Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

Kelompok : 4

1. Dewi Ratnasari Oktaviani

2. Isnaina Syafarela

3. Iqlilur Rohman Al Faqih

4. Moh. Toriq Alauddin

SMA NEGERI 1 SANGKAPURA


TAHUN PELAJARAN 2018 / 2019
i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini. Kami juga berterimakasih guru sejarah kami. Tanpa bimbingan
beliau, kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Sangkapura, Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

D. Metodologi Data ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Kerajaan Gowa Tallo ....................................................................... 3

1. Sejarah Awal.............................................................................. 3

2. Kerajaan Gowa Tallo ................................................................. 4

3. Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ............................................ 5

4. Perkembangan Ekonomi ............................................................ 9

5. Perkembangan Pemerintah/Politik ............................................ 10

a. Raja-raja............................................................................... 11

b. Wilayah Kekuasaan ............................................................. 13

c. Hubungan dengan Luar Negeri............................................ 14

6. Perkembangan Agama ............................................................... 15

7. Perkembangan Sosial dan Budaya ............................................. 15

B. Kerajaan Wajo ................................................................................. 16

1. Sejarah Awal.............................................................................. 16

2. Kerajaan Wajo ........................................................................... 17

3. Peninggalan Kerajaan Wajo ...................................................... 20

4. Raja-Raja ................................................................................... 23
ii
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................... 26

B. Saran ................................................................................................. 26

Daftar Pustaka ...................................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak sekali cara
penyebaran agama islam sehingga dapat diterma dengan mudahnya oleh masyarakat.
Dalam hal ini, dahulu islam berkembang melalui kerajaan– kerajaan di Nusantara.
Kerajaan Islam berkembang pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para
pedangang maupun melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di
nusantara banyak didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua di kawasan
timur nusantara ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri pada abad ke-13 hingga
abad ke-17. Kerajaan Ternate pada umumnya disebut kesultanan Ternate memiliki
kekuatan besar dibidang perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-rempah dan
daerah ini mengalami eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab tersebut
Kerajaan Ternate memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan di nusantara dan
padat penduduk. Kerajaan Islam yang berkedudukan di Maluku setelah Kerajaan
Ternate ialah Kerajaan Tidore. Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1108 M dibawah
kekuasaan Kolonel Belanda. Belanda berusaha untuk memonopoli bumi Maluku
karena memiliki kekayaan rempah-rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore
mengalami masa kejayaan pada era Sultan Nuku dengan keadaan system
pemerintahan yang telah berjalan dengan baik. Dalam menghadapi penjajahan
Kolonial Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari Kerjaan Makassar yang
berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan untuk berjuang melawan
Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi persinggahan para pedagang karena
lokasinya strategis dengan jalur perdagangan nusantara. Meskipun memiliki kekuatan
yang besar dibawah kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda mampu
menumbangkan kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan
berdiplomasi dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan
pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan penting dalam
persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta politik pemerintahan di
nusantara.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo?


2. Apa itu Kerajaan Gowa Tallo?
3. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo?
4. Bagaimana perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa Tallo?
5. Bagaimana perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo?
6. Bagaimana perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo?
7. Bagaimana perkembangan sosial dan budaya Kerajaan Gowa Tallo?
8. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Wajo?
9. Apa itu Kerajaan Wajo?
10. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo?
11. Siapa saja raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo


2. Mengetahui Kerajaan Gowa Tallo
3. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
4. Mengetahui perkembangan politik Kerajaan Gowa Tallo
5. Mengetahui perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo
6. Mengetahui perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo
7. Mengetahui perkembangan sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
8. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Wajo
9. Mengetahui Kerajaan Wajo
10. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo
11. Mengetahui raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Wajo

D. Metodologi data

Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini yaitu metode

kepustakaan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Gowa-Tallo

1. Sejarah Awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal
dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat
kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata,
Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan,
komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari
pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi
tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya
Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya Gambar di
bawah merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat
beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng.

Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo

Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai


dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo
membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan
yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.

