Anda di halaman 1dari 11

PERLAWANAN KESULTANAN ACEH

TERHADAP PORTUGIS DI MALAKA PADA ABAD

KE – 16

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu
pada Mata Kuliah Sejarah Indonesia Abad XVI – XVIII Semester Tiga
yang Diampu oleh Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum.

Disusun Oleh:
Raka Nur Alim
NIM. 130030122130056

PROGRAM STUDI STRATA - 1


JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sekitar akhir abad ke-15 berdiri Kesultanan Aceh yang diperkirakan


merupakan kelanjutan dari Kerajaan Lamuri, dan dipimpin oleh Sultan Muzaffar
Syah (1465-1497 M). Sultan Muzaffar Syah merupakan sosok yang mendirikan
kota Aceh Darussalam. Kemajuan dalam bidang perdagangan terjadi pada masa
pemerintahan Sultan Muzaffar Syah karena terdapat pergeseran kegiatan
perdagangan yang terjadi dari Malaka menuju Aceh, setelah Malaka dikuasai
Portugis (1511 M). Akan tetapi, H.J. de Graaf dan Denys Lombard dalam
kutipannya terhadap Tome Pires menyebut bahwa sultan kerajaan Aceh yang
paling mula adalah Sultan Ali Mughayat Syah (Helmiati, 2014).

Pandangan yang berbeda dari H.J. de Graaf menjelaskan bahwa Kerajaan


Aceh berdiri pada awal abad ke-16 dengan adanya penyatuan dua kerajaan kecil,
Lamrui dan Aceh Dar al-Kamal yang pertama kali dipimpin oleh Sultan Ali
Mughayat Shah (1497-1528 M), ia berhasil merebut kekuasaan Pasai dari tangan
Portugis tahun 1524 M, dan sejak saat itu ia meletakkan dasar-dasar kekuasaan
Aceh (Azyumardi, 1989). Sultan Ali Mughayat Syah berhasil kemudian
melakukan perluasan kekuasaan ke Sumatera Timur. Gelarnya sebagai pendiri
kekuasaan Aceh sesungguhnya tidak lain adalah karena ia berhasil menyatukan
beberapa wilayah dibawah pemerintaha Kerajaan Aceh Darussalam
(Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).

Pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah kemudian dilanjutkan oleh Salah


ad- Din (1528-1537), anak tertuanya. Salah ad-Din memberikan perlawanan
kepada penjajahan dengan menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi serangan
ini mengalami kekalahan. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh Alauddin
Ri’ayat Syah al-Kahhar (1537- 1568), saudaranya. Pada periode kekuasaan
Alauddin Ri’ayat Syah al-Kahhar Aru dan Johor berhasil ditaklukkan Aceh, dan
perlawanan Aceh terhadap penjajahan dengan menyerang Portugis di Malaka
kembali dilakukan, dengan dibantu Dinasti Turki Utsmani. Alauddin Ri’ayat Syah
selanjutnya digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan
Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota
Alam (1607-1636) (Helmiati, 2014).

Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M), Aceh mencapai puncak
kejayaannya. Dikatakan demikian karena kekuasaannya meluas di sepanjang
pantai timur dan barat Sumatera; menguasai ekspor merica. Akan tetapi, terdapat
suatu kekurangan dari masa ini dimana armada dan angkatan bersenjatanya
mengalami kekalahan berat dari Malaka. Iskandar Muda memerintah dengan
tangan besi. Istananya yang berkilauan emas membangkitkan kekaguman dan
pujian orang- orang Barat, sebagaimana masjidnya yang bertingkat lima. Dari
Aceh, Tanah gayo yang berbatasan telah di Islamkan, dan juga Minangkabau. Di
masa pemerintahan menantunya dan mengganti Iskandar Muda, Iskandar Tsani,
Aceh terus berkembang untuk beberapa tahun selanjutnya. Dengan lembut dan
adil dia mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan
siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada masa itu (Azyumardi. 1989).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kronologi penyerangan Aceh terhadap Portugis di Malaka
yang terjadi di abad ke-16?
2. Apa saja usaha baik yang dilakukan Aceh maupun Portugis untuk
mempertahankan kekuasaan masing-masing?
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Penyerangan Aceh ke Malaka 1537

