Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

SEJARAH DAN KESULTANAN


MELAYU DI ACEH DAN RIAU

Dosen Pengampu : Dr.Nyayu Soraya, S.Ag, M.Hum

OLEH:
Kelompok 5

1. Seli Pebrianti (1920209018)


2. Lestari (1930209038)
3. Kharizmi Naufal (1920209022)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sekayu, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii
BAB I .................................................................................................................................. iii
PENDAHULUAN ............................................................................................................... iii
A. Latar Belakang .......................................................................................................... iii
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... iv
C. Tujuan Pembelajaran ................................................................................................. iv
BAB II .................................................................................................................................. 1
PEMBAHASAN ................................................................................................................... 1
A. Sejarah Kesultanan Melayu di Aceh ........................................................................... 1
1. Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun (1496 - 1903 M)......................................... 1
2. Silsilah Daftar Para Sultan Yang Pernah Berkuasa di Kerajaan Aceh Darussalam ... 4
3. Sistem Politik dan Pemerintahan ............................................................................. 6
4. Sistem Ekonomi, Sosial dan Budaya ....................................................................... 6
B. Sejarah Kesultanan Melayu di Riau .......................................................................... 10
1. Kearajaan Melayu di Riau ..................................................................................... 10
2. Peninggalan Kerajaan Melayu di Riau ................................................................... 12
3. Kesultanan di Riau ................................................................................................ 15
4. Sistem Perdagangan .............................................................................................. 16
5. Cara transaksi barang larangan kepada Sultan di Kerajaan .................................... 19
6. Sistem Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya ............................................................... 20
BAB III ............................................................................................................................... 23
PENUTUP .......................................................................................................................... 23
A. KESIMPULAN ........................................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Aceh termasuk dalam rumpun bangsa Melayu, yaitu; Mantee (Bante),
Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain sebagainya, yang berasal
dari negeri Perak dan Pahang di tanah Semenanjung Melayu.Semua bangsa tersebut
erat hubungannya dengan bangsa Phonesia dari Babylonia dan bangsa Dravida di
lembah sungai Indus dan Gangga, India. Bangsa Mante di Aceh awalnya mendiami
Aceh Besar, khususnya di Kampung Seumileuk, yang juga disebut Gampong Rumoh
Dua Blah. Letak kampung tersebut di atas Seulimum, antara Jantho dan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas.
Bangsa Mante inilah yang terus berkembang menjadi penduduk Aceh Lhee
Sagoe (di Aceh Besar) yang kemudian ikut berpindah ke tempat-tempat lainnya.
Sesudah tahun 400 Masehi, orang mulai menyebut ”Aceh” dengan sebutan Rami atau
Ramni. Orang-orang dari Tiongkok menyebutnya lan li, lanwu li, nam wu li, dan nan
poli yang nama sebenarnya menurut bahasa Aceh adalah Lam Muri. Sementara orang
Melayu menyebutnya Lam Bri (Lamiri). Dalam catatan Gerini, nama Lambri
adalah pengganti dari Rambri (Negeri Rama) yang terletak di Arakan (antara India
Belakang dan Birma), yang merupakan perubahan dari sebutan Rama Bar atau
Rama Bari.
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah
berdiri di provinsi Aceh di Indonesia, Kesultanan Aceh terletak di utara pulau
Sumatera dengan ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Menurut Lombard, dalam
Hikayat Aceh mengisahkan munculnya kerajaan Aceh Darussalam sebagai hasil jenis
pembauran pemukiman, yaitu raja-raja dari kedua pemukiman (Mahkota Alam dan
Darul Kamal) yang bergabung dengan mengawinkan anak mereka.3 Hikayat Aceh
mencatat bahwa Musaffar Shah menjadi raja di Mahkota Alam dan Inayat Shah
menjadi raja di Darul Kamal. Keduannya terus berperang, yang berakhir dengan
kemenangan Musaffar Shah. Tindakan lanjut kemenangan itu, Sultan Musaffar Shah
menyatukan negeri tersebut dalam satu Kesultanan. Hasil gabungan itulah yang
kemudian menjadi Aceh Darussalam.

iii
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kesultanan melayu di aceh?
2. Bagaimana sejarah kesultanan melayu di riau?

C. Tujuan Pembelajaran
1. Mengetahui sejarah kesultanan melayu di aceh
2. Mengetahui sejarah kesultanan melayu di riau

iv
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH DAN KESULTANAN MELAYU DI ACEH DAN RIAU

A. Sejarah Kesultanan Melayu di Aceh

1. Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun (1496 - 1903 M)


Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tahun 1360 M, Samudera Pasai ditaklukan
oleh Majapahit, dan sejak saat itu, kerajaan Pasai harus mengalami kemunduran.
Diperkirakan, menjelang berakhirnya abad ke-14 M, kerajaan Aceh Darussalam
telah berdiri dengan penguasa pertama Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M). Pada tahun 1524 M, Mughayat Syah
berhasil menaklukkan Pasai, dan sejak saat itu, menjadi satu-satunya kerajaan yang
memiliki pengaruh besar di kawasan tersebut. Bisa dikatakan bahwa, sebenarnya
kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari samudra Pasai untuk membangkitkan
dan meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai
sebelumnya.
Pada awalnya, wilayah kerajaan Aceh ini hanya mencakup Banda Aceh dan
Aceh Besar yang dipimpin oleh ayah Ali Mughayat Syah. Ketika Mughayat Syah
naik tahta menggantikan ayahnya, ia berhasil memperkuat kekuatan dan
mempersatukan wilayah Aceh dalam kekuasaannya, termasuk menaklukkan
kerajaan Pasai. Saat itu, sekitar tahun 1511 M, kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat
di Aceh dan pesisir timur Sumatera seperti Peureulak (di Aceh Timur), Pedir (di
Pidie), Daya (Aceh Barat Daya) dan Aru (di Sumatera Utara) sudah berada di bawah
pengaruh kolonial Portugis. Mughayat Syah dikenal sangat anti pada Portugis,
karena itu, untuk menghambat pengaruh Portugis, kerajaan-kerajaan kecil tersebut
kemudian ia tahu kan dan masukkan ke dalam wilayah kerajaannya. Sejak saat itu,
kerajaan Aceh lebih dikenal dengan nama Aceh Darussalam dengan wilayah yang
luas, hasil dari penaklukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya.
Sejarah mencatat bahwa, usaha Mughayat Syah untuk mengusir Portugis dari
seluruh bumi Aceh dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah berada
di bawah Portugis berjalan lancar. Secara berurutan, Portugis yang berada di daerah
Daya ia gempur dan berhasil ia kalahkan. Ketika Portugis mundur ke Pidie,
Mughayat juga menggempur Pidie, sehingga Portugis terpaksa mundur ke Pasai.
Mughayat kemudian melanjutkan kebutuhannya dan berhasil merebut benteng
Portugis di Pasai.
Kemenangan yang berturut-turut ini membawa keuntungan yang luar biasa,
terutama dari aspek persenjataan. Portugis yang kewalahan menghadapi serangan
Aceh banyak meninggalkan persenjataan, karena memang tidak sempat mereka
bahwa dengan gerak mundur pasukan. Senjata-senjata inilah yang digunakan
kembali oleh pasukan Mughayat untuk menggempur Portugis.
Ketika benteng di Pasai telah dikuasai Aceh, Portugis mundur ke Peurelak.
Namun, Mughayat Syah tidak memberikan kesempatan sama sekali pada Portugis.
Peurelak kemudian juga diserang, sehingga Portugis mundur ke Aru. Tak berapa

1
lama, Aru juga berhasil direbut oleh Aceh hingga akhirnya Portugis mundur ke
Malaka. Dengan kekuatan besar, Aceh kemudian melanjutkan serangan untuk
mengejar Portugis ke Malaka dan Malaka berhasil direbut. Portugis melarikan diri
ke Goa, India. Seiring dengan itu, Aceh melanjutkan ekspansi nya dengan
menaklukkan Johor, Pahang dan Pattani. Dengan keberhasilan serangan ini, wilayah
kerajaan Aceh Darussalam mencakup hampir seluruh wilayah pulau Sumatera,
sebagian semenanjung Malaya hingga Pattani.
Demikianlah, walaupun masa kepemimpinan Mughayat Syah relatif singkat,
hanya sampai tahun 1528 M, namun ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang
besar dan kokoh. Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri
kerajaan Aceh Darussalam, yaitu:
a. Mencukupi kebutuhan sendiri, sehingga tidak bergantung pada pihak luar;
b. Menjalin persahabatan yang lebih erat dengan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara;
c. Bersikap waspada terhadap negara kolonial Barat;
d. Menerima bantuan tenaga ahli dari pihak luar;
e. Menjalankan dakwah islam ke seluruh kawasan nusantara. Sepeninggal
Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh
penggantinya.
Dalam sejarahnya, Aceh Darussalam mencapai masa kejayaan di masa Sultan
Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1590 - 1636). Pada masa itu, Aceh
merupakan salah satu pusat perdagangan yang sangat ramai di Asia Tenggara.
kerajaan Aceh pada masa itu juga memiliki hubungan diplomatik dengan dinasti
Usmani di Turki, Inggris dan Belanda. Pada masa Iskandar Muda, Aceh pernah
mengirim utusan ke Turki Usmani dengan membawa hadiah. Kunjungan ini diterima
oleh Khalifah Turki Usmani dan ia mengirim hadiah balasan berupa sebuah meriam
dan penasehat militer untuk membantu memperkuat angkatan perang Aceh.
Hubungan dengan Perancis juga terjalin dengan baik. Pada masa itu, Perancis
pernah mengirim utusannya ke Aceh dengan membawa hadiah sebuah cermin yang
sangat berharga. Namun, cermin ini ternyata pecah dalam perjalanan menuju Aceh.
Hadiah cermin ini tampaknya berkaitan dengan kegemaran Sultan Iskandar Muda
pada benda-benda berharga. Saat itu, Iskandar Muda merupakan satu-satunya raja
Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen (Aula Kaca) di istananya yang megah,
Istana Dalam Darut Dunya. Konon, menurut utusan Prancis tersebut, luas istana
Aceh saat itu tak kurang dari dua kilometer. Di dalam istana tersebut, juga terdapat
ruang besar yang disebut Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu
menampung 300 ekor pasukan gajah, dan aliran sungai Krueng yang telah
dipindahkan dari lokasi asal alirannya.
Sebelum Iskandar Muda berkuasa, sebenarnya juga telah terjalin hubungan
baik dengan Ratu Elizabeth I dan penggantinya, Raja James I dari Inggris. Bahkan,
Ratu Elizabeth pernah mengirim utusannya, Sir James Lancaster dengan membawa
seperangkat perhiasan bernilai tinggi dan surat untuk meminta izin agar Inggris
diperbolehkan berlabuh dan berdagang di Aceh. Sultan Aceh menjawab positif
permintaan itu dan membalasnya dengan mengirim seperangkat hadiah, disertai

