Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SEJARAH

SMA NEGERI 61 JAKARTA

Penyusun Makalah :
1. Hana Zharifa, sebagai Ketua
2. Ilma Farwinda, sebagai Notulen
3. Nur Aziza Putri, sebagai Dokumentator
4. Tristan Matias, sebagai Dokumentator
5. Fiqraditya Kusmara, sebagai Tim Ahli
6. Dhafiyah Atifah, sebagai Tim Ahli

Materi Makalah :
Kerajaan Aceh (1496 1903)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 3
1.2.Rumusan Masalah ..................................................................................................
1.3 Tujuan .
1.4 Manfaat ...

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh ...
2.2 Perkembangan Kehidupan Politik Kerajaan Aceh ..
2.3 Perkembangan Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh ..
2.4 Perkembangan Kehidupan Sosial Kerajaan Aceh ...
2.5 Perkembangan Kehidupan Budaya Kerajaan Aceh
2.6 Perkembangan Kehidupan Agama Kerajaan Aceh .
2.7 Sistem Pemerintahan Kerajaan Aceh ..
2.8 Silsilah Sultan Kerajaan Aceh
2.9 Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh ...
2.10 Peninggalan Kerajaan Aceh ...

BAB III PENUTUP..................


3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................
3.2 Saran.................................

DAFTAR PUSTAKA .
Lampiran 1 .
Lampiran 2 .

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kerajaan Aceh mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Perkembangan pesat yang dicapai kerajaan Aceh ini tidak lepas dari letak
kerajaannya yang sangat strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian Utara dan dekat
dengan

pelayaran

internasional.

Ramainya

aktivitas

pelayaran

ini

sangat

mempengaruhi perkembangan kehidupan kerajaan Aceh di segala bidang, seperti


halnya

dalam

aspek

kehidupan

politik,

aspek

ekonomi,

social

maupun

kebudayaannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah dan perkembangan Kerajaan Aceh ?
2. Bagaimana kehidupan Sosial, Politik dan Ekonomi dari kerajaan Aceh?
3. Hal Apa saja yang mengakibatkan Kerajaan Aceh mengalami kemunduran?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana Kerajaan Aceh dirintis serta perkembangannya hingga
mencapai masa kejayaan
2. Mengetahui kehidupan social, politik dan ekonomi dari Kerajaan Aceh
3. Mengetahui factor-faktor apa saja yang mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami
kemunduran.

1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan bermanfaat, baik dari aspek teoritis maupun praktis. Secara
teoritis tergambar dalam materi tulisan ini. Adapun secara praktis, tulisan ini
diharapkan dapat berguna bagi individu, masyarakat, dan pemerintah. Semoga
menjadi

bahan

pembelajaran

yang

baik

bagi

tunas

mempelajarinya.

BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh

bangsa

yang

ingin

Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan


Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan
dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri, yakni Pasai dan
Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika kedatangan bangsa Portugis
serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires
menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu Regno dachei (Kerajaan
Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang
semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah
Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi perdagangan
Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-rata merupakan
pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara Sumatra dan Malaka.
Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual hasil
dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina.
Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan
sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya
wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah
atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada
tahun 1520 dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya
hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan
Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)

Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun
rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada
Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu
dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di
Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis,
termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil
merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun
oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap
saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah
(William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari
Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia
mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Riayat Syah atau Ali Riayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575.
Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)

Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga
berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan,
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki
dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan
sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan
sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di
Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan
Ali Riayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat
baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari
nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia
wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Sultan
Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan
Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda
hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 -1636. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai
bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional,
memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat
kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin
terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus
meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang

berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun


1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut
merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan Aceh
mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan 1615.
Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.

2.2 Perkembangan Kehidupan Politik Kerajaan Aceh


Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah
satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia
pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada
sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan
sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam
peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan
Aceh.

2.3 Perkembangan Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh


Karena letaknya di jalur lalu lintas pelayaran dan perdagangan selat Malaka,
kerjaan Aceh menitik beratkan perekonomiannnya pada bidang perdagangan.
Dibawah pemerintahan Sultan Alaudin Riayat Syah, Aceh berkembang menjadi
Bandar utama di Asia bagi para pedagang mancanegara, bukan hanya bangsa Inggris
dan Belanda yang berdagang di pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing lain
seperti Mesir, Arab, Persia, Perancis, Inggris, Afrika, Turki, India, Syam, China, dan
Jepang.
Barang yang diperdagangkan dari Aceh, antara lain lada, beras, timah, emas,
perak, dan rempah-rempah (dari Maluku). Orang yang berasal dari mancanegara
(impor), antara lain dari Koromandel (India), Porselin dan sutera (Jepang dan Cina),
dan minyak wangi dari (Eropa dan Timur Tengah). Selain itu, kapal pedagang Aceh
aktif dalam melakukan perdagangan sampai ke laut merah.

