Anda di halaman 1dari 17

KERAJAAN ISLAM DI

KALIMANTAN

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah Indonesia

Disusun Oleh :

KELOMPOK 6

ANGGOTA :

FARIZ
MARWANDI
RIFAL
REGI
MEIKAL
IPAN

KELAS : X TKR 1

SMK SAMUDRA
KECAMATAN CISOLOK
KABUPATEN SUKABUMI
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Kerajaan-kerajaan Islamdi Pulau
Kalimantan ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya
hingga kini. Dan Semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan
syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Cisolok, 15 Januari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesultanan Paser.................................................................................... 3
B. Kesultanan Banjar.................................................................................. 3
C. Kesultanan Kotawaringin...................................................................... 5
D. Kesultanan Pagatan................................................................................ 6
E. Kesultanan Kutai Kartanegara............................................................... 7
F. Kesultanan Bulungan............................................................................. 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 13
B. Saran...................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adanya penemuan prasasti batu nisan bertanggal 127 Hijriah atau
tepatnya 745 Masehi menjawab perdebatan panjang para ahli sejarah
mengenai kedatangan Islam di Indonesia. Prasasti sejarah yang ditemukan di
Kecamatan Sandai ini bernilai tinggi untuk mengungkap bahwa kebudayaan
Islam di Ketapang adalah kebudayaan Islam tertua di Nusantara yang datang
pada abad ke-7, bukannya di Aceh.
Sebelumnya, para ahli yang kebanyakan dari barat-Belanda masih
berbeda pendapat tentang waktu penyebaran Islam di Nusantara. Beberapa
ahli ada yang menyebutkan abad ke-10, abad ke-12 dan abad ke-13 sebagai
periode paling mungkin dari permulaan penyebaran Islam di Nusantara.
Berdasarkan kenyataan sejarah, menurut Koordinator Yayasan Daun Lebar, Ir
Gusti Kamboja, mengatakan saat Islamisasi di Samudera Pasai, Aceh, raja
pertamanya Malik Al-Shalih, wafat 698 Hijriah atau 1297 Masehi, Gujarat
masih merupakan kerajaan Hindu.
Selain itu, dari hasil penelitian Yayasan Daun Lebar disimpulkan
bahwa bentuk Prasasti Sandai ini tidak sama dengan bentuk batu nisan di
Pasai dan Gresik, Jawa Timur. Batu tersebut bukan pula batu asli dari
Kabupaten Ketapang, melainkan batu impor.Meski penelitian yang dilakukan
belum sepenuhnya rampung, yayasan ini secara giat juga mengumpulkan
banyak literatur untuk memperkuat penemuan tersebut.
Disimpulkan Kamboja, berdasarkan tarikh Prasasti Sandai ini terbukti
telah terjadi koneksi nusantara dengan Arab-Persia pada awal abad ke-7. Pada
masa itu dikenal dalam sejarah sebagai masa kejayaan Dunia Islam. Sejarah
umat Islam mencatat, bahwa pada abad ke-7 di Spanyol masih dikuasai
penguasa muslim. Pada periode ini, Dinasti Umayah (132 M–749 M) dan
Dinasti Abbasiyah (750 M–798 M) telah melakukan ekspansi ke Persia dan
Anak Benua India hingga melakukan pelayaran ke Timur Jauh.