3
2. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil,
seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang
kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal
dengan nama Kerajaan Makasar.
Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin mantap dengan adanya
para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul
Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib
Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara
dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang mengislamkan
Raja Luwuw yaitu Datu’La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan
Muhammad pada 15-16 Ramadhan 103H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul
oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I
Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat
sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan
Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya
penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam
Islam secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit
Sultan Alauddin pada tanggal 9 Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan agama
masyarakat.
Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya
telah memperoleh gelar Sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat
pengislaman di seluruh Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. Seruan
ini juga berdasarkan perjanjian Gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa
siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan
jalan itu kepada raja—raja yang lain.
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat
sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah1 dari Syaikh Yusuf al-Makassari
juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke 17.
Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan

4
Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan
dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti2 di kesultanan.3
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan
Hassanudin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik
dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VPC tidak menaruh perhatian
terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang
perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal
Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J.P. Coen di dekat perairan
Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar
tersebut itulah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai
pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada
1634 VOC memblokir kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Perisriwa peperangan dari
waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta
perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokkan kapal
orang Bugis yang bermuatan kayu cendana dan muatannya dijual kepada orang
Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya
pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.
3. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo

Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo di antaranya adalah Benteng


Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), Batu Pallantikang, Masjid Katangka, Kompleks
Makam Katangka, serta Makam Syekh Yusuf.
a. Benteng Fort Rotterdam

5
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng peninggalan masa
kejayaan kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar.
Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tumapa'risi' Kallonna pada tahun 1545. Karena awalnya berbahan tanah liat,
Raja Gowa ke-14, yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng
dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan Karst di Maros. Orang
Makassar menyebut benteng Fort Rotterdam dengan sebutan benteng panyyua atau
benteng penyu. Pasalnya, jika dilihat dari atas, benteng ini memiliki bentuk seperti
penyu. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan yang
berjaya di laut dan daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam. Pada masa
silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan katak kerajaan. selain itu, ia
juga berfungsi sebagai pusat pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dari serangan laut. Pada
masa kepemimpinan Cornelis Speelman atas distrik Sulawesi benteng ini pernah
beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di
Indonesia Timur. Selain itu, nama benteng yang sebetulnya adalah benteng Ujung
Pandang, olehnya kemudian diubah pula menjadi Benteng Rotterdam untuk
mengenang tanah kelahirannya di kota Rotterdam, Belanda.
b. Batu Pallantikang

6
Gambar 1.3 Batu Pallantikang

Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit
batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena
dianggap sebagai batu dari khayangan. Karena anggapan tersebut, sesuai namanya
batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau penguasa
baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu atau berada di tempat aslinya,
yakni di tenggara kompleks pemakaman Tamalate.

c. Masjid Katangka

7
Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi

Masjid Al-Hilal lebih dikenal dengan mana Katangka mengambil nama tempat
atau desa di mana masjid berdiri. Ketika naskah ini dibuat nama jalan di mana masjid
berada adalah Jl. Syech Yusuf, sebuah cabang dari Jalan Raya Gowa berbelok ke
timur pada Km 8,5. Dari persimpangan jalan tersebut, kurang lebih 500M terdapat
makam Syech Yusuf ulama Sufi dari Makassar termasyur yang namanya untuk jalan
tersebut. Masjid katangka terletak beberapa ratus meter di sebelah timur makam di sisi
selatan jalan yang menjadi batas administrasi antara kota Makassar dengan Kabupaten
Gowa. Tahun didirikan masjid Katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan
beberapa sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak sesuai dengan
jaman dan tempat pembangunannya. Ada yang berpendapat bahwa Masjid Katangka
didirikan pada abad ke XVIII. Konon masjid dibangun oleh seorang ulama Sumatera
tepatnya dari Minang kemudian oleh masyarakat diberi gelar Daeng Bandang. Pada
awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan pada 1582, raja Gowa XOO Tunijallo
membangun masjid di Mangallekana dekat benteng Somba Opu. Namun seperti telah
diuraikan di depan pusat pemerintahan Sumba Opu diratakan dengan tanah oleh
Belanda. Masjid telah dipugar beberapa kali, yang pertama memperbaiki konstruksi
atap, pintu dan jendela, yang sudah cukup rusak. Masjid dikelilingi oleh makam raja
dari keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk cukup khas dan unik
dengan model makam raja-raja Bugis-Makassar.

