RUMOH ACEH
Oleh : Dr. Kamal A. Arif
Pengantar:
Saya diminta untuk menjadi narasumber pada Seminar Nasional Kriya - ISBI Aceh di
Jantho ini. Latar belakang pendidikan dan pengalaman saya adalah di bidang Arsitektur.
Menurut bapak Rektor Dr. Ahmad Akmal, ada mata kuliah Seni Arsitektur di Prodi Seni Kriya.
Memang banyak persamaan dari segi pemahaman teori antara seni Kriya dan seni Arsitektur,
keduanya adalah hasil gubahan seorang arsitek/seniman dalam wujud nyata, berupa visual art
yang bisa dinikmati dengan indera penglihatan serta rabaan.
Pada setiap karya arsitektur maupun seni Kriya, betapapun sederhananya selalu
memiliki elemen pembentuk yang sama yaitu: titik, garis, bidang, bentuk, tekstur, warna, gelap
terang dan ruang (volume). Namun obyek garapannya berbeda. Arsitek lebih banyak
merancang bangunan, lingkungan perkotaan dan lansekap sedangkan seniman kriya menggeluti
seni dekorasi, benda terapan yang siap pakai, seperti senjata, furnitur, keramik, alat-alat
permainan dan aneka kerajinan tangan yang indah. Karena kesepahaman cara berkesenian itu,
maka seringkali kita melihat apabila arsitek dan seniman berkolaborasi akan menghasilkan
suatu gubahan seni bangunan yang anggun dan asri. Rumoh Aceh adalah salah satu bentuk
karya seni arsitektur yang juga sarat dengan seni kriya pada exterior maupun interiornya.
Sesuai dengan tema yang diusung, yaitu Inovasi Seni Kriya berbasis Lokal Tradisi dan
penulis yang berlatar belakang arsitektur, maka makalah ini mencoba menggali orisinalitas dari
Seni Arsitektur Rumoh Aceh, serta kandungan makna filosofisnya. Saya akan mengawali kajian
ini dengan fokus Rumoh Aceh yang sekaligus mereprentasikan seni arsitektur dan seni kriya
dari khasanah Adat Aceh di masa lalu, dilanjutkan dengan budaya tektonika Rumoh Aceh
beserta permasalahan eksistensinya yang kian redup dan diakhiri dengan pembahasan tentang
upaya strategis yang dapat dilakukan untuk menghidupkannya kembali dalam budaya
masyarakat Aceh ke depan.
1
Disampaikan pada Seminar Nasional Kriya Inovasi Seni Kriya Berbasis Lokal Tradisi diselenggarakan oleh Institut Seni Budaya
Indonesia Aceh, di Jantho, tanggal 3 Oktober 2015
1
Kita khawatir terhadap pergeseran nilai yang menjurus ke arah keterkejutan dan bahkan
kegagalan budaya. Ada tendensi riuh rendah aktivitas sosial politik pasca konflik dan
pembangunan pasca tsunami yang seakan terlepas dari kultur dasar masyarakat Aceh yang
penuh ukhuwah, penuh adat, dan budaya Islami. Kita tidak ingin membangun Aceh dengan
pembangunan fisik yang kering, rapuh dan serba segera, tetapi kita membangun tata ruang
Aceh, seni arsitektur, seni kriya dan pariwisatanya yang memiliki ruh yang mencerminkan nilai-
nilai adat dan budayanya.
Rencong
Kira-kira 500 tahun lalu dimasa pemerintahan Sultan Ali Mughayatsyah (1511-1530), di
Aceh ada manuskrip asli kerajaan berjudul kitab Tazkirat Al-Tabaqat Qanun Syara Kerajaan
Aceh yang disebut pohon kerajaan. Pohon ini adalah sebuah kitab adat dari sultan, yang
memuat 21 pasal. Kita kutip dua hal yang relevan untuk kita cermati, yaitu tentang Jati diri dan
tentang Rumoh Aceh. Pertama, pasal 1: Diwajibkan di atas sekalian rakyat Aceh yang laki-
laki mukallaf dan bukan gila, yaitu hendaklah membawa senjata kemana-mana ia pergi
berjalan siang malam yaitu pedang atau sikin panyang atawa sekurang-kurangnya rincong
tiap-tiap yang bernama senjata.
