Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG

Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Sebelumnya kerajaan
Demak merupakan keadipatian vazal dari kerajaan Majapahit. Kerajaan ini didirikan oleh Raden
Patah pada tahun 1500 hingga tahun 1550 (Soekmono: 1973). Raden patah adalah bangsawan
kerajaan Majapahit yang telah mendapatkan pengukuhan dari Prabu Brawijaya yang secara resmi
menetap di Demak dan mengganti nama Demak menjadi Bintara.
(Muljana: 2005). Raden Patah menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak..Atas bantuan
daerah-daerah lain yang sudah lebih dahulu menganut islam seperti Jepara, Tuban dan Gresik, ia
mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya. Raden patah sebagai adipati Islam
di Demak memutuskan ikatan dengan Majapahit saat itu, karena kondisi Kerajaan Majapahit
yang memang dalam kondisi lemah. Bisa dikatakan munculnya Kerajaan Demak merupakan
suatu proses Islamisasi hingga mencapai bentuk kekuasaan politik. Apalagi munculnya Kerajaan
Demak juga dipercepat dengan melemahnya pusat Kerajaan Majapahit sendiri, akibat
pemberontakan serta perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga raja-raja.( Poesponegoro:
1984).
     Sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa, Kerajaan Demak sangat berperan besar
dalam proses Islamisasi pada masa itu. Kerajaan Demak berkembang sebagai  pusat perdagangan
dan sebagai pusat penyebaran agama Islam. Wilayah kekuasaan Demak meliputi Jepara, Tuban,
Sedayu Palembang, Jambi dan beberapa daerah di Kalimantan. Di samping itu, Kerajaan Demak 
juga memiliki pelabuhan-pelabuhan penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Jaratan dan Gresik
yang berkembang menjadi pelabuhan transito (penghubung). 

1.2     TUJUAN PENULISAN MAKALAH

Adapun tujuan penulisan makalah yang kami tulis, dalam pembuatan makalah Belajar dan
Pembelajaraan dengan perumusan masalah di atas adalah :
A.    Menjelaskan awal mula berdirinya kerajaan Demak
B.     Menjelaskan kondisi politik kerajaan Demak
C.     Menjelaskan kondisi ekonomi kerajaan Demak
D.    Menjelaskan kondisi sosial – budaya kerajaan Demak
E.     Menjelaskan peradaban kerajaan Demak pada abad XVI
F.      Menjelaskan perang saudara di kerajaan Demak
G.    Menjelaskan keruntuhan Demak
H.    Menjelaskan Demak dibawah kekuasaan raja – raja Mataram

1.3    METODE PENULIASAN MAKALAH

Metode atau cara yang digunakan dalam penulisan makalah interaksi edukasi dan konsep
belajar serta pembelajaran dalam pembuatan makalah ini dalam mencari referensi atau
sumbernya  yang kami buat adalah melakukan studi kepustakaan dan mencari sumber dari
Internet. Juga sumber-sumber lain yang dapat menjadikan referensi makalah yang kami buat ini.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada tahun 1478 M. Hal
ini didasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit yang diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang
Kertaning Bumi, yang berarti tahun saka 1400 atau 1478 M.
Kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden Fatah. Beliau selalu memajukan agama islam
di bantu oleh para wali dan saudagar Islam.Raden Fatah nama kecilnya adalah Pangeran Jimbun.
Menurut sejarah, dia adalah putera raja Majapahit yang terakhir dari garwa Ampean, dan Raden
Fatah dilahirkan di Palembang. Karena Arya Damar sudah masuk Islam maka Raden Fatah
dididik secara Islam, sehingga jadi pemuda yang taat beragama Islam.
Setelah usia 20 tahun Raden Fatah dikirim ke Jawa untuk memperdalam ilmu agama di
bawa asuhan Raden Rahmat dan akhirnya kawin dengan cucu beliau. Dan akhirnya Raden Fatah
menetap di Demak (Bintoro). Pada kira-kira tahun 1475 M, Raden Fatah mulai melaksanakan
perintah gurunya dengan jalan membuka madrasah atau pondok pesantren di daerah tersebut.
Rupanya tugas yang diberikan kepada Raden Fatah dijalankan dengan sebaik-baiknya. Lama
kelamaan Desa Glagahwangi ramai dikunjungi orang-orang. Tidak hanya menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan  agama, tetapi kemudian menjadi pusat peradagangan bahkan akhirnya menjadi
pusat kerajaan Islam pertama di Jawa.
Desa Glagahwangi, dalam perkemabangannya kemudian karena ramainya akhirnya
menjadi ibukota negara dengan nama Bintoro Demak.

