Anda di halaman 1dari 15

Demak

Raden Patah
Raden Patah adalah pendiri Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1475-
1518.

Asal-Usul Raden Patah


Terdapat berbagai versi tentang asal-usul pendiri Kesultanan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir
Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang
permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa
memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati
Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar,
melahirkan Raden Kusen.
Menurut kronik Cina dari kuil Sam Po Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin
Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi
Pararaton) dari selir Cina. Kemudian selir Cina diberikan kepada seorang
peranakan Cina bernama Swan Liong di Palembang. Dari perkawinan kedua itu
lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455.
Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja
(memerintah tahun 1474-1478).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri
Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang
saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong.
Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana
menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa
menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh
karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah
angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu menjadi
menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya
Sumangsang.
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin,
cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Meskipun terdapat berbagai versi, namun terlihat kalau pendiri Kesultanan
Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Raden Patah Mendirikan Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya
Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden
Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di
Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden
Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagah-wangi menjadi sebuah
pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit
khawatir kalau Raden Patah berniat memeberontak. Raden Kusen yang kala itu
sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden
Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa
terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden
Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama
menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintoro.
Menurut kronik Cina, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475.
Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal
itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi
Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui Jin Bun sebagai
anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo.

Perang Demak dan Majapahit


Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat,
terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel
melarang Raden Patah memberontak pada Majapahit karena meskipun berbeda
agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan
Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam
serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri menduduki
takhta Majapahit selama 40 hari.
Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin
Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong
Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-
bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara
hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang
Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi.
Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-
bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah
Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai
penguasa [[Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah
tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau
Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena serangan Demak, melainkan karena
serangan keluarga Girindrawardhana.

Pemerintahan Raden Patah


Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia
adalah raja pertama Kesultanan Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar
Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin
Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah
Alam Akbar.
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka",
karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat
pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab
undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain, sikap Raden Patah
sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi
masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang
beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana
wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan
ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi persaingan politik
memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi
pula, naskah babad dan serat juga memberitakan kalau pihak Majapahit lebih
dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah
meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512
menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis di
Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Cina yang diberitakan
menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate
Unus adalah menantu Pate Rodin, sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun.
Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Cina, sama-sama
menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518
dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam
Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran Sabrang Lor.

Keturunan Raden Patah


Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang
pertama adalah putri Sunan Ampel, menjadi permaisuri utama, melahirkan
Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan
kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang kedua seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden
Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana
berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu
Mas Nyawa. Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin
dan Raden Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya
mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias
Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki
Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya bunga yang gugur di sungai.
Kronik Cina hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan
Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan
Sultan Trenggana.
Suma Oriental menyebut Pate Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate
Rodin, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate
Rodin Yunior lebih tua usianya dari pada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan
Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.

Pati Unus
Pati Unus atau Adipati Unus (1480?–1521) adalah Sultan Demak kedua, yang memerintah
dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan
Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik iparnya, Sultan
Trenggana.

Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang=menyeberang,
lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.

Silsilah
Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden
Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan
sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah
Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang
bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin
Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari
(wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al
Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al
Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M
yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn
(Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu
Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.

Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri seorang Muballigh
asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana
Akbar, seorang Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori
dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi
Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih
ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah
yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik
perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk ditawarkan
kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.

Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam. Putra yang lahir
dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang
pertama di beri gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa beliau
Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunda beliau adalah cucu Ulama Besar Gujarat
Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti
Ibrahim Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.

Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri Ulama Gujarat
keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putra beliau yang bernama Raden
Muhammad Yunus yang setelah menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara
dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini lahirlah seorang putra yang
kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi
menanntu Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi
sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di Malaka di kenal masyarakat dengan gelar
Pangeran Sabrang Lor.

Kiprah
Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh
Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah,
Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri).
Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul
Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian
hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus.

Dari pernikahan ini beliau diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putra beliau yang merupakan
cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera
merubah nasib Kesultanan Demak.

Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia Tenggara meningkat
sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis di tahun 1511, maka Kesultanan
Demak mempererat hubungan dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan
Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarif Hidayatullah
adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden
Patah seperti yang disebut dimuka adalah ibundanya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir
di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak ayah adalah juga keturunan Syekh
Mawlana Akbar.

Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan yang ke02 Pati Unus dengan
Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat
sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak
dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pembina umat Islam di tanah
Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelar beliau yang baru adalah
Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke
tangan Portugis. Gentingnya situasi ini dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh
Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka Negara
Kretabhumi.

Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini membuat tugas Pati
Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera
dilaksanakan. Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba
mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik kembali ke tanah Jawa.
Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan
yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal
perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal.

Di tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah mangkat, beliau
berwasiat supaya mantu beliau Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka
diangkatlah Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis
nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar
Alam Akbar At-Tsaniy.

Expedisi Jihad II
Memasuki tahun 1521, ke 375 kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat
Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemudahan dan
kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putra beliau (yang masih sangat
remaja) dari pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih
sangat remaja) dari seorang selir dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab
keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.

Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan
dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar
untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati
Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini sejarah keluarga beliau akan
berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.

Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah
mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula
yang mencuat dari benteng Malaka.

Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan menurunkan perahu
untuk merapat ke pantai. Beliau gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama
Muslim yang tertindas penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-
rempah.

Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3
malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu
sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521
ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka (kaum Papia Kristang) hanya terdapat
kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada Johor
dalam banyak pertempuran kecil.

Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban kemudian
memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah
Pati Unus gugur. Satu riwayat yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2
yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih oleh Fadhlulah Khan (Tubagus
Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan
alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati
Unus yang syahid di Malaka.

Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan oleh faktor - faktor
internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia

Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua, Raden Abdullah
dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan
armada yang tersisa untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke
Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena
negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu Malaka
ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam
meng-Islam-kan tanah Pasundan hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam
penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya orang Malaya
(Melayu).

Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut masyarakat dengan
gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada
Gabungan Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan
yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir
Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah atas inisiatif
Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putri beliau yang menjadi janda
Sabrang Lor dinikahkan dengan Fadhlullah Khan.

[sunting] Keturunan
Dengan selamatnya putra Pati Unus yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah
hendak melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada pembantaian cucu nabi
Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunan beliau justru menjadi
berkembang besar dengan selamatnya putra beliau Imam Zaynal Abidin. Bukan kebetulan
pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut diatas adalah keturunan Imam Husayn cucu Nabi
Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan Pahlawan besar.

Ketika armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden Abdullah diajak
pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para
komandan dan penasehat armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat
khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta mengingat sepeninggal
Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi Kesultanan Demak
karena Pati Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal)
adalah keturunan Arab seperti keluarga Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden
Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara patrilineal (garis laki-
laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).

Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam berbeda
dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari
keturunan Arab seperti Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan Banten
Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang punya identitas sendiri,
dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam dibawah
kewibawaan dan keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan
gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Umar bin Khattab yang segera membuka
kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling bertikai di Mekah dan
Madinah.

Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah kepeloporan
kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim Santri di pesisir
dengan Muslim Abangan di pedalaman yang berakibat fatal dengan perang saudara
berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di Banten


Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati
Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah.
Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan
Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut
sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan
Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan .
Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti
seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III
Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.

Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi
Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau
sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden
Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan
Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden
Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan
dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah
Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum
Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di
Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus
kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda
menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat
keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan
politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad
Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden
Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.

[sunting] Kiprah Putra Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan


Timur)
Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya
yaitu yang dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan
gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan Panembahan Senopati ketika Mataram resmi
menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.

Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas dari kerjasama
dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa
kerajaan Galuh di wilayah Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).

Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah menjadi Penasehat
Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman
Priangan Timur. Raden Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga
mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka yang hijrah ketika Pati Unus
gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat
dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena didalam
pasukan beliau banyak terdapat keturunan Melayu Malaka.

Raden Surya di tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II Pangeran Arya Kemuning
atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra
kandung Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi
seiring dengan makin melemahnya kesultanan Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati
pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada saat
1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi
Raja memisahkan diri dari Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan
Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan Sumedang Larang. Inilah
zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan
Ulun dari dinasti Kusumahdinata.

Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi hingga Priangan,
Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah
termasuk Galuh Islam. Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga
Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden Suryadiwangsa cucu Pati Unus
segera diangkat Panembahan Senopati sebagai Penasehat beliau untuk perluasan wilayah
Priangan dan diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.

Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi kepala daerah
Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri
bangsawan setempat. Raden Wirawangsa kelak di tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura
diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa memadamkan pemberontakan Dipati
Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal
dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan
dimasa ini dipindahkanlah ibukota Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir
berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden Tumenggung
Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah beliau pensiun maka ibukota Sukapura
resmi pindah ke kota Tasikmalaya.

Sultan Trenggono
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sultan Trenggana adalah raja ketiga Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1521-1546.
Di bawah pemerintahannya, wilayah kekuasaan Demak meluas sampai ke Jawa Timur.

Silsilah Sultan Trenggana


Sultan Trenggana adalah putra Raden Patah pendiri Demak yang lahir dari permaisuri Ratu
Asyikah putri Sunan Ampel. Menurut Suma Oriental, ia dilahirkan sekitar tahun 1483. Ia
merupakan adik kandung Pangeran Sabrang Lor, raja Demak sebelumnya (versi Serat
Kanda).

Sultan Trenggana memiliki beberapa orang putra dan putri. Diantaranya yang paling terkenal
ialah Sunan Prawoto yang menjadi raja penggantinya, Ratu Kalinyamat yang menjadi bupati
Jepara, Ratu Mas Cempaka yang menjadi istri Sultan Hadiwijaya, dan Rangga Jemuna yang
menjadi bupati Madiun.

Sultan Trenggana Naik Takhta


Sepeninggal Pangeran Sabrang Lor tahun 1521 terjadi perebutan takhta antara kedua adiknya,
yaitu Raden Kikin dan Raden Trenggana. Putra sulung Trenggana yaitu Raden Mukmin
(nama kecil Sunan Prawoto) mengirim utusan membunuh Raden Kikin di tepi sungai. Sejak
itu Raden Kikin terkenal sebagai Pangeran Sekar Seda ing Lepen (artinya, "bunga yang gugur
di sungai").
Raden Trenggana pun naik takhta, bergelar Sultan Trenggana.

Pada tahun 1524 datang seorang pemuda dari Pasai bernama Fatahillah. Sultan Trenggana
menyukainya dan menikahkan pemuda itu dengan adiknya, yaitu Ratu Pembayun (janda
Pangeran Jayakelana putra Sunan Gunung Jati).

Sebaliknya, Fatahillah juga memperkenalkan pemakaian gelar bernuansa Arab sebagaimana


yang lazim dipakai oleh raja-raja Islam di Sumatra. Maka, Sultan Trenggana kemudian juga
bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin.

Tokoh Fatahillah inilah yang pada tahun 1527 dikirim membantu Sunan Gunung Jati raja
Cirebon menghadapi Pajajaran dan Portugis. Ia berhasil membebaskan pelabuhan Sunda
Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta atau Jakarta.

Menaklukkan Majapahit dan Sekitarnya


Upacara pernikahan Fatahillah tahun 1524 dikejutkan dengan berita kematian Sunan
Ngudung dalam perang melawan Majapahit. Adapun ibu kota Majapahit saat itu sudah
pindah ke Daha di bawah pemerintahan Girindrawardhana. Raja Majapahit ini hanyalah
bersifat simbol, karena pemerintahan dikendalikan penuh oleh Patih Hudara. Sang Patih juga
menjalin persahabatan dengan Portugis untuk memerangi Demak.

Akhirnya pada tahun 1527 pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus (putra Sunan Ngudung)
berhasil mengalahkan Majapahit. Kerajaan yang pernah berjaya di masa lalu itu akhirnya
musnah sama sekali.

Selain itu Tuban juga ditaklukkan pada tahun yang sama. Penguasa Tuban menurut catatan
Portugis bernama Pate Vira, seorang muslim tapi setia kepada Majapahit. Berita ini
menunjukkan kalau perang antara Demak dan Majapahit dilandasi persaingan kekuasaan,
bukan karena sentimen antara agama Islam dan Hindu.

Pada tahun 1528 Sultan Trenggana menaklukkan Wirasari, kemudian Gagelang (Madiun)
tahun 1529, Medangkungan (Blora) tahun 1530, Surabaya tahun 1531, Pasuruan tahun 1535.
Hampir sebagian besar penyerangan terhadap daerah-daerah tersebut dipimpin oleh
Trenggana sendiri.

