Anda di halaman 1dari 6

1.

Kesultanan Aceh (1507-1903)

a. Lokasi dan sumber sejarah

Kesultanan Aceh (1507-1903), yang letaknya di Aceh Rayeuk (sekarang Aceh Besar), didirikan oleh Ali
Mughayat Syah tahun 1496, di atas bekas wilayah Kesultanan Lamuri yang ditaklukkan Mughayat Syah.
Meski demikian, awalnya Aceh merupakan bagian atau semacam kerajaan bawahan dari Kesultanan
Pedir (Pidie). Karena itu, penentuan awal Aceh sebagai sebuah kesultanan adalah ketika Mughayat Syah
dilantik menjadi sultan pada 1507 (sumber lain mengatakan tahun 1514), setelah berhasil menaklukkan
Pedir serta kesultanan-kesultanan lain sekitarnya, seperti Daya, Lidie, dan Nakur. Keempat kesultanan ini
juga dibangun di atas puing- puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha yang pernah ada sebelumnya,
seperti Indra Purba, Indra Purwa, Indra Patra, dan Indrapura (Indrapuri).

Aceh merupakan salah satu dari kerajaan Islam yang besar, terutama karena kemampuannya
mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya menentang hegemoni bangsa Eropa,
sistem pemerintahan yang teratur dan sistematis mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu
pengetahuan, hingga kemampuan menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain.

Sumber sejarah tentang kesultanan ini adalah kitab Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri tahun
1637, yang beris tentang silsilah sultan-sultan Aceh dan batu nisan makam Sultan Al Mughayat Syah. Di
batu nisan ini, disebutkan Sultan Ali Mughayat Syah wafat pada 12 Zulhijah tahun 936 H atau 7 Agustus
1530 M.

b.Kondisi sosial politik kesultanan

Aceh berkembang pesat ketika Pasai berada di ambang keruntuhan (sejak diserang Majapahit sekitar
tahun 1360) dan Malaka jatuh ke tangan Portugis. Hal itu karena jatuhnya Malaka dan surutnya
pengaruh Pasai membuat kapal-kapal yang lewat di perairan Selat Malaka singgah di pelabuhan Aceh.
Pada tahun 1524, Pasai menjadi bagian dari Kesultanan Aceh. Kebesaran kesultanan ini tampak nyata
dalam perlawanannya yang berani dan heroik tidak saja terhadap bangsa Portugis, tetapi juga terhadap
penjajah Belanda.

Baru pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (bertakhta 1607-1636) Aceh mencapai puncak
kejayaan dengan wilayah kekuasaan meluas dari Deli sampai ke Semenanjung Malaya. Aceh
berkembang menjadi pelabuhan perdagangan yang besar, dibentuk tata pemerintahan yang rapi, secara
militer sangat kuat dan disegani, dan terjalin hubungan dengan negara-negara lain (termasuk Eropa).
Komoditas perdagangan cukup banyak sebab Aceh kaya rempah-rempah dan bahan tambang (lada dan
timah sangat melimpah di Semenanjung Malaya). Jenis barang dagangan lainnya adalah beras, emas,
perak, tekstil, porselen, dan minyak Pada masa pemerintahannya, disusun sebuah undang-undang
tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta yang ditulis dengan huruf Arab dan
berbentuk syair Melayu. Iskandar Muda juga sangat memperhatikan kestabilan dan ketahanan
kerajaannya. la membentuk militer yang kuat sehingga secara militer Aceh dianggap kesultanan terkuat
pada masa itu. Iskandar Muda juga terkenal piawai dalam urusan diplomasi, tidak saja dengan kerajaan-
kerajaan lain di Nusantara, tetapi juga dengan negara- negara Eropa, seperti Inggris, Belanda, Turki
Utsmani, dan Prancis wangi. Alam

Meskipun Kesultanan Aceh merupakan negara Islam, kehidupan masyarakatnya, tetap bersifat feodal.
Dalam tatanan masyarakatnya, Aceh memiliki golongan bangsawan yang memiliki gelar teuku dan
golongan ulama yang bergelar tengku. Kedua golongan ini sering bersaing berebut pengaruh dalam
masyarakat.

Di bidang kesusastraan dan agama, Aceh melahirkan beberapa ulama ternama, yang hasil karyanya
menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing. Mereka adalah Hamzah Fansuri (hidup pada masa
Iskandar Muda) dengan karya Tabyan Fi Ma'rifati al-Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dengan karya
Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dengan karya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf
Singkili dengan karya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil. Mereka sangat berpengaruh tidak hanya di Aceh, tetapi
juga sampai ke Jawa.