  Letak Kerajaan Demak

Secara geografis Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal
kemunculannya kerajaan Demak mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah
dan Jawa Timur yang telah menganut agama Islam.Pada sebelumnya, daerah Demak bernama
Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan Kerajaan Majapahit. Kekuasaan
pemerintahannya diberikan kepada Raden Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya
menganut agama Islam dan berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai). Letak Demak sangat
menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak
terletak di tepi selat di antara Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak
lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil
jalan pintas untuyk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad XVII jalan pintas itu tidak
dapat dilayari setiap saat.Pada abad XVI agaknya Deamak telah menjadi gudang padi dari daerah
pertanian di tepian selat tersebut.
Konon, kota Juwana merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut pada sekitar 1500.
Tetapi pada sekitar 1513 Juwana dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar
kerajaan Majapahit yang bukan Islam. Ini kiranya merupakan peralawanan terakhir kerajaan
yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa tunggal di sebelah
selatan Pegunungan Muria.
Yang menjadi penghubung antara Demak dan Daerah pedalaman di Jawa Tengah ialah
Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara di Laut Jawa
antara Demak dan Jepara.Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun
sudah baik. Kesempatan untuk menyelenggarakan pengaliran cukup. Lagi pula, persediaan padi
untuk kebutuhan sendiri dan untuk pergadangan masih dapat ditambah oleh para penguasa di
Demak tanpa banyak susah, apabila mereka menguasai jalan penghubung di pedalaman Pegging
dan Pajang.