Pada tahun 1511, setelah Portugis berhasil menguasai Malaka, para


pedagang muslim segera mengungsi ke Aceh sedangkan Sultan Melaka melarikan
diri ke Bentan (Pulau Bintan). Keadaan ini membuat Portugis berpikir untuk
mencari sekutu di Selat Melaka. Pidie dan Pasai, dianggap sebagai dua kerajaan
yang memiliki posisi penting dalam menyeimbangkan kondisi geopolitik ini. Di
satu sisi, dua kerajaan lokal mendapatkan perlindungan militer dari serangan Aceh
yang kemudian semakin ofensif dan di sisi yang lain kedua pelabuhan dapat
dijadikan sebagai pusat jual beli komoditas berharga seperti emas dan lada.

Kemudian Aceh berhasil mengembangkan diri sebagai pusat perdagangan


dan pusat peradaban Islam sekaligus menggantikan posisi Kesultanan Melaka.
Sultan Ali Mughayat Shah kemudian menjadi pendiri Kesultanan Aceh. Terdapat
suatu keinginan bagi Portugis untuk mengamankan posisi mereka baik di Pidie
maupun Pasai namun serangan mereka pada Aceh mengalami kegagalan pada
tahun 1521. Kapten Melaka, Jorge de Brito bersama 60 pasukan menjadi korban
keganasan Aceh (Villiers, 2001). Posisi Portugis semakin runyam ketika para elit
Pasai merasa kehadiran mereka sebagai penghalang perdagangan Pasai. Pada
tahun 1523, Aceh memanfaatkan situasi ini dengan mengirimkan 40,000 pasukan
untuk membantu Pasai. Mereka mengepung benteng Portugis di Pasai sekaligus
mengambil banyak kapal dan melucuti ratusan senjata (Villiers, 2001). Melihat
ancaman Aceh semakin nyata, Jorge de Albuquerque membuat aliansi dengan
musuh Aceh seperti Pasai, Pidie dan Aru. Mereka berencana untuk melakukan
serangan pada Aceh pada tahun 1524. Namun serangan itu tidak pernah
diwujudkan (Villiers, 2001).

Pada tahun 1530, Sultan Ali Muqhayat Syah wafat sehingga kekuasaan
Aceh kemudian diduduki oleh putra pertama Sultan Ali Mughayat Shah, yakni
Sultan Salehuddin yang dikenal sebagai raja yang kurang cakap dan cukup lemah.
Akan tetapi, Aceh masih sempat untuk menyerang Melaka dengan membawa
2000-3000
pasukan. Mereka berhasil mendarat pada malam pertama di Melaka. Akan tetapi,
pada dua malam berikutnya pasukan Aceh berhasil dipukul mundur oleh Portugis.
Kegagalan itu ditambah dengan ketidakmampuannya untuk memerintah.
Beberapa kegagalannya mendorong adanya kudeta dan posisinya kemudian
digantikan oleh saudara bungsunya dengan gelar Sultan Alauddin Riayat Shah Al-
Kahar (Pires dan Rodigrues, 1990). Sayangnya belum ada sumber Portugis yang
dapat menginformasikan tentang serangan Aceh 1537 secara detail.

2.2 Penyerangan Aceh ke Malaka 1547

Sultan ketiga Aceh, yaitu Alauddin Riayat Shah (1538-1571) melakukan


perluasan kerajaan hingga ke barat dan timur Sumatera. Pertanian lada hitam di
Pasai dan Pidie diperluas. Hubungan dengan Turki juga terus digencarkan. Sejak
tahun 1540-an, orang-orang Turki diberikan keistimewaan untuk berdagang di
Aceh. Sultan Johor memotivasi Aceh agar berupaya untuk menyingkirkan
Portugis dari Melaka. Melalui hubungan yang baik dengan Turki, Aceh meminta
bantuan persenjataan dan tentara sebagai modal militer untuk menopang
keinginan Aceh menguasai perdagangan di Selat Melaka (Rahman, 2021).