2
surat yang ditulis dengan tinta emas. Sir James Lancaster sebagai pembawa pesan
juga dianugerahi gelar Orang Kaya Putih sebagai penghormatan. Berikut ini
cuplikan surat Sultan Aceh pada Ratu Inggris bertarikh 1585 M:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the
land of a Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh,
which stretch from the sunrise to the sunset.
Artinya: (Hambalah Sang Penguasa Perkasa Negeri-negeri di bawah angin,
yang terhimpun di atas tanah Aceh, tanah Sumatera dan seluruh wilayah yang
tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari
terbenam).
Ketika Raja James berkuasa di Inggris, iya pernah mengirim sebuah meriam
sebagai hadiah kepada sultan Aceh. Hubungan ini mundur pada abad ke 18, karena
nafsu imperialisme Inggris untuk menguasai kawasan Asia Tenggara. Selain itu,
Aceh juga pernah mengirim utusan yang dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid ke
Belanda, di masa kekuasaan pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye. Dalam
kunjungan tersebut, Abdul Hamid meninggal dunia dan dimakamkan kan di
pekarangan sebuah gereja dengan penuh penghormatan, dihadiri oleh para pembesar
Belanda. Saat ini, di makam tersebut terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh
Pangeran Bernhard, suami Ratu Juliana.
Ketika Iskandar Muda meninggal dunia tahun 1636 M, yang naik sebagai
penggantinya adalah Sultan Iskandar Thani Ala' al-Din Mughayat Syah (1636-1641
M). Di masa kekuasaan Iskandar Thani, Aceh masih berhasil mempertahankan masa
kejayaannya. Penerus berikutnya adalah Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam (1641-
1675 M), putri Iskandar Muda dan permaisuri Iskandar Thani. Hingga tahun 1699
M, Aceh secara berturut-turut dipimpin oleh empat orang ratu. Di masa ini, kerajaan
Aceh sudah mulai memasuki era kemundurannya. Salah satu penyebabnya adalah
terjadinya konflik internal di Aceh, yang disebabkan penolakan para ulama
Wujudiyah terhadap pemimpin perempuan. Para ulama Wujudiyah saat itu
berpandangan bahwa, hukum Islam tidak membolehkan seorang perempuan menjadi
pemimpin bagi laki-laki. Kemudian terjadi konspirasi antara para hartawan dan
uleebalang, dan dijustifikasi oleh pendapat para ulama yang akhirnya berhasil
memaksimalkan Ratu Kalamalat Syah. Sejak saat itu, berakhir lahirlah sultanah di
Aceh.
Memasuki paruh kedua abad ke-18, Aceh mulai terlibat konflik dengan
Belanda dan Inggris yang memuncak pada abad ke-19. Pada akhir abad ke-18
tersebut, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau
Pinang dirampas oleh Inggris. Pada tahun 1871 M, Belanda mulai mengancam Aceh
atas restu dari Inggris, dan pada 26 Maret 1873 M, Belanda secara resmi
menyatakan perang terhadap Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal
menaklukkan Aceh. Pada tahun 1883, 1892 dan 1893 M, perang kembali meletus,
namun, laki-laki Belanda gagal merebut Aceh. Pada saat itu, Belanda sebenarnya
telah putus asa untuk merebut Aceh, hingga akhirnya, Snouck Hurgronye, seorang
sarjana dari Universitas Leiden, menyarankan kepada pemerintahannya agar
mengubah fokus serangan, dari sultan ke ulama. Menurutnya, tulang punggung

3
perlawanan rakyat Aceh adalah para ulama, bukan sultan. Oleh sebab itu, untuk
melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, bekas ruangan harus diarahkan kepada para
ulama. Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah Belanda dengan menyerang
basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan madrasah yang dibakar
Belanda.
Saran Snouck Hurgronye membuahkan hasil: Belanda akhirnya sukses
menaklukkan Aceh. J. B. Van Heutsz, sang panglima militer, kemudian diangkat
sebagai gubernur Aceh. Pada tahun 1903, kerajaan Aceh berakhir seiring dengan
menyerahnya Sultan M. Dawud kepada Belanda. Pada tahun 1904, hampir seluruh
Aceh telah direbut oleh Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh tidak pernah
tunduk sepenuhnya pada Belanda. Perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh
masyarakat tetap berlangsung. Sebagai catatan, selama perang Aceh, Belanda telah
kehilangan 4 orang jenderalnya yaitu: Mayor Jenderal J. H. R. Kohler, Mayor
Jenderal J. L. J. H. Pel, Demmeni dan Mayor Jenderal J. J. K. De Moulin.
Kekuasaan Belanda berlangsung hampir setengah abad, dan berakhir seiring
dengan masuknya Jepang ke Aceh pada 9 Februari 1942. Saat itu, kekuatan militer
Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut
oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Hubungan baik dengan
Jepang tidak berlangsung lama. Ketika Jepang mulai melakukan pelecehan terhadap
perempuan Aceh dan memaksa masyarakat untuk membungkuk pada matahari
terbit, maka, saat itu pula mulai timbul perlawanan. Diantara tokoh yang dikenal
gigih melawan Jepang adalah Teungku Abdul Jalil. Kekuasaan para penjajah
berakhir ketika Indonesia merdeka dan Aceh bergabung ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

2. Silsilah Daftar Para Sultan Yang Pernah Berkuasa di Kerajaan Aceh


Darussalam
Pada abad 15 menjadi awal munculnya sebuah Kerajaan Islam di ujung utara
Pulau Sumatera dan paling barat dari Kepulauan Nusantara yaitu kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan ini mulanya adalah Kerajaan Darussalam dengan raja terakhir
yaitu Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah. Baginda merupakan Sultan terakhir
Kerajaan Darussalam sebelum ia memproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh
Darussalam. Wilayahnya memiliki dua muka laut yaitu Samudera India dan Selat
Malaka. Posisi strategis Aceh yang berada di ujung utara pulau Sumatera yang
berhadapan langsung dengan Samudera Hindia membuat para pemimpin Aceh yang
membuka peluang usaha dagang bahkan sampai ke Laut Merah.
Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh 35 sultan 45 dan 4 diantaranya
Sultanah dalam memimpin Kerajaan Aceh Darussalam selama 59 tahun lamanya.
Kemunculan para pemimpin wanita ini membuat pro dan kontra di antara
masyarakat Aceh. Kepemimpinan Sultanah diawali dengan meninggalnya Sultan
Iskandar Thani yang tidak meninggalkan ahli waris kerajaan. Sepanjang riwayat
Kesultanan Aceh Darussalam sejak diproklamirkan berdirinya Kerajaan Aceh
hingga kepemimpinan para rasul tanah menurut Prof Ahwan, mengutip pada Harun
Tucer dalam Osmanlinin Gelgesyide Biz Uzakdogu Deobet Ace tercatat telah
berganti 12 Sultan, diantaranya:

4
a. Ali Mughayat Syah (1496-1528)
b. Salahuddin (1528-1537)
c. Alaudin al Kohar (1537-1568)
d. Husein Ali Riayat Syah (1569-1575)
e. Sri Alam (1575-1576)
f. Zainal Abidin (1576-1577)
g. Alauddin Mansyur Syah (1577-1589)
h. Buyung (1589-1596)
i. Alauddin Riayat Syah (1596-1604)
j. Ali Riayat Syah (1604-1607)
k. Iskandar Muda (1607-1636)
l. Iskandar Tsani (1636-1641)
Dari 12 Sultan ini, berbeda dengan Hasjmy di dalam bukunya yang berjudul
Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, mengutip pendapat Yusuf Jamil 47 ada 13
sultan yang memimpin Kerajaan Aceh Darussalam sebelum dipimpin oleh para
Sultanah diantaranya:
a. Sultan Alaiddin Ali Mughayat Syah (1511-1530)
b. Sultan Salahuddin (1530-1539)
c. Sultan Alauddin Riayat Syah II dengan gelar Al Qahrar (1539-1572)
d. Sultan Husein Alaiddin Riayat Syah III (1571 1579)
e. 28 hari (usia 7 bulan) Sultan Muda Bin Husein Syah (memimpin hanya 20 hari)
Sultan Mughal Seri Alam Periaman Syah (1579)
f. Sultan Alaiddin Mansur Syah (1579-1580)
g. Sultan Alaiddin Mansur Syah (1581-1587)
h. Sultan Buyung (1587-1589)
i. Sultan Alaiddin Riayat Syah IV (1589-1604)
j. Sultan Alaiddin Riayat Syah V (1604-1607)
k. Sultan Iskandar Muda (1607-1636)
l. Sultan Iskandar Tsani (1636-1641)
Perbedaan seperti ini wajar dikarenakan Sultan Moeda dalam buku Akhwan
Mukarrom tidak dicantumkan pada struktur Sultan di Kerajaan Aceh Darussalam
karena Sultan Muda masih berumur 7 bulan dan hanya menjabat selama 28 hari
karena meninggal dunia.
Dari para sultan yang memerintah sebelum kepemimpinan para sultanah
terdapat prestasi yang diraih. Prestasi itu terlihat dalam berbagai aspek, termasuk
militer, politik, pemerintahan, ekonomi, perdagangan, dan keagamaan. Kerajaan
Aceh Darussalam mampu mentransformasi dirinya menjadi sebuah Kerajaan Islam
yang berkembang pesat. Kerajaan ini pada mulanya adalah kerajaan kecil yang tidak
diperhitungkan serta dulunya merupakan wilayah taklumkan Pidie.