Komoditas-komoditas yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar),


sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik
mori, pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang
disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri
antara lain kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obatobatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra
hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang
menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai
pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara. Berikut ini, komoditas ekspor
dan impor dari Aceh.
Komoditas ekspor
Kayu yang tinggi
nilainya
Jenis dammar
Sari dan wangiwangian

Rempah-rempah
Gading
Lilin (malam)
Tali temali
Sutera

Cendana
Sapang
Gendarukam
Dammar
Teban
Kemenyan putih
Kemenyan hitam
Kamper
Akar pucuk
Minyak rasamala
Kulit kayu masui
Lada
Campli puta
Bunga lawang

Komoditas impor
Bahan makanan

Logam
Tekstil
Barang kerajinan
Bahan perangsang

Barang mewah

Beras
Mentega
Gula
Anggur
Kurma
Timah
Besi
Boraks1[24]
Bendela
Kain tenun
Tembikar
Guci
Candu
Kopi
Teh
Tembakau
Batu karang (pulam)
Air mawar peti

2.4 Perkembangan Kehidupan Sosial Kerajaan Aceh


Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri atas empat golongan, yaitu golongan
teuku (kaum bangsawan yang memegang kekuasaan pemerintahan sipil), golongan
1

tengku (kaum ulama yang memegang peranan penting dalam keagamaan), hulubalang
atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan Teuku
sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh.
Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 M sampai dengan abad ke-13 M)
telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dan Ahlusunnah wal jamaaah. Namun
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah mendapat perlindungan
dan berkembang ke daerah kekuasaan Aceh. Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar
Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.

2.5 Perkembangan Kehidupan Budaya Kerajaan Aceh


Kehidupan budaya di kerajaan Aceh tidak banyak diketahui karena kerajaan
Aceh tidak banyak meninggal banda hasil budaya. Perkembangan kebudayaan di
Aceh tidak terpusat perkembangan perekonomian. Perkembangan kebudayaan yang
terlihat nyata adalah bangunan masjid Baiturrahman dan buku Bustanus Salatin yang
ditulis oleh Nurrudin Ar-raniri yang berisi tentang sejarah raja-raja Aceh. Aceh sering
disebut sebagai Negeri Serambi Mekah, karena Islam masuk pertama kali ke
Indonesia melalui kawasan paling barat pulau Sumatera ini. Orang Aceh mayoritas
beragama Islam dan kehidupan mereka sehari-hari sangat dipengaruhi oleh ajaran
Islam ini. Oleh sebab itu, para ulama merupakan salah satu sendi kehidupan
masyarakat Aceh. Pengaruh Islam yang sangat kuat juga tampak dalam aspek bahasa
dan sastra Aceh. Peninggalan Islam di Nusantara banyak di antaranya yang berasal
dari Aceh, seperti Bustanussalatin dan Tibyan fi Marifatil Adyan karangan
Nuruddin ar-Raniri pada awal abad ke-17: Kitab Tarjuman al-Mustafid yang
merupakan tafsir Al Quran Melayu pertama karya Shaikh Abdurrauf Singkel tahun
1670-an; dan Tajussalatin karya Hamzah Fansuri. Ini bukti bahwa Aceh sangat
berperan dalam pembentukan tradisi intelektual Islam di Nusantara. Karya sastra
lainnya, seperti Hikayat Prang Sabi, Hikayat Malem Diwa, Syair Hamzah

Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya
pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.