Penyerangan terhadap Portugis pada tahun 1547 dipimpin langsung oleh


Sultan Alauddin. Akan tetapi, serangan Aceh ini dapat dipatahkan Portugis.
Dampak baiknya adalah dua kapal Portugis dapat ditenggelamkan. Ancaman Aceh
ini dilancarkan dengan maksud mengganggu lalu lintas pengiriman komoditas dari
Melaka ke India, Pegu, Arakan dan rute dagang sebaliknya. Armada yang terdiri
dari 60 kapal tempur dan 5000 orang mendarat malam hari dan mencaplok Upeh.
Mereka juga membakar kapal Portugis di Pelabuhan Melaka dan menangkap 7
nelayan. Setelah mereka membunuh para nelayan dengan bengis, Komandan Aceh
kemudian menulis surat tantangan pada Kapten Melaka, Simao de Mello (Wijaya,
2021).

De Mello menolak tantangan Aceh itu karena pasukannya terlampau sedikit.


Francis Xavier2 yang saat itu berada di Melaka, berupaya membakar semangat
para prajurit. Prajurit menjadi percaya bahwa Tuhan bersama dan berupaya untuk
mempertahankan Melaka. Melihat Portugis yang tetap di Benteng, Aceh
kemudian memblokade Melaka. Mereka membangun benteng di Perlis untuk
menyerang
semua kapal dari Goa, Bengal, Siam atau Pegu yang membawa bahan makanan.
Dengan usaha ini mereka berupaya untuk untuk menutup bala bantuan dari pintu
utara dan berharap Portugis kelaparan dan korban segera berjatuhan (Moorhead,
1983).

2.3 Aceh Menginvasi Malaka 1568

Penyerangan Portugis di tahun 1568 menjadi proyek terakhir Sultan Alaudin


untuk menaklukkan Melaka. Semenjak 1567, Sultan Alauddin berupaya
memperkuat aliansinya dengan Sultan Selim II, penguasa Kekaisaran Otoman.
Pengiriman berbagai hadiah yang sangat berharga seperti emas, batu berlian,
tanaman herbal, dan rempah-rempah pun dilakukan kepada penguasa Otoman
agar Aceh memiliki dukungan Otoman dalam setiap serangan Aceh, seperti
beberapa armada yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap. Mereka kemudian
memiliki satu tujuan bersama yakni mengamankan kepentingan perdagangan
dengan mengobarkan semangat jihad (Villiers, 2001).

Pasukan Aceh berlayar pada 20 Januari 1568. Mereka menyerang dengan


300 kapal dan 400 tentara sewaan Turki, Gujarat, Calicut, dan Jepara beserta 200
meriam dari Otoman. Sedangkan pihak Portugis memiliki 200 Prajurit yang
bertahan di Benteng Melaka. Dengan ratusan kapal dan 15,000-20,000 serta
berkomplot dengan orang-orang Tamil dan Jawa, Aceh berhasil menguasai
pemukiman-pemukiman warga di Bandar Melaka, Hilir, dan Upeh setelah mereka
mendarat pada 25 Januari 1568. Mereka bermukim di Hilir dan mulai menembaki
benteng Melaka. Raja Aru yang ikut ambil bagian dalam operasi ini turut menjadi
korban. Melaka beruntung ketika 200 prajurit dalam benteng dibantu oleh warga
sipil dan para pendeta. Kekuatan Melaka ditaksir mencapai 1500 orang. Segera
Kapten Melaka juga meminta bantuan ke India namun bala bantuan datang dua
bulan setelah penyerbuan berakhir, antara 24 April hingga 4 Mei 1568.
Sebenarnya Portugis juga meminta bantuan pada Johor dan Kedah namun bantuan
juga tidak kunjung datang hingga Portugis berhasil mengusir Aceh. 400 prajurit
Aceh menjadi korban dan pihak Portugis kehilangan 12 nyawa. Dilaporkan 130
orang juga tewas karena suatu wabah (Wijaya, 2021).
2.4 Aceh Menginvasi Malaka 1572

