Anda di halaman 1dari 5

Moral Hazard Dalam Iklan Politik

Tiga Boss Besar media massa sudah mendeklarasikan diri untuk maju pada Pemilu Presiden 2014, yaitu
Aburizal Bakrie (Tv One, Viva News), Surya Paloh (Media Indonesia, Metro TV, Lampung Post) dan Hary
Tanoe (MNC TV, RCTI, Global Tv, Koran Sindo). Iklan-iklan politik mereka pun telah berseliweran di
media-media massa milik mereka sendiri. Oleh karena itu, sangat penting dan wajib hukumnya bagi
kita untuk menelusuri bagaimana perjalanan rantai keuntungan iklan politik yang melibatkan sosok
mereka.

Saya bukanlah praktisi periklanan. Namun, saya yakin, jika logika awam yang saya bangun dalam
memahami bagaimana aliran keuntungan iklan politik ini akan mendekati benar. Logikanya seperti ini:
Pertama, media massa baik cetak maupun elektronik menentukan tarif iklan sesuai dengan rating
acara di waktu tertentu, dan sesuai dengan durasi iklan. Kedua, pengiklan (dalam hal ini boss media
massa yang menjadi politisi), membayar sejumlah uang yang telah dibudgetkan dari anggaran partai
untuk penayangan iklan ini. Ketiga, pihak media membayar pajak atas iklan tersebut kepada
pemerintah. Keempat, keuntungan dari iklan masuk ke kas media massa kepunyaan politisi tadi.

Dari logika yang saya bangun tadi, dengan sangat gamblang kita bisa melihat, bahwa pada akhirnya,
keuntungan iklan politik pun tetap masuk ke kantong politisi pemilik media massa. Dengan begini,
mereka tentu bisa saja “main lepas” dan “nothing to lose” –dalam arti negatif- ketika menjalani
kegiatan politiknya. Dalam artian, mereka bisa saja tidak begitu peduli dengan motif pengabdian bagi
bangsa dan negara dalam berpolitik, karena mereka tidak akan rugi banyak secara finansial. Saya
sendiri berpandangan bahwa para pemilik media massa yang bermain politik ini seperti ingin
mengamankan bisnisnya saja. Denga cara seperti ini, uang mereka pun tetap berputar-putar di sirkuit
bisnisnya sendiri, termasuk biaya politik yang mereka keluarkan dari gocek pribadi.

Persoalan yang juga muncul kemudian, pernahkah kita bertanya dari mana anggaran partai politik
berasal? Dari beberapa website partai yang saya kunjungi, saya dapat melihat bahwa partai politik
juga menampung donasi dari masyarakat. Inilah mengapa saya sebut di judul ada semacam Moral
Hazard, yaitu kondisi di mana resiko perbuatan seseorang justru ditanggung oleh orang lain.

Dalam hal ini, para petinggi parpol yang juga pemilik media massa tidak akan menanggung banyak
beban biaya politik, karena uang beriklannya hanya berputar di sirkuit bisnis miliknya. Justru
masyarakat yang bisa ikut dirugikan, karena pada akhirnya uang yang mereka berikan untuk
menyokong partai justru masuk ke kantong petinggi partai pemilik media massa dengan cara yang
legal dan mengatasnamakan demokrasi. Dan jika pada akhirnya partai politik ini kalah, uang
masyarakat lenyap, aspirasi diacuhkan, dan petinggi partainya tetap saja kaya-raya, masyarakat pun
tak dapat menuntut apa-apa.

Dengan adanya indikasi seperti ini, sebaiknya pemerintah membuat peraturan yang tidak
membolehkan seorang pemilik media massa yang juga menjadi politisi untuk beriklan politik di media
massa miliknya sendiri. Jika ia beriklan di media massa lain tidak masalah. Karena terjadi perputaran
uang yang relatif lebih luas di situ.

Atau jika ingin yang lebih ekstrem, sebaiknya pemerintah membuat peraturan di mana seluruh
keuntungan iklan politik yang melibatkan pemilik media massa diserahkan kepada pemerintah. Jika ini
terlalu ekstrem, pemerintah bisa membuat pajak khusus yang lebih besar bagi pemilik media massa
yang berikklan politk di media massa miliknya sendiri.

Dengan begini, para politisi yang saya maksudkan tidak akan seenaknya beriklan politik. Iklan politik
ini bagi sebagian masyarakat juga sangat mengganggu, karena hadir hampir setiap saat, dan hampir
di semua stasiun televisi. Apalagi iklan politik ini amat mahal. Seorang politisi mungkin bisa
menghabiskan hampir 1 milyar rupiah/hari untuk iklan politiknya. Andai saja uang tersebut digunakan
untuk hal lain yang langsung mengena ke masyarakat, tentu lebih bermanfaat. Dan perlu juga diingat
bahwa frekuensi dimiliki oleh negara. Oleh karena itu, ia harus digunakan untuk kemaslahatan
bersama, bukan untuk kepentingan segelintir orang.

