Anda di halaman 1dari 2

Ali Mughayat Syah dari Aceh

Sultan 'Ali Alaidin Mughayat Syah (Jawi : ‫ )علي الدين محياة شيخ‬adalah pendiri


dan sultan pertama Kesultanan Aceh yang bertakhta dari
tahun 1514 sampai meninggal tahun 1530. Mulai tahun 1520,
ia memulai kampanye militer untuk menguasai bagian
utara Sumatra. Kampanye pertamanya adalah Daya, di
sebelah barat laut yang menurut Tomé Pires belum
mengenal Islam. Selanjutnya pasukan melebarkan sayap
sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-
rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat
dan kekuatan militer laut, maka didirikanlah banyak pelabuhan.
[1][2]

Awal Kebangkitan Aceh


Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh berdiri sejak abad ke-16 Masehi
dengan terlebih dahulu melalui prahara yang seperti yang diceritakan dalam hikayat Aceh.
Keluar dari prahara, kerajaan yang membanggakan Nusantara ini berdiri dengan gagah dan lalu
meluaskan pengaruhnya dengan mengalahkan terlebih dahulu penguasa lautan abad ke-16
Masehi bangsa Portugis, bangsa imperialis yang ketika itu disebut lebih banyak memenangkan
peperangan dengan musuh besarnya pasukan Muslim di bawah kepimimpinan Khalifah
Utsmaniyah.
Justru di tanah Sumatera, Portugis diburu kemanapun jua ia bertapak. di Daya, Pedir, Samudera
Pasai, Aru, hingga Malaka, kolonialis Portugis dihentikan ambisinya oleh Kerajaan Aceh.
Kehebatan Kerajaan Aceh tidak lepas dari kemampuan kepemimpinan seorang Ali Mughayat
Syah bin Syamsu Syah bersama saudaranya Sultan Ibrahim yang dikenal sebagai penghancur
pasukan Portugis di kerajaan Samudera Pasai tahun 1524 Masehi (makamnya ada di Kuta
Alam, meninggal 21 Muharram 930 H/ 30 Nopember 1523).
Dari kedua manusia mulia inilah Kerajaan Aceh membangun wilayahnya yang kurang lebih
seperti luas Provinsi Aceh saat ini. Pada masa Sultan berikutnya, luas Aceh bertambah
menjangkau tanah semenanjung Melayu. Pada masa awal kerajaan Aceh didirikan tahun 1507,
tidak banyak bukti benda yang bisa diidentifikasi saat ini. Tetapi, sejarah mencatat bahwa
tinggalan terbaik dari kerajaan Aceh era awal adalah kawasan permukiman bernama Achen
yang ketika menjadi kerajaan menjelma menjadi pusat kerajaan Aceh bernama Bandar Aceh
Darussalam (saat ini dikenal dengan nama Kota Banda Aceh).

Warisan Budaya
Tinggalan warisan budaya lainnya adalah berbagai benda rampasan perang dari pasukan
Kolonialis Portugis yang diperoleh melalui peperangan, seperti kekalahan pasukan Portugis
yang dipimpin Gaspar De Costa (1519) di Kuala Aceh; kekalahan armada Portugis di perairan
Aceh di pimpin Jorge de Brito (1521); kekalahan pasukan Portugis di Daya, Pedir dan Samudera
Pasai. Benda rampasan ini seperti meriam, senapan, pedang,; ada juga struktur seperti benteng
yang ada di sisi kanan Krueng Pasee; bahkan lonceng Cakra Donya yang saat ini ada
di Museum Aceh adalah peninggalan rampasan perang era awal kebangkitan Kerajaan Aceh. [3]
Berbagai peninggalan tersebut harusnya menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia karena
faktanya hanya seorang Ali Mughayat saja yang mampu mengalahkan Portugis di masa jayanya
pada abad ke-16 Masehi. Dan, kekalahan itu sangat memalukan sebagaimana dikatakan
Valentijn bahwa kekalahan Portugis itu memalukan sakali, karena Acah mendapat rarnpasan
alat-alat perang Portugis, yang lebih memperkuat Aceh. C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang
tahun 1530, Aceh sudah mendapat kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang
sampai membuat sejarawan Portugis sendiri Fernao Loper da Castanheda membandingkan
Sultan Acah telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng Portugis
di Malaka sandiri. [4]
Hal yang lebih menarik dari catatan sejarah di atas adalah fakta kekuatan militer Ali Mughayat
Syah bersumber dari minimum menjadi maksimum yang diperoleh melalui peperangan.
Hebatnya lagi, prajurit-prajurit perangnya tersebut tidak disebutkan dari bangsa lain melainkan
mereka anak-anak bangsa Achem yang ternyata sangat mahir berperang. Tetapi yang paling
menakjubkan lagi dari peristiwa sejarah di atas, yaitu adanya kekuatan spritual dikalbu seorang
Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim (panglima sekaligus saudara kandung), cita-cita
tertingginya untuk menghilangkan penjajah yang mengancam kedaulatan bangsanya dengan
menggunakan ideologi Islam. Alhasil, Aceh terbebaskan dari kolonialisme Portugis dan warisan
kemerdekaan itu dilanjutkan generasi selanjutnya setahap demi setahap.[5]

Kemenangan dan Wafatnya


Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukannya.
Di Deli meliputi Pedir (Pidie) dan Pasai, pasukannya mampu mengusir garnisun Portugis dari
daerah itu. Dalam penyerangan tahun 1524 terhadap Aru, tentaranya dapat dikalahkan oleh
armada Portugis. Aksi militer ini ternyata juga mengancam Johor, selain Portugis sebagai
kekuatan militer laut di kawasan itu. Setelah meninggal tahun 1530, ia digantikan oleh Sultan
Salahuddin yang merupakan putranya sendiri.
Sultan ‘Ali Mughayat Syah adalah pemimpin Ummah dan pelopor kebangkitan Kesultanan Aceh
Darussalam dengan sebenarnya. Setelah menyumbangkan seluruh hidupnya untuk Agama
Allah, bangsa dan ummahnya, ia kembali ke Rahmatullah pada malam Ahad 12 Dzulhijjah 936
Hijriah (6 Agustus 1530). Semangat jihad dan cita-citanya kemudian dilanjutkan oleh para
pewarisnya sehingga pengaruh Kerajaan Aceh Darussalam di kawasan Asia Tenggara benar-
benar nyata sejak masa itu.[6]

Nama : CUT SARAH ALISA


KELAS : X-4

Anda mungkin juga menyukai