Apa artinya? Rencong itu seperti KTP (Kartu Tanda Penduduk), menjadi identitas diri
orang Aceh. Jika kita tidak membawa rencong atau pedang, berarti kita tidak membawa KTP,
dan ini bisa berarti kita bukan orang Aceh, atau kita termasuk dalam golongan orang gila.
Karena hanya orang Aceh yang gila yang tidak membawa senjata. Di Aceh masa itu senjata
tidak boleh diserahkan pada orang-orang gila, karena kitab adat itu tahu kalau kita serahkan
senjata pada orang gila, mungkin akan digunakan untuk membunuh tanpa di sadarinya.
Sekarang kita tidak lagi membawa rencong ke mana-mana. Apakah ini berarti kita telah
jadi gila semua? Tentu tidak demikian, meskipun rencong tidak lagi menjadi penanda identitas
diri (KTP), namun rencong telah dan tetap menjadi simbol semangat juang dan keberanian.
Tradisi membawa rencong dimasa lalu telah membentuk karakter keberanian, semangat yang
2
tinggi dan bertanggung jawab, sebagai jati diri kita. Demikian pentingnya jati diri ini sehingga
datok nini kita berpesan:
Selain sebagai simbol identitas bangsa pejuang dan pemberani, rencong adalah juga
sebuah karya seni pertanda kemakmuran bangsa Aceh. Menurut Teori kesenian, makin tinggi
kualitas kemakmuran rakyat maka makin besar penghargaan rakyat terhadap kesenian. 2
Dengan demikian bisa kita ketahui bahwa sebenarnya erosi berkesenian belum tentu
dipengaruhi oleh konflik politik atau perang di Aceh. Di jaman kolonial Belanda, meski ada
konflik dan perang, karya pengrajin emas Aceh masih sangat tinggi kualitasnya. Hilangnya
kebudayaan atau kesenian tersebut lebih disebabkan oleh kemorosotan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Ada gambaran di masyarakat uro ta mita, malam ta pajoh, artinya
siang kita cari, malam kita makan. Sehingga tidak ada lagi upaya membuat sebuah parang
atau rencong berukir, yang memiliki kualitas seni yang tinggi.
Rencong itu memiliki tangkai, ada bilah rencongnya serta sarungnya, itulah dasar dari
rencong. Kalau masyarakat pembuat rencong itu tidak miskin, tidak lagi harus menjual cepat
supaya mendapat uang untuk membeli beras, maka dia mulai bisa membuat ukiran-ukiran di
tangkai rencong, muncul ide ukiran-ukiran di sarung rencong. Disitulah timbul kesenian,
kemampuan mengukir itu akan kembali bila kita makmur. Tidak akan kembali kesenian tersebut
bila masih uro ta mita, malam ta pajoh, ini menunjukkan tingkat ekonomi kita yang rendah.
Rumoh Aceh
Selanjutnya di dalam pasal tentang pendirian Rumah, kitab adat menyebutkan: Tiap-
tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap
tihang di atas puting dibawah para hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit. Kain
merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama
yang di sebut tamh raja dan tamh putro.
2
Diskusi tentang Peradaban Aceh dengan Prof AD Pirous 15 September 2015
3
Jadi sebenarnya merah putih itu bukan barang baru. Merah putih sudah jadi identitas
orang Aceh sejak 500 tahun lalu. Pada masa DOM di Aceh era pak Harto dan ibu Mega, orang
yang berjalan membawa rencong ditangkap, ditanya, disekap, disiksa, dipenjara. KTP penduduk
Aceh diberi warna merah putih. Banyak orang ragu tentang merah putihnya orang Aceh,
pemerintah DOM masa itu ragu pada orang Aceh dikiranya orang Aceh tidak tahu merah putih,
padahal sudah sejak 500 tahun yang lalu merah putih itu inheren, telah melekat erat dalam adat
Aceh.
Selanjutnya, tentang membangun Rumah, Adat Aceh3 menyebutkan bahwa, ketika anak
perempuan telah menginjak umur 7 tahun, maka sang ayah mulai mengumpulkan bahan-bahan
kayu, bahan atap berupa daun rumbia atau daun nipah dan bahan-bahan lain untuk mendirikan
rumah untuk anak perempuannya.
Rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut
adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra- (faraidh - hukum waris). Jika seorang
suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau
menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan. Itu sebabnya isteri di
dalam bahasa Aceh disebut peurumoh (yang punya rumah). Adat ini telah ada di Aceh
semenjak Putroe Phang isteri Sultan Iskandar Muda membuat qanun tersebut di abad ke 17.