5
3. Sistem Politik dan Pemerintahan
Istilah politik sering dipahami oleh banyak kalangan sebagai sistem
pemerintahan, sehingga politik dalam suatu kerajaan itu merupakan penjabaran dari
sistem pemerintahan kerajaan tersebut sehingga kemajuan dari sebuah kerajaan itu
tidak dapat dipisahkan dari tatanan kepemerintahan yang baik dan teratur. Sehingga
stabilnya sistem pemerintahan dapat memberikan pengaruh positif serta negatif bagi
eksistensi dan perkembangan sebuah bangsa, termasuk kerajaan. Sebelum adanya
Kerajaan Aceh Darussalam, telah banyak terjadi hubungan politik dan diplomatik
dengan kerajaan-kerajaan yang telah lahir dan berkembang semasanya.
Salah satu hubungan diplomatik Kerajaan Darussalam terjadi sebelum
kerajaan ini menjadi Kerajaan Islam, yaitu pada masa kerajaan Indra Purba yang
masih bercorak Hindu Budha saat meminta bantuan kepada kerajaan Islam Perlak
untuk membantu mereka bertahan serta menyerang kerajaan dengan tanda terima
kasihnya, kerajaan Indra Purba menerima ajaran Islam dari Kerajaan Perlak. Selain
melakukan hubungan kerjasama kerajaan dengan kerajaan-kerajaan lokal yang
pernah ada Aceh, juga pernah melakukan hubungan diplomatik dan persahabatan
dengan Cina dalam bidang persenjataan antileri.

4. Sistem Ekonomi, Sosial dan Budaya


a. Sistem Ekonomi
Letak wilayah kerajaan Darussalam yang berada di ujung pulau Sumatra,
yang pada masanya daerah pesisir laut merupakan daerah-daerah padat dan
ramai dengan aktivitas pelabuhan dengan berdatangan para pedagang-pedagang
dari mana Negara. Kedatangan para pedagang tersebut, secara langsung
meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar pelabuhan tersebut seperti
Gampong Pande, daerah tertua yang ada di daerah Kota Banda Aceh sekarang.
Daerah tersebut yang pada masa dahulu telah menjadi tujuan pelayaran para
pedagang-pedagang mancanegara dalam melakukan pelayaran mengelilingi
luasnya lautan.
Pada masa Kerajaan Darussalam, Gampong Pande terkenal dengan daerah
penghasil emas yang telah diekspor hingga ke benua Eropa, selain dikenal
sebagai daerah penghasil emas juga sebagai sebuah daerah yang terkenal
sebagai daerah tempat beradanya orang-orang pandai dan banyak pula para
pengrajin emas. Sehingga daerah tersebut merupakan salah satu daerah yang
paling sibuk pada masanya, sama seperti daerah-daerah lain seperti di
Pelabuhan Pidie, Pasai dan Perlak, seringnya do kedatangan kapal kapal pelayar
yang melakukan perjalanan dari barat menuju timur maupun yang melakukan
perjalanan dari timur menuju barat.

6
b. Sistem Sosial dan Budaya
Dalam hal ini, kerajaan Darussalam yang pada awal merupakan kerajaan
Hindu Budha kemudian berubah menjadi kerajaan Islam setelah melakukan
kerjasama dengan Kerajaan Islam Perlak, sehingga kehidupan masyarakat yang
telah melekat dengan keadaan agama yang dulu tidak secara mutlak dihilangkan
biarpun sudah menjadi kerajaan Islam. Kebudayaan-kebudayaan yang maju di
kerajaan Darussalam pada masanya seperti telah adanya bangun masjid di
daerah Kota Banda Aceh, yang merupakan lambang sebuah kerajaan Islam dan
merupakan lambang serta simbol kerajaan yang telah beragama Islam, dibangun
pada masa pemerintahan Sultan 'Alaiddin Mahmud Syah tahun 691 H/1292 M
dengan nama mesjidnya Mesjid Bait al-Rahman serta pada masa pemerintahan
tersebut juga telah banyak kemajuan yang dialami oleh kerajaan dengan adanya
sebuah istana kerajaan yang diberi nama "Keraton Dar al-dunya".
Selain kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah, kerajaan
Darussalam juga mengalami kemajuan pada masa pemerintahan Sultan Syamsu
Syah, yang pada masa pemerintahannya juga dibangun sebuah mesjid yang
diberi nama dengan Mesjid Bait al-Rahim. Sultan juga membina sebuah
keraton/istana kerajaan sendiri, yaitu "Keraton Kuta Alam". Keraton ini
dikelilingi oleh sebuah tebing tinggi yang menjadi benteng pertahanan dari
ancaman pihak luar kerajaan, yaitu "Teunambak Pidie". Daerah tersebut terletak
antara sungai Aceh dan kota Peunayong, Banda Aceh. Atas berbagai kemajuan
kemajuan tersebut telah yang mendorong serta keinginan kerajaan Darussalam
untuk memperluaskan wilayah kekuasaan hingga ke seluruh Aceh.
5. Wilayah Kekuasaan
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan
Aceh Darussalam, dari massa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan
Iskandar Muda, mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk
Tamiang, Pedir, Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase,
serta Jambu Aye. Selain itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil
menaklukkan seluruh negeri di sekitar Selat Malaka termasuk Johor dan
Malaka, kendati kemudian kejayaan pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam
di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda mulai mengalami kemunduran
pasca penyerangan ke Malaka pada 1629.
Selain itu, negeri-negeri yang berada di sebelah timur Malaya, seperti
Haru (Deli), Batu Bara, Natal, Paseman, Asahan, Tiku, Pariaman, Salida,
Indrapura, Siak, Indragiri, Riau, Lingga, hingga Palembang dan Jambi. Wilayah
Kesultanan Aceh Darussalam masih luas dan menguasai seluruh Pantai Barat
Sumatera hingga Bengkulen (Bengkulu). Tidak hanya itu, Kesultanan Aceh
Darussalam bahkan mampu menaklukan Pahang, Kedah, serat Patani.
Pembagian wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan
Iskandar Muda diuraikan sebagai berikut:

7
a. Wilayah Aceh Raja
Dibagi dalam 3 Sagoi (ukuran wilayah administratif yang kira-kira
setara dengan kecamatan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang
kepala dengan gelar Panglima Sagoe, yaitu:
1) Sagoe XXII Mukim,
2) Sagoe XXV Mukim
3) Sagoe XXVI Mukim
Di bawah tiap-tiap Panglima Sagoe terdapat beberapa Uleebalang
dengan daerahnya yang terdiri dari beberapa Mukim (ukuran wilayah
administratif yang kira-kira setara dengan kelurahan/desa). Di bawah
Uleebalang terdapat beberapa Mukim yang dipimpin oleh seorang kepala
yang bergelar Imeum. Mungkin terdiri dari beberapa kampung yang
masing-masing dipimpin oleh seorang kepala dengan gelar Keutjhi.
b. Daerah Luar Aceh Raja
Daerah ini terbagi dalam daerah-daerah Uleebalang yang dipimpin
oleh seorang kepala yang bergelar Uleebalang Keutjhi. Wilayah-wilayah di
bawahnya diatur sama dengan aturan wilayah yang berlaku di Daerah Aceh
Raja.
c. Daerah yang Berdiri Sendiri
Di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam terdapat
juga daerah-daerah yang tidak termasuk ke dalam lingkup Daerah Aceh
Raja maupun Daerah Luar Aceh Raja. Daerah-daerah yang berdiri di
perintahkan Uleebalang untuk tunduk kepada Sultan Aceh Darussalam
(hasjmy, 1961:3)
d. Kemunduran Kesultanan Aceh
Kesultanan Aceh Darussalam pernah pula dipimpin oleh seorang raja
perempuan. Ketika Sultan Iskandar Tsani mangkat, sebagai penggantinya
adalah Taj'al-'Alam Tsafiatu'ddin alias Puteri Sri Alam, istri dari Sultan
Iskandar Tsani yang juga anak perempuan Sultan Iskandar Muda. Ratu
yang dikenal juga dengan nama Sri Ratu Safi al-Din Taj al-Alam ini
memerintah kesultanan Aceh Darussalam selama 34 tahun (1641-1675).
Masa pemerintahan Sang Ratu diwarnai dengan cukup banyak upaya tipu
daya dari pihak asing serta bahaya penghianatan dari orang dalam istana.
Masa pemerintahan Ratu Taj'al-'Alam Tsafiatu'ddin selama 34 tahun itu
tidak akan bisa dilalui dengan selamat tanpa kebijaksanaan dan keluar
biasaan yang dimiliki oleh Sang Ratu. Dalam segi ini, Aceh Darussalam
bisa membanggakan sejarahnya karena telah mempunyai tokoh wanita yang
luar biasa di tengah rongrongan kolonialis Belanda yang semakin kuat.