   KEHIDUPAN POLITIK  KERAJAAN DEMAK


Ketika kerajaan Majapahit mulai mundur, banyak bupati yang ada di daerah pantai utara
Pulau Jawa melepaskan diri. Bupati-bupati itu membentuk suatu persekutuan  di bawah
pimpinan Demak. Setelah kerajaan Majapahit runtuh, berdirilah kerajaan Demak sebagai
kerajaan Islam pertama dipulau Jawa. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Demak
adalah sebagai berikut :
A. Raden Patah (1500-1518)
Raden Patah adalah pendiri dan sultan pertama dari kerajaan Demak yang memerintah
tahun 1500-1518 (Muljana: 2005). Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra prabu
Brawijaya raja terakhir. Di ceritakan prabu Brawijaya selain kawin dengan Ni Endang
Sasmitapura, juga kawin dengan putri cina dan putri campa. Karena Ratu Dwarawati sang
permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, prabu Brawijaya terpaksa memberikan
putri Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan
Raden Patah, setelah itu putri Cina dinikahi Arya Damar, dan melahirkan seorang  anak laki-laki
yang diberi nama Raden Kusen. Demikianlah Raden Patah dan Raden Kusen adalah saudara
sekandung berlainan bapak.( Muljana:  2005). Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong,
nama panggilan waktu Raden Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (aliasBhre
Kertabhumi) atau disebut juga prabu Brawijaya V dari selir Cina.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah dan Raden Kusen menolak untuk menuruti
kehendak orang tuanya untuk menggantikan ayahnya sebagai adipati di Palembang. Mereka lolos
dari keraton menuju Jawa dengan menumpang kapal dagang. Mereka berdua mendarat di
Surabaya, lalu menjadi santri pada Sunan Ngampel.( Muljana: 2005). Raden Patah tetap tinggal
di Ngampel Denta, kemudian dipungut sebagai menantu Sunan Ngampel, dikawinkan dengan
cucu perempuan, anak sulung Nyai Gede Waloka.Raden Kusen kemudian mengabdi pada prabu
Brawijaya di Majapahit. Raden Kusen diangkat menjadi adipati Terung, sedangkan Raden Patah
pindah ke Jawa Tengah, di situ ia membuka hutan Glagahwangi atau hutan Bintara menjadi
sebuah pesantren dan Raden Patah menjadi ulama di Bintara dan mengajarkan agama Islam
kepada penduduk sekitarnya. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Prabu
Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak.Raden Kusen yang
kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit.Brawijaya merasa terkesan dan
akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai
bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah  pindah dari Surabaya keDemak tahun
1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu
membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan
Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan
kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo atau Bintara ( Muljana: 2005).
Dalam waktu yang singkat, di bawah kepemimpinan Raden Patah, lebih-lebih oleh
karena jatuhnya Malaka ke tangan portugis dalam tahun 1511, Demak mencapai puncak
kejayaannya. Dalam masa pemerintahan Raden Patah, Demak berhasil dalam berbagai bidang,
diantaranya adalah perluasan dan pertahanan kerajaan, pengembangan islam dan
pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara
(penguasa). ( Muljana: 2005 ). Keberhasilan Raden Patah dalam perluasan dan pertahanan
kerajaan dapat dilihat ketika ia menaklukkan Girindra Wardhana yang merebut tahkta Majapahit
(1478), hingga dapat menggambil alih kekuasaan majapahit. Selain itu, Raden Patah juga
mengadakan perlawan terhadapportugis, yang telah menduduki malaka dan ingin mengganggu
demak.Ia mengutus pasukan di bawah pimpinan putranya, Pati Unus atau Adipati Yunus atau
Pangeran Sabrang Lor (1511), meski akhirnya gagal. Perjuangan Raden Patah kemudian
dilanjutkan oleh Pati Unus yang menggantikan ayahnya pada tahun 1518. Dalam bidang dakwah
islam dan pengembangannya,
 Raden patah mencoba menerapkan hukum islam dalam berbagai aspek kehidupan. Selain
itu, ia juga membangun istana dan mendirikan masjid (1479) yang sampai sekarang terkenal
dengan masjid Agung Demak. Pendirian masjid itu dibantu sepenuhnya oleh walisanga.
B. Adipati Unus (1518 - 1521)
Pada tahun 1518 Raden Patah wafat kemudian digantikan putranya yaitu Pati Unus.Pati
Unus terkenal sebagai panglima perang yang gagah berani dan pernah memimpin perlawanan
terhadap Portugis di Malaka. Karena keberaniannya itulah ia mendapatkan julukan Pangeran
Sabrang lor. ( Soekmono: 1973).
Tome Pires  dalam bukunya Suma Oriental menceritakan asal-usul dan pengalaman Pate
Unus. Dikatakan bahwa nenek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat Daya.Ia merantau ke
Malaka dan kawin dengan wanita Melayu.
Dari perkawinan itu lahir ayah Pate Unus, ayah Pate Unus kemudian kembali ke Jawa
dan menjadi penguasa di Jepara.( Muljana: 2005 ). Setelah dewasa beliau diambil mantu oleh
Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah,
Adipati Unus resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri).
Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir
lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari
banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis ( Muljana: 2005 ). Hal
ini membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak
untuk segera dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang
mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka gagal dan balik kembali  ke tanah Jawa.
Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan
yang lebih baik.Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang
di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.Di tahun
1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau berwasiat
supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah
Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati.Armada perang yang sangat
besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang.Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati
Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan berubah,
sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.Kapal yang
ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu untuk merapat ke
pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas
penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan
gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada
Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan
yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif Sunan
Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda Sabrang Lor
dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