Qanun ini melindungi kehidupan seorang janda, sehingga bila seorang isteri diceraikan oleh
suaminya, maka janda tersebut memiliki rumah yang dibuat oleh sang suami tsb.
Tukang kayu yang mengerjakan pembangunan rumah itu disamping memperoleh upah
yang telah disepakati kedua pihak, juga mendapat sarapan dan makan siang dari sipemilik
rumah selama masa pelaksanaan. Tukang itu terus bekerja di situ hingga waktu asar. Shalat
dzuhur di lakukan di tempat itu juga. Pendirian awal Rumoh Aceh dilakukan secara gotong-
royong yang disebut meuram, dibawah pimpinan seorang uth (tukang kayu/kepala tukang).
Jika rumah itu sudah berdiri, maka selanjutnya utoh akan menyelesaikannya. Jika nanti ternyata
membutuhkan lagi banyak tenaga, maka barulah diadakan lagi meuram tsb.
3
Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh
4
2. TELAAH BUDAYA TEKTONIKA RUMOH ACEH
Istilah tektonika di turunkan dari kata Tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau
manusia pembangun (builder). Tektonika erat kaitannya dengan material, struktur dan
konstruksi, yang sangat mementingkan ekspresi estetika yang ditimbulkannya.
Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang
menetap di sebidang tanah di muka bumi dan dengan menggunakan peralatan dan bahasa
setempat, menegakkan batas batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah menciptakan
dunia bagi dirinya. Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur
membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di
tempatnya. Bangunan dengan demikian adalah tempat dan sekaligus buah karya manusia
dalam menjalankan aktivitas budayanya.
4
Kenneth Frampton, (1995),Studies in Tectonic Culture, MIT Press, Cambridge
5
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap
Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat
budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh. Adaptasi masyarakat
Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung,
tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari
rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak menggabungkan bagian-
bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat
dari rotan.
Pada zaman dahulu, dinding dan lantainya terbuat dari bilah bambu, sehingga dapat
diikat atau di jalin satu sama lain. Rumoh Aceh dikenal sebagai The earthquake resistant house
(rumah tahan gempa), dan mampu bertahan hingga 200 tahun. 5
Ketektonikaan Rumoh Aceh dapat dibaca dari segi ruang, struktur dan ornamentasinya.
Dimana kombinasi dari ketiganya menghasilkan tingkat seni konstruksi yang sempurna bagi
kebutuhan masyarakat Aceh pada zamannya dan seyogianya terus berlangsung hingga
sekarang. Rumoh Aceh memiliki sebuah tipe yang tetap, diantaranya dapat dilihat dari
orientasi bangunan, ruangan dan elemen strukturnya.
Distribusi Ruang
Rumoh Aceh merupakan rumah panggung. Besarnya Rumoh Aceh tergantung pada
banyaknya ruweueng (ruang)6. Ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga sepuluh
ruang. Beranda muka disebut seuramo keue(karena di sini ditempatkan tangga masuk,
disebut juga seuramo rinyeuen), serambi belakang disebut seuramo likot. Bagian utama
rumah adalah pada bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi. Bagian
utama rumah ini disebut Tungai . Pada bagian Tungai ini terletak dua bilik (kamar) tidur, yaitu
rumoh Inong dan anjng. 7 Rumoh inong adalah bilik peurumoh (master bedroom), sedangkan
anjng adalah bilik untuk anak perempuan.
5
H. Amir Husin, dkk, 2003, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, NAD, Dinas Perkotaan dan Permukiman Prop.
Nanggroe Aceh Darussalam
6
Yang dimaksud Ruweueng (Ruang) adalah bagian trave yang berada di antara kolom-kolom sejajar wuwung.
7
Pada gambar Rumoh Aceh di dalam buku Snouck Hurgronje, ruang tidur (bilk h) ini disebut Jur.
6
Demikan mulianya posisi peurumoh dalam Adat Aceh. Keharmonisan rumah tangga
adalah hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi yang paling utama, di tengah
dan di lantai tertinggi. Di antara kedua kamar tidur itu ada lorong penghubung antara seuramo
rinyeuen dengan seuramo likt, yang bernama Rambat. Di bagian belakang ada rumoh dapu
(dapur) yang elevasi lantainya lebih rendah dari seuramo likt. Dapur mendapat posisi
terendah. Karena ruang ini merupakan perluasan rumah, atau sebagai tambahan ruang pada
rumah saja.
