Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

Tentang
KERAJAAN ACEH DARUSSALAM

Disusun Oleh :

1. MEIZNA DWI ANJANI


2. NOVIA PRAYANI PUTRI
3. L/ DUTA HARIRI
4. L. M. ADIN MAULANA
5. L. HERU FIRMANSYAH

Kelas IX F

DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


KABUPATEN LOMBOK TENGAH
MTs NEGERI 2 LOMBOK TENGAH
Tahun Pelajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan kekuatan serta rahmat-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Kerajaan Aceh Darussalam” ini tepat pada
waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih yang sangat banyak kepada semua pihak
yang telah membantu demi terselesainya makalah sejarah ini.
Dalam penyusunan makalah ini, tentu masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun dan inovatif sangat
kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Jelantik. 30 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakanh....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................2
A. Sejarah Awal mula Kesultanan Aceh.................................................2
B. Masa Kejayaan....................................................................................2
C. Kemunduran.......................................................................................3
D. Perang Aceh........................................................................................6
E. Pemerintahan Sultan Aceh..................................................................7
F. Perangkat Pemerintahan.....................................................................8
G. Ulèëbalang & Pembagian Wilayah.....................................................9
H. Perekonomian...................................................................................11
I. Budaya..............................................................................................12
J. Tradisi Kesultanan............................................................................14
BAB III PENUTUP .....................................................................................15
A. Kesimpulan.......................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang
pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam dengan sultan
pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada
Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan
sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu ilmu, dan menjalin hubungan
diplomatik dengan negara lain.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini yaitu :
bagaimanakah sejarah dan sistem pemerinatahan kerajaan / Kesultanan Aceh
Darussalam ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan umum penulisan ini adalah untuk menyelesaikan tugas Sejarah
Mengenai Kerajaan Islam di Nusantara yaitu Kerajaan / Kesultanan Aceh
Darussalam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal mula Kesultanan Aceh


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada
tahun 1496. Pada awal mulanya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan
Lamuri, selanjutnya menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan
sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah dijadikan bidang dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti
dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya
yang bernama Salahuddin, yang selanjutnya berkuasa hingga tahun 1537.
Selanjutnya Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-
Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.

B. Masa Kejayaan
Walaupun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya
selalu dikelola oleh orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan
Sultan yang dikurangi paksa diantaranya Sultan Sri Dunia digulingkan pada
1579 karena perangainya yang sudah melampaui batasan dalam membagi-
bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. pengantinya Sultan Zainal Abidin
terbunuh beberapa bulan selanjutnya karena kekejamannya dan karena
kecanduannya berburu dan adu hewan. Raja-raya dan orangkaya menawarkan
mahkota untuk Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-Mukamil dari Dinasti Darul
Kamal pada 1589. Dia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat
posisinya sebagai penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya
dirasakan pada sultan berikutnya.
Kesultanan Aceh merasakan masa ekspansi dan pengaruh terluas pada
masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan
Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629,

2
kesultanan Aceh memperagakan penyerangan terhadap Portugis di Melaka
dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara
laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat
Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, walaupun
pada tahun yang sama Aceh menguasai Kedah dan jumlah membawa
penduduknya ke Aceh.
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek
Sultan Iskandar Muda) didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada
tahun 1602 dengan pemimpin Tuanku Abdul Hamid. Sultan juga jumlah
mengirim surat ke beragam pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki Selim II,
Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini diterapkan
untuk memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

C. Kemunduran
Kemunduran Aceh dikarenakan oleh beberapa faktor, di selangnya
ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat
Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Tiku,
Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam pangkuan
penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah beradanya perebutan
kekuasaan di selang pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh ke Penang. Duduk : Teuku Kadi Malikul Tidak


sewenang-wenang (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar tahun
1870an. Hal ini mampu ditelusuri bertambah awal sesudah
kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian peristiwa nantinya,
dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol sempit kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani dijadikan Sultanah. Beberapa

3
sumber menyebutkan bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan
Iskandar Muda) yang melatar-belakangi pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang lepas sama
sekali berdagang dengan pedagang asing tanpa harus menempuh pelabuhan
sultan di ibukota. Lada dijadikan tanaman utama yang dibudidayakan seantero
pesisir Aceh sehingga dijadikan pemasok utama lada dunia hingga
penghabisan masa zaman 19. Namun beberapa elemen warga terutama dari
kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah seorang laki-laki
bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah sedang hidup dan
tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, mesjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman.
Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Tidak sewenang-wenang
(semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily memperagakan
beragam reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan
terbentuknya tiga sagoe. Hal ini menyebabkan kekuasaan sultanah/sultan
sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada
kawasan Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan ikut bertindak luhur
dalam melemahnya Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar
Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan Sultan yang terbuang Sayyid
Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
dijadikan Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat
pertolongan Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang
dari Penang jabatan Jauhar (yang mampu bercakap Perancis, Inggris dan
Spanyol) dikembalikan. Tak habis hingga disitu, perang saudara kembali
terjadi dalam perebutan kekuasaan selang Tuanku Sulaiman dengan Tuanku
Ibrahim yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat
kembali kesultanan yang sudah rapuh. Dia sukses menundukkan para raja lada
untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang sebelumnya tak mampu diterapkan
sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur, sultan
mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Admiral Tuanku Usen

