Anda di halaman 1dari 17

Makalah Kerajaan Aceh

Sejarah Indonesia

Nama anggota kelompok 4:

1) Miftahul Jannah

2) Vidya Wira Pratiwi

3) Lulu Alifia

4) Mazaya Auliah

5) Verenza Ariskeyla

6) M. Ridho Hilmi

7) Farhan Abdullah

8) Farrel Darma Syahputra

9) M. Fahrul Fadila
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat pada waktunya. Adapun judul makalah yang
penulis ajukan adalah "KERAJAAN ACEH"

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia
yang diberikan oleh ibu Maisaroh S,Pd. Dalam mempersiapkan, menyusun, dan menyelesaikan makalah
ini, penulis tidak lepas dari berbagai kesulitan dan hambatan yang dihadapi.

Penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan,
untuk itu penulis mengharapkan saran, kritik, serta masukannya yang bersifat membangun tentunya demi
perbaikan dan pengembangan di dalam menyusun makalah di masa mendatang.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ....................................................................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah ................................................................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................. 4

2.1 Sejarah Bedirinya Kerajaan Aceh............................................................................................ 4

2.2 Siapa Yang mendirikan kerajaan Aceh .................................................................................... 5

2.3 perkembangan kerajaan Aceh ................................................................................................. 6

2.4 Peninggalan Kerajaan Aceh .................................................................................................... 7

2.5 Masa Kemunduran Kerajaan Aceh .......................................................................................... 8

BAB III PENUTUP .................................................................................................................... 9

3.1 Kesimpulan ............................................................................................................................ 9

3.2 Saran ...................................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal sejarah dan peradaban bangsanya, dan
berusaha melestarikannya sehingga di kenal pula oleh Bangsa-bangsa lain di dunia. Sebagaimana halnya
Aceh yang dulunya merupakan negara Islam termasyhur di kawasan Asia Tenggara dengan julukan
"Serambi Mekkah" bahkan dikenal pula sebagai salah satu negara yang makmur di antara lima negara
terkuat di dunia, yaitu: Aceh, Aqra, Maroko, Istanbul, dan Isfahan (Persia). Aceh yang terletak di ujung
pulau Sumatra sekarang merupakan salah satu provinsi dalam negara Indonesia yang disebut Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh sebelum bergabung dengan Indonesia pada tahun 1945 merupakan
wilayah kerajaan Islam yang beribukota Banda Aceh. Asal nama Aceh juga terdapat cerita di dalam
sebuah buku bangsa Pegu (Hindia Belakang) yang menceritakan perjalanan Budha ke Indo Cina dan
kepulauan Melayu. Mereka melihat di atas gunung di pulau Sumatra. Sebuah pancaran cahaya beraneka
ragam warna dari gunung itu, sehingga mereka berseru: "Acchera Bata (Atjaram Bata Bho Alangkah
indahnya) jadi dari kata itulah kemudian menjadi asal sebutan nama Aceh. Gunung yang bercahaya itu di
ceritakan terletak dekat pasai yang sekarang tidak ada lagi karena telah di tembak hancur dengan meriam
oleh kapal perang Portugis.

J. Kreemer dalam bukunya "Atjeh" (Leiden 1922) mengatakan bahwa kerajaan Aceh pasti
belum tahun 1500 sudah berdiri dengan kuat dan megahnya, untuk mengetahui dari mana tepatnya
asalnya mula orang Aceh belum di dapat data-data yang relatif akurat dalam sejarah kini mungkin
seseorang menemukan di antara penduduk Pribumi Aceh orang dengan ciri-ciri bangsa Melayu,
Pakistan, India, Cina dan bahkan dalam jumlah yang lebih kecil orang-orang dengan ciri- ciri Portugis,
Turki, Arab, dan Parsi.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana Sejarah Bedirinya Kerajaan Aceh ?

2) Siapa yang mendirikan Kerajaan Aceh?

3) Begaimana Perkembangan Negara Aceh?

4) Apa Saja peninggalan Kerajaan Aceh?

5) Apa Penyebab mundurnya Kerajaan Aceh?