Dapat kita pahami masyarakat Aceh telah mengonsepkan ruang dengan suatu hirarki.
Secara fisik bangunan, hirarki ini tampak pada elevasi yang berbeda di tiap lantai ruangan. Hal
ini berhubungan dengan struktur yang membentuk ruang menjadi demikian.
Nama-nama Ruang dan fungsinya dapat dilihat dalam Tabel 1, sedangkan tata letak
ruang-ruang tersebut pada Denah Rumoh Aceh dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Ruang tengah (tungai) terdiri dari bilik kamar, dan
rambat
(sumber: KITLV, kumpulan data penelitian Aceh, Kamal A. Arif)
8
Bubong
Ateuh Rumoh
Rumoh dengan tiga ruang memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang
memiliki 24 tiang. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan dengan
mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau
Timur rumah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang
penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak
tangganya yang berjumlah ganjil.
9
Bagi elemen-lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan
mengikatkan tali. Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi akan maksud
dari dibuatnya konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional yang lebih jauh
dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya sekadar
menyambung-nyambungkan elemen-elemen belaka. Misal, elemen tameh raja dan putroe
dipilih yang paling baik, karena sebagai penyambut di serambi depan, selain juga berfungsi
DAPUR
2 .4 0
sebagai struktur utama sebagaimana mestinya.
2 .4 0
S E U R A M O L IK O T
9 .6 0
RUMOH Tungai
2 .4 0
A N JO N G RAMBAT INONG R U M O H IN O N G
2 .4 0
SEURAMO KEUE
Tameh Raja
U
2 .5 0 2 .9 3 2 .5 0 2 .9 3
1 0 .8 6
Tameh Putroe
10
Rumoh Aceh asli yang saat ini masih bertahan, merupakan rumah yang seluruh elemen
pendukungnya terbuat dari bahan kayu. Strukturnya merupakan sistem struktur rangka yang
tersusun dari konstruksi kayu yang melingkupi tiang-tiang. Rumah ini terbuat dengan
menggunakan sistem post and beam. Sistem ini merupakan salah satu sistem struktur yang
tergolong sederhana. Lantai, dan dindingnya terbuat dari papan. Atapnya ditutupi oleh jalinan
daun rumbia yang disusun menjadi penutup atap. Keseluruhan konstruksi berdiri di atas
landasan batu. Tabel berikut ini menampilkan nama-nama elemen yang menjadi pendukung
terbentuknya Rumoh Aceh. Nama-nama elemen ini memiliki arti tersendiri. Beberapa di
antaranya ada yang memiliki makna mendalam sebagai sebuah elemen struktur pada Rumoh
Aceh.
11
19. Indreng Papan miring penahan kaki kuda-kuda
20. Geunalong Gording, bertempat di dudukan geunalong pada kaki
kuda-kuda (Gaseue gantong)
21. Bara Ateuh Batang atas
22. Bara Panyang Batang panjang
23. Tuleng Rhueng Balok Wuwung, tempat bersandar kaso pada bagian
ujung atas
24. Diri Makelar
25. Gaseue Gantong Kaki Kuda-Kuda
26. Bara Linteung Batang melintang
27. Puteng Tameh Bagian ujung tiang yang dipahat, sebagai penyambung
pada balok-balok.
28. Beulebah Tempat Mengikat atap Rumbia
29. Neudhuek Gaseue Tempat bersandar kaso (Gaseue) pada bagian bawah
30. Taloe Pawai Tali pengikat keseluruhan bagian atap, yang diikat pada
ujung bui teungeut, dan dikaitkan pada puteng tiang
deretan depan dan belakang.
31. On- meuria Daun rumbia
32. Lesplang/ seupi Selembar papan yang agak kecil, yang dipasang pada
bagian ujung kiri dan kanan atap.
33. Bui Teungeut Potongan kayu sebagai penahan pada neudeuk gaseue
34. Tulak Angen Tolak angin, sebuah elemen pada Rumoh aceh yang
terdapat pada setiap sisi dinding rumah aceh yang
berbentuk segitiga. Elemen ini terpasang sedikit miring
menghadap ke bawah.