2.6 Perkembangan Kehidupan Agama Kerajaan Aceh


Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama
dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi
Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin
al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul
Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil`

2.7 Sistem Pemerintahan Kerajaan Aceh


Saat Sultan Iskandar Muda me- merintah, bentuk teritorial yang terkecil dari
susunan pemerintahan di Aceh adalah yang disebut dalam istilah Aceh Gampong
atau dalam istilah Melayu Kampung. Sebuah Gampong terdiri atas kelompokkelompok rumah yang letaknya berdekatan satu dengan yang lain. Pimpinan
gampong disebut Geucik atau Keuchik yang dibantu oleh seorang yang mahir dalam
masalah keagamaan, dengan sebutan Teungku Meunasah.
Selain itu, dalam sebuah dalam sebuah Gampong terdapat pula unsur-unsur
pimpinan lainnya seperti yang dinamakan Waki (wakil) yang merupakan wakil dari
Keuchik, serta juga yang disebut Ureung Tuha (orang tua). Mereka yang tersebut
terakhir adalah golongan orang-orang tua kampung yang disegani dan berpengalaman dalam kampungnya. Menurut tradisi jumlah mereka ada empat orang
yang dinamakan Tuha Peut ada juga yang delapan orang yang disebut Tuha Lapan.
Bentuk teritorial yang lebih besar lagi dari gampong yaitu Mukim. Mukim
ini merupakan gabungan dari beberapa buah gampong yang letaknya berdekatan dan
para penduduknya melakukan sembahyang bersama pada setiap hari Jumat di sebuah
masjid. Pimpinan Mukim disebut sebagai Imum Mukim. Perkataan Imum ini berasal
dari bahasa Arab, artinya Imam (orang yang harus di-ikuti). Imum Mukim inilah yang

bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid.
Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari
sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau KeuchikKeuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya,
yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada
setiap hari Jumat di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut
Imuem Mesjid.
Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu
bentuk pemerintahan yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau
Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi yang
dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi tersebut
masing-masing dinamakan :
1. Sagoe XXII Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima
Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat
menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
2. Sagoe XXV Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul
'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua
Majelis Ulama Kerajaan.
3. Sagoe XXVI Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima
Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan)
Penamaan ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada
masing-masing Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di
bawahnya sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI
Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian
juga untuk kedua Sagi lainnya.
Tiap-tiap Sagi di atas, diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima
Sagoe atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar
Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai

Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang
dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap
sembilan).
Di luar dari ketiga Sagi atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat
unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim-mukim yang
diikuti nama di belakangnya (nama tempat). Pimpinan pemerintahan di Mukimmukim ini sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat
mereka juga sama dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah
teritorial mereka jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.
Kepala pemerintahan Mukim ini berada langsung di bawah pengawasan
Sultan Aceh, jadi tidak di bawah Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah
disebutkan di atas. Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang
terletak di sebelah kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim
Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa. Di luar dari mukim-mukim yang berdiri sendiri
ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim, tetapi Kepala Mukimnya
tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di bawah dari ketiga
Sagi yang telah disebutkan di atas.
Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut
Nangroe atau Negeri. Nangroe ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan
Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan
melebihi seratus dan menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sekarang). Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi dari
masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang, yang
ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.
Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh, tetapi para
Uleebalang ini merupakan Kepala Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di
daerah mereka masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan sebagai
Uleebalang di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan

Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan
Aceh, Cap Sikureung, seperti telah disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan
oleh Sultan Aceh kepada Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang
jumlahnya di- tetapkan oleh Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan
Sarakata, karena ia merupakan status dari kekuasaannya.
Tugas Uleebalang adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenagatenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga
menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau
perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan.
Namun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli
kekuasaan di daerahnya dan masih tetap sebagai pemimpin yang merdeka dan bebas
melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di wilayahnya.
Hak-hak ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenangwenangan para Uleebalang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman
terhadap seorang yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah,
terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada
lagi). Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di Nangroenangroe adalah para Uleebalang.
Dalam memimpin pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantupembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara
Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang
bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau
Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum
Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang
dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik
dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan
kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.