8
Pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam sepeninggal Ratu Taj'al-
'Alam Tsafiatu'ddin yang wafat pada 23 Oktober 1675 masih diteruskan oleh
pemimpin perempuan hingga beberapa era berikutnya. Adalah Sri Paduka
Putroe dengan gelar Sultanah Ahmad Nurul Alam Nakiatuddin Syah yang
menjadi pilihan para tokoh adat dan istana untuk memegang tampuk
pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam yang selanjutnya. Konon,
dipilihnya Ratu yang juga sering disebut dengan nama Sri Ratu Naqi al-Din Nur
al-Alam ini dilakukan untuk mengatasi usaha usaha perebutan kekuasaan oleh
beberapa pihak yang merasa berhak. Namun pemerintahan Sri Ratu Naqi al-Din
Nur al-Alam hanya bertahan selama 2 tahun sebelum akhirnya Sang Ratu
menghembuskan nafas penghabisan pada 23 Januari 1678. Dua pemimpin
Kesultanan Aceh Darussalam setelah Sri Ratu Naqi al-Din Nur al-Alam masih
dilakoni kaum perempuan, yaitu Sri Ratu Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
dan kemudian Sri Ratu Kamalat Syah Zina al-Din (1688-1699).
Setelah era kebesaran Sultan Iskandar Muda berakhir, Belanda mencium
peluang untuk kembali mengusik tanah Aceh. Memasuki paruh kedua abad ke-
18, Aceh mulai terlibat konflik dengan Belanda dan Inggris. Pada akhir abad ke-
18, wilayah kekuasaan Aceh di Semenanjung Malaya, yaitu Kedah dan Pulau
Pinang dirampas oleh Inggris. Tahun 1871, Belanda mulai mengancam Aceh,
dan pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi menyatakan perang terhadap
Aceh. Dalam perang tersebut, Belanda gagal menaklukkan Aceh. Pada 1883,
1892 dan 1893, perang kembali meletus, namun, lagi-lagi Belanda gagal
merebut Aceh.
Memasuki abad ke-20, lakukanlah berbagai cara untuk dapat menembus
kokohnya dinding ideologi yang dianut bangsa Aceh, termasuk dengan
menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan Belanda, Dr. Snouck
Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje sangat serius
menjalankan tugas ini, bahkan sarjana dari Universitas Leiden ini sempat
memeluk Islam untuk memperlancar misinya. Di dalaminya pengetahuan
tentang agama Islam, demikian pula tentang bangsa-bangsa, bahasa, adat
istiadat di Indonesia dan beri hal yang khusus mengenai pengaruh pengaruhnya
bagi jiwa dan raga penduduk (H. Mohammad Said b, 1985:91).
Snouck Hugronje menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia
Belanda agar mengubah fokus serangan yang selama ini selalu berkonsentrasi
ke Sultan dan kaum bangsawan, beralih kepada kaum ulama. Menurut Snouck
Hugronje, tulang punggung perlawanan rakyat Aceh adalah kaum ulama. Oleh
sebab itu, untuk melumpuhkan perlawanan rakyat Aceh, Makassar dengan harus
diarahkan kepada kaum ulama Aceh tersebut. Secara lebih detail, Snouck
Hugronje menyimpulkan hal-hal yang harus dilakukan untuk dapat menguasai
Aceh, antara lain :

9
1) Hentikan usaha mendekati Sultan dan orang besarnya.
2) Jangan mencoba-coba mengadakan perundingan dengan musuh yang aktif,
terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
3) Rebut lagi Aceh Besar.
4) Untuk mencapai simpati rakyat Aceh, kegiatan pertanian, kerajinan, dan
perdagangan.
5) Membentuk biro informasi untuk staf-staf sipil, yang keperluannya
memberi mereka penerangan dan mengumpulkan pengenalan mengenai hal
ihwal rakyat dan Negeri Aceh.
6) Membentuk kader-kader pegawai negeri yang terdiri dari anak bangsawan
Aceh dan membikin korps pangreh praja senantiasa merasa diri kelas
memerintah (Said b, 1985:97).
Saran ini kemudian diikuti oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
dengan menyerang basis-basis para ulama, sehingga banyak masjid dan
madrasah yang dibakar Belanda. Saran Snouck Hugronje membuahkan hasil:
Belanda akhirnya, sukses menaklukkan Aceh. Pada 1903, kekuatan Kesultanan
Aceh Darussalam semakin melemah seiring dengan menyerahnya Sultan M.
Dawud kepada Belanda. Setahun kemudian, tahun 1904, hampir seluruh
wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda. Walaupun demikian, sebenarnya Aceh
tidak pernah tunduk sepenuhnya terhadap penjajah. Perlawanan yang dipimpin
oleh tokoh-tokoh adat dan masyarakat tetap berlangsung. Aceh sendiri cukup
banyak memiliki sosok pejuang yang bukan berasal dari kalangan kerajaan,
sebut saja: Chik Di Tiro, Panglima Polim, Cut Nya' Dien, Teuku Umar, Cut
Meutia, dan lain-lainnya. Akhir kalam, sepanjang riwayatnya, Kesultanan Aceh
Darussalam telah dipimpin oleh pihak dari tiga puluh sultan/ratu. Jejak yang
panjang ini merupakan pembuktian bahwa Kesultanan Aceh Darussalam pernah
menjadi peradaban besar yang sangat berpengaruh terhadap riwayat kemajuan di
bumi Melayu.

B. Sejarah Kesultanan Melayu di Riau


1. Kearajaan Melayu di Riau
Riau merupakan daerah yang kaya akan sejarah, Riau memiliki sejarah
kerajaan di masa lampau. Riau merupakan gabungan dari Kerajaan Melayu yang
pernah ada. Yaitu, Kerajaan Indragiri (1658-1838), Kerajaan Siak (1723-1858),
Kerajaan Pelalawan (1530-1879) Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913) dan kerajaan-
kerajaan kecil lainnya. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah merupakan
akibat perkembangan kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Kerajaan Islam
yang ada di Riau dan Kepulauan Riau menurut berita Tome Pires antara lain Siak,
Kampar, dan Indragiri. Kerajaan Kampar, Indragiri, dan Siak pada abad ke-13 dan
ke-14 dalam kekuasaan Kerajaan Melayu dan Singasari-Majapahit, maka kerajaan-
kerajaan tersebut tumbuh menjadi kerajaan bercorak Islam sejak abad ke-15.

10
Jika berdasarkan Tome Pires, maka ketika kerajaan Kampar, Indragiri dan
Siak senantiasa melakukan perdagangan dengan Malaka bahkan memberikan upeti
kepada Kerajaan Malaka. Ketiga kerajaan di pesisir Sumatera Timur ini dikuasai
Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (wafat 1477).
Bahkan pada masa pemerintahan putranya, Sultan Ala'uddin Ri'ayat Syah (wafat
1488) banyak pulau di Selat Malaka (orang laut) termasuk Lingga-Riau masuk
kekuasaan Kerajaan Malaka.
Kalau bernapak tilas mengenang jejak kerajaan Islam di Riau, Istana Siak Sri
Indrapura adalah tempatnya. Di istana inilah sejarah berdirinya kerajaan Islam di
tanah Riau. Kota Siak dikenal banyak menyimpan bangunan bersejarah peninggalan
Hindia Belanda dan Kerajaan Melayu Islam. Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan
oleh Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah pada 1723 M. Kerajaan Melayu Islam terbesar
di Riau ini mengalami masa kejayaan pada abad ke-16 hingga ke-20. Istana Siak Sri
Indrapura merupakan kediaman resmi Sultan Siak. Kerajaan ini adalah pecahan dari
Kerajaan Melayu. Dua tokoh kerajaan kemudian berseteru, yaitu Sultan Abdul Jalil
Rahmat Syah (Raja Kecil) dan Sultan Suleiman yang dibantu oleh Bugis. Karena
kalah, Sultan Abdul Jalil menyingkir dan berpindah-pindah tempat ke Johor,
Bintang, Bengkalis, dan akhirnya pedalaman Sungai Siak, Buantan.
Pada akhir abad XVII, seorang permaisuri Negeri Johor, Malaysia, bernama
Encik Pong, kabur akibat perebutan tahta yang menewaskan suaminya. Ia
menyeberangi lautan dan menelusuri hutan. Permaisuri yang tengah hamil tua itu
terdampar di perantauan Sumatera dan melahirkan putranya. Sang putra dinamai
Raja Kecil. Pada 1723, Raja yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmat Syah itu
mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura yang menguasai wilayah Selat Malaka.
Nama 'Siak' diberikan orang-orang Batak yang merantau melalui jalur sungai yang
di pinggirnya banyak tumbuh pohon lada ini. Sumber lain menyebutkan kata Siak
berasal dari bahasa Arab yang artinya orang alim atau penjaga masjid. Kemegahan
kerajaan yang diperintah 12 Sultan itu hingga kini masih nampak terlihat pada Istana
Asserayah Hasyimiah.
Bangunan megah itu terletak di tepi Sungai Siak, Kabupaten Siak, atau 125 km
dari kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Bangunan itu didirikan saat pemerintahan Sultan
ke-11, yakni oleh Sultan Assayidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifudin. Naga putih
menjadi lambang resmi kerajaan. Pilar-pilar istana yang dihiasi ornamen berbentuk
naga kian menambah keindahan dan kemegahan. Istana Siak memiliki luas 30 meter
x 15 m dengan 13 ruangan di dua lantai. Delapan ruangan di lantai dasar dan lima
kamar di lantai dua. Lantai dasar untuk pertemuan pembesar kerajaan dan tempat
menjamu para tamu. Lantai dua untuk peristirahatan Sultan. Di lantai ini, terdapat
sisa pakaian kerajaan yang tersusun rapi dalam lemari kaca. Duplikat patung kepala
Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda kala itu, yang terbuat dari tembaga, juga menghiasi
lantai dua.