Setiap elemen ini memiliki dimensi yang spesifik. Bukan dalam satuan meter, namun
dalam hitungan tradisional. Ukuran-ukuran yang sering digunakan antara lain jaroe, paleut dan
hah. Juga ditambahkan dengan ukuran jeungkai, lhuek, dan deupa. (Indonesian Houses, Peter
Nas, 2004 hal.141). Namun pada masa sekarang ukuran-ukuran tersebut lebih sering
dikonversikan ke dalam ukuran meter.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu lebih rendah dari ketinggian orang dewasa.
Biasanya ketinggian pintu ini hanya berukuran 120 - 150 cm sehingga setiap orang yang masuk
12
ke Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan ruang yang
sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa kursi atau meja. Semua orang
duduk bersila di atas tikar ngom (dari bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi
tikar pandan.
Tidak hanya aspek struktur dan konstruksi saja yang sangat ditentukan oleh kondisi
lingkungan alam setempat. Unsur ruang, baik jenis, fungsi, dan perletakan juga sangat
memperhatikan faktor lingkungan. Bagian depan Rumoh Aceh selalu menghadap utara atau
selatan. Sehingga bagian dinding yang berbentuk segitiga menghadap ke arah barat dan timur.
Alasannya adalah untuk menghindari pukulan keras dari angin yang datang. Pada dinding yang
berbentuk segitiga itu pula terdapat komponen tulak angen yang berlubang-lubang. Konstruksi
rumah ini memungkinkan angin untuk melewatinya pada bagian kolong, maupun bagian bawah
bubung dengan melewati tulak angen terlebih dahulu. Terik matahari tidak menjadi masalah
pada orientasi rumah ini, karena jendela-jendela yang ada tidak besar, dan pencahayaan dapat
masuk dari celah-celah lubang pada ukiran.
Ukiran yang terpasang sebagai hiasan Rumoh Aceh tidak diukir secara sembarangan.
Setiap ukiran memiliki bentuk-bentuk khas yang diambil dari benda-benda sekitar. Misal bentuk
bunga mawar, bentuk daun, bentuk bunga sedang kuncup, dan lain-lain. Ukiran yang tedapat
pada bidang-bidang penutup fasad rumah ini tidak hanya berfungsi sebagai penghias rumah,
namun dapat juga menjadi tempat masuknya sinar matahari lewat celah-celah kecil tersebut.
Dapat dibayangkan bagaimana pantulan sinar dan bayangan yang jatuh ke dalam rumah
memberi keindahan tersendiri berkat bentuk-bentuk ukiran tadi. Dekorasi ornamen ini terdapat
baik di dalam interior maupun eksterior Rumah adat Aceh. Antara lain yang banyak kita
temukan pada dekorasi ukiran Tulak Angen, Binteh dan Kindang. Ada kecenderungan pola
ornamentasi ukiran ini sekarang mulai digemari kembali oleh masyarakat di kota, meskipun
bukan untuk menghiasi rumah adat. Namun pada satu dua rumah adat yang tersisa di
gampong, ukiran tradisional sudah sangat langka, mungkin karena kondisi ekonomi rakyat yang
13
melemah dan utohnya sudah meninggal dunia, tanpa ada pengganti yang meneruskan
keahliannya.
Saatnya sekarang kita mulai kembali memperkenalkan beragam ornamen ini kepada
anak-anak di Aceh sejak usia dini. Bentuk-bentuk ini sangat baik diajarkan pada anak-anak saat
mereka bersekolah, sebagai cikal bakal karya seni kriya ukiran khas Aceh dan dapat terus
dipertahankan dan dikembangkan.
Arah kiblat
Setelah Islam masuk ke Aceh, arah Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan.
Dalam agama Islam, ibadah shalat selalu menghadap ke kiblat. Maka itu, rumah juga dibuat
memanjang ke arah kiblat, yakni ke arah barat, mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Kabah yang berada di Mekkah. Itu sebabnya pada
seuramo rinyeuen tangga dan pintu masuk ke Rumoh tidak di letakkan di Barat, tetapi selalu
berada di sebelah Timur atau di tengah seuramo, maksudnya agar tidak mengganggu orang
yang sedang Shalat menghadap ke kiblat.