1.3 Tujuan

1) Mengetahui Bagaimana Sejarah Bedirinya Kerajaan Aceh

2) Mengetahui Siapa yang mendirikan Kerajaan Aceh

3) Mengetahui Begaimana Perkembangan Negara Aceh

4) Mengetahui Apa Saja peninggalan Kerajaan Aceh

5) Mengetahui Apa Penyebab mundurnya Kerajaan Aceh


BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 Sejarah Bedirinya Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah. Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di
Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit
para saudag-+ar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat ketika
kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping pelabuhan Pasai dan Pedir.
Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih muda, yaitu "Regno daches" (Kerajaan Aceh).

Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang semula melalui Laut
Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini
membawa perubahan besar bagi perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para
pedagang yang rata-rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang mampu menjual
hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para saudagar dari Cina. Namun hal itu
justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah
pemberontakan rakyat pribumi mulai terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)

Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim,
berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada tahun 1520. Dan pada tahun itu pula
Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah
Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta
berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524. Kerajaan Aceh
bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan
Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis
yang dipimpin oleh Simao de Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)

Setelah memiliki kapal ini. Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim bersiap-siap untuk
menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun rencana itu gagal. Ketika perjalanan
menuju Malaka, awak kapal dari armada Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota.
Disana mereka dijamu dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal tersebut didengar oleh
rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur
daerah Portugis (William Marsden, 2008: 387)

Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim untuk
terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis di Indonesia. Mereka terus berusaha
menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut
merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhimya Kerajaan
Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai.

Hingga akhimya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun oleh salah seorang
istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia
pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah (William Marsden, 2008: 387-388)

Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung dari Sultan Ibrahim. Ia
menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil. Ia mencoba menyerang Malaka hingga
dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia
wafat 28 September 1571. Sultan Ali Ri'ayat Syah atau Ali Ri'ayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. la mencoba merebut Malaka sebanyak dua
kali. sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575. Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys
Lombard: 2006, 65-66)

Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga berusaha
mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan, mengadakan hubungan
internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir.
Bahkan sekitar tahun 1563, ia mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya
kepada Turki dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan
sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan sanak saudaranya
untuk memimpin daerah-daerah tersebut.

Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan lancar. Terutama
daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai
barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang
menjadikan kerajaan ini menjadi kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan
yang menonjol di Asia Tenggara (Harry Kawilarang. 2008: 24)
2.2 Siapa Yang mendirikan Kerajaan Aceh

Sultan Ali Mughayat Syah merupakan pendiri dan raja yang pertama kali memimpin Kerajaan
Aceh. Meski bukan penguasa pertama di Aceh, ia dianggap sebagai pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam karena berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah payung kekuasaannya.

Pada awal pemerintahannya, wilayah Kerajaan Aceh semakin berkembang hingga mencakup
Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Sultan Ali Mughayat Syah juga melakukan perlawanan terhadap
kedudukan Bangsa Portugis di Malaka.

Awal pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah

Kerajaan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada 1496 M. Akan tetapi, kerajaan ini
baru mendapatkan kedaulatan penuh pada awal abad ke-16. Sultan Ali Mughayat Syah adalah panglima
perang dan putra dari Syamsu Syah, keturunan Dinasti Meukuta Alam yang berkuasa di Aceh kala itu.
Ketika peran Portugis di sekitar Selat Malaka semakin besar, Sultan Ali Mughayat Syah mulai
menyusun kekuatan dengan menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah payung Kerajaan Aceh.

Selain itu, ia juga membentuk angkatan darat dan laut yang kuat demi membangun kerajaan yang
kokoh. Setelah mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah
meletakkan dasar-dasar politik luar negeri, yang isinya sebagai berikut.
• Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar.

•Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara.

• Bersikap waspada terhadap negara Barat

•Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar.

• Menjalankan dakwah Islam ke seluruh nusantara.

Sultan Ali Mughayat Syah melawan Portugis

Sumbangan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling besar adalah berhasil membebaskan Aceh
dari upaya penjajagan Portugis. Pada 1511, bangsa Portugis telah menaklukkan Malaka. Akan tetapi,
ambisi mereka untuk menduduki Aceh tidak dapat terwujud dengan mudah. Seperti diketahui, Sultan Ali
Mughayat Syah adalah salah satu tokoh yang berhasil mengusir Portugis dari Aceh.

