Anda di halaman 1dari 4

Menelisik Diri

Pertengahan Januari 2021

Baru saja kita berharap tahun ini menjadi tahun pengharapan yang baik. Setelah
hampir sepanjang tahun 2020 memaksa masing-masing dari kita untuk mengalah atas
berbagai kehilangan. Namun saat ini, harapan itu rasanya terbelenggu sebelum sempat
tercapai. Ini masih tanggal belasan, namun secara bertubi-tubi kehilangan dan tangis
sudah menghiasi berbagai media. Negeri yang kita sebut rumah sedang benar-benar
tidak baik-baik saja hari ini. Dalam titimangsa kurang dari dua puluh hari, kita dihantam
dari berbagai arah. Angin, laut, tanah, gunung, bahkan langit yang nyatanya bisa begitu
menyakitkan. Kita sedang digiring menuju keadaan mempertahankan hidup di tengah
wabah sembari menolong saudara yang sedang lebih banyak merasa kehilangan.

Barangkali Allah sedang memperpanjang masa penghayatan kita. Penghayatan


akhir tahun yang harus terus berlanjut hingga tahun telah berganti. Dalam lamanya
masa penghayatan ini, kami ingin menyampaikan beberapa hal yang kami rasa layak
untuk direnungkan kembali. Tulisan ini memang sengaja menggunakan kata kami,
sebab adanya tulisan ini adalah dari saya dan seorang sahabat. Seorang sahabat, yang
saya memohon kepada Allah untuk terus memberkahi hidupnya setiap saat. Sahabat,
yang semoga Allah merestui tiap-tiap jalan perjuangan yang telah dia tetapkan. Semoga
tulisan ini bermanfaat. Terlepas berapa pun yang sudi untuk membaca, terlepas siapa
saja yang akan tergerak hatinya, dan siapa saja turut membagikannya. Semoga tulisan
ini menjadi kebaikan pula bagi kami hari ini dan nanti.

Makhluk independen

Kita memang harus terus belajar setelah banyaknya bencana yang hari ini
mengguncang. Bukan, bukan hanya gampa dan banjir lagi. Lebih mendasar dari itu, kita
sedang digerus kerusakan moral dan ideologi. Jangankan kewajiban kita terhadap
manusia lain atas nama cinta dan peduli. Kepada Tuhan saja kita kadang masih berani
bersikap setengah hati. Jangankan memelihara diri dari hal syubhat, yang haram saja
kadang masih bisa terasa nikmat. Hutan ditebang habis-habisan, ladang-ladang dibakar,
sungai-sungai menjadi gelap, serta laut tidak kurang hanya tempat sampah raksasa
yang penghuninya mulai kelelahan. Jika memang demi keadilan sosial, mungkin saja
tidak akan kita temui saudara kita yang terpinggir dan tertindas. Seperti sengaja
didhuafakan oleh manusia lain. Sedang pada kehidupan lain kita temui betapa besar
keuntungan yang didapatkan dari cara yang demikian. Dewasa ini kita diingatkan benar,
bagaimana ada pihak yang meraup keuntungan miliyaran rupiah, sedang keuntungan
itu adalah hak dari masyarakat yang klebekan karena wabah panjang. Kami rasa itu
bukan lagi keuntungan sebagaimana perniagaan. Hal ini mengingatkan kami tentang
sabda Allah menganai manusia yang berbuat kerusakan, “Mereka itulah yang membeli
kesesatan dengan petunjuk. Maka perdagangan mereka itu tidak beruntung dan mereka
tidak mendapatkan petunjuk” – Q.S. Al- Baqarah (2) : 15

Kalau kita pahami manusia dari psikoanalitik, hal terbesar yang


melatarbelakangi seluruh perilaku manusia adalah jiwa atau kedirian manusia itu
sendiri. Antara pilihan untuk menjadi rakus atau sewajarnya, menjadi serakah atau
peduli sesama, semua keputusan ada pada manusia itu sendiri. Sekali pun itu melanggar
kesepakatan cara main hidup di bumi, nampaknya masih berhak-berhak saja manusia
memilihnya. Ini yang kami sebut sebagai makhluk yang independen. Makhluk yang
memiliki independensi berfikir dan memutuskan pilihan untuk patuh atau ingkar.
Memiliki aspek perasaan dalam mempertimbangkan pilihan yang sekiranya
membahagiakan. Serta memiliki kehendak bebas untuk menetapkan apakah akan
menjalankan apa yang sudah diketahui atau tidak.

