Anda di halaman 1dari 3

Ghost Voter Merusak Pesta Demokrasi

Mengenal apa itu Ghost Voter yg dapat merusak demokrasi:Oleh Akhwal


Ramadhan Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Ghost voter adalah Pemilih yang sebenarnya tidak berhak memilih di pemilu,
tetapi namanya tetap ada dan memiliki hak pilih. Misalnya orang meninggal,
anak di bawah umur atau yang sudah pindah rumah (domisili). Kasus ghost
voter ini banyak ditemukan karena masih lemahnya pendataan penduduk.

Kasus Ghost voter yang paling ramai dibicarakan yaitu pada pemilu 2019 yang
mana Ahli Prabowo – Sandi sebut ada 27 juta ghost voter dalam pemilu
2019Ahli yang dibawa tim hukum Prabowo-Sandiaga, Jaswar Koto, menyebut
ada 27 juta pemilih siluman atau ghost voters dalam Pemilu 2019. Angka
tersebut didapat setelah dia merunutkan temuan-temuannya dan dipertegas
oleh ketua tim hukum 02, Bambang Widjojanto. "Apakah setelah Bapak
meneliti di 21 provinsi dan di sekian banyak kabupaten, ditemukan angka yang
baru dua hari lalu ada 27 juta ghost voters itu, Pak?" ujar Bambang dalam
sidang sengketa pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan
Merdeka Barat, Kamis (20/6/2019). Jaswar mengatakan, mulanya dia
menemukan 22 juta ghost voters setelah menganalisa 89 juta populasi pemilih.
Ghost voters ini dia identifikasi jumlah NIK ganda, pemilih di bawah umur, dan
juga kode kecamatan ganda. Namun, angka ghost voters bertambah setelah
Jaswar menganalisa lebih banyak populasi. "Sekarang yang 27 juta itu dari 110
juta populasi yang kami analisa," kata Jaswar. Jaswar mengatakan jumlah
tersebut bisa bertambah lagi jika jumlah populasinya juga bertambah. Dalam
sidang itu, Bambang bertanya sumber data yang digunakan Jaswar untuk
mengidentifikasi ghost voters ini. Jaswar mengaku mendapatkan data tersebut
dari yang dipublikasikan oleh KPU. Dia juga mempresentasikan beberapa
sample data pemilih di bawah umur, NIK ganda, dan kode kecamatan ganda
yang dia miliki. Menurut Jaswar hal itu bisa dilihat dari kode NIK pemilih.
Informasi mengenai tangal, bulan, dan kelahiran pemilih bisa dilihat dari angka
dalam NIK tersebut. Berdasarkan data yang ditunjukannya, Jaswar menyebut
ada pemilih dalam DPT KPU yang masih berumur 1 tahun. Pemilih semacam ini
yang dia maksud masuk dalam kategori ghost voter.
Pemilih ganda bisa beraksi karena manuver ilegal oleh kandidat atau
memanfaatkan lubang kelemahan yang dibikin oleh KPU atau Kemendagri.

Lubang kelemahan bikinan KPU/Kemendagri antara lai

1. Membikin DPT tidak bisa dipergunakan sebagai alat kontrol. DPT yang
memakan biaya sangat besar direlativisir kemanfaatannya oleh aneka putusan
yang dibikin oleh KPU atau Kemendagri. Contohnya: KPU mengijinkan orang
yang tidak ada di DPT untuk mencoblos dengan membawa surat pindah.

Praktek internasional mempersilakan orang yang bepergian untuk mencoblos


beberapa hari sebelumnya di kantor KPU atau melalui pos. Dengan demikian
DPT menjadi alat sah dan mutlak untuk kontrol kehadiran pemilih.

2. Demikian juga Kemendagri mengijinkan pemilih hanya modal KTP untuk


mencoblos. Pemilih tidak terdapat di DPT, tidak mendapat undangan jdan juga
tidak memiliki surat pindah. Maka secara teoritis, siapapun pemilih dapat
memilih dua kali. Pertama secara legal karena terdaftar di DPT, dan kedua
secara illegal mencoblos mempergunakan KTPnya.

Kemendagri beralasan bahwa hak pilih tidak hilang karena KPU gagal membuat
DPT yang akurat. Alasan itu tidak tepat sebab sudah menilai sebelum
membuktikan, dan kedua pemilih sesungguhnya stelsel aktif. Warga yang
berkewajiban mendaftarkan diri kalau ingin menjadi pemilih. Penyusunan DPT
dimana KPU yang aktif melakukan pendaftaran sesungguhnya harus dianggap
bonus yang besar meringankan kewajiban warga. Keputusan Kemendagri
menjadikan stelsel aktif itu batal.

Kebijakan KPU dan Kemendagri di atas membuka peluang sangat besar untuk
bisa dimanfaatkan oleh kandidat yang mengerti. Kandidat melakukannya
dengan cara

1. Migrasi mendadak penduduk dari pinggiran. Kondisi hari libur untuk


pencoblosan menciptakan kondisi yang sempurna memudahkan migrasi ini.

2. Pengerahan pemilih ganda baik dengan mengerahkan kader militan partai


atau orang-orang bayaran.

3. Menggunakan petugas-petugas KPU.


Tugas mereka adalah mencoblos sebanyak-banyaknya. Lokasi dipilih dimana
petugas KPPS, PPS, dan Panwas sudah dikompromikan.

Ghost voter harus ditangani lebih serius oleh pemerintah.Karena hal ini
merupakan kecurangan dalam berdemokrasi.Menurut saya ada beberapa cara
yg dapat mengurangi Ghost voter yaitu

1. Mengawasi petugas KPPS agar dengan cermat memeriksa jari-jari calon


pemilih, apakah ada noda tinta. Dalam pengalaman saya, lebih 90% KPPS
mengabaikan prosedur pemeriksaan jari dari noda tinta itu. Bila petugas KPPS
terus mengabaikan prosedur itu segera laporkan kepada Panwas. Catat dan
dokumentasikan untuk tindak lanjut bila Panwas tidak memprosesnya dengan
pantas.

2. Membuktikan sendiri apakah noda tinta bertahan terhadap penggunakan


bahan2 pembersih seperti sabun, asam cuka, air perasan jeruk dsb. Secara
teoritis tinta pemilu harus bertahan terhadap apapun paling sedikit 3 hari.
Catat dan laporkan hasilnya kepada tim sukses masing-masing.

3. Memeriksa daftar hadir pemilih. Daftar itu harus diisi oleh setiap orang yang
mengikuti pemilihan di TPS, baik terdaftar di DPT maupun tidak. Nama ghost
voter akan terekam di sana. Walaupun KTPnya bodong tetapi masih bisa
ditelusuri asal-usulnya. Hal ini harus dilakukan oleh saksi kandidat.

4. Memastikan bahwa dalam formulir C1 ada rincian daftar hadir: berapa


banyak yang hadir, berapa banyak yang ada DPT, berapa yang pindahan, dan
berapa yang hanya menggunakan KTP saja. Hal ini harus dilakukan oleh saksi
kandidat.

Jika dilihat dari pespektif etika,ghost voter adalah suatu pelanggaran etika.Saya
selaku penulis berharap kedepannya Pemerintah harus melakukan pendataan
ulang agar ghost voter tidak terjadi dan saya berharap untuk pemilu
kedepannya tidak ada lagi kasus ghost voter.

Anda mungkin juga menyukai