Nangroe-nangroe tersebut di atas, pada umumnya berlokasi di pantai bagian


timur dan pantai bagian barat Aceh. Di awahnya terdapat pula sejumlah mukim yang
terdiri atas beberapa buah gampong atau yang disebut pula dengan istilah meunasah.
Tetapi tidak semua nangroe mengenal lembaga mukim. Di wilayah pantai timur dan
di pantai barat, tidak terdapat apa yang disebut mukim. Di beberapa nangroe bagian
pantai Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Aceh Utara sekarang, terdapat apa
yang disebut dengan istilah Ulebalang Cut (Uleebalang kecil). Uleebalang Lapan
(Uleebalang Delapan), dan Uleebalang Peut (Uleebalang Empat). Namun kedudukan
dari bermacam jenis Uleebalang ini, berada di bawah.
Tingkat tertinggi dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh adalah
pemerintah pusat yang berkedudukan di Ibukota kerajaan, yang dahulunya bernama
Bandar Aceh Darussalam. Kepala pemerintahan pusat adalah Sultan yang para
kelompoknya bergelar Tuanku. Dalam mengendalikan pemerintahan Sultan dibantu
oleh beberapa pembantu yang membawahi bidang masing-masing. Berdasarkan
sebuah manuskrip (MS), susunan pemerintahan pusat Kerajaan Aceh terdiri atas 24
lembaga atau jabatan yang diumpamakan dengan kementrian pada masa sekarang.
Nama dari masing-masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keurukon Katibul Muluk atau Sekretaris Raja
2. Rais Wazirat Addaulah atau Perdana Menteri
3. Wazirat Addaulah atau Menteri Negara
4. Wazirat al Akdham atau Menteri Agung
5. Wazirat al HArbiyah atau Menteri Peperangan
6. Wazirat al Haqqamiyah atau Menteri Kehakiman
7. Wazirat ad Daraham atau Menteri Keuangan
8. Wazirat ad Mizan atau Menteri Keadilan
9. Wazirat al Maarif atau Menteri Pendidikan
10. Wazirat al Khariziyah atau Menteri Luar Negeri
11. Wazirat ad Dakhilyyah atau Menteri Dalam Negeri

12. Wazirat al Auqaf atau Menteri Urusan Wakaf


13. Wazirat az Ziraaf atau Menteri Pertanian
14. Wazirat al Maliyyah atau Menteri urusan HArta
15. Wazirat al Muwashalat atau Menteri Perhubungan
16. Wazirat al asighal atau Menteri Urusan Kerja
17. As Syaikh al Islam Mufti Empat Syeik Kaabah
18. Qadli al Malik al Adil atau Qadi Raja Yang Adil
19. Wazir Tahakkum Muharrijlailan atau Ketua Pengurus Kesenian
20. Qadli Muadlam atau Qadhi/Jaksa Agung
21. Imam Bandar Darul Makmur Darussalam
22. Keuchik Muluk atau Keuchik Raja
23. Imam Muluk atau Imam Raja
24. Panglima Kenduri Muluk atau Ketua Urusan Kenduri Raja.
24 lembaga atau jabatan seperti disebutkan di atas, dipegang oleh orangaorang tertentu yang di-angkat oleh Sultan Aceh. Selain jabatan-jabatan itu di Kerajaan
Aceh, terdapat pula tiga buah badan atau lembaga lainnya yang fungsinya hampir
dapat disamakan dengan lembaga legislatif sekarang. Lembaga ini turut mendampingi
Sultan dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga Lembaga ini adalah :
1. Balairungsari, yaitu tempat bermufakat empat orang Uleebalang (Hulu Balang
Empat) dan 7 orang alim ulama, serta menteri-menteri Kerajaan Aceh.
2. Bale Gadeng, yaitu Tempat mufakat dari delapan orang Uleebalang dan tujuh
orang alim ulama serta menteri-menteri Kerajaan Aceh, dan
3. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu sebagai tempat mufakat wakil rakyat
sebanyak 73 orang yang datang dari tujuh puluh tiga mukim. Jadi tiap-tiap mukim
diwakili oleh satu orang.
Selain ketiga lembaga di atas, dalam sebuah naskah yang bernama Kanun
Meukuta Alam Sultan Iskandar Muda, disebut pula ada Balai Laksamana yaitu
semacam markas angkatan perang, yang dikepalai oleh seseorang yang disebut

Laksamana , yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang
disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea
Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam
pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.
Demikian struktur Kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultannya yang
terakhir Sultan Mahmud Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang
merupakan awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki
oleh Belanda, hingga tahun 1942.

2.8 Silsilah Sultan Kerajaan Aceh


Raja raja yang pernah memerintah di Kerajaan Aceh :
1.

Sultan Ali Mughayat Syah

Raja kerajaan Aceh pertama yang memerintah tahun 1514 1528 M. Di bawah
kekuasaannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada
di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap kedudukan bangsa
Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
2.

Sultan Salahuddin

Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemeintahan beralih kepada putranya yg bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 1537 M, selama menduduki tahta
kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahaan kerajaannya. Keadaan kerajaan
mulai goyah dan mengalami kemerosostan yg tajam. Oleh karena itu, Sultan
Salahuddin digantiakan saudaranya yg bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
3.