Antara tahun 1541-1542 Demak menaklukkan Lamongan, Blitar, dan Wirasaba (Mojoagung,
Jombang). Gunung Penanggungan yang menjadi pusat sisa-sisa pelarian Majapahit direbut
tahun 1543. Kemudian Kerajaan Sengguruh di Malang, yang pernah menyerang Giri
Kedaton, dikalahkan tahun 1545.

[sunting] Sultan Trenggana Mengundang Sunan Kalijaga


Pada tahun 1543 Sultan Trenggana mengundang Sunan Kalijaga pindah ke Demak. Sunan
Kalijaga sendiri sebelumnya membantu Sunan Gunung Jati berdakwah di Cirebon.
Beberapa waktu kemudian terjadi perbedaan pendapat antara Sunan Kalijaga dengan Sunan
Kudus dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Dalam hal ini Sultan Trenggana lebih
memilih pendapat Sunan Kalijaga. Akibatnya, Sunan Kudus kecewa dan mengundurkan diri
dari jabatannya sebagai imam Masjid Agung Demak.

Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam baru dan diberi tanah perdikan di Adilangu.

[sunting] Kematian Sultan Trenggana


Berita kematian Sultan Trenggana ditemukan dalam catatan seorang Portugis bernama
Fernandez Mendez Pinto.

Pada tahun 1546 Sultan Trenggana menyerang Panarukan, Situbondo yang saat itu dikuasai
Blambangan. Sunan Gunung Jati membantu dengan mengirimkan gabungan prajurit Cirebon,
Banten, dan Jayakarta sebanyak 7.000 orang yang dipimpin Fatahillah. Mendez Pinto
bersama 40 orang temannya saat itu ikut serta dalam pasukan Banten.

Pasukan Demak sudah mengepung Panarukan selama tiga bulan, tapi belum juga dapat
merebut kota itu. Suatu ketika Sultan Trenggana bermusyawarah bersama para adipati untuk
melancarkan serangan selanjutnya. Putra bupati Surabaya yang berusia 10 tahun menjadi
pelayannya. Anak kecil itu tertarik pada jalannya rapat sehingga tidak mendengar perintah
Trenggana. Trenggana marah dan memukulnya. Anak itu secara spontan membalas menusuk
dada Trenggana memakai pisau. Sultan Demak itu pun tewas seketika dan segera dibawa
pulang meninggalkan Panarukan.

Sunan Prawoto
Sunan Prawoto adalah raja keempat Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549.
Nama aslinya ialah Raden Mukmin. Ia lebih cenderung sebagai seorang ahli agama dari
pada ahli politik.

Raden Mukmin Semasa Muda


Naskah babad dan serat menyebut Raden Mukmin adalah putra sulung Sultan Trenggana. Ia
lahir saat ayahnya masih sangat muda dan belum menjadi raja.

Pada tahun 1521 Pangeran Sabrang Lor meninggal dunia tanpa keturunan. Kedua adiknya
beraing memperebutkan takhta, yaitu Raden Trenggana dan Raden Kikin. Raden Trenggana
adalah adik kandung Pangeran Sabrang Lor, sama-sama lahir dari permaisuri Raden Patah,
sedangkan Raden Kikin meskipun lebih tua usianya, tapi lahir dari selir, yaitu putri bupati
Jipang.

Dalam persaingan ini tentu saja Raden Mukmin memihak ayahnya. Ia mengirim
pembantunya yang bernama Ki Surayata untuk membunuh Raden Kikin sepulang Salat
Jumat. Raden Kikin tewas di tepi sungai, sedangkan para pengawalnya sempat membunuh Ki
Surayata.

Sejak saat itu Raden Kikin terkenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda ing Lepen,
artinya "bunga yang gugur di sungai". Pangeran Sekar Seda Lepen meninggalkan dua orang
putra dari dua orang istri, yang bernama Arya Penangsang dan Arya Mataram.

Pemerintahan Sunan Prawoto


Sultan Trenggana memerintah Kesultanan Demak tahun 1521-1546. Sepeninggalnya, Raden
Mukmin selaku putra tertua naik takhta. Ambisinya sangat besar untuk melanjutkan usaha
ayahnya menaklukkan Pulau Jawa. Namun keterampilannya dalam berpolitik sangat rendah.
Ia lebih suka hidup sebagai ulama suci dari pada sebagai raja.