4
dengan daya 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh ambil
kaki dari kawasan itu dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[5]
Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar
sebagai usaha untuk membendung serangan Belanda. Dikirimkannya utusan
kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status Aceh sebagai vassal Turki
Utsmaniyah serta mengirimkan sebanyak dana pertolongan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat
tempur untuk Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha
membentuk aliansi dengan Perancis dengan mengirim surat untuk Raja
Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.
Kemunduran terus berlanjut dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang
muda nan lemah ke tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke
Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong dan Habib Abdurrahman Az-
zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Sesudah kembali ke ibukota,
Habib berkompetisi dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum
moderat cenderung mendukung Habib namun sultan justru melindungi
Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda ketika
berunding di Riau.
Pada penghabisan November 1871, lahirlah apa yang dinamakan
dengan Traktat Sumatera, dimana dibicarakan dengan jelas "Inggris harus
berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda
di bidang manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk
menyerbu Aceh makin santer disuarakan, sama berat dari negeri Belanda
maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan
untuk mencari pertolongan ke sekutu lama Turki. Namun keadaan ketika itu
tidak memungkinkan karena Turki ketika itu baru saja berperang dengan
Rusia di Krimea. Usaha pertolongan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga
Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang diwujudkan di Penang untuk

5
meraih simpati Inggris juga tidak mampu berbuat apa-apa. Dengan gagasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan
Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda
Aceh.

D. Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh
pada 26 Maret 1873 sesudah memperagakan beberapa ancaman diplomatik,
namun tidak sukses merebut wilayah yang luhur. Perang kembali berkobar
pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak
Belanda mengasumsikan bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah di hadapan Jenderal


Van Heutsz.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
pakar Islam dari Universitas Leiden yang telah sukses mendapatkan
kepercayaan dari jumlah pemimpin Aceh, memberikan saran untuk Belanda
supaya merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum
ulama. Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes
Benedictus van Heutsz. Pasukan Marsose diwujudkan dan G.C.E. Van
Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh hingga pedalaman.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah hasilnya
menyerahkan diri untuk Belanda sesudah dua istrinya, anak serta ibundanya
terlebih dulu ditangkap oleh Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud,
Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada tahun yang sama
pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk.
Chik di Tiro dan hasilnya ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau bertambah
dikenal Teungku Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun. 

6
E. Pemerintahan Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir


yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari
Kesultanan Aceh. Sultan awal mulanya mempunyai jabatan di Gampông
Pande, Bandar Aceh Darussalam selanjutnya pindah ke Dalam Darud Dunia di
kawasan sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun
1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya
dampak Perang dengan Belanda pindah ke Keumala, sebuah kawasan di
pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkatkan maupun dikurangi atas persetujuan oleh
tiga Panglima Sagoe dan Teuku Kadi Malikul Tidak sewenang-wenang (Mufti
Luhur kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas
kawin Aceh), adalah emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit,
beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Kawasan yang langsung
berada dalam kekuasaan Sultan (Kawasan Bibeueh) sejak Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah adalah kawasan Dalam Darud Dunia, Mesjid Raya,
Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa
dan Gampông Pande.
Simbol kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan
dengan dua cara adalah keris dan cap. Tanpa keris tidak berada pegawai yang
bisa mengaku bertugas menerapkan perintah Sultan. Tanpa cap tidak berada
peraturan yang memiliki daya hukum.

7
F. Perangkat Pemerintahan
Perangkat pemerintahan Sultan kadang merasakan perbedaan tiap
masanya. Berikut adalah badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh :
1. Balai Rong Sari, adalah lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang
anggota-anggotanya terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh.
Lembaga ini bertugas membuat rencana dan penelitian.
2. Balai Majlis Mahkamah Rakyat, adalah lembaga yang dipimpin oleh Kadli
Maiikul Adil, yang beranggolakan tujuh puluh tiga orang; persangkaan
semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
3. Balai Gading, adalah Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang
Kaya Admiral Seri Perdana Menteri; persangkaan Dewan Menteri atau
Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan anggota Majlis Mahkamah
Rakyat yang diangkatkan.
4. Balai Furdhah, adalah lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka;
persangkaan Departemen Perdagangan.
5. Balai Admiral, adalah lembaga yang mengurus hal ihwal tingkatan perang,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Admiral Amirul Harb;
persangkaan Departemen Pertahanan.
6. Balai Majlis Mahkamah, adalah lembaga yang mengurus hal ihwal
kehakiman/pengadilan, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira Departemen Kehakiman.
7. Balai Baitul Mal, adalah lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan
perbendaharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar
Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham; persangkaan
Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat beragam pejabat tinggi Kesultanan diantaranya
1. Syahbandar, mengurus persoalan perdagangan di pelabuhan
2. Teuku Kadhi Malikul Tidak sewenang-wenang, semacam hakim tinggi.
3. Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, adalah pejabat yang mengurus segala
Hulubalang; persangkaan Menteri Dalam Negeri.