Kontak langsung pertama antara Aceh dan Portugis terjadi pada 1519, ketika Gaspar da Costa
yang tiba dengan kapalnya ditangkap oleh penduduk setempat. Tahun berikutnya, Sultan Ali Mughayat
Syah mulai mengadakan serangkaian kampanye militer untuk mendominasi wilayah utara Sumatera.
Dalam usahanya melawan Portugis, Sultan Ali Mughayat Syah didampingi oleh Raja Ibrahim, adik
sekaligus tangan kanannya yang paling berani.

Raja Ibrahim lah yang memimpin serangan untuk mengusir Portugis di Daya, Pedir, dan
Samudera Pasai. Pada 1521, armada Portugis di bawah pimpinan Jorge de Brito tiba dengan membawa
200 pasukan. Pasukan tersebut berhasil dibantai oleh Sultan Ali Mughayat Syah yang membawa sekitar
1.000 pasukan dan enam gajah. Sayangnya, perjuangan Raja Ibrahim terhenti pada 1523, karena gugur di
medan perang. Kemenangan demi kemenangan itu membuat Kerajaan Aceh semakin kuat karena
mendapatkan banyak barang rampasan berupa peralatan perang.

Akhir hidup Sultan Ali Mughayat Syah

Pada 1529, Kerajaan Aceh sebenarnya tengah mengadakan persiapan untuk menyerang Portugis
di Malaka. Akan tetapi, niatan itu urung dilakukan karena Sultan Ali Mughayat Syah lebih dulu wafat
pada 1530.
Dari batu nisan yang ditemukan di Kandang XII, Banda Aceh, diketahui bahwa Sultan Ali
Mughayat Syah wafat pada tanggal 7 Agustus. Setelah itu, takhta Kerajaan Aceh jatuh ke tangan Sultan
Salahuddin, putra sulung Sultan Ali Mughayat Syah.

2.3 Perkembangan Kerajaan Aceh

Aspek Politik Corak pemerintahan Aceh terbagi atas pemerintahan sipil dan pemerintahan atas
dasar agama. Berikut ini penjelasannya:

1. Pemerintahan sipil

Pemerintahan sipil dipimpin oleh kaum bangsawan. Setiap kampung (gampong) dipimpin oleh
seorang uleebalang (hulubalang). Beberapa gampong digabung menjadi sagi yang dipimpin panglima
sagi. Ia berkuasa atas daerahnya dan berhak memilih sultan. Kaum bangsawan yang memegang
kekuasaan sipil disebut teuku.

2. Pemerintahan atas dasar agama

Pemerintahan atas dasar agama dilakukan dengan menyatukan beberapa gampong dengan sebuah
masjid yang disebut mukim. Kepala tiap-tiap mukim disebut imam. Kaum ulama yang berkuasa dalam
bidang keagamaan disebut teungku.

Aspek Ekonomi

Setelah Sultan Ibrahim menaklukkan Pedir yang kaya lada putih, Aceh bertambah makmur.
Dengan kekayaan melimpah, Aceh mampu membangun angkatan bersenjata yang kuat. Kerajaan Aceh
mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dari daerah taklukan diperoleh
lada dan emas sehingga Aceh menjadi sumber komoditas lada dan emas.

Aspek sosial

Letak Aceh yang strategis menjadi faktor penyebab perdagangan maju pesat. Kebudayaan
masyarakat makin maju karena sering berinteraksi dengan bangsa lain. Pada masa ini muncul ahli
tasawuf terkenal yaitu Hamzah Fansyuri dan muridnya Syamsudin as Sumatrani.
Penyusunan hukum adat dilandasi ajaran Islam yang disebut Hukum Adat Makuta Alam.
Menurut Hukum Adat Makuta Alam pengangkatan sultan harus semufakat hukum adat. Saat seorang
sultan dinobatkan, ia berdiri di atas tabal, ulama yang memegang Al Qur'an berdiri di kanan sedangkan
perdana menteri yang memegang pedang berdiri di kiri.

Di Aceh, umumnya pangkat sultan turun ke anak. Sultan diangkat oleh rakyat atas mufakat dan
persetujuan ulama serta orang-orang cerdik pandai. Syarat-syarat orang bisa diangkat menjadi sultan
dalam hukum agama Islam adalah Sebagai Berikut :

1) Punya kecakapan menjadi kepala negara (merdeka, dewasa, berpengetahuan dan adil).