Pertanggungjawaban

Selaras dengan pemberian kebebasan itu, Sahabat, disediakanlah surga dan


neraka sebagai imbalan atas setiap keputusan yang diambil. Surga bagi pemilik
kebaikan dan neraka bagi yang sebaliknya. Tentu jika manusia diatur seutuhnya untuk
menjadi pihak yang baik dan yang tidak, adanya surga dan neraka bukan menjadi bukti
sifat adil dari Allah. Surga dan neraka ada pada setiap upaya kita dan apa yang kita
upayakan. Untuk itu, mari kita memberikan jeda waktu sejenak dan menelisik diri.
Untuk menjawab satu pertanyaan klise, “Apakah kita sudah melakukan sesuatu yang
kelak kita bahagia ketika mempertanggungjawabkannya?”

Kami melihat banyak perbuatan tanpa diiringi tanggung jawab baru-baru ini.
Semacam, bebas saja kita ini melakukan segala hal. Tentu saja ini bukan sebagaimana
fitrah manusia sebagaimana makhluk yang berakal dan berbudi. Kita memang
independen tapi jadilah independen yang bertanggung jawab. Pikirkan kembali dampak
dan bekasan yang akan terus bertahan setelahnya. Sesederhana kita memikirkan
kembali setiap ketikan ibu jadi kita dalam mengomentari dan membuka aib sesama di
social media. Atau pun sebesar kita berbuat curang kepada pekerjaan yang kita lakukan.
Semua ada dampaknya. Adakah pihak yang terzalimi, adakah perasaan yang tersakiti,
adakah orang yang terambil haknya. Semuanya secara adil akan dihitung lalu seutuhnya
menjadi tanggung jawab kita. Kadang dunia memang terasa tidak begitu adil. Ada yang
bisa bersembunyi dari tanggung jawab pun demikian yang harus
mempertanggungjawabkan bahkan tanpa dia mengerti kesalahan yang sebatas
tuduhan. Untuk itulah tersedia hari peradilan (yaumil hisab), karena dunia memang
kadang tidak adil.

Kita sebagaimana sandaran kita

Secara fitrah kita memang mahkluk yang independen. Namun di sisi lain kita
adalah makhluk yang bergantung kepada hal-hal yang lebih agung, kepada hal yang
lebih perkasa dari dibanding dirinya. Agama kita mengajarkan kita bersandar
seutuhnya kepada Allah saja. Bergantung kepada Dzat yang Maha Segalanya. Perlu kita
pahami sehebat apa pun kita di atas muka bumi, kita masih tetap berada di taraf hamba.
Ada hal banyak sekali hal transenden di semesta ini, yang semakin mengukuhkan
keagungan Allah. Sebagaimana bulan dan bintang, kita juga adalah bagian dari ciptaan.
Maka dengan mengikuti hukum yang ditetapkan Allah adalah sebaik-baik ikhtiar
sebagai manusia yang bergantung seutuhnya kepada Allah. Mimpi peradaban besar kita,
mimpi kebangkitan umat kita, mimpi hidupnya kembali akal dan moralitas kita, jika
semuanya diupayakan dengan tuntunan dan cara yang baik, tentunya akan berbuah
kebaikan pula. Lain halnya jika bukan Allah sandaran dan tempat kita bergantung.
Kepada dunia misalnya. Tentu segala hajat akan dilakukan dengan cara-cara duniawi.
Bisa saja tidak adil. Bisa saja kita mengabdi kepada nafsu semata, atau bahkan hal buruk
lainnya. Hakikatnya, dunia adalah sebaik-baik kesempatan untuk kelak ditukan dengan
kenikmatan akhirat. Bukan sebaliknya.

Ekspektasi Islam

Rasul tidak sekali pun mengajari kita bersikap lemah hati dan pesimistis. Bukan
generasi mudah menyerah yang diinginkan oleh agama ini. Semakin dihantam bencana,
harusnya kita semakin kuat dalam bangkit dan berusaha. Bukan menyalahkan satu
sama lain dengan berkata, “Semua ini kan karena dosamu”. Jika kita banyak
ditinggalkan pemimpin dan ulama, maka harusnya kita lebih bersemangat menuntut
ilmu untuk dapat mencetak generasi penerusnya. Jika kita kehilangan banyak pahlawan
kesehatan, harusnya kita lebih bersemangat saling menjaga diri dari kemungkinan sakit.
Jika kita sama-sama menjadi korban kezaliman, harusnya kita semakin bersemangat
membagikan pesan kebaikan ke sebanyak mungkin orang untuk kelak tidak ada lagi
generasi yang zalim. Saat kita berfikir menyerah adalah pilihan yang baik, ingatlah
bahwa bukan orang-orang semacam itu yang diekspetasikan untuk mengisi Islam.
Wallahua’alam.

Salam,
Fauziaherin & Sahabat

Anda mungkin juga menyukai