Iskandar Muda digantikan Iskandar Tsani (memerintah 1636-1641). Pada masa hidup sastrawan besar
bernama Nuruddin ar-Raniri yang dikenal dengan karyanya yang berjudul Bustanussalatin, yang berarti
taman raja-raja. Karya in berisi tentang adat istiadat Aceh dan ajaran tentang Islam.

Sepeninggal Iskandar Tsani, Aceh mengalami kemunduran. Faktor utamanya adalah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di Pulau Sumatra dan Selat Malaka (ditandai jatuhnya Minangkabau, Siak, Tapanuli
dan Mandailing, Deli, serta Bengkulu ke tangan Belanda). Faktor lainnya ialah adanya perebutan
kekuasaan, terutama antara golongan bangsawan (teuku) dan golongan ulama (tengku). Di antara para
ulama sendiri pun terjadi pertikaian karena perbedaan aliran dalam agama Islam (aliran Syi'ah dan
Sunni).

2. Kesultanan Demak (1500-1568)

a. Lokasi dan sumber sejarah

Demak (1500-1568) yang berlokasi di Demak (Jawa Tengah adalah kesultanan Islam pertama dan
terbesar di pantai utara Jawa. Sebelum menjadi kesultanan, Demak merupakan kadipaten dari Kerajaan
Majapahit dengan Raden Patah sebagai adipatinya sejak 1478. Raden Patah jugalah perintis sekaligus
peletak dasar kesultanan ini sejak tahun 1478 itu. Kesultanan ini merupakan pelopor penyebaran agama
Islam di Jawa

dan Nusantara umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang karena adanya perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan.
b.Kondisi sosial-politik kesultanan

Pendiri kesultanan ini adalah Raden Patah (memerintah 1500-1518), putra Kertabhumi (Brawijaya V)
dari perkawinannya dengan Putri Campa. Menurut Babad Tanah Jawi, perkawinan antara Kertabhumi
dan Putri Campa ditentang kalangan istana. Oleh karena itu, Kertabhumi dengan berat hati
menyerahkan Putri Campa yang tengah mengandung kepada Arya Damar, adipati Palembang (bagian
dari Majapahit). Sang Putri melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raden Patah.

Raden Patah menolak menuruti kehendak orang tuanya untuk menggantikan ayah tirinya sebagai
adipati Palembang. Diam-diam pergi ke Jawa menumpang kapal dagang, berlabuh di Surabaya, lalu I
menjadi santri Sunan Ampel. Raden Patah lalu pindah ke Jawa Tengah (tahun 1475) dan sekitar tahun
yang sama membuka Hutan Glagahwangi atau Hutan Bintara. Di tempat tersebut, ia mendirikan sebuah
pesantren atas perintah Sunan Ampel dan menjadikannya pusat penyebaran Islam. Banyak santri datang
ke Glagahwangi. yang membuat desa ini lambat laun menjadi ramai.

Prabu Brawijaya akhirnya mengakui Raden Patah sebagai putranya dan mengukuhkannya sebagai
adipati Demak. Raden Patah mengganti nama "Demak" menjadi "Bintara" sehingga kemudian ada
sebutan "Demak Bintara".

Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut Islam, seperti Jepara, Tuban, dan
Gresik, Raden Patah mengembangkan Demak Bintara sebagai pelabuhan dagang dan pusat penyebaran
Islam di Pulau Jawa. Para pendatang dari Tiongkok pun banyak yang menetap, terutama di Semarang,
Lasem, Juwana, hingga Tuban, Perlahan-lahan, Demak Bintara berkembang pesat.

Pada saat yang sama, Majapahit sedang melemah. Pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi
sebelumnya menguras energi dan sumber daya Majapahit. Kepemimpinan Brawijaya V juga merupakan
faktor lainnya. la dianggap terlalu tua untuk memerintah, peka terhadap kondisi kerajaan, lamban
mengambil keputusan, serta mudah dipengaruhi. Selain itu, dalam Serat Darmagandhul, suatu karya
sastra Jawa baru berbentuk puisi tembang macapat, diceritakan banyak daerah/bupati di daerah-daerah
pesisir ingin memisahkan diri. Untuk itu, dengan sengaja, mereka menolak membayar upeti kepada
Majapahit. Hal ini melemahkan Majapahit secara finansial yang berdampak pada lemahnya ketahanan
negara menghadapi ancaman internal dan eksternal.