Sultan Alaudin Riayat Syah al-Kahar

Ia memerintah Aceh dari tahun 1537 1568 M. Ia melakukan berbagai bentuk


perubahan dan perbaikan dalam segala bentuk pemeintahan Kerajaan Aceh. Pada
masa
pemeintahannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasaan wilayah kekuasaannya seperti
melakukan serangan terhadap Kerajaan Malaka ( tetapi gagal ). Daerah Kerajaan Aru

berhasil diduduki. Pada masa pemerintahaannya, Kerajaan Aceh mengalami masa


suram. Pemberontakan dan perebutan kekuasaan sering terjadi.

4.

Sultan Iskandar Muda

Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh tahun 1607 16 36 M. Di bawah


pemerintahannya, Kerajaan Aceh mengalami kejayaan. Kerajaan Aceh tumbuh
menjadi kerajaan besar dan berkuasa atas perdagangan Islam, bahakn menjadi bandar
transito yg dapat menghubungkan dgn pedagang Islam di dunia barat. Untuk
mencapai kebesaran Kerajaan Aceh, Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan
Aceh dgn menyerang Portugis dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya.
Tujuannya adalah menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai
daerah daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Muda juga menolak permintaan
Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat. Selain itu,
Kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah daerah seperti Aru, pahang,
Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah pemerintahannya Kerajaan aceh
memiliki wilayah yang sangat luas. Pada masa kekeuasaannya, terdapat 2 orang ahli
tasawwuf yg terkenal di Aceh, yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah as-Samatrani
dan Syech Ibrahim as-Syamsi. Setelah Sultam Iskandar Muda wafat tahta Kerajaan
Aceh digantikan oleh menantunya, Sultan Iskandar Thani
5.

Sultan Iskandar Thani.

Ia memerinatah Aceh tahun 1636 1641 M. Dalam menjalankan pemerintahan, ia


melanjutkan tradisi kekuasaan Sultan Iskandar Muda. Pada masa pemerintahannya,
muncul seorang ulama besar yg bernama Nuruddin ar-Raniri. Ia menulis buku sejarah
Aceh berjudul Bustanussalatin. Sebagai ulama besar, Nuruddin ar-Raniri sangat di
hormati oleh Sultan Iskandar Thani dan keluarganya serta oleh rakyat Aceh. Setelah
Sultan Iskandar Thani wafat, tahta kerjaan di pegang oleh permaisurinya ( putri
Sultan Iskandar Thani ) dengan gelar Putri Sri Alam Permaisuri
6. Sultan Sri Alam (1575-1576)

7. Sultan Zain al-Abidin (1576-1577)


8. Sultan Ala al-Din Mansur Syah (1577-1589)
9. Sultan Buyong (1589-1596)
10. Sultan Ala al-Din Riayat Syah Sayyid al-Mukammil (1596-1604)
11. Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13. Iskandar Thani (1636-1641)
14. Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-1675)
15. Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam (1675-1678)
16. Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sri Ratu Kamalat Syah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sultan Badr al-Alam Syarif Hashim Jamal al-Din (1699-1702)
19. Sultan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sultan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sultan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sultan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sultan Ala al-Din Ahmad Syah (1727-1735)
24. Sultan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sultan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sultan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sultan Sulaiman Syah (1785-)
28. Alauddin Muhammad Daud Syah
29. Sultan Ala al-Din Jauhar al-Alam (1795-1815) dan (1818-1824)
30. Sultan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sultan Muhammad Syah (1824-1838)
32. Sultan Sulaiman Syah (1838-1857)
33. Sultan Mansur Syah (1857-1870)
34. Sultan Mahmud Syah (1870-1874)

35. Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903)

2.9 Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh


Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa factor. Berikut merupakan factor yang
mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami kemunduran.
Kekalahan perang antara Aceh melawan portugis di Malaka pada tahun 1629 M
2) Tokoh pengganti Sultan Iskandar Muda tidaklah sebaik yang terdahulu.
3) Permusuhan yang hebat diantara kaum ulama yang menganut ajaran Syamsyudias1)