1
2

Meskipun pada abad ke-7 penduduk di Kabupaten Ketapang (Kerajaan


Tanjungpura) telah bertemu dan berinteraksi dengan para pedagang Muslim
Arab, belum terdapat bukti tentang terdapatnya penduduk Muslim lokal dalam
jumlah yang besar atau tentang terjadinya Islamisasi substansial di
Tanjungpura. Penguasa Tanjungpura baru memeluk Islam pada tahun 1.590
dengan memakai gelar Panembahan dan Giri, yaitu Panembahan Giri Kusuma
dan mengubah nama kerajaan Hindu Tanjungpura menjadi kerajaan Islam
Matan (Arab; tempat permulaan).
Dengan adanya penemuan prasasti batu nisan di Sandai ini (Prasasti
Sandai), dikatakan Kamboja dapat diduga bahwa hubungan antara masyarakat
di Tanjungpura (Borneo Barat) dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-
masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua
India yang mendatangi kepulauan Nusantara dan Tiongkok tidak hanya
berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada
penduduk setempat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan dalam
makalah ini adalah kerajaan-kerajaan Islam apa saja yang ada di pulau
Kalimantan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kesultanan Paser
Tentang terbentuknya awal kerajaan Paser, Haji Aji Abdoel Rasyid
dan kawan-kawan yang ditulis oleh M.Irfan Iqbal, et.al,dalam bukunya yang
berjudul “Budaya dan Sejarah Kerajaan Paser” mengatakan terbentuknya
Kerajaan Paser pada tanggal 2 Safar tahun 9 Hijriyah atau tahun 630 Masehi.
Pada saat Putri Petong berusia 22 tahun dilantik atau dinobatkan menjadi ratu
(ratu pertama kerajaan Paser) yang semula kerajaan Padang Bertinti menjadi
kerajaan Sadurengas. Namun, dalam versi Pemerintah Kabupaten Paser,
Kerajaan Sadurangas didirikan pada abad ke-16 atau sekitar tahun 1516.
Sebelum Putri Petong menikah dengan Abu Mansyur Indra Jaya. Putri
Petong diyakini menganut kepercayaan animisme atau suatu kepercayaan
yang memuja roh-roh halus dan dewa-dewa. Roh-roh halus atau dewa-dewa
diyakini bisa membantu sewaktu-waktu diperlukan, untuk memanggil roh-roh
halus tersebut dibutuhkan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan
Panti, di dalam panti tersebut diberi sesajen kue-kue yang dibuat berbentuk
patung-patung dari tepung beras menyerupai roh yang akan dipanggil.
Putri Petong setelah bersuamikan Abu Mansyur Indra Jaya, setahun
kemudian Putri Petong melahirkan anak yang pertama seorang lelaki yang
diberi nama Aji Mas Nata Pangeran Berlindung bin Abu Mansyur Indra Jaya.
Tiga tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang anak perempuan,
yang diberi nama Aji Putri Mitir binti Abu Mansyur Indra Jaya dan enam
tahun kemudian Putri Petong melahirkan lagi seorang lelaki yang diberi nama
Aji Mas Pati Indra bin Abu Mansyur Indra Jaya.

B. Kesultanan Banjar
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan),
kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai
yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah

3
4

Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang


menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah
kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan
telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Sehingga sebagian
rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu
peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang
terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14
terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan
kisaran 242-226 SM.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja
Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-
raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja
Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima
bersaudara putra-putra dari Maharaja Pandu Dewata.
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar
penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Putri Galuh
Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari
Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan
Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja
Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri
dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran
Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran
Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar
menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih
di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat
menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih.
Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit
dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400
5

prajurit mampu menahan serangan tersebut. Akhirnya Pangeran Tumenggung


bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran
Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar
yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi
wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar
Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk Islam dibimbing
oleh Khatib Dayan.

C. Kesultanan Kotawaringin
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai
penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim
menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada
penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-
hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas
sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua
orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi
telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di
situ.
Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah
Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya
dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara
Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana
dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia
kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan
membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah
satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat
perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-
1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari
golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma
karena menikahi Andin Juluk, putri dari Dipati Ngganding.
6

Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu


Putridari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa
sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan
Aji Ratna PutriAji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua putri
yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.

D. KesultananPagatan
Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah Kerajamudaan sebagai bawahan
kerajaan Banjar yang merupakan daerah otonomi bagi imigran suku Bugis di
dalam negara Kesultanan Banjar. Kerajaan otonom ini adalah salah satu
kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran
Sungai Kusan (sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten
Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan). Wilayah Tanah Kusan bertetangga
dengan wilayah Kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu
Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Penguasa Kerajaan Pagatan disebut Arung (bukan Sultan), Belanda
menyebutnya de Aroeng van Pagattan. Permukiman Pagatan didirikan oleh
Puana Dekke (La Dekke), seorang imigran suku Bugis atas seijin Sunan Nata
Alam atau Panembahan Batuah dari Dinasti Tamjidullah I. Negeri Pagatan
kemudian menjadi sekutu Sunan Nata Alam untuk menghabisi rival politiknya
yaitu Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah (keturunan Sultan Kuning) yang
menuntut tahta Kesultanan Banjar dengan dukungan Arung Turawe (Gusti
Kasim) beserta pasukan Bugis-Paser. Atas keberhasilan mengusir Sultan Amir
dari Tanah Kusan, La Pangewa (Hasan Pangewa), pemimpin orang Bugis
Pagatan, dilantik Sultan Banjar sebagai kapitan (raja) Pagatan yang pertama
sekitar tahun 1784 dengan gelar Kapitan Laut Pulo.
Kerajaan ini semula merupakan sebagian dari wilayah Kesultanan
Banjar selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda dalam Traktat Karang Intan. Menurut
Staatblaad, wilayah kerajaan ini merupakan "leenplichtige landschappen"
dalam Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe.
7