2) Cakap mengurus negeri, hukum dan perang.

3) Punya kebijaksanaan dalam mempertimbangkan serta menjalankan hukum dan adat.

Jika sultan wafat karena beberapa sebab sebelum ada pengganti maka yang menjadi wakil raja
adalah Panglima Sagi XXII Mukim. Tugasnya menjalankan pemerintahan dan menerima hasil yang
didapat dari Aceh sendiri dan daerah taklukan. Jika sudah ada yang patut diangkat menjadi sultan dengan
sendirinya berpindah pada yang berhak.

Hukum Adat Makuta Alam menerangkan kekuasaan Sultan Aceh sebagai berikut:

• Mengangkat panglima sagi dan uleebalang saat pengangkatan mereka mendapat kehormatan bunyi
dentuman meriam 21 kali.

• Mengadili perkara yang berhubungan dengan pemerintahan.

• Menerima kunjungan kehormatan termasuk pedagang-pedagang asing.

• Mengangkat ahli hukum (ulama).

• Mengangkat orang cerdik pandai untuk mengurus kerajaan.

• Melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan para pejabat kerajaan.

Dalam menjalankan kekuasaan, sultan mendapat pengawasan dari alim ulama, kadi dan Dewan
Kehakiman. Mereka bertugas memberi peringatan pada sultan terhadap pelanggaran adat dan syara'.
Sultan Iskandar Muda menanamkan jiwa keagamaan pada masyarakat Aceh yaitu jiwa merdeka,
semangat membangun, persatuan dan kesatuan, serta semangat berjuang antipenjajahan yang tinggi.
Sehingga Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah karena bangsa-bangsa barat tidak mampu menembus
pertahanan Aceh.

2.4 Peninggalan kerajaan Aceh

1. Masjid Baiturrahman

Masjid Baiturrahman merupakan simbol agama, budaya, dan perjuangan rakyat Aceh. Masjid
Baiturrahman didirikan pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda pada tahun 1612. Namun, sumber
lain menyebutkan masjid dibangun lebih awal, pada tahun 1291, oleh Sultan Alaudin Mahmudsyah.
Pada masa penjajahan Belanda, masjid pernah dibakar saat Agresi Militer yang dipimpin Jenderal Van
Swieten pada tahun 1873. Catatan sejarah lain, Masjid Baiturrahman pernah menjadi saksi dasyatnya
bencana tsunami pada 26 Desember 2004. Meskipun diterjang gelombang, masjid masih berdiri kokoh.
Sejak dulu, Masjid Baiturrahman tidak hanya untuk tempat ibadah saja, tetapi masjid juga sebagai pusat
pendidikan dengan peradaban ilmu agama Islam. Beberapa kali, Masjid Baiturrahman mengalami
renovasi dan perluasan. Saat ini, luas Masjid Baiturrahman 31.000 meter persegi dengan luas bangunan
4.000 meter persegi. Masjid diperkirakan dapat menampung sebanyak 13.000 jamaah. Masjid
Baiturrahman menjadi salah satu wisata religi yang menarik wisatawan dalam dan luar negeri.

2. Taman Sari Gunongon

Taman Sari Gunongan didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Taman Sari Gunongan disebut juga Taman Ghairah yang di tengahnya mengalir Sungai Daroy (Darul
Asyiqi). Taman Sari Gunongan digunakan sebagai tempat bersenang-senang permaisuri Sultan Iskandar
Muda, Putri Pahang. Ia adalah anak Sultan Johor dari Malaysia. Dalam kitab karangan Syeikh Nuruddin
Ar-Raniri yang berjudul Bustanussalatin dijelaskan bahwa Taman Sari Gunongan dialiri Sungai Darul
Asyiki. Taman penuh dengan bunga-bunga dan bangunan yang terbuat dari batu pualam warna-warni.
Pada tiang bangunan dibalut logam tembaga yang terukir indah. Bangunan dirancang oleh ahli-ahli dari
Cina dan Turki yang terkenal dengan keahlian ukirannya. Taman Sari Gunongan terletak di Gampong
Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman. Lokasi ini berjarak sekitar empat menit dari Masjid Baiturrahman.