d. Kompleks Makam Katangka

Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan


8
Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman dari
mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk makam Sultan
Hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah karena diatapi dengan
kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya ditandai
dengan batu nisan biasa.
e. Makam Syekh Yusuf

Gambar 1.7 Makam Syekh Yusuf


Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman kolonial Belanda.
Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan rakyat Gowa Tallo terhadap penjajah,
membuat Belanda mengasingkannya ke Srilanka, kemudian ke Cape Town, Afrika
Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan ke Makassar dan
dimakamkan di sana, tepatnya di dataran rendah Lakiung sebelah barat Masjid
Katangka.

4. Perkembangan Ekonomi

Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan Gowa, Tallo, Wajo,
Soppeng, dan Luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-
masing mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi besar
karena letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdangan sehingga sering menjadi
tempat persinggahan pedagang dari Ternate dan Tidore yang akan berdagang ke
Malaka atau Jawa. Kerajaan Gowa Tallo berkembang pesat dan menjadi penghubung
antara Malaka, Jawa dan Maluku.
Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena
letaknya berada di tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka.
9
Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511),
sedangkan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari
Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar
membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah Makassar sendiri ke Maluku yang
ditukarkan dengan rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan
pulangnya membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar dari Cina,
serta berlian dari Banjar.
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito4 dan untuk mencukupi
kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah
timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas
jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar,
Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan
demikian jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara
kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui
sebelah selatan dapat dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak
pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar.
Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang
Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini
menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menimbulkan beberapa kali
peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber
rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar
diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah
hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan
sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.
Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena alasan-alasan berikut
1. Letaknya strategis
2. Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang pindah ke
Makasar
3. Banyak disinggahi para pedagang asing

10
5. Perkembangan Pemerintah/ Politik
Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar. Misalnya Gowa, Tallo,
Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng. Namun, hanya Gowa dan Tallo yang
menggabungkan diri menjadi satu kekuatan dengan nama Makassar. Raja Makassar
yang pertama masuk Islam adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Alaudin
(1593– 1639). Penguasa selanjutnya adalah Malekul Said (1639–1653), berhasil
membuat Kerajaan Makassar menjadi kerajaan maritim. Puncak kegemilangan
Kerajaan Makassar terjadi saat Sultan Hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di
tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan jaringan
perdagangan yang kuat dan pengaruh yang luas.
Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang antimonopoli, sehingga ketika
Belanda datang ingin menguasai jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia
menentang dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan di
Indonesia bagian timur jelas tidak bisa diterima oleh sultan. Konflik terjadi dan
Hasanuddin berhasil menghalau pasukan VOC dari kawasan Maluku. Namun, upaya
Belanda untuk menguasai jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu
tidak pernah surut. Dengan siasat adu domba, Belanda berhasil memanfaatkan Aru
Palaka (Raja Bone) untuk memasukkan pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk
dalam kekuasaan Kerajaan Makassar. Akhirnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin
harus menandatangani Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara
lain VOC diperbolehkan memonopoli perdagangan dengan mendirikan benteng,
Makassar melepaskan wilayah-wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di
Bone.
Kehidupan politik Kerajaan Gowa Tallo dapat dilihat dari raja-raja yang
memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri.