11
Berdiri di atas lahan seluas satu hektar, sekeliling istana ditumbuhi rerumputan
kecil. Tak jauh dari istana, terdapat berbagai Kerajaan yang dinamai Balairung Sari.
Tepat di samping kanan gerbang utama Masjid Syahabuddin, dibangun kompleks
makam kerajaan yang berhiaskan ornamen bernilai seni tinggi bernafaskan Islam.
Bangunan istana menunjukkan perpaduan arsitektur Arab, India, Turki, Eropa dan
Melayu. Gaya rancangan itu menggambarkan luasnya hubungan diplomatik
Kerajaan Siak dengan negeri-negeri asing. Sebagian besar hubungan itu dipicu oleh
kekayaan hasil bumi kawasan ini, seperti karet dan rempah. Kedua produk itu tak
jarang menjadi rebutan sejumlah negeri.
Kejayaan ekonomi yang mereka raih menunjang kegemaran Raja-raja Siak
terhadap benda-benda seni bernilai tinggi. Tampak barang-barang kebesaran
kerajaan seperti mahkota berlapis emas bertatahkan intan permata dan singgasana
emas. Hampir di semua sudut istana, berisi perabotan kristal, barang-barang terbuat
dari emas ditingkah ratna mutu manikam, dan guci-guci indah dari Cina. Selain
gemar lukisan, sang raja memiliki alat musik modern dari Amerika Serikat,
Gramofon antik.
Kerajaan Siak Sri Indrapura pernah menjadi tonggak Kerajaan Melayu Islam
di kawasan Riau. Tapi kerajaan ini hanya satu dari puluhan kerajaan yang pernah
berdiri. Sejak dahulu kala, Siak Sri Indrapura terkenal dengan kekayaan alam dan
lokasi yang strategis. Tak heran, daerah ini menjadi satu tempat persinggahan
pertama gelombang migrasi ras Mongoloid Melayu sejak 2510 masehi. Para migran
inilah cikal bakal nenek moyang Bangsa Indonesia. mereka tersebar di semua
kawasan Nusantara, terpecah dalam ribuan suku yang membaur dalam berbagai
tradisi dan membentuk ciri khas etniknya masing-masing.

2. Peninggalan Kerajaan Melayu di Riau


Dari puluhan kerajaan di kawasan Riau, hanya dua yang kini masih tersisa
peninggalannya. Satu per satu, jejak-jejak kerajaan masa lampau, hilang sedikit demi
sedikit ditelan waktu. Sebagai amsal adalah Kerajaan Lingga di Pulau Penyengat.
Fosil istana kerajaan yang berdiri di awal abad XVIII ini semakin hari kian melapuk
dan terlantar. Padahal keindahan bangunan berarsitektur Melayu ini, tak dapat
disangkal lagi. Para pendiri kerajaan ini sudah memperhatikan aspek lingkungan di
sekitarnya. Misalnya dengan membangun fasilitas toilet modern. Namun pulau kecil
ini semakin sepi tanpa penghuni sejak ditinggalkan Ratu Pulau Penyengat, Engku
Putri Hamidah. Putri Hamidah menghancurkan beberapa bagian istana agar Belanda
urung menempatinya.
Kini, hanya Masjid Raya Lingga yang terawat. Penduduk keturunan penghuni
kerajaan memusatkan kegiatan spiritualnya. Balai-balai di sekitar masjid bisa
dipakai untuk pertemuan. Sejumlah peninggalan antik masih tersisa di masjid ini
sebagai penduduk yang berusia dua abad lebih dan Al Quran bertulis tangan buatan
1867. Penulis kitab suci itu bernama Abdurrahman Istambul, seorang ulama yang
khusus dikirim Sultan Lingga ke Mesir

12
Di negeri piramid itu, Abdurrahman memperoleh keahlian menulis Al Quran
bergaya Turki. Dengan gaya ini, interpretasi terhadap suatu ayat lebih luas karena
huruf yang kerap tidak diberi tanda baca.
Masyarakat Riau begitu mengkhawatirkan kehilangan jejak budaya ini.
Mereka berusaha menggelar berbagai perlombaan khas tradisi turun temurun seperti
lomba layar dan perahu naga. Kedua olahraga air itu biasa dilakukan para pelaut dan
nelayan zaman dahulu. Tapi putaran waktu membawa perubahan tak terelakkan pada
Tarian Zapin, tarian lokal yang dianggap sakral di masa silam. Tarian ini adalah
tarian kuno dari Timur Tengah yang disebarkan para pedagang pedagang Islam di
Selat Malaka. Dahulu, tarian ini hanya boleh dipertunjukkan pada satu jenis kelamin.
Para penari laki-laki menghibur para penontonnya yang kaum adam. Demikian pula
sebaliknya. Tarian ini hanya dipertunjukkan kepada raja dan kalangan bangsawan.
Dasar Tarian Zapin diubah oleh sang pewaris menyusul kian surutnya minat. Para
penari kini percampuran antara pria dan perempuan. Jumlah gerakan dibuat lebih
dinamis untuk menarik perhatian dan minat penonton, yang kini terdiri dari beragam
kalangan dan suku.
Masyarakat Riau sering diidentikan sebagai masyarakat Melayu. Ras Melayu
kini tersebar di berbagai wilayah, sedangkan budaya yang berkembang di Riau
begitu beragam. Masyarakat setempat tak menganggap asing kehadiran suatu
komunitas tertentu, yang unik, lestari berkembang dalam budayanya masing-masing.
Komunitas Cina di Semenanjung Senggarang, Pulau Bintan, adalah contoh dari
kebudayaan asing itu. Para pelaut yang terusir dari Bugis, Sulawesi Selatan itu
nyaris tak terusik selama dua abad lebih. Mereka membangun perkampungan yang
dibangun dari tiang-tiang kayu di atas permukaan air di sepanjang Pantai
Senggarang. Masyarakat ini lebih mudah mengembangkan perdagangan dengan
negara-negara tetangga seperti Singapura.
Hingga kini, bahasa Cina tetap dipakai dalam percakapan sehari-hari. Nenek
buyut orang Senggarang membangun sebuah kuil persembahyangan saat tiba di
Pulau Bintan. Pembangunan tempat beribadah itu sebagai simbol rasa syukur kepada
para dewa-dewa atas keselamatan kerja dalam pelariannya. Di kuil yang indah ini,
komunitas Senggarang memuja dewa-dewa dalam ritual tradisi Cina yang tetap
terpelihara. Bahkan turis Negeri Singa keturunan Cina, kerap memohon berkah dan
keberuntungan karena kelenteng itu dianggap bertuah.
Kuil ini terdiri atas tiga bagian yakni Kuil Sung Te Kong untuk Dewa Api,
Kuil Marko untuk Dewa Lautan, dan Kuil Tay Ti Kong untuk Dewa Bumi. Meski
sudah berusia lebih dari dua ratus tahun, kuil ini tetap utuh berkat pemeliharaan
masyarakat setempat. Di satu sisi kuil, dipelihara kura-kura sebagai perlambang
keampuhan permohonan rezeki kepada para dewa. Masyarakat Senggarang
meyakini jika melemparkan uang logam mengenai kepala kura-kura, mereka akan
memperoleh rezeki dalam waktu dekat.

13
Bangunan-bangunan kuno bersejarah itu seolah-olah melambangkan betapa
sang waktu terkadang berlaku tidak adil. Kawasan Pecinan di Senggarang, misalnya,
mengalun tenang dalam ikatan tradisinya. Namun generasi Kesultanan Siak Sri
Indrapura dan Kerajaan Lingga terpaksa harus bergulat merengkuh jejak tradisi yang
kian menghilang.
Ibukota Kerajaan Siak pun sempat beberapa kali pindah, diantaranya di
Buantan, Mempura, Senapelan, Mempura, dan terakhir di Kota Tinggi atau Siak Sri
Indrapura. Kompleks Istana Siak Indrapura memiliki luas sekitar 32.000 M², dan
terdiri dari empat istana yaitu Istana Siak, Istana Baroe, Istana Padjang, dan Istana
Lima. Bangunan Istana Siak memadukan gaya arsitektur Melayu, Timur Tengah,
dan Eropa. Luasnya sekitar 1.000 M².
Istana Siak Sri Indrapura menyimpan peninggalan Kerajaan Melayu Islam
terbesar di Riau. Dinding istana berlapiskan keramik yang didatangkan langsung
dari Prancis. Istana yang mendapat julukan Istana Matahari Timur ini terdiri dari dua
lantai. Lantai pertama memuat 6 ruang sidang, ruang tamu kehormatan, 2 ruang
tamu (untuk laki-laki dan perempuan), ruang sidang kerajaan yang juga berfungsi
sebagai ruang pesta. Di lantai atas, terdapat 9 ruangan yang khusus digunakan untuk
Sultan, serta satu buah ruang tamu kerajaan. Enam patung burung elang menghiasi
puncak istana. Patung-patung ini melambangkan keberanian pihak istana. Sementara
di bagian halaman, tersebar delapan buah senjata yang dahulu digunakan sebagai
pertahanan, yakni meriam. Di sisi kiri belakang istana, terdapat bangunan kecil yang
dulu difungsikan sebagai penjara sementara. Di istana ini, wisatawan dapat melihat
beragam koleksi benda-benda kerajaan, mulai dari kursi singgasana berlapis emas,
payung kerajaan, tumbol, brankas kerajaan, duplikat mahkota raja, hingga patung
perunggu Ratu Wilhelmina. Sebagian benda-benda peninggalan kerajaan juga
tersimpan di Museum Nasional Jakarta.
Perkembangan agama Islam di Riau, khususnya di Siak, menjadikan kawasan
ini sebagai salah satu pusat penyebaran dakwah Islam. Pada masa dahulu kerajaan
ini sangat diperhitungkan di pesisir timur Sumatera dan Semenanjung Malaka.
Bahkan pengaruh kerajaan ini sampai ke Sambas di Kalimantan Barat. Hingga
akhirnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Sultan Siak terakhir yaitu
Sultan Syarif Kasim II menyatakan kerajaannya bergabung dengan Republik
Indonesia.

