KE – 16
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
pada Mata Kuliah Sejarah Indonesia Abad XVI – XVIII Semester Tiga
yang Diampu oleh Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum.
Disusun Oleh:
Raka Nur Alim
NIM. 130030122130056
PENDAHULUAN
Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M), Aceh mencapai puncak
kejayaannya. Dikatakan demikian karena kekuasaannya meluas di sepanjang
pantai timur dan barat Sumatera; menguasai ekspor merica. Akan tetapi, terdapat
suatu kekurangan dari masa ini dimana armada dan angkatan bersenjatanya
mengalami kekalahan berat dari Malaka. Iskandar Muda memerintah dengan
tangan besi. Istananya yang berkilauan emas membangkitkan kekaguman dan
pujian orang- orang Barat, sebagaimana masjidnya yang bertingkat lima. Dari
Aceh, Tanah gayo yang berbatasan telah di Islamkan, dan juga Minangkabau. Di
masa pemerintahan menantunya dan mengganti Iskandar Muda, Iskandar Tsani,
Aceh terus berkembang untuk beberapa tahun selanjutnya. Dengan lembut dan
adil dia mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan
siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada masa itu (Azyumardi. 1989).
PEMBAHASAN
Pada tahun 1530, Sultan Ali Muqhayat Syah wafat sehingga kekuasaan
Aceh kemudian diduduki oleh putra pertama Sultan Ali Mughayat Shah, yakni
Sultan Salehuddin yang dikenal sebagai raja yang kurang cakap dan cukup lemah.
Akan tetapi, Aceh masih sempat untuk menyerang Melaka dengan membawa
2000-3000
pasukan. Mereka berhasil mendarat pada malam pertama di Melaka. Akan tetapi,
pada dua malam berikutnya pasukan Aceh berhasil dipukul mundur oleh Portugis.
Kegagalan itu ditambah dengan ketidakmampuannya untuk memerintah.
Beberapa kegagalannya mendorong adanya kudeta dan posisinya kemudian
digantikan oleh saudara bungsunya dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Shah Al-
Kahar (Pires dan Rodigrues, 1990). Sayangnya belum ada sumber Portugis yang
dapat menginformasikan tentang serangan Aceh 1537 secara detail.
Setelah kegagalan serangan Jepara pada tahun 1574, Tristao Vaz meyakini
bahwa Aceh akan menyerbu lagi dan dia menunggu kedatangan mereka dengan
persiapan khusus. Dia mempersiapkan dinding pertahanan, bubuk mesiu, dan
persediaan makanan yang dipesan dari Pegu dan Bengala. Joao Pereyra, Fernao de
Palhares, dan Bernaldim da Silva dipercaya memimpin armada laut. 120 orang
ditugaskan untuk membantu pertahanan maritim Melaka. Disamping itu,
perbentengan dari bambu (baluartes) juga dibangun di sekitar benteng Melaka
(Fortaleza da Malaca) dan di Bukit China (Wijaya, 2021).
Pada 31 Januari 1575, Aceh kembali melakukan serangan dengan 130 kapal
yang dilengkapi dengan meriam. Pasukan Aceh menghancurkan kapal yang
dipimpin oleh Joao Pereira, Bernalim da Silva, dan Fernando Pallares. Pasukan
Aceh membunuh 75 orang, menangkap 40 orang, dan 5 orang Portugis berhasil
melarikan diri. Tersisa 150 pasukan berupaya untuk mempertahankan benteng.
Beruntungnya Aceh tidak melanjutkan serangannya padahal Portugis kehabisan
amunisi untuk melawan Aceh. Pasukan Aceh merasakan ada sesuatu yang salah
ketika 17 hari mereka menyerang tetapi tidak ada perlawanan yang orang Portugis
berikan. Aceh berpikir bahwa ini adalah sebuah jebakan jika mereka memaksakan
diri untuk merangsek masuk dalam benteng. Aceh kemudian memutuskan diri
untuk pergi kembali ke Sumatera. Gubernur Portugis mengira bahwa Aceh dapat
dikalahkan lagi padahal hanya keberuntungan yang menaungi mereka.
Pada tahun 1582, Roque de Mello Pereira menggantikan Dom Joao da Gama
sebagai kapten Malaka. Dirinya memberikan amanat kepada Luis Monteiro
Coutinho sebagai kapten kapal yang bertanggungjawab atas keselamatan kapal
dagang yang berlayar dari Goa ke macau dan sebaliknya. Luis Monteiro turut
melakukan patroli di sekitar Selat Singapura. Tidak seberapa lama Roque de Melo
berkuasa, Aceh melakukan serangan dan Luis Monteiro diberi tanggungjawab
untuk turut mempertahankan Melaka. Pada 6 Februari 1583, dia harus
menghadapi armada Aceh yang terdiri atas 7 kapal besar, 40 ghali, dan 150 kapal
tempur kecil. Luis Monteiro mempersiapkan kapal dan 60 pasukan yang lahir di
Melaka namun apa daya kekuatan besar Aceh bukan tandingan bagi Portugis.
Walaupun semua penduduk Melaka bersiap untuk mempertahankan kota, Luis
Monteiro memilih
untuk mengabaikan strategi Kapten Melaka dan berjuang sendirian. Namun,
strategi Luis Monteiro mengalami kegagalan total. Kapten Melaka sebenarnya
berupaya untuk mengingatkan Luis Monteiro kembali ke benteng dengan
mengirimkan sekoci kecil bersama Nuno Vieira, namun dia menolak dan yakin
dapat menghabisi Aceh. Kapal Luis Monteiro yang menghampiri musuh malah
dikepung dari segala arah. Segera setelah kapal Luis Monteiro dibakar dan
diledakkan, semua awak kapal dan tentara terpelanting dan terjun ke laut.
Kejadian tragis itu menyisakan 12 orang serta Luis Monteiro Coutinho. Mereka
yang selamat kemudian ditahan dan ditawan hidup-hidup oleh pasukan Aceh
(Wijaya, 2021).
KESIMPULAN
Moorhead, F.J. 1983. A History of Malaya and Her Neighbours. London, New
York, & Toronto: Longmans.
Pires, T. and Rodrigues, F., 1990. The Suma oriental of Tome Pires, books 1-5
(Vol.
1). Asian educational services.
Rahman, A., 2021. Peran Kerajaan Aceh Melawan Penjajahan dan Menyebarkan
Islam di Nusantara pada Abad 16-18 M. SALAM: Jurnal Sosial dan
Budaya Syar-i. 8 (5):1333-1344.
Villiers, J. 2001. Aceh, Melaka and the Hystoria dos cercos de Malaca of Jorge de
Lemos. Portuguese Studies. 17:75-85
Wijaya, D. 2021. Narasi dari Sang Rival: Serangan Aceh ke Melaka Menurut
Sumber-Sumber Portugis. Jurnal Sejarah. 3 (1):1-22.