Anda di halaman 1dari 13

Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa.

Kerajaan ini didirikan


oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan
Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini
didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling
awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban
dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit
saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi
itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam
Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri
kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang
cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat
tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam
istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki
permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya
dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung,
sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden Patah
dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh
pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di
istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun,
raden patah bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat
di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu.
Di sana pula ia mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang
juga dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku
(Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah
dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia
diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan
kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat
kerajaan Islam di Jawa.
Di Bintara, Patah juga mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan
dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat
keramaian dan perniagaan. Raden patah memerintah Demak hingga tahun 1518, dan Demak
menjadi pusat penyebaran Islam di Jawa sejak pemerintahannya.
Secara beruturut-turut, hanya tiga sultan Demak yang namanya cukup terkenal, Yakni Raden
Patah sebagai raja pertama, Adipati Muhammad Yunus atau Pati Unus sebagai raja kedua, dan
Sultan Trenggana, saudara Pati Unus, sebagai raja ketiga (1524 1546).
Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang, diantaranya
adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan pengamalannya, serta
penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa).
Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan kerajaan dapat dilihat ketika ia
melanklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit (1478), hingga dapat
menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Patah juga mengadakan perlawan terhada
portugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu demak. Ia mengutus pasukan di
bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau Pangeran Sabrang Lor (1511),
meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian dilanjutkan oleh Pati Unus yang
menggantikan ayahnya pada tahun 1518.
Dalam bidang dakwah islam dan pengembangannya, Raden patah mencoba menerapkan hukum
islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, ia juga membangun istana dan mendirikan
masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu
dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
Di antara ketiga raja demak Bintara, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan
Kusultanan Demak ke masa jayanya. Pada masa trenggan, daerah kekuasaan demak bintara
meliputi seluruh jawa serta sebagian besar pulau-pulau lainnya. Aksi-aksi militer yang dilakukan
oleh Trenggana berhasil memperkuat dan memperluas kekuasaan demak. Di tahun 1527, tentara
demak menguasai tuban, setahun kemudian menduduki Wonosari (purwodadi, jateng), dan tahun
1529 menguasai Gagelang (madiun sekarang). Daerah taklukan selanjutnya adalah
medangkungan (Blora, 1530), Surabaya (1531), Lamongan (1542), wilayah Gunung
Penanggungan (1545), serta blambangan, kerajaan hindu terakhir di ujung timur pulau jawa
(1546).
Di sebelah barat pulau jawa, kekuatan militer Demak juga merajalela. Pada tahun 1527, Demak
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran (kerajaan Hindu di Jawa Barat), serta menghalau tentara
tentara portugis yang akan mendarat di sana. Kemudian, bekerja sama dengan saudagar islam di
Banten, Demak bahkan berhasil meruntuhkan Pajajaran. Dengan jatuhnya Pajajaran, demak
dapat mengendalikan Selat Sunda. Melangkah lebih jauh, lampung sebagai sumber lada di
seberang selat tersebut juga dikuasai dan diislamkan. Perlu diketahui, panglima perang andalan
Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (sumatera), yang juga menjadi menantu
Sultan Trenggana.
Di timur laut, pengaruh demak juga sampai ke Kesultanan banjar di kalimantan. Calon pengganti
Raja Banjar pernah meminta agar sultan Demak mengirimkan tentara, guna menengahi masalah
pergantian raja banjar. Calon pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat jawa pun masuk
islam, dan oleh seorang ulama dari Arab, sang pewaris tahta diberi nama Islam. Selama masa
kesultanan Demk, setiap tahun raja Banjar mengirimkan upeti kepada Sultan Demak. Tradisi ini
berhenti ketika kekuasaan beralih kepada Raja Pajang.
Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung
jati, Trenggana memperoleh gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu
sebelumnya telah diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan
Majapahit.
Trenggana sangat gigih memerangi portugis. Seiring perlawanan Demak terhadap bangsa
portugis yang dianggap kafir. Demak sebagai kerajaan islam terkuat pada masanya meneguhkan
diri sebagai pusat penyebaran Islam pada abad ke 16.
Sultan Trenggan meninggal pada tahn 1546, dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuran.
Ia kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Setelah sultan trenggana mengantar Demak ke
masa jaya, keturunan sultan tersebut silih berganti berkuasa hingga munculnya kesultanan
pajang.
Masjid agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak terpisahkan dari
kesultanan Demak Bintara. Kegiatan walisanga yang berpusat di Masjid itu. Di sanalah tempat
kesembilan wali bertukar pikiran tentang soal-soal keagamaan.
Masjid demak didirikan oleh Walisanga secara bersama-sama. Babad demak menunjukkan
bahwa masjid ini didirikan pada tahun Saka 1399 (1477) yang ditandai oleh candrasengkala
Lawang Trus Gunaning Janma, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini
terdapat lambang tahun Saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri pada tahun 1479.
Pada awalnya, majid agung Demak menjadi pusat kegiatan kerajaan islam pertama di jawa.
Bagunan ini juga dijadikan markas para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara sekaten,
dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga masyarakat berduyun-
duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura. Lalu para wali mengadakan semacam
pengajian akbar, hingga rakyat pun secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.
Cepatnya kota demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan
pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali dan raja dari
Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan dakwah
islam ke seluruh Jawa.
referensi : Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, M. Hariwijaya, S. S., M.S.i.
Categories: Sejarah Islam
Tags: Artikel Sejarah Islam, kerajaan demak, kerajaan islam demak, kerajaan islam di indonesia,
Sejarah Islam, sejarah islam di indonesia, Sejarah Islam Indonesia, sejarah kerajaan demak,
sejarah kerajaan islam demak

Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad
Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak
pada Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun
sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam
serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki takhta
Majapahit selama 40 hari.
Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan
Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel).
Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan
dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan
dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun
mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-
ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya
yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala,
dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang
melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan
karena serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.

Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia diceritakan sebagai raja
pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat
Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat
Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat Banjar disebut Sultan
Surya Alam.
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang
pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga
memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat
beragama lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa
kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang
beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan
Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal
itu dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena
sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit
lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah
meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya
yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan menyerang
bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate
Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis
ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63
tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar
Pangeran Sabrang Lor. "PERANAN WANITA ACEH MENAKLUKKAN KERAJAAAN
HINDU JAWA"
Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah
terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang
terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan
Kronika Pasai, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah
menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah
sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk
mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal
sebenarnya Puteri Champa yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir
Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, raja pertama Demak, kerajaan
Islam pertama di Jawa.
Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan
Champa, negeri asal Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu yang dianggap memiliki peran
penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun
abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan Champa, ada dua teori yang
beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya
yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang.
Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam
proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara
dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar
Acheh dalam Islamisasi Nusantara.
Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim
dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah
di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para
cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.
Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia
Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya
The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara,
bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi
Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama Jeumpa.
Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek Jawa, karena penyebutannya inilah
banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah
Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar
daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]
Putri Champa biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah
Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang
melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang
keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya.
Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan
Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit.[61]
Sang Putri Penakluk ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar
hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana
Malahayati, Tjut Nya Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya.
Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya,
tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi
dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam
tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana
Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya,
wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.
Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden
Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit
sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi
seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan
ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang
juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........
Dari negeri manakah gerangan Sang Puteri Penakluk yang telah sukses gemilang menjalankan
tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci
(mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (dai) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan
sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa,
dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.
Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang
wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan
Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga
menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah
wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang
selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda
dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam
Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan
memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?
Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan
asal saudara iparnya Putri Champa Penakluk Majapahit, maka perlu diselidiki bagaimanakah
keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.
Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun,
antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah
oleh Ch Bng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah)
seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau
memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak
peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan
mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372
menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372
dan 1377.
Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly,
pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak
catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas
kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun
Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa
adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan
Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan
Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra)
ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni
Muhammas Syahib Mirbath ibni Ali Khali Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni
Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni
Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni Ali Zainal Abidin ibni Al-
Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau
bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo
atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten
sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni
Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid
Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]
Di mana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua
Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung Puteri Champa. Padahal jika dikaitkan
dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah Puteri Champa itu adalah Wan
Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak
saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan
Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di Champa yang masih misterius itu. Boleh jadi yang
dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho
Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.
Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang
mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan
Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.[65]
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya
Kitab Kuning, Pesantren ..Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah
mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke
Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun
di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia
meninggal. (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia
bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim)
ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid
Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi
Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M.
Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid
Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli
sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar
Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh
yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan
terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas
dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim
sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa
yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan
menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai
adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari
seluruh penjuru dunia.
Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah
agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain,
sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu
menyebutkan bahwa segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa
Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang
cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh
sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan,
tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan
puteri-puterinya di sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut Champa) sangat
populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan
kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi,
Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum
Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah
dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din
Jafar Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.
Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam.
Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut
sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri
Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka,
bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat
mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi,
disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa
yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.
Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan
memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena
dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar
Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat
ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata
orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab,
India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat
memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang
banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya,
sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan
karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri,
Raja Ali Haji dan lainnya.
Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah,
khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah
perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal
Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti
Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika
sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu
naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik,
politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama,
baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam
memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha
Nusantara.
Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan
kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara
hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-
Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan
Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat
gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil,
seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang
telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat
membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban
Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi
jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang
sebagai wali di antara para wali. Ia seorang mubalig paling awal, tulis Drewes dalam bukunya,
New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di
depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia
ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai,
bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut
cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan
menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum
bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang
juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis,
beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran
dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan
Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt.
Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah
pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang
ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami
pula.
Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia
pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau,
sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam
sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga
pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang
dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu
digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya
adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan
pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa Champa yang dimaksud dalam sejarah pengembangan
Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana
Malik Ibrahim, asal Puteri Champa atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel),
bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana
dinyatakan Raffles, Champa berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang
menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti
Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun
Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V,
yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam
pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden
Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa
yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah
tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali
Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa.
Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah
melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat
bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit.
Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk
menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama
untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan
Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan
Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil
dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang
bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya
jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para
pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka
dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan
cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang
Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang
tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati
dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama
yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu
lainnya.
Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan
ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa
yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini
dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada
seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam.
Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat
kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil,
dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan
Melayu Palembang.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana
Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan
Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena
masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau
diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah
mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan
Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang
Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat
sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.
Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya
sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa
yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang
fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa.
Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah
alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai,
Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan
tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri,
Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.
Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di pulau jawa. Kerajaan ini didirikan
oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan kerajaan
Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor kesultanan ini
didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar, pendakwah islam paling
awal di pulau jawa.
Atas bantuan daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban
dan Gresik, Raden patah sebagai adipati Islam di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit
saat itu, Majapahit memang tengah berada dalam kondisi yang sangat lemah. Dengan proklamasi
itu, Radeh Patah menyatakan kemandirian Demak dan mengambil gelar Sultan Syah Alam
Akbar.
Pada awal abad ke 14, Kaisar Yan Lu dari Dinasti Ming di China mengirimkan seorang putri
kepada raja Brawijaya V di Majapahit, sebagai tanda persahabatan kedua negara. Putri yang
cantik jelita dan pintar ini segera mendapat tempat istimewa di hati raja. Raja brawijaya sangat
tunduk kepada semua kemauan sang putri jelita, hingga membawa banyak pertentangan dalam
istana majapahit. Pasalnya sang putri telah berakidah tauhid. Saat itu, Brawijaya sudah memiliki
permaisuri yang berasal dari Champa (sekarang bernama kamboja), masih kerabat Raja Champa.
Sang permaisuri memiliki ketidak cocokan dengan putri pemberian Kaisar yan Lu. Akhirnya
dengan berat hati raja menyingkirkan putri cantik ini dari istana. Dalam keadaan mengandung,
sang putri dihibahkan kepada adipati Pelembang, Arya Damar. Nah di sanalah Raden Patah
dilahirkan dari rahim sang putri cina.
Nama kecil raden patah adalah pangeran Jimbun. Pada masa mudanya raden patah memperoleh
pendidikan yang berlatar belakang kebangsawanan dan politik. 20 tahun lamanya ia hidup di
istana Adipati Palembang. Sesudah dewasa ia kembali ke majapahit.
Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun,
raden patah bersama adiknya berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Mereka mendarat
di pelabuhan Tuban pada tahun 1419 M.
Patah sempat tinggal beberapa lama di ampel Denta, bersama para saudagar muslim ketika itu.
Di sana pula ia mendapat dukungan dari utusan Kaisar Cina, yaitu laksamana Cheng Ho yang
juga dikenal sebagai Dampo Awang atau Sam Poo Tai-jin, seorang panglima muslim.
Raden patah mendalami agama islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku
(Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat). Setelah
dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat permukiman di Bintara. Ia
diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200 tentaranya. Raden patah memusatkan
kegiatannya di Bintara, karena daerah tersebut direncanakan oleh Walisanga sebagai pusat
kerajaan Islam di Jawa.
Di Bintara, Patah juga mendirikan pondok pesantren. Penyiaran agama dilaksanakan sejalan
dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Perlahan-lahan, daerah tersebut menjadi pusat

Anda mungkin juga menyukai