3. Benteng Indra Patra

Benteng Indra Patra didirikan pada masa pra Islam oleh Kerajaan Hindu pertama di Aceh, yakni
Kerajaan Lamuri. Lokasi benteng terletak di bibir pantai menghadap ke Selat Malaka. Pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, benteng digunakan sebagai basis pertahanan yang dipimpin oleh
Laksamana Malahayati. Saat itu, pasukan Kesultanan Aceh menggunakan benteng ini untuk menahan
gempuran Portugis yang ingin menguasai Aceh. Menurut catatan, bangunan dengan arsitektur kuno ini
terdiri dari susunan batu gunung, kapur, tanah liat, kulit kerang, dan telur. Sampai saat ini, Benteng Indra
Patra masih berdiri kokoh. Selain menyimpan sejarah, benteng terletak di tepi lautan yang indah.

4. Meriam Kesultanan Aceh

Ada tiga meriam peninggalan Kerajaan Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Lokasi peninggalan bersejarah ini berada di Gampong Drien Rampak, Kecamatan Arongan Lambek,
Aceh Barat. Meriam dibuat untuk mempertahankan wilayah dari serangan penjajah.
5. Makam Sultan Iskandar

Makam Sultan Iskandar Muda terletak di dekat Krueng Daroy, bersebelahan dengan Meuligoe
Aceh (kediaman resmi Gubernur Aceh), serta berdampingan dengan Museum Aceh. Pada saat Perang
Aceh, jejak makam Sultan Iskandar Muda pernah dihilangkan oleh Belanda. Pada tanggal 19 Desember
1952, lokasi jejak makam ditemukan kembali berkat petunjuk yang diberikan permaisuri salah satu
Sultan Aceh bernama Pocut Meurah. Sultan Iskandar Muda memerintahkan Kerajaan Aceh pada tahun
1607-1636 dan membawa Kerajaan Aceh pada puncak kejayaan.

Pada masa pemerintahannya di abad ke 17, Kerajaan Aceh berada di peringkat lima besar
kerajaan Islam dunia. Saat itu, Banda Aceh telah menjadi pusat perniagaan yang disinggahi kapal-kapal
asing untuk mengangkut hasil bumi dari kawasan Asia ke Eropa. Sultan Iskandar Muda terkenal sebagai
raja yang adil. Hal ini terbukti dengan keberaniannya menghukum putranya, Meurah Pupok, yang
dipacung di depan umum karena melakukan kesalahan berat.

6. Uang Emas Kerajaan Aceh

Pada masa perkembangannya, Kerajaan Aceh menggunakan dirham emas sebagai alat
pembayaran. Sejumlah 300 keping dirham emas dari masa Kesultanan Aceh Darussalam pernah
ditemukan di Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
2.5 Masa Kemunduran Kerajaan Aceh

Setelah era kebesaran sultan iskandar muda berakhir, belanda mencium peluang kembali untuk
mendapatkan wilayah aceh dan sekitarnya. Memasuki abad ke-18, aceh mulai terlibat konflik dengan
belanda dan inggris, lalu memasuki akhir abad akhir ke-18, wilayah aceh di semenanjung Malaya, yaitu
kedah dan pulau pinang dikuasai inggris. Tahun 1871 belanda mengancam aceh. Dan pada 26 maret
1873 belanda secara resmi menyatakan perang dengan kerajaan aceh. Dalam perang tersebut belanda
gagal menaklukan aceh. Pada 1883, 1892, dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi lagi belanda
gagal merebut aceh.

Setelah mangkatnya sultan iskandar tsani (1636-1641), aceh masuk dalam kepemimpinan
sultanah. Diawali oleh janda dari sultan iskandar tsani, yang merupakan anak dari sultan iskandar muda-
ratu safiatudin tajul alam- hingga ratu zainattudin kamalat syah, tanah rencong mengalami kegoncangan.
Setelah ini, aceh dipimpin oleh sebelas orang sultan yang tidak berarti. Tiga orang keturunan arab (1699-
1726), dua orang melayu (1726), dan enam orang bugis (1727-1838). Pada masa kepemimpinan mereka
wilayah aceh yang luas sudah tak terkendali dengan baik negeri negeri tetangga seperti johor dan
minangkabau terus terusan menggerogoli wilayah kekuasaan aceh, hingga pada akhir abad ke 18 aceh
tak lebih besar dari wilayah provinsi naggroe aceh darussalamnya itu sendiri kala ini. Bahkan beberapa
wilayah aceh seperti di meulabouh dan tapaktuan masuk ke dalam koloni dagang minangkabau.