Partai Politik Ikut Berperan dalam Korupsi Berjemaah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi mengumumkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara periode
2009-2014 dan 2014-2019 sebagai tersangka korupsi, Selasa (3/4/2018). Mereka diduga menerima
suap masing-masing sekitar Rp300-350 juta dari mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
Korupsi berjemaah di Sumut ini bukan yang pertama. Pada 21 Maret 2018, KPK juga menetapkan 19
tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan 19
tersangka ini merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Moch. Arief
Wicaksono (Pimpinan DPRD) dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan
Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono. Jika ditarik lebih jauh lagi, kasus korupsi
berjemaah ini jumlahnya akan semakin banyak, seperti kasus Hambalang, kasus cek perjalanan
pemilihan deputi gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan
bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari
legislatif, eksekutif hingga pihak swasta. Bagaimana modus-modus korupsi berjemaah ini terjadi?
Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Faridz menyatakan korupsi
berjemaah terjadi setidaknya karena dua unsur sebagai pintu masuk. Pertama, kongkalikong antara
pihak legislatif dan eksekutif. Kedua, minimnya integritas pejabat publik. “Enggak mungkin kemudian
proyeksi anggaran dilakukan akan terpenuhi targetnya kalau tidak melibatkan dua pintu tadi, karena
integritasnya sama-sama buruk akhirnya korupsi. Ini kan soal perilaku,” kata Donal kepada Tirto, Rabu
(4/4/2018). Donal mengatakan umumnya korupsi berawal dari permohonan pengusaha yang
mengiming-iming sejumlah hadiah atau uang. Anggota legislatif biasanya akan mengkondisikan proses
penganggaran proyek. Setelah anggaran disahkan, menurut Donal para pengusaha itu
mengkondisikan lelang. Modus seperti ini terjadi dalam proses korupsi berjamaah e-KTP. Sementara
itu, untuk modus korupsi berjemaah di Sumut, Donal berpendapat karena peran legislatif yang
memiliki fungsi pengawasan anggaran. Dalam konteks ini, persetujuan anggaran menjadi alat anggota
DPRD untuk mendapatkan uang dari pengesahan APBD. Baca juga: 38 Anggota DPRD Sumut Terseret
Kasus Gatot Puji Nugroho Partai Ikut Berperan Peran partai politik tidak bisa diabaikan bila ada korupsi
berjemaah. Ia mengingatkan, para anggota legislatif dan pejabat eksekutif dipilih berdasarkan
rekomendasi partai. Sayangnya, kata dia, ketika kader parpol ada yang terlibat kasus korupsi, mereka
tidak mengambil sikap tegas. Menurut Donal, meskipun sejumlah partai pada ramai menyebut slogan
“berantas korupsi”, namun tidak sedikit kadernya yang tetap melakukan tindakan korupsi. Donal
menilai, hal itu terjadi akibat para kader yang koruptif memiliki peran sentral bagi kelangsungan partai.
“Orang-orang yang bermasalah itu justru kadang-kadang banyak berkontribusi terhadap partai politik,
mereka sambil menduduki jabatan strategis di partai,” kata Donal. Donal menyatakan, kader-kader
bermasalah tersebut memberikan kontribusi beragam, salah satunya pendanaan seperti yang
dilakukan Setya Novanto. Donal mengatakan pada persidangan korupsi e-KTP diketahui politikus yang
dikenal “licin” itu pernah memberikan uang sebesar Rp5 miliar untuk Rapimnas Partai Golkar. Donal
menilai, pemberian uang itu sangat diperlukan demi menjalankan roda organisasi kepartaian yang
memerlukan biaya besar. Oleh sebab itu, keaktifan dan kontribusi para kader partai bermasalah
membuat parpol tetap memberikan posisi strategis. Menurut Donal, korupsi berjemaah terjadi akibat
minimnya niat partai untuk berubah. Ia berkata, selama ini slogan partai bersih hanya sebagai
permainan semata. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengatur partai politik agar korupsi berjamaah
tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Namun, parpol menolak anggapan tersebut. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon menilai,
permasalahan korupsi berjemaah tidak bisa serta-merta menyalahkan partai. Menurut Fadli, faktor
karakter pejabat dan sistem bisa menjadi pemicu praktik korupsi berjemaah. “Belum tentu itu karena
parpol. Bisa juga karena orang-orang yang bersangkutan atau sistem yang ada di daerah itu, karena
seringkali orang yang kemudian menjadi tersangka korupsi itu belum tentu orang itu terima,” kata
Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/4/2018). Fadli mencontohkan, pejabat yang melakukan
maladministrasi bisa terjerat korupsi karena memperkaya orang lain. Padahal, pejabat tersebut tidak
berbuat, tetapi hanya memperkaya orang lain, baik sengaja atau tidak. Pria yang juga Wakil Ketua DPR
ini mengklaim, partainya terus berusaha mencegah korupsi, salah satunya dengan mengingatkan para
kadernya. Menurutnya, hal ini memang tidak sepenuhnya efektif karena tidak semua kader bisa
dimonitor partai. Namun, menurut Fadli, Gerindra memastikan akan memecat kader yang ketahuan
korupsi. “Kalau ada yang korupsi, kami langsung hentikan walaupun kami juga melihat secara per
kasus,” kata Fadli. Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum DPP PPP, Muhammad Romahurmuziy.
Ia mengklaim, pihaknya sudah berusaha mencegah terjadinya korupsi dengan meminta para kadernya
untuk menandatangani pakta integritas. “Kami kumpulkan anggota DPRD dari PPP tahun lalu,”
katanya. Menurut Romy, pihaknya berkomitmen untuk tetap menjunjung pemerintahan yang bersih.
“Yang bisa kami lakukan adalah terus mengingatkan,” kata Romy. Romy mengklaim, PPP sudah
memasukkan unsur integritas dalam perekrutan caleg. Namun, kata Romi, pihaknya sulit mengontrol
seluruh kader PPP yang tersebar luar. Oleh sebab itu, pengurus pusat hanya bisa mengimbau dan
membuat regulasi agar kader tetap berada di jalur yang benar. Baca juga: Membongkar Korupsi Proyek
Infrastruktur Sementara itu, Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily mengatakan, partainya di
bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto sudah berkomitmen untuk bebas korupsi sesuai slogan
“Partai Golkar Bersih.” Ia pun mengklaim sudah melakukan beragam upaya pencegahan untuk
menangkal kadernya terlibat korupsi. Namun, ia berdalih tidak bisa mengontrol aktivitas semua kader,
sehingga masih ada celah terlibat korupsi berjemaah. “Sudah kami coba terus menerus gitu, tapi kan
kami tidak bisa mengendalikan semua kader Golkar di seluruh Indonesia supaya mereka begitu. Kan
susah juga bagaimana? Kan kami bukan malaikat yang bisa mengawasi semua tindak tanduk mereka,”
kata Ace kepada Tirto. Ace mengaku tidak memahami secara rinci kasus korupsi berjemaah yang
terjadi di Sumatera Utara atau Malang. Namun, ia menduga, kasus korupsi tersebut terjadi akibat
ketidaktahuan kader atau masalah regulasi. Ace menambahkan, korupsi tidak sepenuhnya kesalahan
sistem partai. Menurut Ace, hal itu bisa saja terjadi akibat individu yang sudah mengetahui tindakan
tersebut salah, akan tetapi tetap melakukan korupsi.

