Anda di halaman 1dari 15

Biografi Tokoh Penyebar Agama Islam Di Indonesia

1) Datuk Ri Bandang

Datuk Ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur


Kelahiran : Sumatera Barat
Kebangsaan : Indonesia
Dikenal atas : Penyebar Islam di Luwu, Gowa, Tallo, Kerajaan Gantarang
(Sulawesi), Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara)
Lahir: Abdul Makmur; Abad 16; Koto Tangah, Minangkabau
Meninggal : Abad 17; Tallo, Kerajaan Tallo, Sulawesi
Nama lain : Khatib Tunggal

Cara Berdakwah Datuk Ri Bandang:

Pada awalnya, Datuk Ri Bandang berdakwah ke Kutai (Kerajaan


Kutai, Kalimantan Timur, tetapi karena situasi masyarakat yang belum
memungkinkan dia pergi ke Makassar (Kerajaan Gowa, Sulawesi), dan
melaksanakan syiar Islam bersama temannya, Tuan Tunggang Parangan di
kerajaan tersebut. Temannya, Tuan Tunggang Parangan tetap bertahan di
Kutai, dan akhirnya berhasil mengajak Raja Kutai (Raja Mahkota) beserta
seluruh petinggi kerajaan masuk Islam.
Setelah kembali lagi ke Makassar, Datuk Ri Bandang bersama dua
saudaranya Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro menyebarkan agama Islam
dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang
mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau
Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di
Kerajaan Gowa dan Tallo, sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang
tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sementara Datuk Ri Tiro
yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba

Pada mulanya Datuk ri Bandang bersama Datuk Patimang


melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan
kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan
Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan
tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara,
Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara)
hingga Poso (Sulawesi Tengah).

Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang


dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang dapat diterima Raja Luwu
dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan
yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu
yang bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605,
beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara
sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah
itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada
dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.
Wafat
Setelah Raja Luwu, keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk
Islam, Datuk ri Bandang pergi dari Kerajaan Luwu menuju wilayah lain di
Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar
Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng. Dakwah Islam yang
dilaksanakan Datuk ri Bandang akhirnya juga berhasil mengajak Raja Gowa, I
Manga'rangi Daeng Manrabia dan Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri
beserta rakyatnya masuk Islam. Dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya
wafat dan dimakamkan di wilayah Tallo.

Sementara itu Datuk Patimang menetap di Kerajaan Luwu dan


meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-
lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar
Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu.
Sedangkan Datuk ri Tiro melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro,
Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat
memegang budaya sihir dan mantera-mantera. Datuk ri Tiro yang kemudian
berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat
dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

Makam

Makam Datuk Ri Bandang dapat dijumpai di Jalan Sinassara,


Kelurahan Kalukubodoa, Kecamatan Tallo, arah utara Kota Makassar. Untuk
mengenang jasa besar ulama ini, sebuah yayasan pesantren Islam yang
menaungi sekolah dasar (SD) sekolah menengah pertama (SMP) dan Sekolah
Menangah Atas (SMA) didirikan di Kecamatan Tallo, Makassar.
2) Syekh Aburrauf As-Singkil

Syekh Abdurrauf Singkil ( Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah


seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar
dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya.
Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa
Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).

Masa muda dan pendidikan


Abdurrauf Singkil lahir di Singkil, Aceh pada 1024 H/1615 M, beliau
memiliki nama lengkap Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal
Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari
Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir
abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri.
Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh.
Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya
ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama
Islam. Tercatat sekitar 19 guru pernah mengajarinya berbagai disiplin ilmu
Islam, selain 27 ulama terkemuka lainnya. Tempat belajarnya tersebar di
sejumlah kota yang berada di sepanjang rute haji, mulai dari Dhuha (Doha) di
wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, Mekah, dan Madinah. Studi
keislamannya dimulai di Doha, Qatar, dengan berguru pada seorang ulama
besar, Abd Al-Qadir al Mawrir.

