Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH SEJARAH

KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI

KELOPOK 4

Kelompok : zaenal nudi

Egi

Septia Nanda.p

Ratu aisyah

Revolusi

Nama Guru : IBU DINI

SMKN 1 LEUWILIANG

TAHUN PELAJARAN 2019


KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Robbil ‘Alami, Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Semesta Alam. Atas
segala karunia nikmatNya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Makalah yang berjudul “Memahami Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 19945 Sebagai Dasar Negara” disusun dalam rangka memenuhi salah satu
tugas mata pelajaran PKn yang diampu oleh Bapak Suwardi Syamsi M. H, M. Pd.

Makalah ini berisi tentang makna dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar serta
posisinya di dalam penerapan konstitusi di Indonesia. Dalam penyusunannya
melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam sekolah maupun luar sekolah. Oleh
sebab itu saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala kontribusinya dalam
membantu penyusunan makalah ini.

Meski telah disusun secara maksimal, namun penulis sebagai manusia biasa
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Karenanya penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian.

Besar harapan saya makalah ini dapat menjadi sarana membantu masyarakat
dalam memahami sumber hukum tertinggi di Indonesia yakni Pancasila dan UUD
1945.

Demikian apa yang bisa saya sampaikan, semoga pembaca dapat mengambil
manfaat dari karya ini.

Bogor, 07 Febuari 2019


DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................i

Daftar Isi...................................................................................ii

Daftar Gambar.........................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..........................................................
B. Rumusan Masalah....................................................
C. Tujuan.......................................................................
D. Metologi Data............................................................

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Kerajaan Gowa Tallo..............................................


1. Sejarah Awal......................................................
2. Kerajaan Gowa Tallo.........................................
3. Peninggalan Sejarah Gowa Tallo......................
4. Perkembangan Ekonomi...................................
5. Perkembangan pemerintah/politik.....................
a. Raja raja.......................................................
b. Wilayah kekuasaan......................................
c. Hubungan Dengan Luar Negeri...................
6. Perkembangan Agama.....................................
7. Perkembangan Sosial Dan Budaya...................

B. Kerajaan Wajo........................................................
1. Sejarah awal..........................................
2. Kerajaan wajo........................................
3. Peninggalaan kerajaan wajo.................
4. Raja raja................................................
BAB 3 PENUTUPAN
A. Kesimpulan.................................................................48
B. Saran..........................................................................48

Daftar Pusaka................................................................. v

DAFTAR GAMBAR
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak sekali cara penyebaran
agama islam sehingga dapat diterma dengan mudahnya oleh masyarakat. Dalam hal
ini, dahulu islam berkembang melalui kerajaan– kerajaan di Nusantara. Kerajaan
Islam berkembang pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para
pedangang maupun melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di
nusantara banyak didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua di
kawasan timur nusantara ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri pada abad ke-13
hingga abad ke-17. Kerajaan Ternate pada umumnya disebut kesultanan Ternate
memiliki kekuatan besar dibidang perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-
rempah dan daerah ini mengalami eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab
tersebut Kerajaan Ternate memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan di
nusantara dan padat penduduk. Kerajaan Islam yang berkedudukan di Maluku setelah
Kerajaan Ternate ialah Kerajaan Tidore. Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1108 M
dibawah kekuasaan Kolonel Belanda. Belanda berusaha untuk memonopoli bumi
Maluku karena memiliki kekayaan rempah-rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore
mengalami masa kejayaan pada era Sultan Nuku dengan keadaan system
pemerintahan yang telah berjalan dengan baik. Dalam menghadapi penjajahan
Kolonial Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari Kerjaan Makassar yang
berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan untuk berjuang melawan
Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi persinggahan para pedagang karena
lokasinya strategis dengan jalur perdagangan nusantara. Meskipun memiliki kekuatan
yang besar dibawah kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda mampu
menumbangkan kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan
berdiplomasi dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan
pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan penting dalam
persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta politik pemerintahan di
nusantara.
A. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo?

2. Apa itu Kerajaan Gowa Tallo?

3. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo?

4. Bagaimana perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa Tallo?

5. Bagaimana perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo?

6. Bagaimana perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo?

7. Bagaimana perkembangan sosial dan budaya Kerajaan Gowa Tallo?

8. Bagaimana sejarah awal Kerajaan Wajo?

9. Apa itu Kerajaan Wajo?

10. Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo?