Sumatra dan penganut ajaran Nur ad-Din ar-raniri


4) Daerah-daerah yang jauh dari pemerintahan pusat melepaskan diri dari Aceh
5) Pertahanan Aceh lemah sehingga bangsa-bangsa Eropa berhasil mendesak dan
menggeser daerah perdagangan Aceh. Akhirnya, perekonomian di Aceh menjadi
melemah.
Selain 5 faktor di atas, ada hal lain yang menyebabkan kemunduran Kerajaan
Aceh yaitu, Belanda kekuasaannya menguat di pulau Sumatera dan Selat Malaka,
ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing,
Deli, Barus (1840) serta Bengkulu jatuh ke dalam pangkuan penjajahan Belanda.
Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta
kesultanan. Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya, di mana para bangsawan ingin
mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani
menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya
Raja Tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulbalang bebas berdagang
dengan pedagang asing tanpa harus melalui pelabuhan sultan di Ibukota. Lada
menjadi tanaman utama yang dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi
pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun beberapa elemen
masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah

seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup
dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya
terbakar. Dalam terbakar, kota Bandar Aceh mengalami kegaduhan dan ketidaktentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan
kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah
Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (17951824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris
dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi
dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang
kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali
kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200
perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan
ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai
usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul
sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan

sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I
mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja
Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang
muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang
dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan
seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan
pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib
namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol
dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat
Sumatera, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala
unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di
Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan."
Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari
negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak
memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea.
Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan
Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin
Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

2.10 Peninggalan Kerajaan Aceh


1. Masjid Raya Baiturrahman

Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama dan yang paling dikenal adalah
Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar
tahun 1612 Masehi ini berada di pusat Kota Banda Aceh. Saat agresi militer Belanda
II, masjid ini sempat dibakar. Namun pada selang 4 tahun setelahnya, Belanda
membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yang hendak berperang
merebut syahid. Saat bencana Tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, masjid
peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini menjadi pelindung bagi sebagian
masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tak bisa digentarkan oleh sapuan ombak
laut yang kala itu meluluhlantahkan kota Banda Aceh.
2. Taman Sari Gunongan
Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninngalan Kerajaan Aceh,
setelah keraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda yamg
memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan
Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri boyongan dari Pahang
yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar
Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintannya yang
sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya
untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan
sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana
pegunungan di tempat asalnya terpenuhi
3. Masjid Tua Indrapuri
Mesjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi.
Bentuknya khas, mirip candi, karena di masa silam bangunan tersebut bekas benteng
sekaligus candi kerajaan hindu yang lebih dahulu berkuasa di Aceh. Diperkirakan
pada tahun 1.300 Masehi, pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar, dan perlahan
penduduk sekitar sudah mengenal Islam, akhirnya bangunan yang dulunya candi
berubah fungsi menjadi mesjid. Dan sejarah juga mengatakan bangunan bekas candi

tersebut dirubah menjadi mesjid di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa dari tahun
1607-1637 Masehi.

4. Benteng Indrapatra
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Benteng Indrapatra.
Benteng ini merupakan benteng pertahanan yang sebetulnya sudah mulai dibangun
sejak masa kekuasaan Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu tertua di Aceh, tepatnya
sejak abad ke 7 Masehi. Benteng yang kini terletak di Desa Ladong, Kec. Masjid
Raya, Kab. Aceh Besar ini pada masanya dulu memiliki peranan penting dalam
melindungi rakyat Aceh dari serangan meriam yang diluncurkan kapal perang
Portugis.
5. Makam Sultan Iskandar Muda
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Makam dari Raja
Kerajaan Aceh yang paling ternama, Sultan Iskandar Muda. Makam yang terletak di
Kelurahan Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan
nuansa Islami. Ukiran dan pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah dan
menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam di Indonesia.
6. Uang Emas Kerajaan Aceh
Aceh berada di jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat strategis.
Berbagai komoditas yang berasal dari penjuru Asia berkumpul di sana pada masa itu.
Hal ini membuat kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri. Uang
logam yang terbuat dari 70% emas murni kemudian dicetak lengkap dengan namanama raja yang memerintah Aceh. Koin ini masih sering ditemukan dan menjadi
harta karun yang sangat diburu oleh sebagian orang. Koin ini juga bisa dianggap
sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Aceh yang sempat berjaya pada masanya.
7. Meriam Kerajaan Aceh