14
3. Kesultanan di Riau
a. Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak Sri Indrapura antara
lain sebagai berikut.
1) Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu Kerajaan Siak masih
berada di bawah kekuasaan Malaka. Raja Abdullah adalah raja yang
ditunjuk oleh Sultan Johor untuk memimpin dan memerintah Kerajaan
Siak.
2) Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya,
Belanda berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian, Kerajaan Siak
terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan
Siak harus dijual ke VOC.
3) Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akrab juga disebut
Raja Kecik. Raja Kecik adalah anak dari Sultan Kerajaan Johor bergelar
Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong. Beliaulah yang mendirikan
Kerajaan Siak yang berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka lagi. Ia
meluaskan daerah kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
4) Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, ia berhasil
mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang memisahkan diri. Pada
tahun 1811, ia mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Tengku
Ibrahim.
5) Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa
pemerintahannya, Siak mengalami kemunduran dan semakin banyak
dipengaruhi politik penjajahan Hindia-Belanda.
6) Sultan Assayaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifudin (1889-1908). Pada
masa pemerintahannya, dibangunlah istana yang megah terletak di kota
Siak dan istana ini diberi nama Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun
pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Hasyim ini Siak
mengalami kemajuan terutama di bidang ekonomi. Setelah wafat, beliau
digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di
Batavia, yaitu Sultan Syarif Kasim II.
7) Sultan Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945). Bersamaan
dengan diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun
mengibarkan bendera merah putih di Istana Siak dan menyatakan
bergabung dengan Republik Indonesia.

b. Beberapa raja yang pernah memerintah Indragiri adalah sebagai berikut:


1) 1298-1337 : Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I.
2) 1337-1400 : Raja Iskandar alias Nara Singa I.
3) 1400-1473 : Raja Merlang II bergelar Sultan Jamaludin Inayatsya.
4) 1473-1532 : Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan
NaraSinga II bergelar Zikrullah Fil Alam.
5) 1532-1557 : Sultan Usulluddin Hasansyah.
6) 1557-1599 : Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah.
7) 1559-1658 : Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah.
8) 1658-1669 : Sultan Jamalluddin Suleimansyah.
9) 1669-1676 : Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah.

15
10) 1676-1687 : Sultan Usulluddin Ahmadsyah.
11) 1687-1700 : Sultan Abdul Jalilsyah.
12) 1700-1704 : Sultan Mansyursyah.
13) 1704-1707 : Sultan Modamadsyah.
14) 1707-1715 : Sultan Musafarsyah.
15) 1715-1735 : Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin.
16) 1735-1765 : Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah.
17) 1795-1784 : Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan.
18) 1784-1815 : Sultan Ibrahim.
19) 1815-1827 : Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu.
20) 1827-1838 : Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal.
21) 1838-1876 : Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah.
22) 1876 : Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah.
23) 1877-1883 : Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah.
24) 1887-1902 : Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah.
25) 1902-1912 : Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri.
26) 1912-1993 : Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah.

4. Sistem Perdagangan
Wilayah Kerajaan Siak terdiri dari wilayah daratan di pesisir timur Pulau
Sumatera yang membentang dari perbatasan dengan kerajaan Indragiri di selatan
terus ke utara meliputi bagian hilir sungai Kampar, sungai Rokan, Asahan, Deli
sampai Temiang yang berbatasan dengan Aceh. Wilayah daratan ini memiliki
potensi ekonomi yang besar karena pada masa itu sudah dijumpai barang tambang
berupa emas dan timah di Petapahan. Hutannya yang luas dan lebat menghasilkan
kayu untuk keperluan perumahan, kapal, dan lainnya. Demikian pula hasil hutan
lainnya seperti rotan, madu, lilin, gaharu, cula badak, gading gajah, amat banyak
dihasilkan.
a. Wilayah Siak sebagai urat nadi berhubungan dan Perdagangan timah
dengan Malaka
Diwilayah Kerajaan Siak mengalir tiga sungai besar yaitu sungai Siak,
sungai Kampar dan sungai Rokan, ditambah pula dengan sungai-sungai kecil
lainnya. Ke semua sungai tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi
kehidupan masyarakat karena merupakan urat nadi perhubungan, baik untuk
transportasi orang maupun mobilitas barang. Sungai tersebut bukan saja menjadi
jalur perhubungan dalam wilayah Kerajaan Siak saja, akan tetapi juga
merupakan jalan perhubungan orang dan komoditi dagang dari Minangkabau ke
bandar pelabuhan yang ada di Selat Malaka, demikian pula sebaliknya. Dengan
ramainya lalu lintas orang dan perdagangan melalui sungai sungai tersebut,
maka sudah jelas akan meningkatkan penghasilan kerajaan dan masyarakatnya.
Misalnya ada bea cukai, pancung alas, tapak lawang, sewa pelabuhan, bongkar
muat, pergudangan dan lainnya akan memberikan sumber pendapatan kerajaan
yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

16
Selanjutnya ramainya lalu lintas dan perdagangan menyebabkan
tumbuhnya kampung-kampung sehingga berakibat cepatnya pertumbuhan
penduduk. Perkara ini tentunya menjadi motivasi yang besar kepada para petani
untuk bekerja meningkatkan usaha penambangan rakyat seperti timah untuk
diperdagangkan. Menurut Hall bahwa gubernur Malaka segera mengirim utusan
untuk minta monopoli timah yang baru di dekat di Siak (D. G. E. Hall
1964:317). Pada masa itu, Bendahara Paduka Raja yang bertindak atas nama
Sultan Johor telah membuat perjanjian pada tarikh 6 April 1685 dengan
Sahbandar Francois Van Der Beeke dan Letnan Jan Roosdom yang bertindak
atas nama Gubernur Malaka Nicolasaas Schagen. Perjanjian tersebut berisikan
hal-hal sebagai berikut:
"Sementara perdagangan di Siak tidak begitu penting karena tidak semua
orang dapat ikut serta berdagang bahan pakaian seperti keadaan sebelumnya
dimana para pembesar kerajaan mengambil kesempatan sebagai raja masih
belum dewasa mengizinkan kompeni melayari sungai Siak dan tidak dibenarkan
kepada bangsa lain. Dengan ketentuan :
1) Tidak boleh membangun rumah atau loji di daratan dengan tidak
membayar pajak
2) Dapat membeli timah dan emas secara tunai
3) Dikecualikan masuknya kapal-kapal kecil yang tidak lagi perlu membayar
secara tahunan kepada Datuk Paduka Raja.
Sebaliknya, rakyat Johor bebas berlayar di sungai Siak membawa dan
menjual peralatan makanan seperti garam, ikan asin, telur asin, beras dan lain-
lain dari Jawa seperti yang lazim dijajakan dan kompeni tidak boleh
menghalanginya atau ikut menjual jenis barang-barang yang sama. Kapal-
kapal kompeni hanya boleh membawa barang-barang untuk perbekalannya saja
dan perahu-perahu penduduk dan negeri-negeri bawahan Johor boleh datang
berkunjung ke kapal Kompeni".
Demikianlah dibuat dan disetujui di Riau di tempat kedudukan raja pada 6
April 1685. Disetujui dan ditandatangani oleh Jan Pars (Netscher, 1865:54).
Setelah perjanjian dibuat, Kompeni tetap mencari keterangan tentang apa-apa
yang dapat diusahakannya dalam perdagangan di sungai Siak. Kompeni
mengadakan penyelidikan dan seksama mengenai perdagangan di sungai Siak
karena adanya laporan dari pedagang pembantu yang bernama Casper Teemmer
bahwa di Siak hanya 50 atau 60 pikul timah saja yang semula diperkirakan
sebanyak 300 atau 400 pikul timah. Akibat dari laporan tersebut menjadikan
pihak kompeni datang menyelidik keadaan di sungai Siak. Padahal sebenarnya
perjanjian tersebut sangat menguntungkan kepada Kompeni karena berlakunya
bebas bea cukai yang selama ini belum diperoleh Kompeni.
Kerajaan Johor tidak hanya meliputi Semenanjung Melayu akan tetapi
meliputi wilayah yang luas termasuk daerah Siak. Dengan terjaminnya
perniagaan di sepanjang sungai Siak bermakna Kompeni boleh menguasai
seluruh pedalaman Sumatera, sebagai realisasinya Kompeni mendirikan loji di
Petapahan yang terletak jauh ke hulu sungai Siak. Pada masa selanjutnya

17
kompeni menjumpai pula tambang-tambang timah baru di pantai timur
Sumatera yang dikuasai oleh rakyat yang tidak tunduk kepada penguasa
manapun. Dan untuk sampai ke tempat tambang timah itu harus melalui sungai
Siak. Dengan keadaan tersebut stapel berpandangan bahwa perjanjian tersebut
sangat menguntungkan dan memperkuat posisi Belanda di Siak pada akhir abad
ke-17 (stapel, 1936:23).
b. Hubungan perdagangan dengan kerajaan sekitar dan Pulau Bengkalis
Selanjutnya, Kerajaan Siak memiliki wilayah lautan dan pulau-pulau di
sepanjang Selat Malaka yang berbatasan dengan kerajaan Johor-Riau. Salah
satunya adalah Pulau Bengkalis yang merupakan bandar dagang yang ramai.
Daerah ini merupakan pintu perdagangan bagi Siak yang membuka hubungan
dagang Malaka, Singapura dan Johor-Riau. Selain itu, daerah ini juga
mempunyai komoditi dagang penting yaitu hasil laut dan yang paling terkenal
adalah ikan Terubuk dan telornya sehinggga perairan Bengkalis dikenal oleh
para pedagang Nusantara dan Internasional.
Potensi alam yang besar dengan berbagai komoditi yang laris di pasaran
memberikan keuntungan ekonomi yang besar tapi Kerajaan Siak. Posisi tersebut
dimanfaatkan oleh pihak kerajaan sehingga masyarakat Siak dapat
meningkatkan kesejahteraannya. Sebab dengan kemampuan dan yang besar,
kedaulatan kerajaan dapat dikembangkan. Tanpa ekonomi yang kuat tidak
mungkin pentadbiran kerajaan berjalan dan tidak mungkin pula kerajaan
dipelihara dan dikembangkan wilayah kekuasaannya. Lagi pula wilayah
kerajaan yang luas itu selalu memerlukan pengawasan dan untuk mengawasi
diperlukan pula angkatan perang yang besar. Ke semua itu memerlukan biaya
yang tidak sedikit.
Pada permulaan abad ke-18 Bengkalis yang menjadi bagian wilayah
Kerajaan Siak sangat berperan penting dan besar dalam perdagangan di Selat
Malaka. Letak Bengkalis di bagian pesisir timur Sumatera berhampiran dengan
Selat Malaka. Pulau Bengkalis mempunyai pelabuhan alam yang baik
mendukung lancarnya arus masuk dan keluar bagi kapal-kapal niaga, baik kapal
niaga Nusantara maupun kapal niaga asing. Kegiatan perdagangan di Bengkalis
menjadi ramai karena di situ dilakukan transaksi perdagangan yang
menawarkan komoditi dari berbagai daerah termasuk dari daerah Siak dan dari
daerah Minangkabau seperti gambir dan lada. Sebaliknya, keperluan masyarakat
Siak dan Minangkabau diperoleh dari pedagang-pedagang Arab misalnya
tekstil. Sedangkan garam dan beras diperoleh dari pedagang-pedagang Jawa dan
pedagang Nusantara lainnya. Semua barang niaga tersebut kemudian dibawa
oleh kapal-kapal dagang Melayu dari Semenanjung ke pelabuhan lain termasuk
ke wilayah Siak.
c. Komoditi hasil utama dan jenis barang larangan Sultan
Semakin ramai transaksi perdagangan semakin banyak keuntungan
diperoleh rakyat dan semakin otomatis Kerajaan Siak akan memperoleh
keuntungan. Komoditi perdagangan di wilayah Siak adalah :