8
4. Wazir Seri Maharaja Gurah, adalah pejabat yang mengurus urusan hasil-
hasil dan pengembangan hutan; persangkaan Menteri Kehutanan.
5. Teuku Keurukon Katibul Muluk, adalah pejabat yang mengurus urusan
sekretariat negara termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar
komplitnya Wazir Rama Setia Kerukoen Katibul Muluk; persangkaan
Sekretaris Negara. 

G. Ulèëbalang & Pembagian Wilayah


Pada waktu Kerajaan Aceh sudah berada beberapa kerajaan seperti
Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom, Daya, dan sebagainya yang sudah berdiri.
Disamping kerajaan ini terdapat kawasan lepas sama sekali lain yang
diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua
kawasan ini diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi
nama Nanggroe, disamakan dengan tiga kawasan inti Kesultanan yang
dinamakan Aceh Besar. Tiap kawasan ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada
masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M)
dengan Kadi Malikul Tidak sewenang-wenang (Mufti Agung) Tgk. Syaikh
Abdurrauf As-Sinkily diterapkan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan
Aceh dibagi tiga federasi dan kawasan otonom. Bentuk federasi
dinamakan Sagoe dan kepalanya dinamakan Panglima Sagoe. Berikut
pembagian tiga bidang (Lhée Sagoe) :
1. Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa
Panglima Polem Wazirul Azmi. Kecuali dijadikan kepala wilayahnya, juga
diangkatkan dijadikan Wazirud Daulah (Menteri Negara).
2. Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli
Malikul 'Alam. Kecuali dijadikan Kepala Wilayahnya, juga diangkatkan
dijadikan Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
3. Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda
Panglima Wazirul Uzza. Kecuali dijadikan Kepala Wilayahnya, juga
diangkatkan dijadikan Wazirul Harb (Menteri Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki
sebuah Meunasah. Selanjutnya gampong itu membentuk Mukim yang terdapat

9
satu Mesjid untuk memperagakan shalat jumat sesuai mazhab Syafi'ie.
 Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua kawasan memiliki hak otonom
[10]

yang lapang 
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus kawasan otonom non Lhée
Sagoe, secara teori adalah pejabat sultan yang
diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di
lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak bisa mengontrol
semua Ulèëbalang yang telah dijadikan pejabat di pedalaman. Dengan
lemahnya pengontrolan ini sehingga mereka lambat laun tidak ingin tunduk
lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan. Mereka mulai berdagang dengan
pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-saudagar yang terlibat
dalam perdagangan luar negeri ini tidak ingin menyetorkannya untuk petugas
Sultan, tetapi menyetorkannya untuk Ulèëbalang langsung. 
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam
sumpah yang intinya sebagai berikut :
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan
sekalian kami yang berada jabatan masing-masing kadar mertabat, luhur kecil,
timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami thaat setia untuk
Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia untuk Agama Islam,
mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia untuk
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya
cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali
berada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat
dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya
milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan
mengubah kontrak seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua
ini, demi Allah kami semua bisa kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami
semua hingga pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, bisa cerai
berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana
berupa apa-apa sekalipun.

10
Sumpah Ulee Balang
Dokumen sumpah itu selanjutnya disimpan oleh Wazir Rama Setia
antaraku Sekretaris Kerajaan Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang
selanjutnya disimpan secara turun temurun oleh keturunannya hingga ketika
ini, khusus untuk rakyat yang termasuk dalam kawasan wewenangnya, dalam
hal ini dia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya.
Sebagai penutup ditegaskan, kalau Ulée Balang gagal dalam menerapkan
tugasnya menurut hukum-hukum Allah, dia akan kehilangan kepercayaan
atasannya. Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu menegakkan shalat
lima waktu, memperagakan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat,
mendirikan mesjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan
kalau kuasa memperagakan ibadah haji.