E. KesultananKutai Kartanegara
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah
yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di
wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara
Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan
Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu
daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada
dari Majapahit.
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja
Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai
(atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura
atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai
Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai
Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang
Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu
dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun,
sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris
(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan
nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi
Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai
merupakan salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti
kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-
14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620
Kutai berada di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan
Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk
menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636,
Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena
Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk
8

menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan


seluruh Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622).
Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak
(penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin
tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638
(sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir
serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai
tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum
Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut
terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan perjanjian
dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud
yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja
Gowa tahun 1638-1654..
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai
Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada
1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC
Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri
diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756., karena VOC
bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh
VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang
anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah
dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut
tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam membuat
perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah
protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu
kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara
sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana
(sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9
September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan
menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang
9

ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian wilayah Hindia-Belanda diserahkan


kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare
menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812.
Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia
Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan
kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar. Negeri
Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak
Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari
Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.
Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi
daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan
II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia
Belanda diwakili Residen Mr. Tobias.
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar.
Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia
Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah
dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di
Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826.

F. Kesultanan Bulungan
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos
ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda
bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya
cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang
tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat
jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demikian itulah disebut dengan folk
history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku
bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan,
mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya
terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai
10

Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka


pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun
binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu
betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan
telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak
laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan.
Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya
memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka
masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan
bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan),
yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu
maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang
calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah
keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka
Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan).
Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai
seorang putri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang
laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari
perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau
dan seorang putri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai
Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti
matinya diletakkan di sebelah hilir (sungai Kipah). Lahai Bara mewariskan
tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup
kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini
menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan.
Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta
peti mati Lahai Bara.
11

Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan


menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka
tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang
sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban
inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh
keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak
ada seorang pun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut
kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja
dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan
selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak
Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan
saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku
bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai
Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung
Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga
sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai
Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping.
Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan
mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan
kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan
Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di
Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk
Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air
minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani
menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah
siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk
Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan
perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini
12

akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang putri
keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak,
kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin
berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui
perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat
mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji
ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang
lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.Setelah Asung
Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa
pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku,
karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya
disebut sebagai Kesatria/Wira.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan adanya penemuan prasasti batu nisan di Sandai ini (Prasasti
Sandai), dikatakan Kamboja dapat diduga bahwa hubungan antara masyarakat
di Tanjungpura (Borneo Barat) dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-
masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak benua
India yang mendatangi kepulauan Nusantara dan Tiongkok tidak hanya
berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada
penduduk setempat.
Kerajaan Islam di Kalimantan awal mulanya terjadi karena Kerajaan
Hindu berperang dengan kerajaan Islam, tetapi akhirnya kerajaan Hindu
menyerah diantaranya kerajaan Hindu di Candi Laras dan Candi Agungdi
TanjungPura. Sebagian rakyat memeluk agama Islam termasuk sebagian
rakyat Dayak di pantai-pantai. Rakyat Dayak yang telah masuk Islam, ialah
yang sering disebut sebagaiDayak melayu, yang kebanyakan di Kuala Kapuas,
Tumpung Laung (Barito) dan beberapa kampung melayu, sebenarnya mereka
tetap suku Dayak, hanya sudah memeluk agama Islam.

B. Saran
Kita perlu mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan Islam. Dan kita perlu
mengembangkan wawasan kita tentang sejarah. Karena itu termasuk hal
penting.

13
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Suwardi. 2006. LKS Merpati. Karanganyar: Graha Multi Grafika.

Siti Waridah Q, Dra. 2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

Nico, Manus. 2000. Sejarah. Jakarta: Yudhistira.

https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bulungan

https://id.wikipedia.org/wiki/
Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Islam#Kerajaan_Islam_di_Kalim
antan

Anda mungkin juga menyukai