Hasil karya Syekh Abdurrauf As-Singkil


Sepanjang hidupnya, tercatat Syiah Kuala sudah menggarap sekitar 21
karya tulis yang terdiri dari satu kitab tafsir, dua kitab hadis, tiga kitab fikih,
dan selebihnya kitab tasawuf. Bahkan Tarjuman al-Mustafid (Terjemah
Pemberi Faedah) adalah kitab tafsir Syiah Kuala yang pertama dihasilkan di
Indonesia dan berbahasa Melayu.
Namun di antara sekian banyak karyanya, terdapat salah satu yang dianggap
penting bagi kemajuan Islam di nusantara, yaitu kitab tafsir berjudul Tarjuman
al-Mustafid. Kitab ini ditulis ketika Syiah Kuala masih berada di Aceh. Kitab
ini beredar di kawasan Melayu-Indonesia, bahkan luar negeri.
Karya tulis Syekh Abdurrauf kini masih bisa ditemukan di Pustaka Islam,
Seulimum, Aceh Besar. Hal ini merujuk pada buku yang dikarang Teuku
Ibrahim Alfian berjudul Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik yang
berdasarkan hasil penelitian Al Yasa’ Abubakar.
Disebutkan dalam tulisan itu, karya tulis As-Singkili lebih kurang mencapai
36 buah kitab. Bahkan salah satu kitab yang dikarangnya diabadikan oleh
Profesor A. Meusingge dalam buku yang wajib dibaca mahasiswa Koninklijke
Academic Delft, Leiden. Di dalam buku tersebut diulas isi kitab As-Singkili
yang berjudul Mi'rat at-Tullab fi Tahsil Ahkam asy-Syari'yyah li al Malik al-
Wahhab.
Mufti kerajaan
Selain sebagai penulis yang produktif, Syekh Abdurrauf As-Singkili
dipercayakan sebagai mufti kerajaan Aceh pada masanya. Pengaruhnya sangat
besar dalam mengembangkan Islam di Aceh dan meredam gejolak politik di
kerajaan tersebut. Salah satu kebijakan populis pada abad pertengahan adalah
restunya terhadap kepemerintahan ratu-ratu di Aceh.

Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat
Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf
muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang
memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan
dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-
Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali
diterbitkan di Istanbul tahun 1884.

Pengajaran dan karya Syekh Abdurrauf As-Singkil


Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan
mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya.
Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah
Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh
Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul
Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumard i Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf
Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya
adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li
Malik al-Wahhab, karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas
permintaan Sultanah Safiyatuddin.
Tarjuman al-Mustafid, merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang
lengkap berbahasa Melayu.
Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi, ditulis atas permintaan
Sultanah Zakiyyatuddin.
Mawa'iz al-Badî', berisi sejumlah nasihat penting dalam pembinaan akhlak.
Tanbih al-Masyi, merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang
martabat tujuh.
Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil
Wujud, memuat penjelasan tentang konsep wahdatul wujud.
Daqâiq al-Hurf, pengajaran mengenai tasawuf dan teologi.

Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia
73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala
Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
Namanya kini dilakabkan menjadi nama Universitas Syiah Kuala atau
Unsyiah. Universitas itu berada di Darussalam, Banda Aceh.

Keberadan makam
Syekh Abdurrauf As-Singkili dipercaya memiliki dua makam. Satu
berada di Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Satu lagi di
Desa Kilangan, Singkil. Makam di Singkil berada di bibir Krueng Singkil.
Banyak peziarah mendatangi makam ini, baik dari Aceh maupun dari luar
daerah seperti Sumatera Barat.
Sementara di Banda Aceh, lokasi makam Syiah Kuala berada di bibir Selat
Malaka. Seperti halnya di Singkil, lokasi makam ini juga banyak dikunjungi
peziarah. Bahkan makam dijadikan sebagai lokasi wisata religi di Tanah
Rencong oleh pemerintah daerah.

3) Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah salah satu tokoh terkenal dalam jajaran


Walisongo, yakni yang berperan besar dalam menyebarkan agama Islam
terutama di Pulau Jawa.
Eksistensi dan penyebaran agama Islam di Nusantara ini tidak semata-mata
datang begitu saja, tetapi juga dilakukan oleh beberapa orang yang tidak
sembarangan. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga yang hingga sekarang
masih dihormati oleh para umat Islam. Bahkan, makamnya tidak pernah sepi
dari kehadiran para peziarah.
Biografi Sunan Kalijaga: Masa Kecil
Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1400-an dari keluarga bangsawan
Tuban, yakni dari seorang bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta dan
istrinya yang bernama Dewi Nawangrum. Kala itu, nama kecil Beliau adalah
Raden Sahid (dalam beberapa literatur, dieja sebagai Raden Said). Berhubung
Beliau ini adalah keturunan bangsawan, maka Beliau memiliki sejumlah
nama, sebut saja ada Lokajaya, Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang
Sida Brangti, dan Raden Abdurrahman.

Terkait akan asal-usul Beliau, ternyata terdapat dua pendapat yang


berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah
keturunan Arab dan Jawa asli. Sementara pendapat lain yang didasarkan pada
Babad Tanah Jawi, mengungkapkan bahwa Sunan Kalijaga adalah orang
Arab. Bahkan jika dirunut akan silsilah dari kakeknya, Sunan Kalijaga masih
memiliki silsilah dengan Abbad bin Abdul Muthalib, paman dari Nabi
Rasulullah SAW.

Sunan Kalijaga sejak kecil sudah diperkenalkan akan agama Islam


oleh guru agamanya. Tujuannya adalah supaya nilai-nilai dasar Islam dari Al-
Quran dan Hadist Rasulullah SAW dapat menjadi pedoman hidup beragama
yang baik bagi Beliau. Selain itu, sejak kecil Beliau juga telah diajarkan untuk
memiliki jiwa kepemimpinan terutama dalam menyelesaikan suatu
permasalahan. Terbukti, Beliau selalu menjadi pemimpin atau pencetus ide
ketika tengah bermain dengan teman-teman sebayanya. Namun, Beliau tidak
pernah merasa sombong dan tetap merasa rendah hati, sehingga disukai oleh
teman-temannya.
Biografi Singkat Sunan Kalijaga
Dalam beberapa sumber, menyebutkan bahwa masa muda dari Sunan
Kalijaga ini terdapat dua versi. Pada versi pertama, mengatakan bahwa Sunan
Kalijaga yang kala itu masih menggunakan nama Raden Said adalah seolah
pencuri. Namun, Beliau melakukan perampokan dan pencurian ini bukan
untuk dinikmatinya sendiri, melainkan untuk rakyat kecil. Kala itu, Raden
Said yang telah mendapatkan pendidikan agama sejak kecil, khawatir akan
kondisi masyarakat Tuban yang selalu diliputi oleh kemiskinan dan membuat
jiwanya memberontak. Raden Said tentu saja sudah menyampaikan
kekhawatirannya tersebut ayahnya, tetapi sang Ayah hanyalah raja bawahan
dari kekuasaan Kerajaan Majapahit pusat.

Kemudian, rasa solidaritas dan simpati dari Raden Said kepada rakyat
Tuban membuat Beliau melakukan aksi nekat berupa pencurian bahan
makanan di gudang Kadipaten. Setelah melakukan pencurian, Raden Said
secara diam-diam membagikannya kepada rakyat Tuban. Namun, aksi
tersebut diketahui oleh penjaga Kadipaten hingga menyebabkan Beliau
mendapatkan hukuman berupa pengusiran dari Tuban.