Kesultanan Aceh telah mampu membuat sarana persenjataannya sendiri. Hal


ini dibuktikan dengan keberadaan meriam-meriam tua yang kini berjajar di benteng
Indraparta dan musium Aceh. Awalnya meriam-meriam tersebut dianggap berasal
dari pembelian ke Kerajaan Turki, namun setelah diteliti ulang, ternyata bukan.
Teknisi-teknisi kerajaan Aceh-lah yang membuatnya berbekal ilmu yang mereka
pelajari dari kerajaan Turki Ustmani. Peranan meriam-meriam ini sangat penting
dalam perlawan dan perang terhadap para penjajah dan kapal-kapal perang musuh
yang hendak menyandar ke dermaga tanah rencong.
8. Pinto Khop
Pinto Khop berada di Kelurahan Sukaramai, Kecamatan Baiturahman, Kota
Banda Aceh. Tempat ini merupakan sejarah Aceh zaman dulu yang dibangun pada
masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, tempat ini juga merupakan
pintu penghubung antara istana dan taman putroe phang. Pinto khop ini adalah pintu
gerbang yang berbentuk kubah. Pinto khop ini juga merupakan tempat beristirahat
putri pahang jiksa sudah selesai berenang, posisinya tidak jauh dari gunongan. Nah,
di sanalah dayang-dayang membasuh rambut permaisuri. Selain itu, di sana juga
terdapat sebuah kolam yang digunakan permaisuri untuk mandi bunga.
9. Hikayat Prang Sabi
Hikayat Prang Sabi adalah suatu karya sastra dalam sastra Aceh yang
berbentuk hikayat. Adapun isi dari hikayat ini adalah membicarakan tentang jihad.
Karya sastra ini ditulis oleh para ulama yang berisi ajakan, nasihat, dan seruan untuk
terjun ke medan jihad untuk menegakkan agama Allah dari serangan kaum kafir. Bisa
jadi, mungkin hikayat inilah yang membangkitkan semangat juang rakyat Aceh dulu
untuk mengusir penjajah.

BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur pelayaran
dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat
luas, sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang perekonomiannya.
Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan
berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat
menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.

3.2 Saran
Makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami menerima saran dan kritik para pembaca demi
kemajuan makalah ini serta selanjutnya kami dapat membuat makalah yang lebih
baik dan sempurna.
.

DAFTAR PUSTAKA
http://niken11ips3-19.blogspot.co.id/2013/11/makalah-kerajaan-aceh_16.html/
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/6-peninggalan-kerajaan-acehketerangan.html/
http://www.satujam.com/kerajaan-aceh/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh/
http://lailameika13.blogspot.co.id/2015/03/kehidupan-politik-sosial-budayaekonomi_22.html/
http://isra28blog.blogspot.co.id/2013/12/letak-kehidupan-politik-ekonomisosial.html/

LAMPIRAN 1
Gambar Peninggalan Kerajaan Aceh

Masjid Raya Baiturrahman

Taman Sari Gunongan

Masjid Tua Indrapuri

Benteng Indrapatra

Makam Sultan Iskandar Muda

Uang Emas Kerajaan Aceh

Meriam Kerajaan Aceh

Hikayat Prang Sabi

Pinto Khop

LAMPIRAN 2
Senin, 25 April 2016
Kelompok kami kedatangan Kelompok 3 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Siak. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Reza Muthia Ardiany dan
Nathanael Sahat Ronaldo.
Hana Zharifa (20) bertanya
Pertanyaan: Apa alasan Kerajaan Siak sering berganti Ibukota?
Jawaban
: Kerajaan Siak sering berganti Ibukota karena sering diserang
Belanda yang menyebabkan hancurnya lingkungan hidup mereka sehingga
memaksakan mereka untuk berpindah. (dijawab oleh Reza-29)
Nur Aziza Putri (26) bertanya
Pertanyaan : Apa yang menyebabkan Sultan dan anaknya berselisih?
Jawaban
: Karena ada masalah keluarga (dijawab oleh Reza-29)
Selasa, 26 April 2016
Kelompok kami kedatangan Kelompok 1 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Samudera Pasai. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Zuan
Kautsaro dan Audrey Annisa
Nur Aziza Putri (26) bertanya
Pertanyaan : Apa dasarnya perkawinan putra-putri Kerajaan Malaka dan
Samudera Pasai?
Jawaban
: Perjodohan bangsawan (dijawab oleh Zuan-36)
Adelina Ilma (01) bertanya
Pertanyaan : Apa alasan Samudera Pasai bekerja sama dengan Cina?
Jawaban
: Karena sudah ada hubungan dagang yang erat (dijawab oleh
Zuan-36 dan Audrey-11)