11. Siapa saja raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo?

B. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo

2. Mengetahui Kerajaan Gowa Tallo

3. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo

4. Mengetahui perkembangan politik Kerajaan Gowa Tallo

5. Mengetahui perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo

6. Mengetahui perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo

7. Mengetahui perkembangan sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo

8. Mengetahui sejarah awal Kerajaan Wajo

9. Mengetahui Kerajaan Wajo

10. Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo

11. Mengetahui raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Wajo


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan Gowa-Tallo

1. Sejarah Awal

Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang

dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian

menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data,

Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik

damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk

Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung

sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat

orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah

Batara Guru dan saudaranya Gambar di bawah merupakan peta Sulawesi

Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di

antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng.


2. Kerajaan Gowa-Tallo

Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan

kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan

tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello

keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makasar.1

Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin mantap

dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato),

yaitu Dato’ Ri bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri

Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro

(Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal

dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang

mengislamkan Raja Luwuw yaitu Datu’La Patiware’ Daeng Parabung

dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 103H (4-5

Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu

Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng

Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9

Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan

Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia

mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November

1607 M.2

Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak

sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena


1
Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA, Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan nasional, 2009, hlm. 98
2
Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman, Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X,
Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, 2016, hlm. 221-222
setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran.

Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan

Alauddin pada tanggal 9 Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan

agama masyarakat.3

Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam dan

raja-rajanya telah memperoleh gelar Sultan, maka kerajaan itu juga yang

menjadi pusat pengislaman di seluruh Sulawesi Selatan, agar mereka

juga menerima Islam. Seruan ini juga berdasarkan perjanjian Gowa

dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan

suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu

kepada raja—raja yang lain.4

Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan

mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah5

dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan

kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke 17. Karena banyaknya

tantangan dari kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi

Selatan dan pergi ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa

bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti6 di kesultanan.7

3
Prof. Dr. M. Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2005, hlm. 2
4
Agussalim, S.Pd., “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta:
Deepublish Publisher, 2016, hlm.48.
5
Sufisme Khalwatiyah (Tarekat Khakwatiyah) adalah sebuah nama tarekat yang berkembang di Mesir. Tarekat
Khalwatiyah artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh
Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
6
Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada
umat.
7
Op.cit., hlm. 222-223.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah

perjuangan Sultan Hassanudin dalam mempertahankan kedaulatannya

terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC)

Belanda. Semula VPC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan

Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang

perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat

setelah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral

J.P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat

orang Makassar. Dari orang Makassar tersebut itulah ia mendapat berita

tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit

terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634

VOC memblokir kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Perisriwa

peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara

1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena

pada 1638 terjadi perampokkan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu

cendana dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di

Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada

1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.8

8
Ibid, hlm.223.
3. Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo

Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo di antaranya adalah

Benteng Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), Batu Pallantikang,

Masjid Katangka, Kompleks Makam Katangka, serta Makam Syekh

Yusuf.

a. Benteng Fort Rotterdam

Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng

peninggalan masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pesisir

barat pantai kota Makassar. Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9,

yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna

pada tahun 1545. Karena awalnya berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-

14, yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng


dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan Karst di

Maros. Orang Makassar menyebut benteng Fort Rotterdam dengan

sebutan benteng panyyua atau benteng penyu. Pasalnya, jika dilihat dari

atas, benteng ini memiliki bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki

filosofi bahwa Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan yang berjaya di

laut dan daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam. Pada masa

silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan katak kerajaan.

selain itu, ia juga berfungsi sebagai pusat pertahanan kerajaan Gowa-

Tallo dari serangan laut. Pada masa kepemimpinan Cornelis Speelman

atas distrik Sulawesi benteng ini pernah beralih fungsi menjadi tempat

penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di Indonesia Timur.

Selain itu, nama benteng yang sebetulnya adalah benteng Ujung

Pandang, olehnya kemudian diubah pula menjadi Benteng Rotterdam

untuk mengenang tanah kelahirannya di kota Rotterdam, Belanda.


b. Batu Pallantikang

Gambar 1.3 Batu Pallantikang

Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit

yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya

memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari khayangan. Karena anggapan

tersebut, sesuai namanya batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan

sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini

masih insitu atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks

pemakaman Tamalate.
c. Masjid Katangka

Masjid Al-Hilal lebih dikenal dengan mana Katangka mengambil nama

tempat atau desa di mana masjid berdiri. Ketika naskah ini dibuat nama jalan

di mana masjid berada adalah Jl. Syech Yusuf, sebuah cabang dari Jalan Raya

Gowa berbelok ke timur pada Km 8,5. Dari persimpangan jalan tersebut,

kurang lebih 500M terdapat makam Syech Yusuf ulama Sufi dari Makassar

termasyur yang namanya untuk jalan tersebut. Masjid katangka terletak

beberapa ratus meter di sebelah timur makam di sisi selatan jalan yang

menjadi batas administrasi antara kota Makassar dengan Kabupaten Gowa.