8
Arif, Kamal A. (2008) Citra Kota Banda Aceh, interpretasi sejarah, memori kolektif dan arketipe arsitekturnya,
ISBN 978-979-18744-0-3, Pustaka Bustanussalatin- RANTF BRR, Banda Aceh
14
DAPUR
2 .4 0
2 .4 0
S E U R A M O L IK O T
Barat/Kiblat
9 .6 0
2 .4 0
A N JO N G RAMBAT R U M O H IN O N G
2 .4 0
SEURAMO KEUE
U
2 .5 0 2 .9 3 2 .5 0 2 .9 3
1 0 .8 6
Bukaan pada dinding seuramo rumoh Aceh tidak terlalu besar dan untuk pencahayaan
digunakan screen (lubang-lubang kecil) untuk meredam terik matahari. Lubang lubang kecil
pada dinding ini mengingatkan kita pada Masyrabiyya di Saudi Arabia.
Tidak seperti halnya serambi rumah Betawi yang terbuka lebar, yang sering kita lihat
pada sinetron Si Doel anak Betawi, serambi rumoh Aceh itu tertutup, hanya sedikit saja
bagian yang terbuka. Orang dari luar sukar melihat ke dalam tetapi orang dari dalam dapat
melihat keluar. Demikian cara Aceh membudayakan seni interior, seolah memberi pesan agar
aurat itu jangan diobral keluar ke semua orang yang lalu lalang di depan rumah. Di dalam
Rumoh Aceh, ada dua buah serambi yang sengaja dibuat terpisah sesuai dengan ajaran Islam,
yaitu seuramo keue, untuk kaum pria dan seuramo likt khusus untuk kaum wanita.
15
Guci rumoh Aceh
Nabi mengajarkan thaharah, bersuci dengan mandi, berwudhu dan istinja, agar badan
kita menjadi bersih. Raga yang bersih sebagai cerminan dari hati yang suci. Orang Aceh
menaruh guci pembasuh kaki dibawah tangga rumoh Aceh. Sebaiknya kita bersuci dulu,
sebelum naik ke rumah. Karena Rumoh Aceh itu bersih, tidak ada kotoran, tidak ada kayu dan
jendela di rumah ini yang diperoleh dari hasil korupsi. Bersuci itu lahir dan batin. Ideofactnya
suci, sosiofactnya berwudhu, artefaknya guci. Itu sebabnya penulis mengusulkan kepada bapak
Rektor UTU (Universitas Teuku Umar) di Meulaboh untuk menempatkan guci di gerbang masuk
kampus yang akan dibangun, agar semua yang ada didalam kampus itu suci dan bersih jiwa
raganya.
Guci Aceh adalah salah satu karya seni gerabah yang hendaknya dapat dihidupkan
kembali eksistensinya. Tanah Aceh menurut pak Dr Ahmad Akmal sangat potensial untuk seni
kriya membuat keramik ini. Bahan bakunya tersedia dalam jumlah yang banyak dan
kualitasnyapun sangat baik. Dengan adanya prodi Seni kriya ISBI semoga kreasi-kreasi baru Guci
Aceh dan benda-benda seni terapan lainnya akan kembali muncul menghiasi bumi Aceh.
Di masa kolonial, beberapa penduduk Aceh telah mulai membangun dengan cara yang
ditirunya dari orang Belanda. Bentuk rumah dan bahannya berubah dan dibangun dengan cara
baru, yang disebut Rumoh Belanda. Sejak itu sarapan tukang dan makan tengah harinya tidak
lagi disajikan oleh si empunya rumah.
Jika kita meninjau perkembangan arsitektur selama beberapa abad yang lalu, maka
dalam cara membangun kita menjumpai suatu perubahan yang mendasar. Perubahan penting
ini ialah pergeseran dari kerajinan tangan ke mekanisasi atau industri. Dimasa lalu karya
arsitektur Rumoh Aceh merupakan produksi setempat yang dirancang dan dibangun dengan
keterampilan utoh setempat, memakai bahan setempat pula. Cara membangun sekarang makin
lama makin berubah menjadi kegiatan yang dilakukan selain pada lokasi pembangunan, juga di
tempat yang jauh dari lokasi itu dan dengan memakai bahan bangunan yang bukan bahan
16
setempat. Kalau dulu arsitek menjadi pencipta tunggal dari ciptaannya, sesuai dengan asal
katanya (arki=utama, tekton=tukang), sekarang dia menjadi kordinator kreasi arsitektur. Apa
yang dulu merupakan hasil kerajinan tangan murni (craftmanship) sekarang bergeser menjadi
hasil susunan komponen industri.