Namun, menurut Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha, Sunan Ampel melarang Raden Patah menyerang
Majapahit yang saat itu diperintah oleh ayahnya sendiri, Brawijaya V alias Kertabhumi. Alasan Sunan
Ampel: meskipun berbeda agama, Brawijaya V adalah ayah kandung Raden Patah. Meskipun demikian,
setelah Sunan Ampel wafat, Raden Patah akhirnya benar-benar mewujudkan niatnya menyerang
Majapahit. Untuk itu, ia meminta bantuan bupati-bupati di wilayah pesisir yang membangkang terhadap
Majapahit agar ikut mengirim pasukan.
Menurut Serat Darmagandhul, Brawijaya V kaget dan sedih dengan langkah yang ditempuh putranya. la
sendiri tidak mau berperang melawan anaknya sendiri, lantas memerintahkan kurir untuk mengirimkan
pesan kepada kedua putranya yang lain, Adipati Pengging alias Handoyoningrat dan Adipati pronorogo
alias Betarakatong, yang loyal pada Majapahit. Dalam pesannya. keduanya ditugaskan untuk membantu
Brawijaya V membendung pasukan Raden Patah di perbatasan. Namun, belum sempat kur berangkat,
pasukan Raden Patah sudah tiba di istana Majapahit.

Pasukan Demak di istana Majapahit berjumlah 3.000 orang sementara pasukan Radep Patah berjumlah
30.000. Tidak seimbang Pertahanan Majapahit pun jebol. Brawijaya V sendiri mengungsi dan wafat
dalam pelarian. Riwayat Majapahit pun berakhir.

Setelah hancur, Majapahit menjadi bawahan Demak. Demak sendiri berdiri sebagai kesultanan Islam
pertama di Pulau Jawa dengan Raden Patah sebagai sultan (raja) pertama. Usaha Raden Patah
mengembangkan Demak dibantu menantunya.

Pati Unus yang saat itu menjadi adipati Jepara. Ketika Malaka dikuasai bangsa Portugis, ia terhadap
sesama kesultanan Islam, serangan itu juga dilakukan untuk membendung invasi bangsa Portugis atas
Jawa. Oleh karena keberaniannya itu, Pati Unus dijuluki Pangeran Sabrang lor (sabrang = 'menyeberang,
lor= 'utara') karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan bangsa Portugis.
Pati Unus tewas dalam serangan itu. Pada mengutus Pati Unus menyerang Malaka pada 1513. Selain
sebagai wujud solidaritas 1521, Demak sekali lagi menyerang Portugis di Malaka, kali ini di bawah
pimpinan Raden Patah sendiri. Raden Patah pun tewas.

Kendati gagal, kedua serangan itu, setidaknya, membuktikan betapa kuat posisi Demak di bawah Raden
Patah. Pada masa pemerintahan Raden Patah, dibangun Masjid Agung Demak, sebuah masjid yang
masih berdiri megah di Kota Demak sampai saat ini.

Raden Patah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raden Trenggana (memerintah 1521-
1546). Pada masa Sultan Trenggana, Demak berkembang pesat. Wilayah kekuasaannya meluas sampai
ke Jawa Barat dan Jawa Timur. Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di kedua wilayah tersebut.

Ekspansi Demak mencemaskan Kerajaan Pajajaran (Sunda), yang saat itu menguasai pelabuhan penting
dan strategis, yaitu Pelabuhan Sunda Kelapa. Oleh karena itu, Raja Sunda Sri Baduga (Prabu Siliwangi)
meminta bantuan Portugis di Malaka. Caranya diplomatis, yakni menjalin kerja sama perdagangan
dengan bangsa Portugis dan memberi izin kepada Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kelapa.
Kerja perdagangan itu berupa izin monopoli perdagangan lada kepada Portugis di dua pelabuhan utama
Pajajaran: Banten dan Sunda Kelapa.Kerja sama perdagangan itu berupa izin monopoli perdagangan
lada kepada portugis di dua pelabuhan utama Pajajaran:Banten dan Sunda Kelapa.Sebagai bagian dari
konsesi kepada Portugis Pajajaran berkomitmen 1.000 karung/kurleb 160 bahar (11.200 kilogram) per
tahun.
Sementara itu, dengan bersedia membangun benteng. Portugis Juga secara simbolis bersedia
melindungi Pajajaran dari ancaman musuh-musuhnya. Perjanjian itu baru ditandatangani kedua belah
pihak pada tahun 1522. Meski demikian, bangsa Portugis gagal memenuhi janjinya untuk kembali ke
Sunda Kelapa pada tahun berikutnya untuk membangun benteng karena ada masalah koloninya di Goa
(India).