a. Raja yang memerintah


Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar yang terletak di
Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan ini letaknya berdekatan. Beberapa raja atau
Sultan yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Gowa dan Tallo adalah sebagai
berikut :
1) Karaeng Matoaya
Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I Malingkang Daeng
Manyonri' Karaeng Katangka atau Sultan Abdullah, adalah seorang raja Kerajaan
11
Tallo (memerintah 1593-1623) sekaligus perdana menteri Kesultanan Makassar, yang
sangat berpengaruh pada abad ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja
Kerajaan Gowa, menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan yang erat antara
Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin kemudian berhasil meningkatkan kejayaan
Kesultanan Makassar sehingga menjadi kekuatan militer dan perdagangan yang
disegani di wilayah timur Nusantara. Karaeng Matoaya merupakan raja Tallo yang
merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan Abdullah
dengan julukan Awalul Islam.
2) Sultan Alaudin
Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang memiliki nama asli Daeng
Manrabia.5 Nama lengkapnya yaitu I Mangakrangi Daeng Manrakbia. Raja Gowa dan
Tallo disebut penguasa dwitunggal.
I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi Raja Gowa XIV ketika baru
berusia tujuh tahun.Menurut hukum adat Gowa-Tallo bahwa selama raja belum
dewasa, maka Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang harus menjalankan
pemerintahan.Kebetulan yang menjadi mangkubumi waktu itu ialah pamannya sendiri
bernama I Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka, (kemudian jadi Raja
Tallo).
Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan jihad.Selain mengajarkan
bagaimana melaksanakan Ibadah, juga mengajarkan bagaimana berjihad di jalan
Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Gowa. Kedatangannya pertama-
tama hanya ingin melakukan perdagangan, tapi selanjutnya ia mengembangkan misi
lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha untuk monopoli
perdagangan rempah-rempah dari Maluku.

3) Sultan Muhammad Said


Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan Alauddin. Ia
meneruskan perjuangan ayahnya.6 Kerajaan Gowa bertambah maju dan
disegani dunia luar pada masa pemerintahan raja Gowa ke XV I Manuntungi
Daeng Mattola yang bergelar Sultan Muhammad Said atau Malikussaid, dari
tahun 1639-1653. Raja ini didampingi oleh mangkubuminya yang terkenal

12
yang bernama Karaeng Pattingaloang. Pada masa inilah, kerajaan Gowa
mencapai puncak kejayaan, mempunyai wilayah yang luas dan besar
pengaruhnya.
4) Sultan Hassanudin

Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin

Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I Mallambosi yang dikenal


dengan nama Sultan Hassanudin. Ia lahir di Makassar, 12 Januari 1631.
Setelah Sultan Hassanudin naik tahta, ia menggabungkan beberapa
kerajaan kecil Indonesia bagian timur untuk bersama-sama melawan Belanda.
Lalu di tahun 1660 meletuslah perang antara Gowa dan Belanda yang diakhiri
dengan perdamaian. Karena di dalam perdamaian tersebut banyak merugikan
Gowa maka di tahun 1666 Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan
perlawanan terhadap Belanda. Dalam peperangan ini Belanda dibantu oleh
kerajaan-kerajaan yang dapat dipengaruhi. Perlawanan terus berlangsung
akhirnya pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan perjanjian Bongaya 7 yang
mengakhiri perang tersebut.
Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil memelihara perdamaian
dalam waktu yang lama, dan Sultan Haanuddin tertekan oeh isis perjanjian
itu. Pada bulan April 1667 Sultan Hasanuddin kembali melancarkan serangan
terhadap Belanda.
Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan Gowa yaitu
benteng Sobaupo jatuh ke tangan Belanda. Dengan jatuhnya benteng tersebut
ke tangan Belanda, maka kekuatan Sultan Hasanuddin melemah. Beberapa
hari kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan
ia tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin

13
meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670 karena keberaniannya, Belanda
menjulukinya “Ayam Jantan dari Timur”.
5) I Mappasomba
Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika ia menjadi raja, ia
masih berusia 13 tahun.8 I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Katangka
bergelar Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan Gowa. Sebagai putra
mahkota Kerajaan Gowa, I Mappa- nama panggilan kecilnya di kerajaan
ditugasi sebagai kepala staf gabungan militer sekaligus kepala koordinasi
pemerintahan Kerajaan Gowa. Sering menggantikan ayahnya untuk
menjalankan tugas-tugas kenegaraan, I Mappa tergolong gigih menentang
kompeni.9
b. Wilayah Kekuasaan

Gambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa Tallo


Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu Kerajaan
terbesar yang pernah ada di Nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan
Makassar pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar
kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula, Dobo,Buru-
Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir, Talaud, Pegu,
Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa
Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur
sebelah Barat bahkan sampai Marege-Australia Utara.