C. Sultan Trenggono (1521 - 1546)


Sultan Trenggono adalah Sultan Demak yang ketiga, beliau memerintah Demak dari
tahun 1521-1546 M. ( Badrika: 2006 ). Sultan Trenggono adalah putra Raden Patah pendiri
Demak yang lahir dari permaisuri Ratu Asyikah putri Sunan Ampel ( Muljana: 2005 ). Menurut
Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia merupakan adik kandung Pangeran Sabrang
Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat Kanda). Sultan Trenggono memiliki beberapa orang
putra dan putri.
Diantaranya yang paling terkenal ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya,
Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan
Hadiwijaya, dan Pangeran Timur yang berkuasa sebagai adipati di wilayah Madiun dengan gelar
Rangga Jumena.
Sultan Trenggana Wafat / Mangkat Berita Sultan Trenggono wafat ditemukan dalam
catatan seorang Portugis bernama Fernandez Mendez Pinto.Pada tahun 1546 Sultan Trenggono
menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai Blambangan.Sunan Gunung Jati
membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon, Banten, dan Jayakarta sebanyak
7.000 orang yang dipimpin Fatahillah.Mendez Pinto bersama 40 orang temannya saat itu ikut
serta dalam pasukan Banten. Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan,
tapi belum juga dapat merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggono bermusyawarah bersama
para adipati untuk melancarkan serangan selanjutnya.Putra bupati Surabaya yang berusia 10
tahun menjadi pelayannya.Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar
perintah Trenggono.Trenggono marah dan memukulnya.Anak itu secara spontan membalas
menusuk dada Trenggono memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera
dibawa pulang meninggalkan Panarukan.
Sultan Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di
bawah Sultan Trenggana, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut
Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana
(1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan
Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Panglima perang
Demak  waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu
Sultan Trenggana. Sultan Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran
menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto

D. Sunan Prawata (1546 – 1549)


Sunan Prawata adalah nama lahirnya  (Raden Mukmin) adalah raja keempat
Kesultanan Demak, yang memerintah tahun 1546-1549. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli
agama daripada ahli politik. Pada masa kekuasaannya, daerah bawahan Demak seperti
Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya. Menurut
Babad Tanah Jawi, ia tewas dibunuh oleh orang suruhan bupati Jipang Arya Penangsang, yang
tak lain adalah sepupunya sendiri. Setelah kematiannya, Hadiwijaya memindahkan pusat
pemerintahan ke Pajang, dan Kesultanan Demak pun berakhir.
Sepeninggal Sultan Trenggana yang memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546,
Raden Mukmin selaku putra tertua naik tahta.Ia berambisi untuk melanjutkan usaha ayahnya
menaklukkan Pulau Jawa. Namun, keterampilan berpolitiknya tidak begitu baik, dan ia lebih
suka hidup sebagai ulama daripada sebagai raja. Raden Mukmin memindahkan pusat
pemerintahan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto. Lokasinya saat ini kira-kira adalah
desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.Oleh karena itu, Raden
Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat
dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel Pinto.

 Pada tahun 1548, Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup
agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar
rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki. Sunan
Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar.Akan tetapi,
rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.
Cita-cita Sunan Prawoto pada kenyataannya tidak pernah terlaksana.Ia lebih sibuk
sebagai ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan,
seperti Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas; sedangkan Demak tidak
mampu menghalanginya.

    KEHIDUPAN EKONOMI KERAJAAN DEMAK


Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak sangat
strategis di jalur perdagangan nusantara memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan
maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah
penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian
barat.Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang.Dan hal ini juga didukung
oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga
memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang
menjadi komoditi dagang.Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil
pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi. Letak kerajaan
Demak yang strategis , sangat membantu Demak sebagai kerajaan Maritim. Lagi pula letaknya
yang ada di muara sungai Demak mendorong aktivitas perdagangan cepat berkembang.Di
samping dari perdagangan, Demak juga hidup dari agraris.Pertanian di Demak tumbuh dengan
baik karena aliran sungai Demak lewat pelabuhan Bergota dan Jepara.Demak bisa menjual
produksi andalannya seperti beras, garam dan kayu jati.
2.2 KERAJAAN MATARAM ISLAM

            Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati Ing Alag(Sutawijaya) (1584-


1601), pada sekitar abad ke-16. Pusat kerajaan terletakdi Yogyakarta. Ia mempunyai cita-cita
untuk mempersatukan Jawa ke dalam pengaruh kekuasaannya. Untuk itu, ia melakukan
perluasan kekuasaan kedaerah Demak, Madiun, Kediri, Ponorogo, Tuban, dan Pasuruan.
Tetapi cita-citanya itu mendapat rintangan dari daerah lainnya dan Surabaya tidak dapat
ditaklukkan. Para pelaut Belanda melaporkan tentang ekspedisi Mataram melawan Banten
sekitar tahun 1597 yang mengalami kegagalan. Senopati meninggal tahun 1601, dan
dimakamkan di Kota Gede. Ia digantikan oleh putranya bernama Mas Jolang terkenal dengan
nama Panembahan Seda Ing Krapyak (1601-1613).
            Pada tahun 1602, Pangeran Puger, saudara sepupu raja yang telah diangkat sebagai
penguasa Demak melakukan pemberontakan. Pada tahun 1602, Krapyak dipaksa mundur,
namun sekitar 1605 Pangeran Puger berhasil dikalahkannya.
            Pada masa kepemimpinan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan dalam berbagai
bidang di antaranya dalam bidang perekonomian. Mataram adalah sebuah negara agraris yang
mengutamakan mata pencahariannya dalam bidang pertanian. Kehidupan masyarakatnya
berkembang dengan pesat yang didukung oleh hasil bumi yang berupa beras (padi). Di bidang
kebudayaan Sultan Agung berhasil membuat Kalender Jawa, yang merupakan perpaduan tahun
Saka dengan tahun Hijriyah. Dalam bidang seni sastra, Sultan Agung mengarang kitab sastra
gending yang berupa kitab filsafat. Sultan Agung juga menciptakan tradisi Syahadatain (dua
kalimah syahadat) atau Sekaten, yang sampai sekarang tetap diadakan di Yogyakarta dan
Cirebon setiap tahun.
            Tumbuhnya kerajaan Mataram yang bersifat agraris bersamaan dengan tumbuhnya
susunan masyarakat feodal. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa
dengan yang dikuasai dan antara pemilik tanah dengan penggarap. Ketika kekuasaan Mataram
dibagi-bagi oleh pemerintah kolonial Belanda, sistem feodalisme Mataram tetap dipertahankan.
Puncak hierarki masyarakat feodal berada di tangan raja. Untuk melambangkan status kebesaran
raja dapat dilihat dari bangunan keratonnya. Sultan Agung membangun Keraton Mataram di
Karta dan Sitinggil (Yogyakarta) pada tahun 1614 dan
1625 yang dilengkapi dengan alun-alun, tembok keliling, pepohonan, masjid besar, dan kolam.
            Sementara itu, VOC berhasil menduduki Batavia. Sultan Agung berusaha melakukan
serangan ke Batavia (markas VOC) pada tahun 1628 dan 1629 dengan tujuan untuk mengusir
Belanda dari Batavia, tetapi serangan itu mengalami kegagalan. Serangannya yang pertama pada
tahun 1628, membuat beberapa kali benteng VOC terancam jatuh, namun upaya ini belum
berhasil, pihak Jawa menderita kerugian besar.

