Penyusun Makalah :
1. Hana Zharifa, sebagai Ketua
2. Ilma Farwinda, sebagai Notulen
3. Nur Aziza Putri, sebagai Dokumentator
4. Tristan Matias, sebagai Dokumentator
5. Fiqraditya Kusmara, sebagai Tim Ahli
6. Dhafiyah Atifah, sebagai Tim Ahli
Materi Makalah :
Kerajaan Aceh (1496 1903)
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh ...
2.2 Perkembangan Kehidupan Politik Kerajaan Aceh ..
2.3 Perkembangan Kehidupan Ekonomi Kerajaan Aceh ..
2.4 Perkembangan Kehidupan Sosial Kerajaan Aceh ...
2.5 Perkembangan Kehidupan Budaya Kerajaan Aceh
2.6 Perkembangan Kehidupan Agama Kerajaan Aceh .
2.7 Sistem Pemerintahan Kerajaan Aceh ..
2.8 Silsilah Sultan Kerajaan Aceh
2.9 Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh ...
2.10 Peninggalan Kerajaan Aceh ...
DAFTAR PUSTAKA .
Lampiran 1 .
Lampiran 2 .
BAB 1 PENDAHULUAN
pelayaran
internasional.
Ramainya
aktivitas
pelayaran
ini
sangat
dalam
aspek
kehidupan
politik,
aspek
ekonomi,
social
maupun
kebudayaannya.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui bagaimana Kerajaan Aceh dirintis serta perkembangannya hingga
mencapai masa kejayaan
2. Mengetahui kehidupan social, politik dan ekonomi dari Kerajaan Aceh
3. Mengetahui factor-faktor apa saja yang mengakibatkan kerajaan Aceh mengalami
kemunduran.
1.4 Manfaat
Makalah ini diharapkan bermanfaat, baik dari aspek teoritis maupun praktis. Secara
teoritis tergambar dalam materi tulisan ini. Adapun secara praktis, tulisan ini
diharapkan dapat berguna bagi individu, masyarakat, dan pemerintah. Semoga
menjadi
bahan
pembelajaran
yang
baik
bagi
tunas
mempelajarinya.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Kerajaan Aceh
bangsa
yang
ingin
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun
rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada
Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu
dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di
Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis,
termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil
merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun
oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap
saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah
(William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari
Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia
mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Riayat Syah atau Ali Riayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575.
Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga
berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan,
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki
dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan
sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan
sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di
Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan
Ali Riayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat
baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari
nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia
wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Sultan
Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan
Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan Muda
hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)
Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 -1636. Pada masa
Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam berbagai
bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan internasional,
memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan memperkuat
kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun semakin
terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di bawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus
meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang
Rempah-rempah
Gading
Lilin (malam)
Tali temali
Sutera
Cendana
Sapang
Gendarukam
Dammar
Teban
Kemenyan putih
Kemenyan hitam
Kamper
Akar pucuk
Minyak rasamala
Kulit kayu masui
Lada
Campli puta
Bunga lawang
Komoditas impor
Bahan makanan
Logam
Tekstil
Barang kerajinan
Bahan perangsang
Barang mewah
Beras
Mentega
Gula
Anggur
Kurma
Timah
Besi
Boraks1[24]
Bendela
Kain tenun
Tembikar
Guci
Candu
Kopi
Teh
Tembakau
Batu karang (pulam)
Air mawar peti
tengku (kaum ulama yang memegang peranan penting dalam keagamaan), hulubalang
atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa. Antara golongan Tengku dan Teuku
sering terjadi persaingan yang kemudian melemahkan Aceh.
Sejak kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 M sampai dengan abad ke-13 M)
telah terjadi permusuhan antara aliran Syiah dan Ahlusunnah wal jamaaah. Namun
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran Syiah mendapat perlindungan
dan berkembang ke daerah kekuasaan Aceh. Aliran itu diajarkan Hamzah Fansuri dan
dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar
Muda wafat, aliran Ahlusunnah wal jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.
Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, merupakan bukti lain kuatnya
pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh.
bertindak sebagai pemimpin sembahyang pada setiap hari Jumat di sebuah masjid.