Keberhasilan Portugis mengusir Aceh membuktikan bahwa adanya


kegagalan serangan Aceh pada tahun 1568, Sultan Alauddin tutup usia pada tahun
1571 dan kemudian digantikan oleh Sultan Ali Riayat Shah. Penyerangan
terhadap Portugis kembali dilakukan, lebih tepatnya pada 13 Oktober 1572, dia
menyerang Melaka dengan mengerahkan 90 kapal dengan 7000 pasukan. Pasukan
Aceh sebenarnya dapat membakar bagian selatan Melaka yakni Hilir. Salah satu
pahlawan penumpasan pasukan Aceh pada 1568, Joao Bandara, turut menjadi
korban pembakaran itu. Beruntung angin topan dan hujan deras telah
menggagalkan pembakaran yang dilakukan. Aceh menyadari bahwa pasukannya
banyak yang menjadi korban. Pasukan yang tersisa menyelamatkan diri menuju
Pulau Besar dengan berhenti sejenak di sekitar Sungai Muar. (Wijaya, 2021).

Tristao Veiga bersama kapten Melaka, Francisco Henriques bersama 300


pasukan memburu kapal-kapal Aceh hingga ke Muar dan Batu Pahat pada tanggal
15 November 1572. Melihat kedatangan beberapa kapal Portugis, Aceh merasa
tidak gentar dan menyerang mereka. Tujuh kapal Aceh ditugaskan untuk
menghalau pasukan Portugis namun sayang kapal Aceh dapat dibakar hingga
kemudian tenggelam. Aceh kehilangan 700 prajurit baik bagi mereka yang
terbunuh dan tertawan. Pihak Portugis sendiri kehilangan 5 prajurit dan 50 orang
lainnya mengalami luka-luka

2.5 Aceh Menginvasi Malaka 1575

Setelah kegagalan serangan Jepara pada tahun 1574, Tristao Vaz meyakini
bahwa Aceh akan menyerbu lagi dan dia menunggu kedatangan mereka dengan
persiapan khusus. Dia mempersiapkan dinding pertahanan, bubuk mesiu, dan
persediaan makanan yang dipesan dari Pegu dan Bengala. Joao Pereyra, Fernao de
Palhares, dan Bernaldim da Silva dipercaya memimpin armada laut. 120 orang
ditugaskan untuk membantu pertahanan maritim Melaka. Disamping itu,
perbentengan dari bambu (baluartes) juga dibangun di sekitar benteng Melaka
(Fortaleza da Malaca) dan di Bukit China (Wijaya, 2021).
Pada 31 Januari 1575, Aceh kembali melakukan serangan dengan 130 kapal
yang dilengkapi dengan meriam. Pasukan Aceh menghancurkan kapal yang
dipimpin oleh Joao Pereira, Bernalim da Silva, dan Fernando Pallares. Pasukan
Aceh membunuh 75 orang, menangkap 40 orang, dan 5 orang Portugis berhasil
melarikan diri. Tersisa 150 pasukan berupaya untuk mempertahankan benteng.
Beruntungnya Aceh tidak melanjutkan serangannya padahal Portugis kehabisan
amunisi untuk melawan Aceh. Pasukan Aceh merasakan ada sesuatu yang salah
ketika 17 hari mereka menyerang tetapi tidak ada perlawanan yang orang Portugis
berikan. Aceh berpikir bahwa ini adalah sebuah jebakan jika mereka memaksakan
diri untuk merangsek masuk dalam benteng. Aceh kemudian memutuskan diri
untuk pergi kembali ke Sumatera. Gubernur Portugis mengira bahwa Aceh dapat
dikalahkan lagi padahal hanya keberuntungan yang menaungi mereka.