18
1) Emas dan bijih timah yang merupakan hasil dari Petapahan.
2) Petapahan Ini menghasilkan emas antara 4-5 ribu (250-312 kg) setiap tahun.
3) Ikan Terubuk dan telor ikannya
Ikan Terubuk ini banyak terdapat di perairan Bengkalis dan bukit batu.
Jumlah ikan Terubuk pada zaman lampau sangat banyak sehingga perdagangan
ikan dan telur Terubuk sangat laku dan penangkapan ikan tersebut melibatkan
banyak nelayan yang berada di sekitar perairan itu.
1) Hasil hutan
Hasil hutan adalah produk hutan yang luas meliputi seluruh wilayah
kerajaan berupa kayu, rotan, madu, kapur barus, gading gajah dan cula
badak.
2) Hasil pertanian
Di beberapa daerah sepanjang aliran sungai Siak, rakyat menanam
berbagai jenis tanaman untuk perdagangan misalnya sirih, pinang dan
gambir. Ketiga jenis tanaman ini laku keras di pasaran luar yang
dipergunakan sebagai bahan baku pewarna.
Dalam Nota Omtrent Het Rijk Van Siak bahwa penghasilan utama
yang diterima Sultan adalah cukai ekspor-impor di sepanjang aliran sungai
di kerajaannya. Misalnya pajak atas ikan Terbuk, cukai pada orang asing
yang lewat. Barang larangan Raja adalah komoditi yang merupakan hak
milik Raja, rakyat yang mengumpulkan barang tersebut harus menyerahkan
kepada raja sebagai upeti. Misalnya, gading gajah, cula badak, geliga, cula
tupai, taring napoh, dan musang cabu. Kemudian memberikan imbalan atas
jasa masyarakat mengumpulkan barang-barang tersebut.
Pada masa pemerintahan Sultan Siak X Sultan Assaidis Syarif Kasim
I Abdul Jalil Syaifudin 1864-1889, salah satu keberhasilan beliau yang
menonjol adalah dalam upaya peningkatan perdagangan dalam dan luar
negeri seperti membuat perkebunan getah, merica dan lada, serta menggali
hasil hutan sebanyak mungkin dan meningkatkan perdagangan antar negara.
Di masa Sultan XI Sultan Syarif Kasim investasi ke luar negeri
digalakkan seperti membuat rumah sewa, pertokoan, di Singapore dan
Medan serta kerjasama investasi dengan luar negeri dikembangkan seperti
pembangunan hotel di Singapore, pembangunan kebun karet bersama
dengan Jepon di Balai Kaynag. Siak dan di Lubuk Ampo serta perkebunan
kelapa sawit di Okura. Di samping itu kerajaan juga membuat usaha kebun
sagu di daerah Merbau dan kebun durian di setiap wilayah kerajaan.

5. Cara transaksi barang larangan kepada Sultan di Kerajaan


a. Gading Gajah
Setiap gajah jantan yang ditemukan, salah satu gadingnya harus
diserahkan kepada Sultan sementara gading yang lainnya menjadi hak
penemunya. Apabila Sultan menghendaki gading yang kedua, maka Sultan

19
harus membayar kepada penemu sesuai dengan harga pasar. Harga gading
gajah tidak sama sesuai dengan besar atau kecilnya gading. Jika sepasang
gading memiliki bobot 1 pikul, maka dibayar dengan harga $ 250. Jika berat
gading tidak melebihi setengah pikul maka dibayar $ 150 dan bagi gading
yang berukuran kecil hanya dibayar $ 1 untuk perkati.
b. Cula badak
Cula badak yang ditemukan harus dipersembahkan kepada Sultan dan
penemunya akan dapat penggantinya. Cula badak merupakan obat yang sangat
manjur terutama untuk penyembuhan luka-luka dan bekas gigitan ular. Sebuah
cula badak bisa bernilai antara $ 22 - $ 60. Yang paling langka adalah cula
badak yang berwarna putih dimana harganya mencapai $ 100 perpotongnya.
c. Geliga
Geliga adalah sejenis batu permata yang halus yang terdapat dalam
tubuh beberapa ekor hewan seperti beruang, kera, ular, dan babi hutan. Geliga
yang ada di Siak termasuk jenis larangan Sultan dan ini banyak terdapat di
Mandau hulu. Biasanya suku Sakailah yang selalu mengumpulkan jenis
bebatuan ini. Sebagian diserahkan kepada Sultan sebagai pajak dan yang
lainnya diserahkan kepada Sultan sebagai serahan barang larangan. Harga
geliga bisa mencapai $ 40 - $ 600 sesuai dengan besar kecilnya. Dan diyakini
memiliki kekuatan gaib untuk melindungi dada dan tubuh badan.
d. Benda lain
Benda lain yang harus diserahkan kepada Sultan adalah cula tupai,
musang cabu yaitu sejenis musang berwarna putih.

6. Sistem Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya


Pada masa pemerintahan Kerajaan Siak, pusat pemerintahan selalu berubah.
Setiap Raja mengambil kebijakan masing-masing. Mulai awal masa pemerintahan
Raja Siak yang pertama sampai selanjutnya. Bisa kita lihat dari sejarah Kerajaan
Siak Ini yang mana pada masa awalnya Pusat pemerintahan berada di Buatan oleh
Raja Kerajaan Siak yang pertama yaitu Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil
Rachmadsyah (1723-1746). Setelah raja kecil mangkat beliau diganti oleh Putra
Bungsu, pada masa pemerintahan Sultan ini pusat pemerintahan ke Mapura.
Setelah Raja ini maka pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Senapelan.
Pada masa Kesultanan Senapelan, Kerajaan Siak semakin berkembang
karena pada masa Kesultanan ini beliau membuka jalur perdagangan dengan
dibukanya jalan jalan perhubungan dagangan yang menghubungkan Senapelan
dengan daerah-daerah penghasil bahan bahan dagangan. Jalan tersebut menuju ke
Selatan dan Barat, sehingga banyaklah para pedagang berdatangan ke kerajaan
Senapelan ini. Kemudian setelah Kesultanan Senapelan ini berkembang. Raja
Alamuddin mangkat dan digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan
Muhammad Ali Abdul Jalil Muzzamsyah (1780-1782) dan melanjutkan
pemerintahan dan meneruskan usaha ayahnya.

20
Dalam pemerintahan inilah Pekanbaru menjadi Bandar perdagangan yang
ramai. Setelah 2 tahun memerintah, Sultan pun mangkat. Karena Sultan ini tidak
punya putra, maka pemerintah melanjutkan oleh keturunan laki-laki dari Sultan
Ismail Abdul Jalil Jalaludin Syah yang bernama Sultan Yahya Abdul Jalil
Muzaffarsyah (1782-1784). Pada masa Kesultanan ini pusat pemerintahan kembali
dipindahkan lagi ke Mapura. Tidak lama memerintah Sultan pun mangkat dan
diganti oleh Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifudin putra dari Tengku
Embung Badariah dengan syaed Syarif Usman Syahbuddin, seorang Arab.
Semenjak ini gelar Sultan Siak mempergunakan gelar Sayed. Pada masa
Kesultanan ini (1784-1810) pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke Kota Tinggi
atau Kota Siak Sri Indrapura. Sultan menghidupkan kembali nama "Siak Sri
Indrapura" pada masa Kesultanan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin.
Kekuasaan Kerajaan Siak meluas karena banyak dilakukan perluasan daerah
sehingga Kerajaan Siak mempunyai 12 daerah jajahan. Kemudian setelah Sultan
Syarif mangkat pada tahun 1810, pemerintah dilanjutkan oleh Sultan Ibrahim
(1810-1815). Karena kesehatan Sultan Ibrahim terganggu, pemerintahan dijalankan
oleh Wali Sultan. Setelah Sultan mangkat pada tahun 1813 dan dimakamkan di
Qubbah Kota Tinggi dan dikenal dengan Marhum Pura Kecil. Pada waktu ini
diangkatlah wakil Sultan Syarif Muhammad Syahbuddin dengan menempatkan
wakil di Tebing Tinggi dan Merbau. Selama 2 tahun Tengku Syaed Muhammad
menjadi wali Sultan dan pada tahun 1815 dilantiklah Sultan Ismail sebagai Sultan
Siak menggantikan Sultan Ibrahim dan bergelar Sultan Assyaidis Syarif Ismail
Abdul Jalil Jalaludin (1815-1864).
Pada masa terjadinya penyerangan Inggris ke Bengkalis di bawah pimpinan
Wilson dan Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan kepada Belanda. Usaha
Belanda ini berhasil, dan kemudian Belanda membuat perjanjian dengan Kerajaan
Siak yang dikenal dengan Traktat Siak pada tanggal 1 Februari 1858. Akhirnya
Kerajaan Siak menyerahkan kekuasaan atas jajahannya kepada Belanda dan
akhirnya Sultan Ibrahim diturunkan oleh Belanda dari Kesultanan nya dan diganti
oleh Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifudin (1864-1889). Sultan Kasim mulai
membangun istana yang bahannya masih dari kayu dan dibangun pula Masjid
Syahpudin dan makam kota Tinggi yang bernama Qibatul Qosyimiah, dan juga
dibangun tempat peristirahatan di bali kajang. Sultan mangkat pada tahun 1889 dan
dimakamkan di kota Tinggi yang digelar dengan "Marhum Mahkota". Sultan
Kasim ini yang pertama membuat mahkota Kerajaan Siak bertahta intan dan
berlian. Kemudian dilanjutkan oleh Tengku Wahid Hasyim dengan gelar Sultan
Assyaidis Kasim Abdul Jalil Syaifudin Sri Paduka yang dipertuan Besar
Kesultanan Siak yang bersemayan di singgasana Kesultanan Siak.
Pada Kesultanan ini dibagi dalam 10 propinsi, yang masing-masing dikepalai
oleh seorang hakim polisi dan dibentuk pula komisaris jajahan. Pada masa Sultan
Hasyim, Kerajaan Siak mengalami kejayaan karena Sultan Hasyim ahli dalam
bidang perdagangan. Sultan ini mengusahakan perdagangan barang-barang ekspor
dan Sultan mendirikan toko-toko di Singapura. Di dalam negeri seperti Medan dan
Pekanbaru dan perfagna ini tidak saja di Selat Malaka tetapi sampai ke Eropa.