Bagi Kesultanan Demak, adanya persekutuan ini menunjukkan ancaman invasi Portugis atas Jawa berada
di depan mata. Jika hal itu terjadi, ambisinya untuk menguasai dan mengislamkan seluruh Jawa
terancam gagal. Selain itu, cepat atau lambat, Portugis bisa mengakhiri riwayat Kesultanan Demak. Oleh
karena itu, sebelum bangsa Portugis membangun benteng dan menancapkan kaki, di bawah pimpinan
panglima perang bernama Fatahillah, Demak terlebih dahulu menyerang Sunda Kelapa pada 1526.
Demak pun menguasai Sunda Kelapa.

Fatahillah atau kerap juga disebut Fadhillah Khan, Falatehan, Ratu Bagus dari Pasai, berasal dari
Samudera Pasai. Ayahnya adalah pedagang Arab dari Gujarat (India) yang pindah ke Pasai. Setelah Pasai
ditaklukkan Portugis pada 1521, Fatahillah hijrah dari Pasai ke Demak dan disambut dengan baik oleh
Sultan Trenggana. Fatahillah jelas membenci Portugis karena pangkalan dan jaringan niaga orang
Gujarat termasuk keluarganya di Pasai dihancurkan oleh Portugis. la kemudian menikahi Ratu Ayu, putri
Syarif Hidayatullah dari Cirebon. Juga menikahi Ratu Pembayun, putri dari Raden Patah sekaligus janda
dari Jayakelana, putra dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan ibu Syarifah Fatimah (Baghdad).

Selanjutnya, tanpa menyadari penguasa Sunda Kelapa sudah berganti, pada 1527, datang ekspedisi
Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kelapa. Demak memukul mundur bangsa Portugis.
tepatnya pada 22 Juni 1527. Atas kemenangan itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi
Jayakarta, yang berarti kemenangan yang gemilang. Kemenangan Demak tidak terlepas dari kenyataan
bahwa jaringan pedagang Gujarat sudah cukup lama berada di Sunda Kelapa sehingga mudah saja bagi
Fatahillah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan Kota Sunda Kelapa.

Menurut Babad Tanah Jawi, sepeninggal Trenggana, yang meninggal di Pasuruan saat hendak
menyerang Kerajaan Hindu Blambangan, terjadi konflik perebutan takhta di antara anggota keluarga
kesultanan. Penggantinya adalah Pangeran Sedo Lepen,saudara Trenggana, yang dibunuh oleh anak
Trenggana sendiri, Prawoto. Konflik dan perebutan kekuasaan berlanjut. bahkan berkembang menjadi
perang saudara. Putra Sedo Lepen pangeran bernama Aryo Penangsang membunuh Prawoto. Hal ini
membuat murka Jaka Tingkir (ipar Sedo Lepen) dan para sesepuh kesultanan, terutama Ki Gede
Pamanahan dan Ki Penjawi. Arya Penangsang kemudian dikalahkan oleh Jaka Tingkir dan takhta Demak
jatuh ke tangannya.

Jaka Tingkir (Hadiwijaya) menjadi sultan Demak pada 1568 dan memindahkan ibu kota dari Demak ke
Pajang. Dengan pemindahan itu riwayat Kesultanan Demak berakhir. Sebagai tanda terima kasih.
Hadiwijaya menghadiahkan sebidang tanah perdikan atau daerah otonom yang disebut Mataram
kepada Ki Gede Pemanahan (menjadi penguasa Mataram dengan sebutan Ki Ageng Mataram); Ki
Penjawi diberi jabatan sebagai adipati di Pati.
Jaka Tingkir wafat tahun 1582 dan digantikan oleh Aria Pangiri putra Pangeran Prawoto, sedangkan
putra Jaka Tingkir sendiri, Pangeran Benowo diangkat sebagai sultan dengan wilayah kekuasaan di
Jipang. Karena kecewa, Benowo meminta bantuan Sutawijaya atau yang dikenal dengan Panembahan
Senopati (anak dari Ki Gede Pemanahan) untuk merebut takhta Pajang. Benowo berhasil menggulingkan
Aria Pangiri. Atas jasanya, Sutawijaya diserahi kekuasaan atas Jipang, sedangkan Pangeran Benowo
sendiri tetap berada di Pajang sebagai bupati. Oleh Sutawijaya, ibu kota keraton Pajang kemudian
dipindahkan ke Mataram (1586). Peristiwa ini menandai berakhirnya Kesultanan Pajang.

Anda mungkin juga menyukai