Arsitektur Rumoh Aceh tradisional merupakan karya para utoh sedemikian, yang
menurunkan keterampilan kerajinan tangannya dari generasi yang lebih awal ke generasi
berikutnya secara berkesinambungan. Rumah dibangun secara meruang atau tiga dimensi
secara langsung. Perlu kerjasama yang baik dalam mendirikan rangka rumah agar struktur
utamanya dapat berdiri dengan baik. Disini tampak bahwa dalam membangun rumah pun
masyarakat Aceh melakukannya dengan penuh seni. Kemampuan manusia dalam mendirikan
rumah ditonjolkan dengan suatu kerjasama yang terorganisir dengan baik sehingga rangka
rumah berdiri dengan kokoh. Dan bukan digantungkan pada sebuah paku.
Jauh sebelum pendidikan arsitektur di mulai di Indonesia, Ir. Mclaine Pont telah
menduga akan lenyapnya keterampilan pertukangan tradisional kita dalam dunia
pembangunan, dan dugaan ini kini telah menjadi kenyataan. 9 Berapa orang utoh Rumoh Aceh
yang tersisa sekarang di dalam gampong atau di kota, apakah dapat kita hitung dengan sepuluh
jari tangan kita?
9
Sidharta, Prof., Ir., (1987)
17
5. UPAYA MENGHIDUPKAN KEMBALI ASET BUDAYA RUMOH ACEH
Masyarakat Aceh dan pemerintahnya sebenarnya sangat bangga dengan sejarah masa
lalunya yang heroik dan unggul, selalu nomor satu. Aceh adalah tempat pertama masuknya
Islam di Indonesia, nomor satu menyumbangkan pesawat, nomor satu membuat Aceh
Development Board yang kemudian diadopsi oleh pemerintah RI menjadi Bappeda, daerah
pertama yang membuat Badan Amil Zakat, dan yang paling membanggakan adalah
perjuangannya yang pantang menyerah kepada penjajah yang menjadi simbol perjuangan
bangsa Indonesia, sebagai daerah Modal. Namun perilaku orang Aceh yang seringkali ingin
serba baru dan serba segera itu pula yang menyebabkan kadang-kadang kurang waspada
terhadap ketahanan budayanya sendiri.
Orang gampong Aceh tidak lagi ingin hidup di rumah tradisional yang alasannya karena
kayem meusue, meugok-gok, dikap le kamu, teumakot tutong, hana praktis, meuri gasien dan
hana maju.10 Orang Aceh ingin modern (modern berasal dari kata modo = maju), namun
kemajuan yang serba instant dapat membahayakan. Keinginan orang Aceh untuk menukar
rumah panggungnya menjadi rumah darat, mengakibatkan budaya rumoh Aceh secara
substansial tercabut. Tidak ada lagi yang memesan tukang untuk membuat rumah tradisional.
Pada gilirannya lenyaplah pula mata pencaharian para ahli pertukangan (utoh) di Aceh.
Sehingga saat ini bila kita mencoba membangun Rumoh Aceh akan menemukan kesulitan
mencari tukang dan bahan. Selain itu biayanyapun akan mahal sekali.
Upaya mengembalikan citra Aceh pemerintah daerah melakukannya dengan cara
menggalakkan penerapan unsur-unsur tradisional terutama pada bangunan-bangunan
pemerintah. Namun agaknya penerapan unsur tradisional ini lebih cenderung untuk ide
dekoratif kurang mengedepankan kepentingan makna. Demikian pula keterampilan Tukang
kayu yang ada sekarang dalam membuat detail konstruksi kayu dan ornamentasinya jauh
merosot dibandingkan dengan keterampilan tukang kayu sebelum perang kemerdekaan.
Tentunya mekanisasi dan standarisasi di era teknologi industri sekarang ini memiliki
segi-segi positifnya, diantaranya ialah semua komponen dapat diproduksi lebih cepat dan
ukurannya lebih akurat. Pelaksanaan konstruksipun dapat dipercepat, apalagi dengan semakin
10
sering berbunyi, bergoyang, banyak rayap, mudah terbakar, tidak praktis, terkesan lebih miskin dan tidak maju
18
canggihnya mekanisasi dalam bidang konstruksi, tenaga kerja yang diperlukanpun makin
menurun jumlahnya. Gejala bahwa arsitektur akan bergeser dari lokal ke internasional memang
semakin deras kita rasakan sekarang, karena penggunaan komponen-komponen yang sama
tadi. Disamping itu relasi antar negara telah semakin mudah sehingga pengaruh global tidak
dapat kita hindari. Walaupun bahan dan peralatan untuk membangun kini telah berubah
dengan kemajuan teknologi, namun arsitek seharusnya tetap dapat memunculkan identitas
Aceh dalam inovasi bentuk yang lebih kreatif.