14
Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4)
dan (5) Kitab Negarakertagama karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah ke-
VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan Majapahit akibat
adanya kekacauan politik serta perang saudara di dalam kerajaan membuat
wilayah-wilayah jajahannya terbengkalai. Banyak wilayah jajahan Majapahit
melepaskan diri sepenuhnya dari Majapahit dan menjadi Kerajaan tersendiri.
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di Sulawesi.
Kerajaan Makassar merupakan gabungan dari kerajaan Gowa dan Kerajaan
Tallo. Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528,
sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan
kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada
dalam kekuasaan Kerajaan Siang. Menurut catatan Portugis dari Abad XVI,
Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui
Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari
mereka. (Andaya, 2004). Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang
menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat
dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan
itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada
masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan
Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati
dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak Tumapa'risi Kallona
memperluas daerah kerajaannya dengan menaklukkan beberapa kampung
atau kerajaan kecil. Tumapa'risi Kallonna memerintahkan pula membangun
beberapa benteng di pesisir pantai yang merupakan benteng pertahanan
memanjang dari utara ke selatan. Pada masa itu Makassar mempunyai belasan
benteng pertahanan, dan benteng Somba Opu merupakan yang paling besar.
Bahkan Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba
Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.
c. Hubungan dengan luar negeri
Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, meskipun kerajaan Gowa-
Tallo ini bercorak Islam, akan tetapi diberitakan adanya hubungan baik
dengan bangsa Portugis yang datang dengan membawa agama Kristen-
Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi bantuan dan menanam sahah dalam

15
perdagangan orang-orang Portugis (Francisco Viera yang menjadi utusan
kerajaan Gowa ke Batavia dan Banten).
Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis dalam bidang
perdagangan ini mungkin disebabkan adanya ancaman dari VOC Belanda
yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku.
6. Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo adalah agama islam.
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat
sebaik-baiknya bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari kaum Syeikh Yusuf
al-Makasari juga tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada
pertengahan abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan
dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke
Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
7. Perkembangan sosial dan Budaya
Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai bangsa pelaut
yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang mengagumkan adalah perahu
pinisi. Dengan menggunakan perahu itu, mereka mengarungi lautan lepas dan
membangun jaringan pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan
antarkawasan. Para penguasa Gowa sudah sejak lama menerapkan prinsip
mare liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat dengan
dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut masyarakat Makassar biasa
disebut pangadakkang bersumber dari ajaran agama Islam. Bahkan hingga
kini, masyarakat Makassar terkenal dengan penghormatannya yang kuat pada
norma-norma adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan
bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut to
maradeka dan hamba sahaya yang disebut ata.10
Walaupun masyarakat Makassar memiliki kebebasan untuk berusaha
dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka
sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma
kehidupan masyarakat Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam
yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat Makassar sangat percaya
terhadap norma-norma tersebut.

16
Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal
pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan
bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”,
sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan
bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar banyak
menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran.
Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang
Makassar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
8. Kerajaan Wajo
1. Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya
memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo
menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas
dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai
daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau
Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya
yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal
sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani
yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang
berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya
hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini
cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya,
yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan
berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya
Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu
La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung
Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We
Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung
Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi
IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La
Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng

17
(kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan
membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai
wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla.
Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah
kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri
Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian
meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian
Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali
diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya
bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La
Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi
Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng
Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La
Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
2. Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo terdapat
pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang
menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yag didirikan oleh tiga
orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari
keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga
bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala
keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.
Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk
dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu
raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari
seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau
utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan
tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30 arung-ma’bicara (raja hakim), dan
tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah
yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas daerah
kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah
bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan
Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582. Wajo pernah ditaklukan
18
Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada
1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa Dato’ ri
Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap
raja-rajaWajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu
di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang
menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya
ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama
1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan
dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam
peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah
Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada
peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan
Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka
Kerajaan Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan
Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari
Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak
itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670
Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah
ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-
matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang
penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.11
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa
yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi
Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa
yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada
pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota
persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai
saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan
La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi
Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan
dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas

19
Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di
sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena
persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi
Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan
Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk
menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan
gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan
Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak
masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial
ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu
panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan
membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30,
ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk
koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan
penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi
Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan
posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro
Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk
jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor),
dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai
pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone
membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat
itu Belanda melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua kerajaan di
Sulawesi Selatan tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni
juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda
perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai
pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara
Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah
Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi
kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak
berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah
1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan,
20
kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya
menjadi kabupaten.

3. Peninggalan Kerajaan Wajo


a. Masjid Kuno Tosora

Gambar 1.8 Masjid Tosora


Masa keemasan dan kemegahan Kerajaan Wajo masih terasa melalui
peninggalannya yang tersisa meskipun beberapa di antaranya dalam kondisi
tidak terawat. Salah satu, bukti dan peninggalan sejarah yang tersisa yakni
Masjid Kuno di Tosora. Tempat ibadah umat Islam ini yang pertama di
bangun di Wajo. Ada yang menyebutnya Masjid Jami Tosora, adapula yang
menyebutnya dengan nama Masjid Kuno Tosora.
Sisa peradaban masa lampau Kerajaan Wajo ini terletak di Desa
Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini pernah menjadi pusat peradaban di
Kabupaten Wajo, karena merupakan pusat Kerajaan Wajo pada zaman
dahulu. Bahkan, Tosora pernah menjadi ibu kota Kabupaten Wajo sebelum
dipindahkan ke Sengkang. Berbagai peninggalan sejarah berupa bangunan
maupun makam raja-raja Wajo bisa ditemukan di wilayah ini.

21
b. Makam-makam kuno

Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora


Menurut informasi dari masyarakat mengatakan bahwa di Desa Tosora
terdapat banyak sekali makam-makam kuno yang tersebar di mana-mana,
baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun yang
tersebar secara acak. Sebaran makam-makam kuno seperti tersebut di atas,
penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung ke Tosora pada
tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah ketika tahun 2002 penulis
berkunjung lagi ke daerah tersebut, yaitu semakin bertambah dan padatnya
pemukiman penduduk, sehingga sebahagian besar makam-makam kuno
tersebut sudah hilang, bahkan bagian-bagian bangunan jirat dan nisannya
dipergunakan penduduk sebagai bahan membuat jalan, jembatan dan
bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat menyedihkan, namun kita tidak bisa
berbuat banyak untuk mengatasi hal yang demikian.Untung bahwa makam-
makam kuno yang terkonsentrasi berupa suatu kompleks, sebagian besar
sudah dilindungi oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala,
walaupun kelihatannya tidak terawat dengan baik.
Peninggalan makam-makam kuno yang dideskripsikan dalam tulisan
ini, terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan sesuai dengan
nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan di dalamnya, yaitu :
 Kompleks Makam Arung Benteng Pola
Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi barat Mesjid
Tua Tosora (Lihat Foto 3).Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,6
m dpl. Terdapat 12 makam yang terlihat.Sebagian makam tersebut sudah
tidak memiliki jirat. Bentuk nisanyang terlihat terdiri dari meriam,
mahkotadan pipih. Menurut ceritera masyarakat bahwa makam dengan dua

22
nisan meriam, adalah makam dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan
gelar Matinro Eri Masigina.
Adapun ukuran nisan yaitu :
 Nisan tipe meriam
 Tinggi : 74 cm
 Diameter : 35 cm
 Nisan tipe pipih
 Tinggi : 66 cm
 Lebar : 35,5 cm
 Tebal : 9,5 cm
 Nisan tipe mahkota
 Tinggi : 33 cm
 Diameter : 60 cm
 Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng

Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks

Makam La Tenrilai To Sengngeng


Kompleks makam La Tenrilai To Sengeng berada tidak jauh dari
mesjid tua Tosora. Letaknya berada di sisi utara benteng.Kompleks makam
ini berada pada ketinggian 30,7 m dpl.Jumlah makam yang terlihat di
kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam.Bentuk jirat sebagian besar
makam tersebut sangat sederhana.Hal tersebut terlihat karena sebagian besar
jirat makam ini terbuat dari papan batu yang disusun persegi.Bahkan ada juga
makam yang tidak memiliki jirat.Makam tersebut hanya ditandai dengan
nisan yang ditancapkan.
Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat beberapa bentuk nisan
yang terlihat, yaitu : nisan dari meriam yang konon menurut penduduk

23
setempat mengatakan sebagai makam dari La Tenrilai Tosengngeng, nisan
menhir baik yang masif maupun yang sudah ditata dengan ukuran antara 0,43
m – 1,64 m, nisan setengah lingkaran (tipe Wajo) dengan hiasan berupa jari-
jari berjumlah 4, 8, 16, 22, dan nisan tipe pipih (berbentuk perisai, ujung
tombak). Bahan batu yang digunakan adalah batu sedimen.
 Kompleks Makam La Maungkace To U’damang
Kompleks makam La Maungkace To U’ damang berada di luar
benteng sisi utara.Makam terletak diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di
kompleks ini sebanyak 83 makam.Sebagian besar jirat di kompleks makam
ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga tidak jirat). Makam tersebut
hanya ditandai dengan nisan. Bentuk nisan yang terlihat adalah bentuk menhir
yang pada umumnya masih masif, dengan tinggi antara 0,45 m – 2,12 m,
nisan silindrik yang paling dominan, dan nisan setengah bulat (tipe Wajo).
Menurut masyarakat setempat mengatakan bahwa salah satu tokoh yang
dimakamkan di dalamnya adalah La Maungkace To U’damang yang
menggunakan nisan menhir yang paling tinggi.
4. Raja-Raja yang Memerintah

Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo

Zaman sebelum islam

1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)


2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)
3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)
4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)
5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)
6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)
7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-1487)
8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)
9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-1521)
10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)
11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)
12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)
13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)
14) La Mappapuli To Appamadeng Ar

24
15) ung Matoa Wajo (1547-1564)
16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)
17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)

Zaman islam

1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa


Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)
2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)
3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)
4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)
5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)
6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)
7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)
8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-
1643)
9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri
Panggaranna (1643-1648)
10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo
(1648-1651)
11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna
(1651-1658)
12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale’kona
(1658-1670)
13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)
14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna
(1679-1699)
15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)
16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung
Matoa Wajo (1702-1703)
17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)
18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)
19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)
20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung
Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (1736-1754)
21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)
25
22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)
23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)
24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-
1770)
25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng Arung Matoa
Wajo (1795-1817)
26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo
(1821-1825)
27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)
28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)
29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo
Arung Matoa Wajo (1859-1885)
30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)
31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)

Zaman pengaruh belanda

1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-1916)


2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung
Matoa Wajo (1926-1933)
3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa
terakhir

BAB III

PENUTUP
26
A. Kesimpulan
Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya kerajaan-
kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu.
Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran
Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke
berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama
untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut
untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.
B. Saran
Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk
kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik, saran, dan perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.

27
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad
XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Agussalim, S.Pd. 2016. “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi
Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.

Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan. Makassar : Balai
Cagar Budaya Makassar.
Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial Semester
Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.
Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan
Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta : Galangpress
Group.
S.M Noor. 2011. Perang Makassar 1669. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-
gorontalo.html
http://www.sejarah-negara.com/2015/02/tokoh-sejarah-kerajaan-gowa-tallo.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Karaeng_Matoaya
http://www.arkeologi-sulawesi.com/berita-138/situs-tosora-kabupaten-wajo.html

Anda mungkin juga menyukai