Tahun didirikan masjid Katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan

beberapa sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak

sesuai dengan jaman dan tempat pembangunannya. Ada yang berpendapat

bahwa Masjid Katangka didirikan pada abad ke XVIII. Konon masjid

dibangun oleh seorang ulama Sumatera tepatnya dari Minang kemudian oleh

masyarakat diberi gelar Daeng Bandang. Pada awal masuknya Islam di

Sulawesi Selatan pada 1582, raja Gowa XOO Tunijallo membangun masjid

di Mangallekana dekat benteng Somba Opu. Namun seperti telah diuraikan di


depan pusat pemerintahan Sumba Opu diratakan dengan tanah oleh Belanda.

Masjid telah dipugar beberapa kali, yang pertama memperbaiki konstruksi

atap, pintu dan jendela, yang sudah cukup rusak. Masjid dikelilingi oleh

makam raja dari keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk

cukup khas dan unik dengan model makam raja-raja Bugis-Makassar.9

d. Kompleks Makam Katangka

Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok


kuburan
Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman dari

mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk makam Sultan

Hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah karena diatapi

dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja

hanya ditandai dengan batu nisan biasa.

e. Makam Syekh Yusuf


Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman kolonial Belanda.

Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan rakyat Gowa Tallo terhadap

penjajah, membuat Belanda mengasingkannya ke Srilanka, kemudian ke Cape

Town, Afrika Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan

ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di dataran rendah Lakiung sebelah

barat Masjid Katangka.


4. Perkembangan Ekonomi

Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan Gowa,

Tallo, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak

sama karena masing-masing mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan

Gowa dan Tallo menjadi besar karena letaknya strategis, yaitu berada di jalur

perdangan sehingga sering menjadi tempat persinggahan pedagang dari

Ternate dan Tidore yang akan berdagang ke Malaka atau Jawa. Kerajaan

Gowa Tallo berkembang pesat dan menjadi penghubung antara Malaka, Jawa

dan Maluku.

Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena

letaknya berada di tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan

Malaka. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan

Portugis (1511), sedangkan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda.

Banyak pedagang dari Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar.

Para pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah

Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan rempah-rempah.

Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan,

seperti kain dari India, sutra dan tembikar dari Cina, serta berlian dari Banjar.

Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito10 dan untuk

mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah

sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk

memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-

daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan

Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu

10
Pelabuhan transito adalah pelabuhan tempat persinggahan kapal-kapal yang datang dari Indonesia Barat
maupun Indonesi Timur.
musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan

perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat

dikuasainya.

Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga

banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di

Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-

pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di

Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang

menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa

atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai

pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang

berasal dari Maluku.

Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya

disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping

Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.

Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena alasan-alasan berikut

1. Letaknya strategis

2. Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang pindah ke

Makasar

3. Banyak disinggahi para pedagang asing


a. Raja yang memerintah

Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar yang

terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan ini letaknya

berdekatan. Beberapa raja atau Sultan yang pernah berkuasa pada masa

kerajaan Gowa dan Tallo adalah sebagai berikut :

1) Karaeng Matoaya

Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I Malingkang

Daeng Manyonri' Karaeng Katangka atau Sultan Abdullah, adalah

seorang raja Kerajaan Tallo (memerintah 1593-1623) sekaligus

perdana menteri Kesultanan Makassar, yang sangat berpengaruh pada

abad ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja Kerajaan Gowa,

menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan yang erat antara

Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin kemudian berhasil

meningkatkan kejayaan Kesultanan Makassar sehingga menjadi

kekuatan militer dan perdagangan yang disegani di wilayah timur

Nusantara. Karaeng Matoaya merupakan raja Tallo yang merangkap

sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan Abdullah

dengan julukan Awalul Islam.

