Warisan Budaya
Tinggalan warisan budaya lainnya adalah berbagai benda rampasan perang dari pasukan
Kolonialis Portugis yang diperoleh melalui peperangan, seperti kekalahan pasukan Portugis
yang dipimpin Gaspar De Costa (1519) di Kuala Aceh; kekalahan armada Portugis di perairan
Aceh di pimpin Jorge de Brito (1521); kekalahan pasukan Portugis di Daya, Pedir dan Samudera
Pasai. Benda rampasan ini seperti meriam, senapan, pedang,; ada juga struktur seperti benteng
yang ada di sisi kanan Krueng Pasee; bahkan lonceng Cakra Donya yang saat ini ada
di Museum Aceh adalah peninggalan rampasan perang era awal kebangkitan Kerajaan Aceh. [3]
Berbagai peninggalan tersebut harusnya menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia karena
faktanya hanya seorang Ali Mughayat saja yang mampu mengalahkan Portugis di masa jayanya
pada abad ke-16 Masehi. Dan, kekalahan itu sangat memalukan sebagaimana dikatakan
Valentijn bahwa kekalahan Portugis itu memalukan sakali, karena Acah mendapat rarnpasan
alat-alat perang Portugis, yang lebih memperkuat Aceh. C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang
tahun 1530, Aceh sudah mendapat kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang
sampai membuat sejarawan Portugis sendiri Fernao Loper da Castanheda membandingkan
Sultan Acah telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng Portugis
di Malaka sandiri. [4]
Hal yang lebih menarik dari catatan sejarah di atas adalah fakta kekuatan militer Ali Mughayat
Syah bersumber dari minimum menjadi maksimum yang diperoleh melalui peperangan.
Hebatnya lagi, prajurit-prajurit perangnya tersebut tidak disebutkan dari bangsa lain melainkan
mereka anak-anak bangsa Achem yang ternyata sangat mahir berperang. Tetapi yang paling
menakjubkan lagi dari peristiwa sejarah di atas, yaitu adanya kekuatan spritual dikalbu seorang
Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim (panglima sekaligus saudara kandung), cita-cita
tertingginya untuk menghilangkan penjajah yang mengancam kedaulatan bangsanya dengan
menggunakan ideologi Islam. Alhasil, Aceh terbebaskan dari kolonialisme Portugis dan warisan
kemerdekaan itu dilanjutkan generasi selanjutnya setahap demi setahap.[5]