Kelompok kami kedatangan Kelompok 4 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan


Jambi. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Zuan Kautsaro dan
Audrey Annisa

Nur Aziza Putri (26) bertanya


Pertanyaan : Mengapa Sultan Kerajaan Jambi diduga bersalah atas
kematian pemimpin VOC?
Jawaban
: Karena sebelumnya Kerajaan Jambi ada masalah dengan
VOC (dijawab oleh Haliza-31)
Kelompok kami kedatangan Kelompok 5 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Jambi. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Alvina Mayzianti dan
Adelina Ilma (01) bertanya
Pertanyaan :
Jawaban
:
Kelompok kami kedatangan Kelompok 6 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Jambi. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Aji Inisti dan Agung
Bagus
Hana Zharifa (20) bertanya
Pertanyaan : Mengapa
Jawaban
: (dijawab oleh Aji-06 dan Agung-05)

Selasa, 19 April 2016


Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 4 menjelaskan materi Kerajaan Aceh
Angilbert Nathanael bertanya
Pertanyaan : Apa saja bantuan dari Turki dalam penyerangan portugis?
Jawaban
: (dijawab oleh Hana Zharifa-20)

Gerhard Benyamin (19) bertanya


Pertanyaan : Apa peninggalan Kerajaan Aceh?
Jawaban
: Masjid Raya Baiturrahman, Masjid Tua Indrapuri, Benteng
Indrapatra, Meriam Kerajaan Aceh, dll. (dijawab oleh Fiqraditya-16)
Annisa Gita (10) bertanya
Pertanyaan : Apa akhir kejayaan Suktan Iskandar Muda saat memimpin?
Jawaban
: Akhir kejayaan adalah kematian Sultar Iskandar Muda
(dijawab oleh Tristan-33)
Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 3 menjelaskan materi Kerajaan Aceh
Fardha Nadya (15) bertanya
Pertanyaan : Mengapa lokasi Kerajaan Aceh disebut tempat strategis?
Apakah karena sebagai tempat transit perdagangan?
Jawaban
: (dijawab oleh Hana-20)
Joshua Parhusip (22) bertanya
Pertanyaan : Apa maksud perbedaan ajaran di Kerajaan Aceh?
Jawaban
: (dijawab oleh Dhafiyah-14)
Yehezkiel Henry (35) bertanya
Pertanyaan : Apa maksud dari puncak kejayaan?
Jawaban
: Puncak kejayaan itu berarti telah berhasil (dijawab oleh
Dhafiyah-14)

Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 5 menjelaskan materi Kerajaan Aceh


Firhan Fadillah (17) bertanya
Pertanyaan : Apa komoditas tertinggi Kerajaan Aceh?
Jawaban
: Lada (dijawab oleh Hana-20)
Riris Kezia (30) bertanya
Pertanyaan : Apa saja kota-kota pelabuhan yang dilewati Kerajaan Aceh?
Jawaban
: Pasai, Pedir, Sabang, Lampung, dll (dijawab oleh Hana-20)
Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 1 menjelaskan materi Kerajaan Aceh
Flori Vladisca (18) bertanya

Pertanyaan

: Mengapa istri Sultan Ibrahim meracuni Sultan Ibrahim pada

tahun 1528 ?
Jawaban
: Karena sang istri ingin membalas dendam kepada Sultan
Ibrahim atas perlakuannya terhadap saudara laki-laki sang istri. (dijawab oleh
Hana-20)
Aprilla Dezavanka (10)bertanya
Pertanyaan : Apa penyebab kekalahan sultan-sultan Aceh dalam
menaklukan Malaka?
Jawaban
: Penyebab kekalahan karena Portugis mendapat bantuan dari
Johor, Pahang, Patani (dijawab oleh Fiqraditya-32)
Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 6 menjelaskan materi Kerajaan Aceh
Firhan Fadillah (17) bertanya
Pertanyaan : Apa komoditas tertinggi Kerajaan Aceh?
Jawaban
: Lada (dijawab oleh Hana-20)
Riris Kezia () bertanya
Pertanyaan : Apa saja kota-kota pelabuhan yang dilewaticKerajaan Aceh?
Jawaban
: Pasai, Pedir, Sabang, Lampung, dll (dijawab oleh Tristan-32)

Anda mungkin juga menyukai