Anda di halaman 1dari 5

TOKOH

PENYEBAR
AGAMA ISLAM DI
NUSANTARA
Arga Ibnu Kurniawan
1. Dato ri Bandang
■ Pada awalnya, Datuk Ri Bandang berdakwah ke Kutai (Kerajaan Kutai,
Kalimantan Timur , tetapi karena situasi masyarakat yang belum
memungkinkan dia pergi ke Makassar (Kerajaan Gowa, Sulawesi), dan
melaksanakan syiar Islam bersama temannya, Tuan Tunggang
Parangan di kerajaan tersebut. Temannya, Tuan Tunggang Parangan
tetap bertahan di Kutai, dan akhirnya berhasil mengajak Raja Kutai
(Raja Mahkota) beserta seluruh petinggi kerajaan masuk Islam.
■ Setelah kembali lagi ke Makassar, Datuk Ri Bandang bersama dua
saudaranya Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro menyebarkan agama
Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan
keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat
Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Ri Bandang
yang ahli fikihberdakwah di Kerajaan Gowa dan Tallo, sedangkan
Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di
Kerajaan Luwu, sementara Datuk Ri Tiro yang ahli tasawufdi daerah 
Tiro dan Bulukumba .
■ Pada mulanya Datuk ri Bandang bersama Datuk Patimang
melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga
menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi 
Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan
Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah
yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana
Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).
■ Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang
dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang dapat diterima Raja
Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang
petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan
masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware Daeng
Parabung pada4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya
setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja
tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama
Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada
dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.
2.Tuan Tunggang Parangan
■ Tuan Tunggang Parangan adalah ulama yang menyebarkan agama Islam di
Kerajaan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur. Awalnya di kerajaan ini
ada dua ulama yang melakukan siar agama Islam yaitu Tuan Tunggang
Parangan dan Dato ri Bandang. Namun setelah beberapa lama, Dato ri
Bandang kembali ke Makasar (Kerajaan Gowa- Tallo) melanjutkan siar yang
telah beliau rintis di sana. Tuan Tunggang Parangan tetap tinggal di Kutai.
■ Berkat ajaran Tuan Tunggang Parangan, Raja Aji Mahkota memeluk Islam.
Hal itu diikuti oleh putranya, Ai Di Langgar, yang menggantikan
kedudukannya. Keislaman Raja Mahkota diikuti juga oleh pangeran,
hulubalang, dan seluruh rakyat Kutai. Penduduk yang enggan masuk Islam
semakin terdesak masuk ke pedalaman.
■ Kerajaan Kutai Kertanegara berganti nama menjadi Kesultanan Kutai
Kertanegara. Ajaran Islam berkembang pesat di kesultanan ini. Raja
memberlakukan undang-undang kesultanan yang berpedoman pada ajaran
Islam.
3. Sultan Iskandar Muda
■ Sultan Iskandar Muda adalah sultan Aceh yang ke-12. Beliau memerintah
tahun 1606-1637. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Aceh
mengalami puncak kemakmuran dan kejayaan. Aceh memperluas
wilayahnya ke selatan dan memperoleh kemajuan ekonomi melalui
perdagangan di pesisir Sumatera Barat sampai Indrapura. Aceh meneruskan
perlawanan terhadap Portugis dan Johor untuk merebut Selat Malaka.
■ Sultan Iskandar Muda menaruh perhatian dalam bidang agama. Beliau
mendirikan sebuah masjid yang megah, yaitu Masjid Baiturrahman. Beliau
juga mendirikan pusat pendidikan Islam atau dayah. Pada masa inilah, di
Aceh hidup seorang ulama yang sangat terkenal, yaitu Hamzah Fansuri.
■ Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, disusun sistem perundang-
undangan yang disebut Adat Mahkota Alam. Sultan Iskandar Muda juga
menerapkan hukum Islam dengan tegas. Bahkan beliau menghukum rajam
puteranya sendiri. Ketika dicegah melakukan hal tersebut, beliau
mengatakan, “Mati anak ada makamnya, mati hukum ke mana lagi akan
dicari keadilan.” Setelah beliau wafat, Aceh mengalami kemunduran.

Anda mungkin juga menyukai