Setelah pengusiran tersebut, Raden Said mengembara tanpa tujuan


yang pasti tetapi tetap dengan misi yang sama, yakni merampok dan mencuri
demi kepentingan rakyat kecil. Kemudian Beliau menetap di hutan Jatiwangi,
menjadi seorang berandal yang merampok orang-orang kaya yang melewati
daerah hutan tersebut. Sementara dalam versi kedua mengungkapkan bahwa
sejak kecil, Raden Said adalah sosok yang nakal dan tumbuh menjadi seorang
yang sadis. Beliau bahkan dikatakan pernah membunuh orang dan
mendapatkan julukan Brandal Lokajaya.
Singkat cerita, kenakalan Raden Said berhenti setelah bertemu dengan
Sunan Bonang dan bertobat. Berdasarkan Serat Lokajaya, kala itu Raden Said
tengah bersembunyi di hutan sambil mengintai calon mangsa yang lewat.
Kebetulan, saat itu terdapat orang tua yang menggunakan pakaian serba
gemerlap yang tak lain adalah Sunan Bonang. Lantas, Raden Said langsung
mendekat dan merampas harta dari Sunan Bonang, tetapi sang Sunan telah
mengetahui niatnya tersebut dan mengeluarkan kesaktiannya dengan
menjelma menjadi empat wujud. Melihat hal itu, Raden Said merasa
ketakutan dan melarikan diri. Namun, kemanapun dirinya pergi, selalu
berhasil dihadang oleh Sunan Bonang. Hingga pada keadaan terpojok, Raden
Said merasa takut dan bertaubat kepada Yang Maha Kuasa.
Setelah peristiwa tersebut, Raden Said diangkat menjadi murid dari
Sunan Bonang, dengan syarat bahwa Raden Said harus menunggu Sunang
Bonang di pinggir sungai sambil menjaga tongkat miliknya. Penantian Raden
Said di pinggir kali itulah yang menjadikannya disebut sebagai Kalijaga yang
berarti menjaga kali (sungai).
Menurut sejarah, Sunan Kalijaga memiliki tiga orang istri, yakni Dewi
Sarah, Siti Zaenab, dan Siti Hafsah.
Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, Beliau memiliki 3 anak yakni
Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Sementara itu, dari pernikahannya dengan Siti Zaenab (anak dari Sunan
Gunungjati), Beliau dikaruniai 5 anak yakni Ratu Pembayun, Nyai Ageng
Panegak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman, dan Nyai Ageng Ngerang.
Lalu dari pernikahannya dengan Siti Khafsah belum diketahui secara jelas
siapa nama putranya. Perlu diketahui bahwa Siti Khafsah ini adalah putri dari
Sunan Ampel.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun, yakni sekitar pertengahan abad ke-15 sampai akhir abad 16. Dengan
demikian, Beliau juga telah mengalami masa akhir dari kekuasaan Kerajaan
Majapahit tepatnya pada 1478. Bahkan Beliau juga ikut dalam upaya
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Sunan Kalijaga kemudian wafat sekitar tahun 1680 pada usia 131 tahun.
Beliau dimakamkan di Desa Kadilangu yang terletak di Demak.

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga


Pada saat itu, masyarakat Indonesia ini masih memiliki kepercayaan
dinamisme, animisme, dan Budha. Sehingga strategi utama dalam proses
menyebarkan dakwah agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga
adalah berupa menggunakan pertunjukan wayang. Kala itu, pertunjukan
wayang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan
agama lama. Mengingat ajaran Islam yang hendak disampaikan kepada
masyarakat memang harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka
akan mudah dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Strategi dakwahnya diawali dengan mengajari masyarakat membaca
kalimat syahadat terlebih dahulu dengan hati ikhlas supaya mereka dapat
masuk Islam secara agama. Kemudian selama berdakwah, Sunan Kalijaga
mengenalkan agama Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan wayang.
Dengan kemampuannya menjadi berlakon wayang, Sunan Kalijaga
berdakwah menggunakan nama samaran, salah satunya adalah Ki Dalang
Bengkok di daerah Tegal.
Kepopuleran Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran agama Islam
menggunakan lakon wayang sangat menarik perhatian masyarakat banyak.
Bahkan jika Beliau melakukan pentas di suatu desa, masyarakat akan
berbondong-bondong untuk menonton pertunjukan Beliau. Beliau juga tidak
pernah menarik bayaran di pertunjukan wayangnya. Nah sebagai ganti
bayarannya, Beliau meminta kepada seluruh masyarakat yang datang
menonton untuk bersyahadat dan mengucapkan sumpah pengakuan bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah SWT sekaligus mengakui bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah utusan-Nya.
Cara berdakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga terlihat sangat luwes,
sehingga masyarakat Jawa yang kala itu masih banyak menganut kepercayaan
lama tidak merasa bahwa kehadiran dakwah Beliau menentang adat-istiadat.
Lagipula, Sunan Kalijaga juga mendekati masyarakat dengan cara halus,
disertai pula pakaiannya yang tidak berupa jubah supaya masyarakat tidak
merasa “ketakutan” akan kehadirannya. Pakaian yang digunakan oleh Sunan
Kalijaga bukanlah jubah besar, melainkan pakaian adat Jawa sehari-hari.
Selain itu, Beliau juga memanfaatkan kesenian rakyat dan tembang-
tembangnya sebagai alat dakwah. Di masyarakat Jawa, Sunan Kalijaga
dianggap sebagai wali yang paling populer dan sebagai guru agung.

4) Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang
Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapurosukolilo, Gresik.
Kelahiran : Kashan, Iran
Meninggal : 8 April 1419, Kabupaten Gresik
Anak : Sunan Ampel, Sunan Ngudung, Ali Murthada
Cicit : Sunan Kudus, Trenggono, Dewi Ruhil, Panembahan Kudus,
Jayeng Katon, lainnya
Nama lengkap : Maulana Malik Ibrahim
Tempat pemakaman: Makam Sunan Maulana Malik Ibrahim, Gresik
Orang tua : Syekh Jumadil Qubro
Dalam berdakwah, Sunan Gresik dikenal sebagai sosok pemberani
yang sangat bijaksana dan tidak memaksakan ajarannya.
Sifatnya yang ramah dan penuh kedamaian tidak hanya ditunjukkan pada
umat Muslim, tetapi juga kepada pemeluk agama lain.
Hal itulah yang membuat Sunan Gresik dikagumi dan dihormati,
bahkan oleh Raja Majapahit sekalipun.
Ketika berhadapan dengan rakyat dari golongan bawah yang pengetahuannya
masih kurang, Sunan Gresik mengajar sesuai kapasitas orang tersebut agar
ajarannya mudah dimengerti dan diterima.
Sunan Gresik menerapkan anjuran Nabi, bahwa Islam harus disiarkan
dengan cara yang mudah, sehingga umat menjadi nyaman dan tidak terancam.
Selain menjadi guru agama, Sunan Gresik juga berdakwah dengan metode
perdagangan, pertanian, dan pengobatan.
Sunan Gresik berdagang berbagai macam kebutuhan pokok, di mana
ia bisa berinteraksi dan mendekati masyarakat untuk mengenalkan Islam.Di
bidang pertanian, penduduk diberi pengetahuan mengolah tanah yang baik
agar hasil panen mereka meningkat.
Beberapa keterangan juga menyebut bahwa sejak kedatangannya, hasil
pertanian rakyat Gresik meningkat.

Selain itu, Sunan Gresik dikenal sebagai tabib yang melayani pengobatan bagi
masyarakat sekitar.
Pengobatan yang diberikan menggunakan ramuan dari bahan alami dan
masyarakat tidak perlu membayar alias gratis.Selama berdakwah, Sunan
Gresik tidak hanya membimbing masyarakat untuk mengenal dan mendalami
agama Islam, tetapi juga memberi pengarahan agar tingkat kehidupan
penduduk menjadi lebih baik.

Seperti para wali lainnya, Sunan Gresik memiliki karomah atau anugerah dari
Allah.
Salah satu karomah yang dimiliki Sunan Gresik adalah menurunkan hujan
ketika rakyat terjebak kemarau panjang.Dalam riwayat disebut bahwa Sunan
Gresik melakukan salat sunah Istiqah untuk memohon hujan ketika melihat
penduduk melakukan ritual memanggil hujan.
Beberapa saat setelah salat selesai dilakukan, hujan pun turun di tengah
kemarau.

Wafat
Selama berdakwah, Sunan Gresik membangun pondok pesantren dan
Masjid Pasucian yang berada di Leran, Manyar, Gresik. Sunan Gresik wafat
pada 1419 setelah selesai membangun dan menata pondok sebagai tempat
belajar agama Islam. Makam Sunan Gresik kini terdapat di Kampung Gapura,
dekat dengan alun-alun Gresik dan Masjid Jami' Gresik. Di lokasi makam,
terdapat dua buah bagian makam yang berisikan Sunan Gresik sendiri dan
juga ulama Gresik lainnya. Tidak perlu khawatir akan akses menuju
makamnya karena ia tidak terletak di pinggiran kota maupun di jalan yang
menanjak, akan tetapi makam beliau terletak dekat dengan alun-alun Kota
Gresik.

Anda mungkin juga menyukai