NAWAWI AL-BANTANI
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan Abu Al-Ma’ali Ahmad
yang berkuasa pada tahun 1640 M – 1650 M dan cucu dari Sultan Abdul
Mufahir Mahmud Abdul Kadir yang berkuasa pada tahun 1605 M – 1640 M.
Ketika masih muda, dia digelari sebagai Pangeran Surya. Dan setelah ayah
dan kakeknya wafat, dia diangkat menjadi Sultan yang bergelar Sultan Abdul
Fathi Abdul Fattah.
Sultan Ageng Tirtayasa memiliki hobi seni budaya yang sangat kuat
hingga dapat memainkan wayang wong dan permainan sejenis dedewaan.
Selain itu, dia juga dikenal sebagai orang yang taat beragama.
Tetapi usaha Belanda tidak menuai hasil, bahkan Sultan Ageng Tirtayasa
mampu menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Karena berulangkali
usaha blokade gagal, Belanda akhirnya melakukan strategi devide et impera
(adu domba) untuk meruntuhkan kekuasaan Sultan Ageng Titayasa.
Akhirnya terjadilah perang saudara dimana pada tahun 1681 Sultan Haji
mengkudeta ayahnya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. Selanjutnya Sultan
Ageng Tirtayasa menyusun strategi untuk mengepung Sultan Haji, dan
membuat Sultan Haji terdesak.
Dari biografi Sultan Ageng Tirtayasa, kita bisa mengetahui peran penting
tokoh ini. Beliau memiliki peran yang sangat besar dalam masa
pemerintahannya. Peran-perannya terlihat dalam bidang agama, politik,
ekonomi, budaya, dan militer sebagai berikut :
1. Bidang Agama
Sultan Ageng Tirtayasa menaruh perhatian yang besar dalam
perkembangan pendidikan Islam yang ada di Kota Banten. Untuk memperkuat
mental prajurit-prajurit Banten, dikirimkanlah guru-guru dari wilayah Arab,
Aceh, dan lain-lainnya. Seorang ulama besar yang dijadikan mufti agung
bernama Syekh Yusuf Tajul Khalwati dari Makassar dan merupakan guru
besar Sultan.
2. Bidang Politik
Kesultanan Banten menjalankan politik bebas aktif, dimana membuka
peluang bagi semua kalangan yang hendak bekerjasama dengannya. Namun
siapapun kalangan yang mengganggu kedaulatan Kerajaan Banten dianggap
tidak bersahabat. Kesultanan Banten memiliki hubungan kerjasama yang baik
dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, salah satunya dengan Kerajaan
Trunojoyo yang hendak memberontak kepada Kerajaan Mataram.
3. Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng Tirtayasa memajukan sistem
pertanian yang unggul dengan irigasi. Para penduduk pun relatif sejahtera
dengan kebutuhan-kebutuhan pokok maupun sekunder yang terpenuhi. Selain
itu, Banten juga ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang baik dalam negeri
maupun luar negeri.
4. Bidang Budaya
5. Bidang Militer
1. Syekh Nawawi al-Bantani
2. Syekh Umar al-Bantani
3. Syekh Arabi al-Bantani
4. Syekh Ali al-Bantani
5. Syekh Jamad al-Bantani
6. Syekh Janta al-Bantani
7. Syekh Masbuqil al-Bantani
8. Syekh Maskun al-Bantani
9. Syekh Masnun al-Bantani
10. Syekh Maswi al-Bantani
11. Syekh Tajul Arsy al-Bantani (Pangeran Sunyararas)
12. Sultan Maulana Hasanuddin
13. Sultan Syarif Hidayatullah
14. Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan
15. Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan
16. Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh Jumadil Kubro)
17. Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan
18. Sayyid Abdullah Azmatkhan
19. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
20. Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut)
21. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut)
22. Sayyid Ali Khali' Qasam
23. Sayyid Alawi ats-Tsani
24. Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah
25. Sayyid Alawi Awwal
26. Sayyid al-Imam 'Ubaidillah
27. Sayyid Ahmad al-Muhajir
28. Sayyid 'Isa Naqib ar-Rumi
29. Sayyid Muhammad an-Naqib
30. Sayyid al-Imam Ali Uradhi
31. Sayyidina Ja'far ash-Shadiq
32. Sayyidina Muhammad al-Baqir
33. Sayyidina Ali Zainal Abidin
34. Sayyidina Husain
35. Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti
36. Sayyidina Muhammad Saw
Wafat
Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu
diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah
air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Serang, asuhan
KH. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri
Nusantara, bahkan mancanegara.
Pendidikan
Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama
Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh
Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid,
al-Quran dan tafsir.
Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad,
Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah seorang ulama terkenal di
Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh
Baing Yusuf Purwakarta.
Di usianya yang belum genap lima belas tahun, Syekh Nawawi telah
mengajar banyak orang, sampai kemudian beliau mencari tempat di pinggir
pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah
banyak. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi
menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur di
Mekah saat itu.
Gelar kehormatan
Menolak wahabisme
Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang berfaham
Wahabisme, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal ziarah
kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur dengan alasan bidah,
namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini.
Hal tersebut terjadi karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yang ia
tumpangi, sementara ide untuk menulis kitab tengah kencang mengisi
kepalanya. Syekh Nawawi kemudian berdoa kepada Allah agar telunjuk
kirinya dapat menjadi lampu, menerangi jari kanan yang akan digunakannya
untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraqi
al-'Ubudiyyah syarah Matan Bidayah al-Hidayah itu harus dibayarnya dengan
cacat pada jari telunjuk kiri, karena cahaya yang diberikan Allah pada
telunjuk kirinya itu membawa bekas yang tidak hilang.
Dengan begitu, saat Syekh Nawawi yang dianggapnya hanya seorang anak
remaja tak dikenal menyalahkan penentuan kiblat, Sayyid Utsman sangat
terkejut. Diskusipun terjadi antara keduanya, Sayyid Utsmân tetap
berpendirian bahwa kiblat Mesjid Pekojan tersebut sudah benar, sementara
Syekh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat haruslah dibetulkan. Saat
kesepakatan tidak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan
pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju
Sayyid Utsmân dan dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat, kemudian
berkata:
Dengan karamah itu, dimanapun dia berada Ka'bah akan tetap terlihat.
Dengan penuh hormat Sayyid Utsman langsung memeluk tubuh kecil Syekh
Nawawi. Sampai saat ini di Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser dan
tidak sesuai aslinya.
Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah
dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat
kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya.
Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota dan
lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga
datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan tersebut dijalankan
tanpa pandang bulu hingga menimpa pula pada makam Syekh Nawawi.
Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah
kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim.
Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya,
yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu
apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti
lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain kafan penutup jasad
Syekh Nawawi tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kasyifah al-Saja yang
menerangkan syariat. Dan ratusan hikmah di dalam kitab Nashaih al-'Ibâd.
Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya
abadi dari buah tangan Syekh Nawawi al-Bantani.
Karya-karya
Kecerdasan dan kealiman Syekh Nawawi tidak diragukan lagi. Ulama asal
Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus min Madhi al-
Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan
masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa
Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus
judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang
berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.