21
Usaha lainnya yaitu menaikkan taraf hidup rakyat dengan jalan membuka jalan
usaha Home Industri bagi kaum wanita.
Kemudian Sultan juga merekontruksi istana kerajaan menjadi megah dan
dapat kita saksikan sampai sekarang. Di samping Istana dibangun Balairung
dengan Arsiteknya Tengku Sida-sida Indra. Balairung ini merupakan ruang kerja
Sultan, aparatur pemerintah, tempat penobatan raja dan balai kerapatan tinggi.
Pemerintahan Sultan Hasyim singkat sekali. Beliau mangkat pada tahun 1908 di
Singapura.
Setelah itu Kesultanan diganti oleh wali karena Putra Sultan Hasyim belum
dewasa. Setelah Sultan Hasyim II dewasa maka pada tanggal 3 Maret 1915 Sultan
Hasyim II dinobatkan sebagai Sultan Siak ke XII bergelar Sultan Assyaidis Syarif
Kasim Abdul Jalil Syarifuddin. Sultan Kasim II melanjutkan pemerintahan dan
meneruskan usaha dalam bidang pemerintahan beliau mengadakan perubahan
struktur/sistem pemerintahan seperti tercantum dalam lembaran Negara Kesultanan
Siak. Dalam bidang pendidikan dan Agama, beliau mendirikan sekolah-sekolah :
a. H. I. S. pada tanggal 15 September 1915 untuk semua penduduk Kesultanan
Siak.
b. Mendirikan sekolah agama Islam :
1) Madrasah Taufiqiyah Al Hasyimiah.
2) Madrasah An Nisa (Khusus untuk wanita)
c. Mendirikan sekolah Latifah (Sekolah Kepandaian Wanita)
d. Mendirikan asrama belajar (untuk anak, orang besar kerajaan dari daerah)
e. Memberikan beasiswa untuk tamatan H. I. S. dan madrasah untuk melanjutkan
belajar ke luar daerah.
Dalam bidang keamanan beliau membuka pendidikan untuk para pemuda
guna "Volunteer" yang dijadikan pasukan kawal khusus 1939, disamping memiliki
pasar tersendiri yang ditempatkan di kantor-kantor dan Istana.

22
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kerajaan Aceh Darussalam berdiri menjelang keruntuhan Samudera Pasai.
Kerajaan Aceh ini merupakan kelanjutan dari samudra Pasai untuk membangkitkan dan
meraih kembali kegemilangan kebudayaan Aceh yang pernah dicapai sebelumnya.
Pada masa kerajaan Indra Purba yang masih bercorak Hindu Budha saat meminta
bantuan kepada kerajaan Islam Perlak untuk membantu mereka bertahan serta
menyerang kerajaan dengan tanda terima kasihnya, kerajaan Indra Purba menerima
ajaran Islam dari Kerajaan Perlak. Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dan
persahabatan dengan Cina dalam bidang persenjataan antileri. Letak wilayah kerajaan
Darussalam yang berada di ujung pulau Sumatra, yang pada masanya daerah pesisir
laut merupakan daerah-daerah padat dan ramai dengan aktivitas pelabuhan dengan
berdatangan para pedagang-pedagang dari mana Negara. Kedatangan para pedagang
tersebut, secara langsung meningkatkan perekonomian masyarakat di sekitar pelabuhan
tersebut. Kebudayaan-kebudayaan yang maju di kerajaan Darussalam pada masanya
seperti telah adanya bangun masjid di daerah Kota Banda Aceh, dengan nama
mesjidnya Mesjid Bait al-Rahman serta pada masa pemerintahan tersebut juga telah
banyak kemajuan yang dialami oleh kerajaan dengan adanya sebuah istana kerajaan
yang diberi nama "Keraton Dar al-dunya". Selain itu juga dibangun sebuah mesjid yang
diberi nama dengan Mesjid Bait al-Rahim. Sultan juga membina sebuah keraton/istana
kerajaan sendiri, yaitu "Keraton Kuta Alam" yang dikelilingi oleh sebuah tebing tinggi
yang menjadi benteng pertahanan dari ancaman pihak luar kerajaan, yaitu "Teunambak
Pidie". Daerah-daerah yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam, dari massa awalnya hingga terutama berkat andil Sultan Iskandar Muda,
mencakup antara lain hampir seluruh wilayah Aceh, termasuk Tamiang, Pedir,
Meureudu, Samalanga, Peusangan, Lhokseumawe, Kuala Pase, serta Jambu Aye. Selain
itu, Kesultanan Aceh Darussalam juga berhasil menaklukkan seluruh negeri di sekitar
Selat Malaka termasuk Johor dan Malaka. Kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam
diawali dengan Belanda menyusupkan seorang pakar budaya dan tokoh pendidikan
Belanda, Dr. Snouck Hugronje, ke dalam masyarakat adat Aceh. Snouck Hugronje
menyarankan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar mengubah fokus
serangan kepada kaum ulama karena merupakan tulang punggung perlawanan rakyat
Aceh. Tahun 1904, akhirnya hampir seluruh wilayah Aceh berhasil dikuasai Belanda.
Riau merupakan gabungan dari Kerajaan Melayu yang pernah ada, yaitu
Kerajaan Indragiri, Kerajaan Siak, Kerajaan Pelalawan, Kerajaan Riau-Lingga, dan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Pengaruh Islam yang sampai ke daerah-daerah
merupakan akibat perkembangan kerajaan Islam Samudera Pasai dan Malaka. Dari
puluhan kerajaan di kawasan Riau, hanya dua yang kini masih tersisa peninggalannya.
Pulau kecil ini semakin sepi tanpa penghuni sejak ditinggalkan Ratu Pulau Penyengat,
Engku Putri Hamidah. Putri Hamidah menghancurkan beberapa bagian istana agar
Belanda urung menempatinya. Wilayah Kerajaan Siak terdiri dari wilayah daratan di
pesisir timur Pulau Sumatera yang membentang dari perbatasan dengan kerajaan
Indragiri di selatan terus ke utara meliputi bagian hilir sungai Kampar, sungai Rokan,
Asahan, Deli sampai Temiang yang berbatasan dengan Aceh. Wilayah daratan ini

23
memiliki potensi ekonomi yang besar karena pada masa itu sudah dijumpai barang
tambang berupa emas dan timah di Petapahan. Hutannya yang luas dan lebat
menghasilkan kayu untuk keperluan perumahan, kapal, dan lainnya. Demikian pula
hasil hutan lainnya seperti rotan, madu, lilin, gaharu, cula badak, gading gajah, amat
banyak dihasilkan. Semakin ramai transaksi perdagangan semakin banyak keuntungan
diperoleh rakyat dan semakin otomatis Kerajaan Siak akan memperoleh keuntungan.
Pada masa pemerintahan Kerajaan Siak, pusat pemerintahan selalu berubah. Setiap
Raja mengambil kebijakan masing-masing. Mulai awal masa pemerintahan Raja Siak
yang pertama sampai selanjutnya. Pada masa terjadinya penyerangan Inggris ke
Bengkalis di bawah pimpinan Wilson dan Sultan Ismail terpaksa meminta bantuan
kepada Belanda. Usaha Belanda ini berhasil, dan kemudian Belanda membuat
perjanjian dengan Kerajaan Siak yang dikenal dengan Traktat Siak pada tanggal 1
Februari 1858. Akhirnya Kerajaan Siak menyerahkan kekuasaan atas jajahannya
kepada Belanda dan akhirnya Sultan Ibrahim diturunkan oleh Belanda dari Kesultanan
nya dan diganti oleh Syarif Kasim Abdul Jalil Syarifudin.

24
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Zainal Abidin (ZA'BA). 1960. Persuratan Melayu 3 Ed. AI-Edrus.
Qalam: Singapura. Almudra, Mahyudin. 2008. Redefinisi Melayu Upaya Menjebatani
Perbedaan Konsep Kemelayuan
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Historis Pemikiran Islam di
Indonesia. Bandung: Mizan
Bangsa Serumpun, Yogyakarta: Balai Pengkajian dan Pengembangan Budaya
Melayu
Hashim, Muhammad Yussof. 1980. Islam dalam Sejarah Perundangan Melaka
di Abad ke-15/16 Masihi Islam di Malaysia. Persatuan Sejarah Malaysia: Kuala
Lumpur.
Hasjimy, A.. 1981. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonsia.
Jakarta: PT.Alma'arif. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Saputri, atika. 2014. Melayu dan Asal-usul Melayu dalam
http://atikasaputri.blogspot.com/2014/04/melayu-dan-asal-usul-melayu.html?m=1
diakses pada 06 September 2021

25

Anda mungkin juga menyukai