Ancaman Aceh dirasa semakin nyata. Portugis akhirnya berupaya untuk


menyingkirkan Aceh. Akan tetapi, proyek penaklukan atas Aceh tidak pernah
dijalankan karena terdapat prioritas yang harus didahulukan serta keterbasan
finansial dan sumber daya manusia. Pada 1576, Matias de Albuquerque sebagai
Kapten Melaka saat itu telah mempersiapkan sejumlah pasukan untuk menyerang
Aceh namun pasukan tersebut pada kenyataannya dipindahkan untuk bertempur di
Srilanka (Villiers, 2001).

2.6 Pertempuran Laut 1583

Pada tahun 1582, Roque de Mello Pereira menggantikan Dom Joao da Gama
sebagai kapten Malaka. Dirinya memberikan amanat kepada Luis Monteiro
Coutinho sebagai kapten kapal yang bertanggungjawab atas keselamatan kapal
dagang yang berlayar dari Goa ke macau dan sebaliknya. Luis Monteiro turut
melakukan patroli di sekitar Selat Singapura. Tidak seberapa lama Roque de Melo
berkuasa, Aceh melakukan serangan dan Luis Monteiro diberi tanggungjawab
untuk turut mempertahankan Melaka. Pada 6 Februari 1583, dia harus
menghadapi armada Aceh yang terdiri atas 7 kapal besar, 40 ghali, dan 150 kapal
tempur kecil. Luis Monteiro mempersiapkan kapal dan 60 pasukan yang lahir di
Melaka namun apa daya kekuatan besar Aceh bukan tandingan bagi Portugis.
Walaupun semua penduduk Melaka bersiap untuk mempertahankan kota, Luis
Monteiro memilih
untuk mengabaikan strategi Kapten Melaka dan berjuang sendirian. Namun,
strategi Luis Monteiro mengalami kegagalan total. Kapten Melaka sebenarnya
berupaya untuk mengingatkan Luis Monteiro kembali ke benteng dengan
mengirimkan sekoci kecil bersama Nuno Vieira, namun dia menolak dan yakin
dapat menghabisi Aceh. Kapal Luis Monteiro yang menghampiri musuh malah
dikepung dari segala arah. Segera setelah kapal Luis Monteiro dibakar dan
diledakkan, semua awak kapal dan tentara terpelanting dan terjun ke laut.
Kejadian tragis itu menyisakan 12 orang serta Luis Monteiro Coutinho. Mereka
yang selamat kemudian ditahan dan ditawan hidup-hidup oleh pasukan Aceh
(Wijaya, 2021).

Sultan Alauddin Mansur Shah (Raja Mansur) melihat tidak mungkin


baginya untuk meneruskan gempuran ke benteng Melaka. Dia kemudian meminta
semua pasukannya termasuk membawa para tawanan kembali ke Aceh. 12 orang
tawanan kemudian dijebloskan ke penjara. Dalam penjara, para tawanan hidup
dalam penderitaan dan kelaparan. Sultan segera menyadari bahwa Luis Monteiro
adalah seorang bangsawan dan menawari untuk berada dipihaknya. Luis Monteiro
menolak dan tetap setia untuk membela panji kebesaran Raja Portugal. Pada suatu
malam, Luis Monteiro dan 12 tawanan lainnya dapat melarikan diri. Mereka
menyusuri pesisir pantai Pidie hingga prajurit kerajaan memergoki mereka. Sang
sultan pun tahu dan memerintahkan penangkapan kembali Luis Monteiro dan
rekan-rekannya. Pertempuran kecil tidak dapat dielakkan. Luis Monteiro berhasil
dilumpuhkan dan dipenjarakan kembali. Sultan terus membujuk Luis Monteiro
sekaligus mengancam akan dihukum mati. Luis Monteiro dan rekan-rekan tetap
pada pendiriannya dan kemudian mereka dieksekusi di sebuah tanah lapang
(Wijaya, 2021).