H. Perekonomian

Aceh memiliki jumlah komoditas yang diperdagangkan diantaranya :


1. Minyak tanah dari Deli,
2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga jumlah terdapat pandai emas, tembaga, dan
suasa yang mengolah barang mentah dijadikan barang yang sudah diolah.
Sedang Pidie merupakan lumbung beras untuk kesultanan.[14]Namun di selang
semua yang dijadikan komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

11
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut persangkaan
Penang, nilai ekspor Aceh mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini
$400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta diangkut oleh pedagang Amerika
dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal dagang
India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat adalah
Rigas, Teunom, dan Meulaboh.

I. Budaya
1. Arsitektur

Gunongan dan Kandang (Makam) Sultan Iskandar Tsani.


Tidak jumlah peninggalan kontruksi zaman Kesultanan yang
tersisa di Aceh. Istana Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa
perang Aceh - Belanda. Kini, bidang inti dari Istana Dalam Darud Donya
yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah dijadikan
Kraton Meuligoe yang digunakan sebagai Pedopo Gubernur Aceh. Perlu
dicatat bahwa pada masa Kesultanan kontruksi batu dilarang karena
ditakutkan akan dijadikan benteng melawan Sultan. Selain itu, Masjid
Raya Baiturrahman ketika ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda.
Peninggalan arsitektur pada masa kesultanan yang sedang mampu diamati
hingga ketika ini selang lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua Indrapuri,
Pinto Khop, Leusong dan Gunongan beserta Taman Ghairah yang lapang
dipusat Kota Banda Aceh.
2. Kesusateraan
Sebagaimana kawasan lain di Sumatera, beberapa kisah maupun
legenda disusun dalam bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal diantaranya
adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan tokoh heroik Malem
Dagang dalam settingan penyerbuan Malaka oleh Tingkatan Laut Aceh.

12
Berada lagi yang lain adalah Bhikayat Malem Diwa, hikayat Banta
Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham Nadiman, hikayat Pocut Muhammad,
hikayat Perang Goempeuni, hikayat Habib Hadat, kisah Abdullah Hadat
dan hikayat Prang Sabi. 
Keliru satu karya kesusateraan yang paling terkenal
adalah Bustanus Salatin (taman para raja) karya Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry disamping Taj al-salatin (1603), Sulalat al-Salatin (1612), dan
Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh
yang luhur adalah Hamzah Fansuri dengan karyanya selang lain Asrar al-
Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana), Sharab al-Asyikin (Minuman
Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahidin (Perhiasan Sekalian
Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung
Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
3. Karya Agama
Para ulama Aceh jumlah terlibat dalam karya di bidang keagamaan
yang digunakan lapang di Asia Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan
terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa Asrarut Takwil,
karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke
dalam bahasa jawi.
Selanjutnya berada Syaikh Daud Rumy
menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi yang
dijadikan kitab pengantar di dayah hingga sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-
Raniry setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang
paling terkenal adalah Sirath al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap
dalam bahasa melayu. 
4. Militer

Keliru satu meriam yang dipunyai Kesultanan Aceh.

13
Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan
beberapa teknisi dan pembuat senjata ke Aceh. Selanjutnya Aceh
selanjutnya menyerap kemampuan ini dan mampu menghasilkan meriam
sendiri dari kuningan.

J. Tradisi Kesultanan
1. Gelar
a. Teungku
b. Tuanku
c. Teuku
d. Cut
e. Admiral
f. Tiga Sagi Mukim
g. Ulee balang
h. Meurah

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam
yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak
di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Banda Aceh Darussalam dengan
sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan
pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen dalam menentang
imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur
dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
dan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

15
DAFTAR PUSTAKA

^ Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com


^ Sumatra and the Malay peninsula, 16th century
^ a b Reid, Anthony (2011). Menuju Sejarah Sumatera, Selang Indonesia
dan Dunia. Jakarta: Yayasan Referensi Obor Indonesia. hlm. 97–99. 
^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
^ a b c Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan
Pantai Timur Sumatra hingga penghabisan Kerajaan Aceh masa zaman ke-19.
Jakarta: Yayasan Obor. 
^ Zentgraft, Door H.C. (1938). ATJEH. Batavia: Koninklijke Drukkerij de
Unie. 
^ 20 Tahun Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh, Medan: Percetakan
Universitas Syiah Kuala. 1980. hlm. 376–377. 
^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 104. 
^ a b Hasjmi, Ali. 59 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu.
Jakarta: Bulan Bintang. hlm. 130 – 133. 
^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 
^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud
Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy.
hlm. 41–42. 
^ a b Hurgronje, Snouck. The Acehnese, translated by A.W.O. Sullivian.
Leiden: B.J. Brill. hlm. 434. 
^ El Ibrahimy, M. Nur (1980). Kisah Kembalinya Tgk. Mohd Daud
Beureueh ke Pangkuan Republik Indonesia. Jakarta: Penerbit M. Nur El Ibrahimy.
hlm. 51. 
^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. hlm. 87. 
^ Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia Josef W. Meri hal. 465

16

Anda mungkin juga menyukai