Pada tahun 1629, Sultan Agung mencoba lagi melakukan serangan kedua. Serangan ini
pun ternyata mengalami kegagalan
pasukan-pasukan Mataram mulai bergerak pada akhir Mei, tetapi pada bulan Juli kapal-kapal
VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan perahu-perahu di
Tegal dan Cirebon yang disiapkan untuk tentara Sultan Agung.
Penyerangan terhadap Batavia hanya bertahan selama beberapa minggu, pihak Sultan
Agung banyak mengalami penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kelaparan. Pada tahun
1645, Sultan Agung wafat dan dimakamkan di situs pemakaman di puncak bukit tertinggi di
Imogiri, yang ia buat sebelumnya.
Kerajaan Mataram kemudian dipimpin oleh putranya, Amangkurat I (1647-1677). Pada
masa pemerintahannya, Mataram mengalami kemunduran karena masuknya pengaruh Belanda.
Amangkurat I dan pengganti-pengganti selanjutnya bekerja samadengan VOC dan penguasa
Belanda. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menguasai tanah Jawa yang
subur. Belanda berhasil memecah belah Mataram. Pada tahun 1755 dilakukanPerjanjian Giyanti,
yang membagi kerajaan Mataram menjadi dua wilayah kerajaan, yaitu:
1.    Daerah kesultanan Yogyakarta yang dikenal dengan nama Ngayogyakarta Hadiningrat
dipimpin oleh Mangkubumi sebagai rajanya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
2.      Daerah Kasunanan Surakarta, dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono. Campur tangan Belanda
mengakibatkan kerajaan Mataram terbagi menjadi beberapa bagian, sehingga pada tahun 1813
terdapat empat keluarga raja yang masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, yaitu: Kerajaan
Yogyakarta,Kasunanan Surakarta, Pakualaman, dan Mangkunegaran.

2.3 KESULTAN CIREBON

Menurut Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah


Sundadan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang
menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di
sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat,
dan mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai
nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang
pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi
(belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutancai-rebon (Bahasa Sunda:, air
rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara
Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan
bagian dunia lainnya. Selain itu, Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama
Islam di Jawa Barat.
1.    Perkembangan awal

A.    Ki Gedeng Tapa

Ki Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang
saudagar kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358 (tahun
Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para pendatang mulai
menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.

B.     Ki Gedeng Alang-Alang

Kuwu atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden
Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang,
yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat,
Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu
yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.

C.    Pangeran Cakrabuana
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja
Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertamanya bernama Subanglarang (puteri Ki Gedeng Tapa).
Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan
Raden Kian Santang. Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai
putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama mayoritas di
Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya
digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang
kedua Nyai Cantring Manikmayang.
 Ketika kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan istana
Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang dianggap sebagai
pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,
tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif
menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.
2.    Pendirian
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon didirikan pada tahun 1552 oleh panglima kesultanan Demak, kemudian yang
menjadi Sultan Cirebon ini wafat pada tahun 1570 dan digantikan oleh putranya yang masih
sangat muda waktu itu.[2] Berdasarkan berita dari klenteng Talang dan Semarang, tokoh utama
pendiri Kesultanan Cirebon ini dianggap identik dengan tokoh pendiri Kesultanan
Banten yaitu Sunan Gunung Jati.[2]

      Sunan Gunung Jati (1479-1568)

Lukisan Sunan Gunung Jati


Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai
Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan
gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan
bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama
Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh
Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai
pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon danKesultanan Banten serta penyebar agama Islam
di Jawa Barat seperti Majalengka,Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[3]
      Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat
keraton yang selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat
oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah Cirebon
secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568. Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya
berlangsung dua tahun karena ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan
Gunung Jati wafat dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di
Gedung Jinem Astana Gunung Sembung.

      Panembahan Ratu I (1570-1649)


Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Mas, putra tertua Pangeran Dipati
Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan
memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
      Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena
ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah
meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya
almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan
Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan
kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan
Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh
mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah
sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan
Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di
Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan
Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di
Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi
makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.
3.     Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran
Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak
berada di tempat, khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk
meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam
Perang Pagarage), dia mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk
memperbaiki hubungan diplomatik Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo
yang disokong oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan.
Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya
pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai
Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan
Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih
hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak
beraliansi lagi dengan Mataram.
ü  Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan
Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana
kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan
berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
 Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil
Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
 Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi
Muhammad Badrudin (1677-1723)
 Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul
Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di
ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan
keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya
Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri
sebagaikaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan
tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua
dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain
yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
ü  Perpecahan II (1807)
Suksesi para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri
dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang
mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan
pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan
gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan
Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara takhta Sultan Kanoman V jatuh
pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
4.    Masa kolonial dan kemerdekaan