2) Sultan Alaudin

Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang memiliki nama asli

Daeng Manrabia.11 Nama lengkapnya yaitu I Mangakrangi Daeng

Manrakbia. Raja Gowa dan Tallo disebut penguasa dwitunggal.


I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi Raja Gowa

XIV ketika baru berusia tujuh tahun.Menurut hukum adat Gowa-Tallo

bahwa selama raja belum dewasa, maka Tumabbicara Butta atau

mangkubumi yang harus menjalankan pemerintahan.Kebetulan yang

menjadi mangkubumi waktu itu ialah pamannya sendiri bernama I

Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka, (kemudian jadi

Raja Tallo).

Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan jihad.Selain

mengajarkan bagaimana melaksanakan Ibadah, juga mengajarkan

bagaimana berjihad di jalan Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke

Kerajaan Gowa. Kedatangannya pertama-tama hanya ingin

melakukan perdagangan, tapi selanjutnya ia mengembangkan misi

lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha untuk

monopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku.

3) Sultan Muhammad Said

Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan Alauddin. Ia

meneruskan perjuangan ayahnya.12Kerajaan Gowa bertambah maju

dan disegani dunia luar pada masa pemerintahan raja Gowa ke XV I

Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Muhammad Said

atau Malikussaid, dari tahun 1639-1653. Raja ini didampingi oleh

mangkubuminya yang terkenal yang bernama Karaeng Pattingaloang.

Pada masa inilah, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan,

mempunyai wilayah yang luas dan besar pengaruhnya.13

.
4) Sultan Hassanudin

Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin

Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I Mallambosi

yang dikenal dengan nama Sultan Hassanudin. Ia lahir di Makassar,

12 Januari 1631.

Setelah Sultan Hassanudin naik tahta, ia menggabungkan

beberapa kerajaan kecil Indonesia bagian timur untuk bersama-sama

melawan Belanda. Lalu di tahun 1660 meletuslah perang antara Gowa

dan Belanda yang diakhiri dengan perdamaian. Karena di dalam

perdamaian tersebut banyak merugikan Gowa maka di tahun 1666

Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan perlawanan terhadap

Belanda. Dalam peperangan ini Belanda dibantu oleh kerajaan-

kerajaan yang dapat dipengaruhi. Perlawanan terus berlangsung

akhirnya pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan perjanjian

Bongaya14 yang mengakhiri perang tersebut.

14
PerjanjianBungaya (seringjugadisebutBongayaatauBongaja) adalahperjanjianperdamaian yang
ditandatanganipadatanggal 18 November 1667 di BungayaantaraKesultananGowa yang diwakilioleh Sultan
Hasanuddindan phial HindiaBelanda yang diwakiliolehLaksamanaCornelisSpeelman.
Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil memelihara

perdamaian dalam waktu yang lama, dan Sultan Haanuddin tertekan

oeh isis perjanjian itu. Pada bulan April 1667 Sultan Hasanuddin

kembali melancarkan serangan terhadap Belanda.

Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan Gowa yaitu

benteng Sobaupo jatuh ke tangan Belanda. Dengan jatuhnya benteng

tersebut ke tangan Belanda, maka kekuatan Sultan Hasanuddin

melemah. Beberapa hari kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan

diri dari tahta kerajaan dan ia tetap tidak mau bekerja sama dengan

Belanda. Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670

karena keberaniannya, Belanda menjulukinya “Ayam Jantan dari

Timur”.15

5) I Mappasomba

Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika ia menjadi

raja, ia masih berusia 13 tahun.16I Mappasomba Daeng Nguraga

Karaeng Katangka bergelar Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan

Gowa. Sebagai putra mahkota Kerajaan Gowa, I Mappa- nama

panggilan kecilnya di kerajaan ditugasi sebagai kepala staf gabungan

militer sekaligus kepala koordinasi pemerintahan Kerajaan Gowa.


Sering menggantikan ayahnya untuk menjalankan tugas-tugas

kenegaraan, I Mappa tergolong gigih menentang kompeni.17

b. Wilayah Kekuasaan

Gambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa Tallo

Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu Kerajaan

terbesar yang pernah ada di Nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan

Makassar pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar

kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula,

Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk

Sangir, Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba,

Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah selatan, serta

Kutai dan Berau di Kalimantan Timur sebelah Barat bahkan sampai

Marege-Australia Utara.

Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14

(4) dan (5) Kitab Negarakertagama karangan Prapanca (1364) sebagai

Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan


Majapahit akibat adanya kekacauan politik serta perang saudara di

dalam kerajaan membuat wilayah-wilayah jajahannya terbengkalai.

Banyak wilayah jajahan Majapahit melepaskan diri sepenuhnya dari

Majapahit dan menjadi Kerajaan tersendiri.

Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di Sulawesi.

Kerajaan Makassar merupakan gabungan dari kerajaan Gowa dan

Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan

pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih

dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan

Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang.

Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah ditaklukkan

oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang

sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka.

(Andaya, 2004). Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang

menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai

barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba

Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar

melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng

Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo

akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan

terlupakan, di penghujung Abad XVI.

Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak Tumapa'risi

Kallona memperluas daerah kerajaannya dengan menaklukkan

beberapa kampung atau kerajaan kecil. Tumapa'risi Kallonna

memerintahkan pula membangun beberapa benteng di pesisir pantai


yang merupakan benteng pertahanan memanjang dari utara ke selatan.

Pada masa itu Makassar mempunyai belasan benteng pertahanan, dan

benteng Somba Opu merupakan yang paling besar. Bahkan Ilmuwan

Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah

benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.

c. Hubungan dengan luar negeri

Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, meskipun

kerajaan Gowa-Tallo ini bercorak Islam, akan tetapi diberitakan adanya

hubungan baik dengan bangsa Portugis yang datang dengan membawa

agama Kristen-Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi bantuan dan

menanam sahah dalam perdagangan orang-orang Portugis (Francisco

Viera yang menjadi utusan kerajaan Gowa ke Batavia dan Banten).

Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis dalam bidang

perdagangan ini mungkin disebabkan adanya ancaman dari VOC

Belanda yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah

Maluku.

5. Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo adalah agama

islam. Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat

tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari kaum Syeikh

Yusuf al-Makasari juga tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada

pertengahan abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan

dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke

Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

6. Perkembangan sosial dan Budaya

Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai bangsa

pelaut yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang mengagumkan adalah

perahu pinisi. Dengan menggunakan perahu itu, mereka mengarungi lautan

lepas dan membangun jaringan pelayaran dan perdagangan antarpulau

bahkan antarkawasan. Para penguasa Gowa sudah sejak lama menerapkan

prinsip mare liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat

dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut masyarakat

Makassar biasa disebut pangadakkang bersumber dari ajaran agama Islam.

Bahkan hingga kini, masyarakat Makassar terkenal dengan penghormatannya

yang kuat pada norma-norma adat. Struktur sosial masyarakat Makassar

meliputi golongan bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang

disebut to maradeka dan hamba sahaya yang disebut ata.18

Walaupun masyarakat Makassar memiliki kebebasan untuk

berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam


kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap

sakral. Norma kehidupan masyarakat Makassar diatur berdasarkan adat dan

agama Islam yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat Makassar sangat

percaya terhadap norma-norma tersebut.

Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar juga

mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan

golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan “Anakarung/Karaeng”,

sedangkan rakyat kebanyakan disebut “to Maradeka” dan masyarakat lapisan

bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan “Ata”.

Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar banyak

menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran.

Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang

Makassar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.

7. Kerajaan Wajo

1. Sejarah Awal

Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang

umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah

awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan

komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari

berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau

Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya

yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal

sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani
yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang

berarti berkumpul.

Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas

wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal,

komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama

dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian

hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga

meninggalnya Puang ri Timpengeng.

Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu,

yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan

Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh

anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya

menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai

Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La

Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah

itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul

di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu

KajuruE.

La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka

menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah

takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali

sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut

Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga

sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja

mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah


kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara

Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah

distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng,

yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La

Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi

Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri

Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.

2. Kerajaan Wajo

Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo

terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang

menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yag didirikan oleh tiga

orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta’bi yaitu berasal dari

keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga

bagian (limpo)bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala

keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo.

Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk

dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu

raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari

seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau

utama.

Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas

dengan tiga pa’betelompo (pendukung panji) 30 arung-ma’bicara (raja

hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang.

Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas

daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo


pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone

dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582. Wajo pernah

ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah

tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut

bahwa Dato’ ri Bandang dan Dato’ Sulaeman memberikan pelajaran agama

Islam terhadap raja-rajaWajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih.

