Anda di halaman 1dari 14

KERAJAAN ACEH

KERAJAAN ACEH:
1. ABDUL RAU’F NUGRAHA AZQILA (1)
2. DIDAN RAFIZKY (9)
3. NIZAR ZULFA FADILAH (31)
X MIPA_1

SMA NEGERI 44 JAKARTA


DUREN SAWIT – JAKARTA TIMUR
TAHUN PELAJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah ini sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.

Penulis mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semuanya.
DAFTAR ISI

BAGIAN I.........................................................................1
Latar Belakang...............................................................1

BAGIAN II........................................................................3
Masa Kejayaan...............................................................3

BAGIAN III......................................................................4
Wilayah Kekuasaan........................................................4

BAGIAN IV......................................................................6
Masa Kehancuran........................................................6

BAGIAN V........................................................................8
Hasil Kebudayaan.......................................................8

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAGIAN 1
LATAR BELAKANG
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh

Kesultanan Aceh merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di


provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota
Banda Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik
dengan negara lain.
Namun dengan sendirinya, meningkat lalu lintas perdagangan dan kemampuan hidup masyarakat
sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu pemerintahan atau kerajaan-kerajaan terutama di
Aceh seperti Kerajaan Jeumpa, Lamuri, Samudra Pasai dan lain-lain yang menganut agama
Islam.
Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu
bangsa India menyebutnya dengan sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas).
Selain berdagang, para saudagar saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang
mereka pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam. Sebelum
masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang
bercorak Hindu dan budha di aceh
BAGIAN II

MASA KEJAYAAN
https://www.scribd.com/document/383919415/Makalah-Kerajaan-Aceh
Kerajaan Aceh menjalani masa keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu
sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636. Pada masa ini, kerajaan aceh mengalami banyak
kemajuan di berbagai bidang, baik dalam hal wilayah kekuasaan, ekonomi, pendidikan, politik
luar negeri, maupun kemiliteran kerajaan.
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus meningkatkan perdagangan
rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang berpotensial bagi kemakmuran masyarakat
Aceh. la mampu menguasai Pahang tahun 1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada
tahun 1620, dimana daerah tersebut merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa
kepemimpinannya Kerajaan Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura
sekitar tahun 1613 dan 1615. la pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur. Kemajuan dibidang
politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan
Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. la pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan
memberikan sebuah hadiah lada sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan
Turki dengan memberikan sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan
Aceh dalam peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan
Aceh.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing,
seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al- Advan, Syamsuddin al-
Sumatrani dalam bukunya Miraj al-Muhakikin al-Iman, m Nuruddin A1-Raniri dalam bukunya
Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Miraj al-Tulabb Fi Fashil.
Dalam hubungan ekonomi perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga dengan Perancis,
Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas komoditas yang dimpor antara lain: beras,
guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah putih dan hitam, besi, tekstil dari katun,
kain batik mori. pinggan dan mangkuk, kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang
disebut-sebut dalam Kitab Adat Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain
kayu cendana, saapan, gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama
daerah -daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari
pantai barat Sumatra hingga ke m Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal
inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai
pusat pengetahuan yang menonjol di Asia Tenggara.
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama
daerah -daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh.

BAGIAN III
WILAYAH KEKUASAAN
https://www.zenius.net/blog/kehidupan-kerajaan-aceh-dan-silsilahnya#Latar_Belakang_Kerajaan_Aceh

Kerajaan Aceh terletak di Aceh, tepatnya adalah yang kita kenal sekarang sebagai Banda Aceh.
Kerajaan Aceh merupakan kerajaan bercorak Islam yang didirikan oleh Ali Mughayat Syah yang
memimpin Kerajaan Aceh selama tahun 1514-1530 M. Wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh
meliputi Provinsi Aceh, Pesisir Sumatera Utara, dan Semenanjung Melayu. Sebelumnya daerah
kekuasaan Kerajaan Aceh merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Lamuri yang bercorak agama
Hindu. Namun setelah Aceh menyerang, Kerajaan Lamuri pun kalah dan wilayahnya menjadi
wilayah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Di semenanjung Malaya, Sultan Iskandar Muda memulai penaklukanya dengan menyerang Johor
pada tahun 1613 dan menawan sultan Johor, Alauddin Riayat Shah III. Namun kekuasaan Aceh
Johor hanya berlangsung sebentar karena pada tahun berikutnya pasukan Johor mengusir
pasukan Aceh.
Pada tahun 1617, Aceh menyerang Pahang yang terletak di semenanjung Malaya bagian timur.
Pada tahun 1619, sultan Iskandar Muda menyerang Kedah di semenanjung Malaya bagian utara.
Pada tahun 1620, Perak yang terletak di selatan Kedah juga ditaklukkan.
Aceh juga berupaya mengusir Portugal dari kota Malaka pada tahun 1629, bekas ibukota
kesultanan Malaka, namun serangan ini gagal.
Pada penaklukkan Pahang, Sultan Iskandar Muda mengambil anak sultan Pahang yang bernama
Alaudin Mughayat Syah sebagai menantu, mengawikannya dengan putrinya Tajul Alam. Setelah
Iskandar Muda meninggal, menantu ini menggantikanya sebagai sultan Aceh dengan gelar
Iskandar Tsani, memerintah dari tahun 16376 hingga tahun 1641.
BAGIAN IV
MASA KEHANCURAN
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh#:~:text=posisi%20kekuasaan
%20Aceh.-,Masa%20Kemunduran,Bengkulu%20kedalam%20pangkuan%20penjajahan
%20Belanda
Kemunduran Kesultanan Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin
menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga
serangkaian peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat
kekuasaan Sultan dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang
melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibu kota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-
Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan
hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah ( 1795-1824), seorang
keturunan Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan
mengangkat anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun
berkat bantuan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar
(yang mampu berbahasa Prancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu,
perang saudara kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan
Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan
untuk Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur
untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi
dengan Prancis dengan mengirim surat kepada Raja Prancis Louis Philippe I dan Presiden
Republik Prancis ke II (1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[3]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibu kota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[5]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatra, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatra. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan
khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha
bantuan juga ditujukan ke Italia, Prancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang
dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerang ibu kota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di
Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b2/
https://afandriadya.files.wordpress.com/
Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg/220px-
2012/02/perang-aceh.jpg
Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg

BAGIAN VI
HASIL KEBUDAYAAN
https://www.suara.com/news/2021/01/11/161053/peninggalan-kerajaan-aceh-yang-masih-
ada-sampai-sekarang?page=all

1. Masjid Raya Baiturrahman

https://merahputih.com/media/98/cd/75/98cd75ca115131b6d61fa37c971f4d79.jpg

Masjid Raya Baiturrahman adalah peninggalan Kerajaan Aceh yang paling terkenal dan terletak
di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini juga termasuk dalam peninggalan Kerajaan Islam di
Indonesia, yang dibangun oleh Sultan Iskandar Nuda pada tahun 1612.
Masjid yang megah ini sempat dibakar oleh agresi militer Belanda, tetapi dibangun kembali
untuk meredam amarah rakyat Aceh. Kemudian, Masjid ini juga sempat berjasa ketika tsunami
besar yang melanda Aceh pada 2004 lalu. Masjid ini adalah satu-satunya bangunan yang berdiri
kokoh saat tsunami tersebut terjadi.

2. Taman Sari Gunongan

https://www.glory-travel.com/wp-content/uploads/2018/01/gunongan1.jpg
Taman Sari Gunongan adalah salah satu peninggalan Aceh yang dibangun oleh Keraton pada
zaman dahulu. Tetapi karena tidak terselamatkan dari serangan Belanda, taman ini dibangun
kembali pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang memerintah mulai tahun 1607–
1636.
Taman ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda karena cintanya yang begitu besar terhadap Putri
Boyongan dari Pahang. Sehingga keinginan Putri Boyongan terpenuhi untuk membangun sebuah
taman sari yang indah dan dilengkapi dengan Gunongan.

3. Benteng Indra Patra

https://ksmtour.com/media/images/articles7/benteng-indra-patra-aceh.jpg
Pada saat Kerajaan Islam muncul setelah Kerajaan Hindu di Aceh, Benteng Indra Patra
digunakan sebagai tempat pertahanan melawan penjajah Portugis. Benteng ini dulu
dibangun oleh Kerajaan Lamuri, yaitu sebuah Kerajaan Hindu pertama di Aceh.
Meskipun pada akhirnya Aceh dikuasai oleh Kerajaan Islam, para Sultan serta ratu yang
memimpin Aceh tidak berniat untuk menghancurkan jejak peninggalan nenek moyang
mereka.

4. Meriam Kesultanan Aceh


https://www.romadecade.org/wp-content/uploads/2021/09/Meriam-Aceh.jpg
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, beberapa pembuat senjata dan teknisi dari
Turki dikirimkan, sehingga Aceh belajar dari mereka. Pada akhirnya Aceh mampu
membuat meriam sendiri yang terbuat dari kuningan. Meriam buatan Aceh ini juga
digunakan saat perang melawan Belanda dan mempertahankan Aceh dari serangan
penjajah.

5. Pinto Khop
Pinto Khop merupakan sebuah pintu gerbang berbentuk
kubah yang didirikan pada masa Sultan Iskandar Muda.
Pinto ini digunakan sebagai tempat peristirahatan putri
Pahang, setelah selesai berenang dengan posisinya yang
tidak jauh dari gunongan. Di sana, para dayang akan
membersihkan rambut permaisuri.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/wp-content/uploads/sites/27/2014/05/phintho-khop.jpg

PENIUTUP
A. Kesimpulan

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah


berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau
Sumatra dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan
pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1
Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Aceh
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam
menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
B. Saran
Saran untuk para siswa agar jangan melupakan sejarah bangsa kita, dan
berusaha menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh
https://www.scribd.com/document/383919415/Makalah-Kerajaan-Aceh
https://www.zenius.net/blog/kehidupan-kerajaan-aceh-dan-
silsilahnya#Latar_Belakang_Kerajaan_Aceh
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Aceh#:~:text=posisi
%20kekuasaan%20Aceh.-,Masa%20Kemunduran,Bengkulu
%20kedalam%20pangkuan%20penjajahan%20Belanda
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b2/
Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg/220px-
Diplomat_Aceh_ke_Penang.jpeg
https://afandriadya.files.wordpress.com/2012/02/perang-aceh.jpg
https://www.suara.com/news/2021/01/11/161053/peninggalan-kerajaan-
aceh-yang-masih-ada-sampai-sekarang?page=all
https://www.glory-travel.com/wp-content/uploads/2018/01/
gunongan1.jpg
https://www.glory-travel.com/wp-content/uploads/2018/01/
gunongan1.jpg
https://ksmtour.com/media/images/articles7/benteng-indra-patra-
aceh.jpg
https://www.romadecade.org/wp-content/uploads/2021/09/Meriam-
Aceh.jpg
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbaceh/wp-content/uploads/sites/
27/2014/05/phintho-khop.jpg

Anda mungkin juga menyukai