Sesudah kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton Kesultanan
Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada tahun-tahun 1906 dan 1926,
dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon secara resmi dihapuskan dengan
disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon), yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan
penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota
Cirebon kembali diperluas menjadi 2.450 hektare. Pada masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan
Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat pemerintah Indonesia
yaitu walikota dan bupati.
5.    Perkembangan terakhir

Setelah masa kemerdekaan Indonesia, Kesultanan Cirebon tidak lagi merupakan pusat
dari pemerintahan dan pengembangan agama Islam. Meskipun demikian keraton-keraton yang
ada tetap menjalankan perannya sebagai pusat kebudayaan masyarakat khususnya di wilayah
Cirebon dan sekitarnya. Kesultanan Cirebon turut serta dalam berbagai upacara dan perayaan
adat masyarakat dan telah beberapa kali ambil bagian dalam Festival Keraton Nusantara (FKN).

Umumnya, Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling
penting karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton Kanoman
sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian adalah Keraton
Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan. Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik
internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang
Muhammad Saladin, untuk pengangkatan takhta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan
ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut

6.    Puncak kejayaan
 
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkanperdagangan dalam
menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang
pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. [9] Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu
orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang
dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
 Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten.
Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta
juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur
pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan
Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini
Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.

7.    Perang saudara
Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan
kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam
memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat
mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk
mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.[1] Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa
mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28
Desember 1682kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama
putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan
pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di
Batavia.

2.4 KESULTANAN BANTEN

            Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi
Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan
pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
            Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian
dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana
Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi
dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas
kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama
dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun
1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
            Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga
melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan
raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi
keris oleh raja tersebut.
              Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggono, Banten
yang sebelumnya bagian dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan
yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570
melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan
Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba
menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit
gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.
              Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa bertahta pada tahun 1651-1682 dipandang sebagai
masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun
atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten.
Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana
atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada
masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah
melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
            Sekitar tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan
kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini
dimanfaatkan oleh VOC yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang
saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan
Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di
London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.
Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan
yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh
Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan
Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun pada 14 Maret
1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
            Sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng
yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC
mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan
pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan
Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf.
Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri.
Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran
Purbaya, dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa
dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara
mereka, puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan Pangeran
Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.

Setelah meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan


pengaruhnya di Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya
digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad
Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-
1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke
Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan
dibangun di Ujung Kulon.
Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan
penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya
disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk.

Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang
ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa
wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda. Kesultanan Banten
resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh
Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri
riwayat Kesultanan Banten.

          
BAB III
PENUTUP
1.    Kesimpulan
Seiring perkembangan zaman yang begitu cepat, kerajaan kerajaan di Indonesia mulai di
lupakan oleh masyarakat. Oleh karena itu kita sebagai pelajar dan generasi muda di Indonesia
wajib tetap mengenang dan melestarikan peninggalan peninggalan kerajaan di Indonesia yang
begitu melimpah. Setidaknya kita mengetahui akan peninggalan di pulau tempat tinggal kita ini
yaitu Pulau Jawa  yang menyimpan banyak sekali sejarah sejarah yang dapat kita ambil
khikmahnya.
Di kerajaan islam di Jawa banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil khikmahnya antara
lain yaitu tidak mudah putus asa dalam meraih tujuan yang kita telah rencanakan dan kita telah
impikan. Penyebaran agama islam juga sangat berpengaruh sampai sekarang ini sehingga agama
islam tetap dapat lestari.

2.    Saran
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan maupun referensi pengetahuan mengenai
Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Namun, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan, karena melihat masih banyak hal-hal yang belum bisa dikaji lebih mendalam dalam
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Adnan Sekecake, Peta dan  Kerajaan Demak, http:// warungbaca9.blogspot.com, Senin  09


January 2012, Jam 20:00
Ahmad al-Usairy, 2003,Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana

Anda mungkin juga menyukai