Pada waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura

dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan

mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan

Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-

matoa.Persekutuandengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan

memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulang kali Gowa juga

mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula

membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone

pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan

Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk

kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC

pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone

berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan

Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang

diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo

yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya

terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan

Kerajaan Wajo kepada VOC.19


Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian

Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo.

Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung

Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah

pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi

anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone

sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.

Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada

pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato

Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke

Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro

melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba

dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669)

disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang

tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai

menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La

Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo

diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga

berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan

banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas

sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah

satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai

dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.


Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa

ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara

membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan

pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La

Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada

zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-

kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan

Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele

(Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga

menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian

Bungaya.

Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan

Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na

Bone. Saat itu Belanda melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua

kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone

melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus

membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring

sebagai pembaruan dari Large Veklaring.

Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara

Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja

Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara

tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak

pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang

dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya

menjadi kabupaten.
3. Peninggalan Kerajaan Wajo

a. Masjid Kuno Tosora

Gambar 1.8 Masjid Tosora

Masa keemasan dan kemegahan Kerajaan Wajo masih terasa

melalui peninggalannya yang tersisa meskipun beberapa di antaranya

dalam kondisi tidak terawat. Salah satu, bukti dan peninggalan sejarah

yang tersisa yakni Masjid Kuno di Tosora. Tempat ibadah umat Islam ini

yang pertama di bangun di Wajo. Ada yang menyebutnya Masjid Jami

Tosora, adapula yang menyebutnya dengan nama Masjid Kuno Tosora.

Sisa peradaban masa lampau Kerajaan Wajo ini terletak di Desa

Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini pernah menjadi pusat

peradaban di Kabupaten Wajo, karena merupakan pusat Kerajaan Wajo

pada zaman dahulu. Bahkan, Tosora pernah menjadi ibu kota Kabupaten

Wajo sebelum dipindahkan ke Sengkang. Berbagai peninggalan sejarah


berupa bangunan maupun makam raja-raja Wajo bisa ditemukan di

wilayah ini.

b. Makam-makam kuno

Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora

Menurut informasi dari masyarakat mengatakan bahwa di Desa

Tosora terdapat banyak sekali makam-makam kuno yang tersebar di

mana-mana, baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman

maupun yang tersebar secara acak. Sebaran makam-makam kuno seperti

tersebut di atas, penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung

ke Tosora pada tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah ketika

tahun 2002 penulis berkunjung lagi ke daerah tersebut, yaitu semakin

bertambah dan padatnya pemukiman penduduk, sehingga sebahagian

besar makam-makam kuno tersebut sudah hilang, bahkan bagian-bagian

bangunan jirat dan nisannya dipergunakan penduduk sebagai bahan

membuat jalan, jembatan dan bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat

menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi hal

yang demikian.Untung bahwa makam-makam kuno yang terkonsentrasi

berupa suatu kompleks, sebagian besar sudah dilindungi oleh pihak Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala, walaupun kelihatannya tidak terawat

dengan baik.

Peninggalan makam-makam kuno yang dideskripsikan dalam

tulisan ini, terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan

sesuai dengan nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan di

dalamnya, yaitu :

 Kompleks Makam Arung Benteng Pola

Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi barat

Mesjid Tua Tosora (Lihat Foto 3).Kompleks makam ini berada pada

ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12 makam yang terlihat.Sebagian

makam tersebut sudah tidak memiliki jirat. Bentuk nisanyang terlihat

terdiri dari meriam, mahkotadan pipih. Menurut ceritera masyarakat

bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam dari

Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar MatinroE ri Masigina.

 Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng


Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks

Makam La Tenrilai To Sengngeng

Kompleks makam La Tenrilai To Sengeng beradatidak jauh dari

mesjid tua Tosora. Letaknya berada di sisi utara benteng.Kompleks

makam ini berada pada ketinggian 30,7 m dpl.Jumlah makam yang

terlihat di kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam.Bentuk

jirat sebagian besar makam tersebut sangat sederhana.Hal tersebut

terlihat karena sebagian besar jirat makam ini terbuat dari papan batu

yang disusun persegi.Bahkan ada juga makam yang tidak memiliki

jirat.Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan yang ditancapkan.

Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat beberapa bentuk

nisan yang terlihat, yaitu : nisan dari meriam yang konon menurut

penduduk setempat mengatakan sebagai makam dari La Tenrilai

Tosengngeng, nisan menhir baik yang masif maupun yang sudah

ditata dengan ukuran antara 0,43 m – 1,64 m, nisan setengah

lingkaran (tipe Wajo) dengan hiasan berupa jari-jari berjumlah 4, 8,

16, 22, dan nisan tipe pipih (berbentuk perisai, ujung tombak). Bahan

batu yang digunakan adalah batu sedimen.

 Kompleks Makam La Maungkace To U’damang


Kompleks makam La Maungkace To U’ damang berada di luar

benteng sisi utara.Makam terletak diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah

makam di kompleks ini sebanyak 83 makam.Sebagian besar jirat di

kompleks makam ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga

tidak jirat). Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan. Bentuk

nisan yang terlihat adalah bentuk menhir yang pada umumnya masih

masif, dengan tinggi antara 0,45 m – 2,12 m, nisan silindrik yang

paling dominan, dan nisan setengah bulat (tipe Wajo). Menurut

masyarakat setempat mengatakan bahwa salah satu tokoh yang

dimakamkan di dalamnya adalah La Maungkace To U’damang yang

menggunakan nisan menhir yang paling tinggi.

4. Raja-Raja yang Memerintah

Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo

Zaman sebelum islam

1) La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)

2) La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)

3) La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)

4) La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)

5) La Obbi’ Settiware’ Batara Wajo V (1466-1469)

6) La Tenri Umpu’ To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)

7) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-

1487)

8) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)


9) La Tadangpare’ Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-

1521)

10) La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)

11) La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)

12) La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)

13) La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)

14) La Mappapuli To Appamadeng Ar

15) ung Matoa Wajo (1547-1564)

16) La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)

17) La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)

Zaman islam

1 L a Sangkuru Patau’ Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa

Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)

2 La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)

3 La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)

4 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)

5 La Mappasaunge’ Arung Matoa Wajo (1627-1628)

6 La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)

7 La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)

8 La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-

1643)

9 La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri

Panggaranna (1643-1648)

10 La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo

(1648-1651)
11 La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna

(1651-1658)

12 La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale’kona

(1658-1670)

13 La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)

14 La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna

(1679-1699)

15 La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)

16 La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung

Matoa Wajo (1702-1703)

17 La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)

18 La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)

19 La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)

20 La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung

Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (1736-1754)

21 La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)

22 La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)

23 La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)

24 La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-

1770)

25 La Mallalengeng (La Cella’ Puangna To Appamadeng Arung Matoa

Wajo (1795-1817)

26 La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo

(1821-1825)

27 La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)


28 La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)

29 La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo

Arung Matoa Wajo (1859-1885)

30 La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)

31 La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)

Zaman pengaruh belanda

1. Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-

1916)

2. La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung

Matoa Wajo (1926-1933)

3. Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa

terakhir
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya kerajaan-

kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu.

Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran

Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke

berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama

untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut

untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.

B. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun

sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk

kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik, saran, dan perhatiannya kami

ucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA. Jakarta : Pusat

Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman. 2016. Sejarah Indonesia

SMA/MA/MAK kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang,

Kemendikbud.

Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad

XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Agussalim, S.Pd. 2016. “Suplemen Materi Ajar” Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi

Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.

Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan. Makassar : Balai

Cagar Budaya Makassar.

Imtam Rus Ernawati. Nursiwi Ismawati.2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA Program

Bahasa kelas XI. Klaten : PT. Cempaka Putih.


Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial Semester

Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.

Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan

Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta : Galangpress

Group.

S.M Noor. 2011. Perang Makassar 1669. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-

gorontalo.html

http://iingmetalica.blogspot.co.id/2012/11/makalah-sejarah-islam-di-sulaesi.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa

http://ariakesuma12.blogspot.co.id/2016/11/kehidupan-ekonomi-kerajaan-gowa-tallo.html

http://www.nafiun.com/2013/02/masyarakat-kerajaan-gowa-tallo-kehidupan-sosial-dan-

ekonomi.html

http://www.sejarah-negara.com/2015/02/tokoh-sejarah-kerajaan-gowa-tallo.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Karaeng_Matoaya

http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/sultan-alauddin.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Bungaya

https://artmelayu.blogspot.co.id/2013/07/tinggalan-masjid-lama-tosora-remains-of.html

http://www.arkeologi-sulawesi.com/berita-138/situs-tosora-kabupaten-wajo.html

Anda mungkin juga menyukai