Pusat pemerintahan Raden Mukmin dipindahkan dari kota Bintoro menuju bukit Prawoto.
Oleh karena itu, Raden Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.

Pemerintahan Sunan Prawoto juga terdapat dalam catatan seorang Portugis bernama Manuel
Pinto. Pada tahun 1548 Manuel Pinto singgah ke Jawa sepulang mengantar surat untuk uskup
agung Pastor Vicente Viegas di Makassar. Ia sempat bertemu Sunan Prawoto dan mendengar
rencananya untuk mengislamkan seluruh Jawa, serta ingin berkuasa seperti sultan Turki.
Sunan Prawoto juga berniat menutup jalur beras ke Malaka dan menaklukkan Makassar.
Akan tetapi, rencana itu berhasil dibatalkan oleh bujukan Manuel Pinto.

Pada kenyataannya, cita-cita Sunan Prawoto tidak pernah terlaksana. Ia lebih sibuk sebagai
ahli agama dari pada mempertahankan kekuasaannya. Satu per satu daerah bawahan,
misalnya Banten, Cirebon, Surabaya, dan Gresik berkembang bebas sedangkan Demak tidak
mampu menghalanginya.

Kematian Sunan Prawoto


Selain Sunan Prawoto muncul dua orang lagi menjadi tokoh kuat sepeninggal Sultan
Trenggana, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang, dan Hadiwijaya bupati Pajang. Masing-
masing adalah keponakan dan menantu Sultan Trenggana.

Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda ing Lepen yang mendapat dukungan dari
gurunya, yaitu Sunan Kudus untuk merebut takhta Demak. Pada tahun 1549 ia mengirim
anak buahnya yang bernama Rangkud untuk membalas kematian ayahnya.

Menurut Babad Tanah Jawi, pada suatu malam Rangkud berhasil menyusup ke dalam kamar
tidur Sunan Prawoto. Sunan mengakui kesalahannya telah membunuh Pangeran Seda Lepen.
Ia rela dihukum mati asalkan keluarganya diampuni.

Rangkud setuju. Ia lalu menikam dada Sunan Prawoto yang pasrah tanpa perlawanan sampai
tembus. Ternyata istri Sunan sedang berlindung di balik punggungnya. Akibatnya ia pun
tewas pula. Melihat istrinya meninggal, Sunan Prawoto marah dan sempat membunuh
Rangkud dengan sisa-sisa tenaganya.

Sunan Prawoto tewas meninggalkan seorang putra yang masih kecil bernama Arya Pangiri,
yang kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara. Setelah dewasa, Arya
Pangiri menjadi menantu Sultan Hadiwijaya raja Pajang, dan diangkat sebagai bupati Demak.

[sunting] Raden Mukmin dalam Kronik Cina


Kronik Cina dari kuil Sam Po Kong menyebut Raden Mukmin dengan nama Muk Ming.
Pada tahun 1529 ia menggantikan Kin San sebagai kepala galangan kapal di Semarang. Kin
San adalah adik Jin Bun (alias Raden Kusen adik Raden Patah).

Muk Ming bekerja keras dibantu masyarakat Cina baik yang muslim ataupun non muslim
menyelesaikan 1.000 kapal besar yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit.
Pembangunan kapal-kapal perang tersebut untuk kepentingan angkatan laut ayahnya, yaitu
Tung-ka-lo (Sultan Trenggana) yang berniat merebut Maluku.

Belum sempat Tung-ka-lo merebut Maluku, ia lebih dulu tewas saat menyerang Panarukan
tahun 1546. Muk Ming pun naik takhta namun dimusuhi sepupunya yang menjadi bupati Ji-
pang (alias Arya Penangsang).

Perang saudara terjadi. Kota Demak dihancurkan bupati Ji-pang. Muk Ming pindah ke
Semarang tapi terus dikejar musuh. Akhirnya ia tewas di kota itu. Galangan kapal hancur
terbakar pula. Yang tersisa hanya masjid dan kelenteng saja.

Anda mungkin juga menyukai