan untuk mengurangi mobilisasi dan dominasi dari partai tertentu seperti yang sudah
terjadi di jaman orba.
“Saya pribadi melihat sistem Pemilu proporsional terbuka masih penting saat ini, untuk
mendorong reformasi partai politik karena kekuatan elite partai dominan sekarang sangat
kuat dan bisa meminggirkan kandidat caleg yang punya potensi. Jadi dalam konteks
demokrasi Indonesia saat ini dari sisi kepemberdayaan pemilih didalam menentukan
pilihannya maka kedaulatan rakyat itu ada di sistem proporsional terbuka,” jelas Wardani.

Anda mungkin juga menyukai