Partai Masih Setengah Hati Menanggapi hal ini, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai, selama ini
partai masih belum sepenuhnya menjalankan agenda pemberantasan korupsi di internal. Padahal,
parpol adalah cerminan masyarakat dan bangsa serta membawa ideologi masing-masing. Namun,
Saut melihat, kekuatan ideologi partai tidak cukup kuat dalam masalah pemberantasan korupsi.
Apabila dinilai dalam skor 1-10, situasi partai politik dalam pemberantasan korupsi tidak mendapat
nilai yang cukup baik. “Secara umum apa yang disebut ideologi parpol itu di Indonesia relatif cair, di
mana dalam politik praktis mereka tidak berbeda satu dengan lain,” kata Saut saat dihubungi Tirto,
Rabu (4/4). Saut sepakat dengan pandangan bahwa permasalahan korupsi berjemaah berkaitan
dengan integritas partai dan individu. Namun, Saut menilai, masyarakat juga ikut berperan dalam
permasalahan korupsi berjemaah yang terjadi di satu daerah. "Itu [korupsi berjemaah] bisa terjadi
kombinasi antara prilaku atau integritas pribadi dengan prilaku atau integritas organisasi. Namun
secara umum banyak diwarnai oleh nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat dengan permisifnya kita
semua atas pelanggaran [korupsi] kita," kata Saut. Saut berpandangan, tidak sedikit kader partai
melewati seleksi alam untuk tetap berpartai. Namun, godaan jabatan dan kekuasaan bisa mengganggu
perilaku kader. Selain itu, kata dia, lingkungan yang dikelilingi koruptor juga bisa mempengaruhi
integritas seseorang. Oleh sebab itu, kata Saut, publik tidak bisa hanya menyalahkan partai semata
dalam korupsi berjemaah ini. “Pribadi yang kuat pun dapat luluh [melakukan korupsi] dengan sistem
yang baik, apalagi ekosistem yang tidak baik. Jadi sistem secara keseluruhan, bukan internal partai
saja," kata Saut. Dalam konteks ini, kata Saut, KPK akan terus melakukan penindakan. Ia berkata, salah
satu cara mencegah yang baik adalah memenjarakan para koruptor agar tidak terjadi korupsi
berjemaah. Ia berharap, KPK bisa menindak di private sector dan influence trading demi memberantas
korupsi secara berjemaah.

Anda mungkin juga menyukai