Dalam perkembangannya fungsi Imum Mukim menjadi kepala pemerintahan dari
sebuah Mukim. Dialah yang mengkoordinir kepala-kepala kampung atau KeuchikKeuchik. Dengan berubahnya fungsi Imum Mukim berubah pula nama panggilannya,
yakni menjadi Kepala Mukim. Untuk pengganti sebuah imam sembahyang pada
setiap hari Jumat di sebuah masjid, diserahkan kepada orang lain yang disebut
Imuem Mesjid.
Di wilayah Aceh Rayeuk (Kabupaten Aceh Besar sekarang), terdapat suatu
bentuk pemerintahan yang agak unik, yaitu yang disebut dengan nama Sagoe atau
Sagi. Keseluruhan wilayah Aceh Rayeuk tergabung ke dalam tiga buah Sagi yang
dapat dikatakan sebagai tiga buah federasi. Ketiga buah sagoe atau Sagi tersebut
masing-masing dinamakan :
1. Sagoe XXII Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima
Polem Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat
menjadi Wazirud Daulah (Menteri Negara).
2. Sagoe XXV Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul
'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua
Majelis Ulama Kerajaan.
3. Sagoe XXVI Mukim, Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima
Wazirul Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi
Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan)
Penamaan ini erat kaitannya dengan jumlah mukim yang terdapat pada
masing-masing Sagi. Artinya pada setiap sagi jumlah mukim yang terdapat di
bawahnya sesuai dengan nama Sagi yang bersangkutan. Misalnya, Sagi XXVI
Mukim, ini berarti bahwa di bawah Sagi ini terdapat XXVI buah Mukim, demikian
juga untuk kedua Sagi lainnya.
Tiap-tiap Sagi di atas, diperintah oleh seorang yang disebut dengan Panglima
Sagoe atau Panglima Sagi, secara turun-temurun. Mereka juga diberi gelar
Uleebalang. Mereka sangat berkuasa di daerahnya dan pengangkatannya sebagai
Panglima Sagi disyahkan oleh Sultan Aceh dengan pemberian suatu sarakata yang
dibubuhi cap stempel Kerajaan Aceh yang dikenal dengan nama Cap Sikureung (cap
sembilan).
Di luar dari ketiga Sagi atau federasi tersebut, di Aceh Rayeuk masih terdapat
unit-unit pemerintahan yang berdiri sendiri yang disebut dengan Mukim-mukim yang
diikuti nama di belakangnya (nama tempat). Pimpinan pemerintahan di Mukimmukim ini sebagaimana telah disebutkan di atas, yaitu Kepala Mukim yang derajat
mereka juga sama dengan Uleebalang seperti Panglima Sagi. Namun luas wilayah
teritorial mereka jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Sagi.
Kepala pemerintahan Mukim ini berada langsung di bawah pengawasan
Sultan Aceh, jadi tidak di bawah Panglima Sagi dari ketiga federasi yang telah
disebutkan di atas. Adapun nama-nama dari Mukim-mukim Masjid Raya yang
terletak di sebelah kiri Sungai Aceh, Mukim Lueng Bata, Mukim Pagar Aye, Mukim
Lam Sayun, dan Mukim Meuraksa. Di luar dari mukim-mukim yang berdiri sendiri
ini, di Aceh Rayeuk masih terdapat sejumlah Mukim, tetapi Kepala Mukimnya
tunduk di bawah Kepala Sagi. Jadi Mukim-mukim ini berada di bawah dari ketiga
Sagi yang telah disebutkan di atas.
Bentuk wilayah kerajaan lainnya yang terdapat di Aceh yaitu yang disebut
Nangroe atau Negeri. Nangroe ini sebenarnya merupakan daerah takluk Kerajaan
Aceh dan berlokasi di luar Aceh Inti atau Aceh Rayeuk. Jumlahnya diperkirakan
melebihi seratus dan menyebar di seluruh wilayah Aceh (Propinsi Daerah Istimewa
Aceh sekarang). Luas daerah dan jumlah penduduk serta potensi ekonomi dari
masing-masing Nangroe tidak sama. Pimpinan Nangroe disebut Uleebalang, yang
ditetapkan oleh adat secara turun-temurun.
Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh, tetapi para
Uleebalang ini merupakan Kepala Negeri atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di
daerah mereka masing-masing. Namun sewaktu mereka memangku jabatan sebagai
Uleebalang di daerahnya, mereka harus disyahkan pengangkatannya oleh Sultan
Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan
Aceh, Cap Sikureung, seperti telah disebutkan di atas. Surat pengangkatan, diberikan
oleh Sultan Aceh kepada Uleebalang yang sanggup membayar dengan biaya yang
jumlahnya di- tetapkan oleh Sultan. Setiap Uleebalang berusaha untuk mendapatkan
Sarakata, karena ia merupakan status dari kekuasaannya.