Peristiwa ini mengakhiri pertempuran Aceh dengan Portugis di Malaka yang


terjadi di abad ke-16. Pada tahun-tahun berikutnya, setelah abad ke-16 perlawanan
Kesultanan Aceh Darussalam masih terus dilakukan. Memasuki abad ke-17
Portugis masih tetap berusaha mempertahankan wilayah Malaka, ditambah lagi
dengan datangnya kongsi dagang milik Belanda, yaitu VOC. Sultan Aceh yang
mengambil peran besar dalam perlawanan terhadap Portugis di abad ini adalah
Sultan Iskandar Muda.
BAB 3

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa


adanya konflik dan penyerangan antara Kesultanan Aceh Darussalam dengan
Portugis sudah ada sejak tahun 1537, yakni pada masa pemimpin pertamanya,
yang bernama Sultan Ali Muqhayat Syah. Hal ini dilatarbelakangi karena di tahun
1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, para pedagang muslim segera
mengungsi ke Aceh sehingga Aceh dapat berkembang menjadi kerajaan maritim
yang besar dan menggantikan posisi Malaka pada saat itu. Pada awalnya serangan
di tahun 1537 berhasil dimenangkan pihak Aceh, tetapi selanjutnya pasukan Aceh
berhasil dipukul mundur oleh Portugis. Aceh pun mengalami pergantian
kekuasaan yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Shah Al-Kahar.

Di tahun 1572, Aceh kembali menyerang Portugis di Malaka. Namun


sayangnya, tujuh kapal Aceh ditugaskan untuk menghalau pasukan dapat dibakar
hingga kemudian tenggelam. Aceh kehilangan 700 prajurit baik bagi mereka yang
terbunuh dan tertawan. Penyerangan terus berlanjut hingga tahun 1575 dimana
Aceh kembali melakukan serangan dengan 130 kapal yang dilengkapi dengan
meriam. Pasukan Aceh berhasil menghancurkan kapal yang dipimpin oleh Joao
Pereira, Bernalim da Silva, dan Fernando Pallares. Akan tetapi, karena beberapa
hal, pasukan Aceh memutuskan untuk kembali ke Sumatera. Penyerangan Aceh
terakhir di abad ke-16 terjadi di tahun 1583 yang berakhir dengan penangkapan
Luis Monteiro yang kemudian dieksekusi.
DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi, Azra(ed). 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Yayasan Obor


Indonesia: Jakarta.

Helmiati. 2014. Sejarah Islam Asia Tenggara. Lembaga Penelitian dan


Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Islam Negeri Sultan Syarif
Kasim Riau: Pekanbaru.

Moorhead, F.J. 1983. A History of Malaya and Her Neighbours. London, New
York, & Toronto: Longmans.

Pires, T. and Rodrigues, F., 1990. The Suma oriental of Tome Pires, books 1-5
(Vol.
1). Asian educational services.

Poesponegoro, Maryati dan Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional


Indonesia 3: Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di
Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

Rahman, A., 2021. Peran Kerajaan Aceh Melawan Penjajahan dan Menyebarkan
Islam di Nusantara pada Abad 16-18 M. SALAM: Jurnal Sosial dan
Budaya Syar-i. 8 (5):1333-1344.

Villiers, J. 2001. Aceh, Melaka and the Hystoria dos cercos de Malaca of Jorge de
Lemos. Portuguese Studies. 17:75-85

Wijaya, D. 2021. Narasi dari Sang Rival: Serangan Aceh ke Melaka Menurut
Sumber-Sumber Portugis. Jurnal Sejarah. 3 (1):1-22.

Anda mungkin juga menyukai