Mundurnya angkatan perang aceh juga disebabkan oleh pudarnya dominasi turki di lautan
tengah. Negara- negara barat macam inggris dan belanda, sudah tak takut lagi dengan pengaruh militer
Turki utsmani di aceh. Kemunduran kerajaan aceh juga dikait kaitkan karena terlalu berhasilnya kerajaan
aceh di masa sebelumnya. Terlalu luasnya wilayah aceh hingga banyak memberikan celah kemerosotan,
baik itu di bidang kekuasaan karena banyaknya pemberontakan, maupun perekonomian di karenakan
banyaknya rakyat yang kekurangan lahan dan tanah potensial, di bidang pertanian dan kurang
strategisnya lahan dagang. Kekuasaan luas juga menyusahkan kerajaan aceh yang sudah tanpa kepala
tegak itu mengatur orang orang kaya dan berkuasa di sekitar wilayah aceh baru. Namun dengan terus
melemahnya aceh, dan hilangnya taring dan gema nya, aceh masih tetap aceh, aceh berulang kali di
serang dan masih bertahan meski tidak seluas dan sehebat di masa sebelumnya terutama daerah aceh
besar.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kerajaan Aceh di perkirakan berdiri pada tahun 1511 M. dengan raja pertamanya Sultan Ali
Mughayat Syah (1514-1528). Pada masa pemerintahannya kerajaan Aceh berkembang selama empat
abad, sampai Belanda mengalahkannya dalam perang Aceh (1873-1912). Sultan Iskandar Muda (1607-
1636) adalah pengganti Sultan Ali Mughayat Syah, yang pada masa pemerintahannya Aceh mengalami
puncak kejayaannya. Ia berhasil menaklukkan Semenanjung Malaka Yakni: Pahang. Kedah, Perlak,
Johor, dan sebagainya. Kehidupan ekonomi yang utama masyarakat Aceh pelayaran dan perdagangan.
Aceh juga penghasil Lada dan Timah, sehingga perdagangan-perdagangan Barat bisa membeli Lada dari
Aceh.

Salah satu masjid terindah di Indonesia adalah Mesjid Baiturrahman yang dibangun pada masa
Sultan Iskandar Muda.Mesjid ini pernah dibakar dan dikuasai oleh Belanda pada masa perang Acch.
Namun dibangun kembali pada tahun 1875. Aliran Ahli Sunnah Waljama'ah adalah aliran agama
terbesar dalam islam, mengaku sebagai pengikut tradisi Nabi Muhammad Saw. Aliran Syiah adalah
pengikut Ali Bin Ani Thalib, sekarang salah satu aliran besar dalam agama islam yang menyakini
kepemimpinan (imamah) Ali dan keturunannya setelah Nabi.

3.2 Saran

Dari keberadaanya Kerajaan Aceh di nusantara pada masa yang lalu. Maka kita wajib
mensyukurinya. Rasa syukur tersebut dapat di wujudkan dalam sikap dan perilaku dengan hati yang
tulus serta di dorong rasa tanggung jawab yang tinggi untuk melestarikan dan memelihara budaya nenek
moyang kita. Jika kita ikut berpartisipasi dalam menjamin kelestariannya berarti kita ikut mengangkat
derajat dan jati diri bangsa. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama menjaga dan memelihara
peninggalan budaya bangsa yang menjadi kebanggaan kita semua.
DAFTAR PUSAKA

https://www.scribd.com/document/383919415/Makalah-Kerajaan-Aceh

https://amp.kompas.com/stori/read/2021/06/12/100000979/sejarah-berdirinya-kerajaan-aceh

https://amp.kompas.com/skola/read/2020/03/05/153000669/perkembangan-kerajaan-aceh

https://regional.kompas.com/read/2022/05/18/191328178/6-peninggalan-kerajaan-aceh?page=all#page2

Anda mungkin juga menyukai