Tugas Uleebalang adalah memimpin Nangroenya dan mengkoordinir tenagatenaga tempur dari daerah kekuasaannya bila ada peperangan. Selain itu juga
menjalankan perintah-perintah atau instruksi dari Sultan; menyediakan tentara atau
perbekalan perang bila dibutuhkan oleh Sultan dan membayar upeti kepada Sultan.
Namun demikian mereka masih merupakan pemimpin-pemimpin yang memonopoli
kekuasaan di daerahnya dan masih tetap sebagai pemimpin yang merdeka dan bebas
melakukan apa saja terhadap kawula yang berada di wilayahnya.
Hak-hak ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengurangi kesewenangwenangan para Uleebalang, terutama yang berhubungan dengan pemberian hukuman
terhadap seorang yang bersalah. Namun ketika kewibawaan Sultan sudah melemah,
terutama pada abad ke XIX dan awal abad XX (sesudah kesultanan Aceh tidak ada
lagi). Yang menetapkan hukuman terhadap seseorang yang bersalah di Nangroenangroe adalah para Uleebalang.
Dalam memimpin pemerintahan Nangroe, Uleebalang dibantu oleh pembantupembantunya seperti yang disebut dengan Banta, yaitu adik laki-laki atau saudara
Uleebalang, yang kadang-kadang juga bertindak sebagai Uleebalang, bila yang
bersangkutan berhalangan. Pembantu yang lainnya adalah yang disebut Kadhi atau
Kali, yang membantu dalam hukom, yaitu yang dipandang mengerti mengenai hukum
Islam. Selain itu, ada yang disebut Rakan yaitu sebagai pengawal Uleebalang, yang
dapat diperintahnya untuk bertindak dengan tangan besi. Para Rakan yang terbaik
dalam perang diberi gelar Panglima Perang, sedangkan pimpinan-pimpinan pasukan
kecil yang tidak begitu trampil dalam peperangan diberi gelar pang.
Laksamana , yang tunduk atau berada di bawah Sultan. Selanjutnya ada pula yang
disebut Balai Fardah, yang tugasnya memungut atau me-ngumpulkan Wase (Bea
Cukai). Balai ini tunduk pada perintah Perdana Menteri. Disebutkan pula, dalam
pemerintahan kerajaan, Sultan Aceh tunduk kepada Kanun.
Demikian struktur Kerajaan Aceh hingga berdamainya Sultannya yang
terakhir Sultan Mahmud Daud Syah dengan Belanda pada tahun 1903, yang
merupakan awal berakhirnya Kerajaan Aceh. Karena setelah itu daerah ini diduduki
oleh Belanda, hingga tahun 1942.
Raja kerajaan Aceh pertama yang memerintah tahun 1514 1528 M. Di bawah
kekuasaannya, Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada
di daerah Daya dan Pasai. Bahkan melakukan serangan terhadap kedudukan bangsa
Portugis di Malaka dan juga menyerang Kerajaan Aru.
2.
Sultan Salahuddin
Setelah Sultan Ali Mughayat Wafat, pemeintahan beralih kepada putranya yg bergelar
Sultan Salahuddin. Ia memerintah tahun 1528 1537 M, selama menduduki tahta
kerajaan ia tidak memperdulikan pemerintahaan kerajaannya. Keadaan kerajaan
mulai goyah dan mengalami kemerosostan yg tajam. Oleh karena itu, Sultan
Salahuddin digantiakan saudaranya yg bernama Alauddin Riayat Syah al-Kahar.
3.
4.
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup
dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya
terbakar. Dalam terbakar, kota Bandar Aceh mengalami kegaduhan dan ketidaktentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti
agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan
kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah
Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam
melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (17951824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota
kesultanan dengan mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang
pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris
dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi
dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang
kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali
kesultanan yang sudah rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk
menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu dilakukan sultan
terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan mengirimkan armada
pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan kekuatan 200
perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli, Langkat dan
Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan
ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai
usaha untuk membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul
sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan
sejumlah dana bantuan untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I
mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga
berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat kepada Raja
Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang
muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang
dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk
melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan
seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk menancapkan
pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib
namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol
dengan Belanda ketika berunding di Riau.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat
Sumatera, di mana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala
unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di
Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan."
Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari
negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan
ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak
memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea.
Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan
Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin
Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
Peninggalan Kerajaan Aceh yang pertama dan yang paling dikenal adalah
Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang dibangun Sultan Iskandar Muda pada sekitar
tahun 1612 Masehi ini berada di pusat Kota Banda Aceh. Saat agresi militer Belanda
II, masjid ini sempat dibakar. Namun pada selang 4 tahun setelahnya, Belanda
membangunnya kembali untuk meredam amarah rakyat Aceh yang hendak berperang
merebut syahid. Saat bencana Tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu, masjid
peninggalan sejarah Islam di Indonesia satu ini menjadi pelindung bagi sebagian
masyarakat Aceh. Kekokohan bangunannya tak bisa digentarkan oleh sapuan ombak
laut yang kala itu meluluhlantahkan kota Banda Aceh.
2. Taman Sari Gunongan
Taman Sari Gunongan merupakan salah satu peninngalan Kerajaan Aceh,
setelah keraton (dalam) tidak terselamatkan karena Belanda menyerbu Aceh.
Gunongan dibangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda yamg
memerintah tahun 1607-1636. Sultan Iskandar Muda berhasil menaklukkan Kerajaan
Johor dan Kerajaan Pahang di Semenanjung Malaka. Putri boyongan dari Pahang
yang sangat cantik parasnya dan halus budi bahasanya membuat Sultan Iskandar
Muda jatuh cinta dan menjadikannya sebagai permaisuri. Demi cintannya yang
sangat besar, Sultan Iskandar Muda bersedia memenuhi permintaan permaisurinya
untuk membangun sebuah taman sari yang sangat indah, lengkap dengan Gunongan
sebagai tempat untuk menghibur diri agar kerinduan sang permaisuri pada suasana
pegunungan di tempat asalnya terpenuhi
3. Masjid Tua Indrapuri
Mesjid Indrapuri adalah bangunan tua berbentuk segi empat sama sisi.
Bentuknya khas, mirip candi, karena di masa silam bangunan tersebut bekas benteng
sekaligus candi kerajaan hindu yang lebih dahulu berkuasa di Aceh. Diperkirakan
pada tahun 1.300 Masehi, pengaruh Islam di Aceh mulai menyebar, dan perlahan
penduduk sekitar sudah mengenal Islam, akhirnya bangunan yang dulunya candi
berubah fungsi menjadi mesjid. Dan sejarah juga mengatakan bangunan bekas candi
tersebut dirubah menjadi mesjid di masa Sultan Iskandar Muda berkuasa dari tahun
1607-1637 Masehi.
4. Benteng Indrapatra
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Benteng Indrapatra.
Benteng ini merupakan benteng pertahanan yang sebetulnya sudah mulai dibangun
sejak masa kekuasaan Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu tertua di Aceh, tepatnya
sejak abad ke 7 Masehi. Benteng yang kini terletak di Desa Ladong, Kec. Masjid
Raya, Kab. Aceh Besar ini pada masanya dulu memiliki peranan penting dalam
melindungi rakyat Aceh dari serangan meriam yang diluncurkan kapal perang
Portugis.
5. Makam Sultan Iskandar Muda
Peninggalan Kerajaan Aceh yang selanjutnya adalah Makam dari Raja
Kerajaan Aceh yang paling ternama, Sultan Iskandar Muda. Makam yang terletak di
Kelurahan Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh ini sangat kental dengan
nuansa Islami. Ukiran dan pahatan kaligrafi pada batu nisannya sangat indah dan
menjadi salah satu bukti sejarah masuknya Islam di Indonesia.
6. Uang Emas Kerajaan Aceh
Aceh berada di jalur perdagangan dan pelayaran yang sangat strategis.
Berbagai komoditas yang berasal dari penjuru Asia berkumpul di sana pada masa itu.
Hal ini membuat kerajaan Aceh tertarik untuk membuat mata uangnya sendiri. Uang
logam yang terbuat dari 70% emas murni kemudian dicetak lengkap dengan namanama raja yang memerintah Aceh. Koin ini masih sering ditemukan dan menjadi
harta karun yang sangat diburu oleh sebagian orang. Koin ini juga bisa dianggap
sebagai salah satu peninggalan Kerajaan Aceh yang sempat berjaya pada masanya.
7. Meriam Kerajaan Aceh
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kerajaan Aceh
merupakan kerajaan bercorak Islam yang letaknya sangat strategis di jalur pelayaran
dan perdagangan internasional. Aceh juga memiliki daerah kekuasaan yang sangat
luas, sehingga Kerajaan ini sangan maju terutama di bidang perekonomiannya.
Perkembangannya sangat pesat terlebih saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Dibawah kepemimpinannya, kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan
berkuasa atas perdagangan Islam. Bahkan telah menjadi Bandar transito yang dapat
menghubungkan seluruh pedagang dunia barat.
3.2 Saran
Makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami menerima saran dan kritik para pembaca demi
kemajuan makalah ini serta selanjutnya kami dapat membuat makalah yang lebih
baik dan sempurna.
.
DAFTAR PUSTAKA
http://niken11ips3-19.blogspot.co.id/2013/11/makalah-kerajaan-aceh_16.html/
http://kisahasalusul.blogspot.com/2015/12/6-peninggalan-kerajaan-acehketerangan.html/
http://www.satujam.com/kerajaan-aceh/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh/
http://lailameika13.blogspot.co.id/2015/03/kehidupan-politik-sosial-budayaekonomi_22.html/
http://isra28blog.blogspot.co.id/2013/12/letak-kehidupan-politik-ekonomisosial.html/
LAMPIRAN 1
Gambar Peninggalan Kerajaan Aceh
Benteng Indrapatra
Pinto Khop
LAMPIRAN 2
Senin, 25 April 2016
Kelompok kami kedatangan Kelompok 3 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Siak. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Reza Muthia Ardiany dan
Nathanael Sahat Ronaldo.
Hana Zharifa (20) bertanya
Pertanyaan: Apa alasan Kerajaan Siak sering berganti Ibukota?
Jawaban
: Kerajaan Siak sering berganti Ibukota karena sering diserang
Belanda yang menyebabkan hancurnya lingkungan hidup mereka sehingga
memaksakan mereka untuk berpindah. (dijawab oleh Reza-29)
Nur Aziza Putri (26) bertanya
Pertanyaan : Apa yang menyebabkan Sultan dan anaknya berselisih?
Jawaban
: Karena ada masalah keluarga (dijawab oleh Reza-29)
Selasa, 26 April 2016
Kelompok kami kedatangan Kelompok 1 yang melakukan jigsaw tentang Kerajaan
Samudera Pasai. Tim Ahli yang memberi dan menjelaskan materi ialah Zuan
Kautsaro dan Audrey Annisa
Nur Aziza Putri (26) bertanya
Pertanyaan : Apa dasarnya perkawinan putra-putri Kerajaan Malaka dan
Samudera Pasai?
Jawaban
: Perjodohan bangsawan (dijawab oleh Zuan-36)
Adelina Ilma (01) bertanya
Pertanyaan : Apa alasan Samudera Pasai bekerja sama dengan Cina?
Jawaban
: Karena sudah ada hubungan dagang yang erat (dijawab oleh
Zuan-36 dan Audrey-11)
Pertanyaan
tahun 1528 ?
Jawaban
: Karena sang istri ingin membalas dendam kepada Sultan
Ibrahim atas perlakuannya terhadap saudara laki-laki sang istri. (dijawab oleh
Hana-20)
Aprilla Dezavanka (10)bertanya
Pertanyaan : Apa penyebab kekalahan sultan-sultan Aceh dalam
menaklukan Malaka?
Jawaban
: Penyebab kekalahan karena Portugis mendapat bantuan dari
Johor, Pahang, Patani (dijawab oleh Fiqraditya-32)
Kelompok kami melakukan jigsaw ke kelompok 6 menjelaskan materi Kerajaan Aceh
Firhan Fadillah (17) bertanya
Pertanyaan : Apa komoditas tertinggi Kerajaan Aceh?
Jawaban
: Lada (dijawab oleh Hana-20)
Riris Kezia () bertanya
Pertanyaan : Apa saja kota-kota pelabuhan yang dilewaticKerajaan Aceh?
Jawaban
: Pasai, Pedir, Sabang, Lampung, dll (dijawab oleh Tristan-32)