Bila kita menengok ke Jepang, Arsitektur Jepang modern berhasil mempertahankan jati
dirinya meskipun dalam bentuk karya arsitekturnya yang mutakhir, karena mereka mampu
memunculkan karakter dan jati dirinya dalam inovasi baru. Di dalam kreasi baru dari para
arsitek Jepang di masa modern seperti Kenzo Tange, Tadao Ando dan lain lain, kita masih dapat
merasakan kehadiran karakter Jepang dalam karya mereka. Orang Jepang mempelajari karakter
dan jatidiri mereka dari peninggalan sejarah mereka, seperti pada peninggalan arsitektur Nara,
yang dulu pernah menjadi ibukota Jepang di masa lalu. Di kota Nara ada bangunan kayu Todaiji
yang tetap utuh meski telah berusia 1000 tahun.
Bila kita bandingkan dengan kita, misalnya dengan Kerajaan Majapahit yang begitu
terkenal dan berada di hutan jati, namun tidak dapat kita melihat lagi sisa bangunan kayu
jatinya yang utuh, padahal usia Majapahit belum sampai 1000 tahun yang lalu. Bangsa Jepang
mampu melestarikan Todaiji hingga kini karena mereka mampu melestarikan budaya
membangun, memelihara kehidupan tukang-tukangnya, menanam hutan kayunya secara
berkesinambungan, mengganti kayu yang lapuk secara berkala, dengan teknik konstruksi yang
sama sejak 1000 tahun lalu, lengkap dengan upacara budayanya saat melakukan segala
perbaikan untuk merawat bangunan itu. Itulah sebabnya kota kecil Nara terpilih menjadi
tempat ICOMOS (International Council Of Monuments And Sites) mendeklarasikan The Nara
Document On Authenticity (1994). Setelah Icomos mengadakan konferensi pertama di Athena
(1931) dan kedua di Venice (Italia, 1964) dua kota bersejarah yang terkenal dengan peninggalan
warisan budaya berupa bangunan batu, Icomos kemudian memilih Nara, yang mampu
melestarikan cultural heritagenya yang berupa budaya tektonika arsitektur bangunan kayu. Kita
19
dapat melihat, bahwa otentik atau orisinalias itu tidak harus selalu diperoleh melalui ide
permanency dengan menggunakan material batu seperti pada parthenon, piramid atau
borobudur, tetapi kita dapat memperolehnya dari bangunan kayu yang dilestarikan
keberadaannya secara sustain, berkesinambungan. Maka paham sustainable architecture
menjadi sangat penting untuk kita kembangkan dalam pembangunan di Aceh.
Kita dapat menghidupkan kembali arsitektur kayu atau bambu, yang mampu bertahan
lama bila kita mengerti dan menghayati prinsip-prinsip sustainable architecture (arsitektur
berkesinambungan) dan tectonic cultures (budaya tektonika) yang sebenarnya dapat kita gali
kembali dari khasanah budaya yang ada di Aceh. Warisan budaya tektonika Rumoh Aceh telah
mewariskan kepada kita prinsip-prinsip arsitektur berkesinambugan, yang secara periodik dapat
mengganti bagian kayu yang lapuk dengan yang baru dengan teknik yang dirancang sejak awal.
Bahkan, karena rumoh Aceh merupakan rumah yang fleksibel, bila diperlukan keseluruhan
bagian rumahpun dapat segera di lepas-lepas, maka ia dapat dipindahkan dengan cepat saat
akan berpindah tempat. Tidak seperti rumah-rumah gedung yang berkembang saat ini, yakni
rumah permanen yang tertanam kuat di tanah.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup dan dijalankan
oleh masyarakat Aceh. Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan
eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri. Ide pelestarian Rumoh Aceh akan semakin menemukan
momentum pasca tsunami yang menimpa Aceh pada taggal 26 Desember 2004. Pasca tragedi
bencana alam tersebut, beragam orang dari berbagai bangsa datang tidak hanya membawa
bantuan tetapi juga membawa tradisi yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai yang
berkembang di Aceh.
Secara keseluruhan, dapat disimpulkan Rumoh Aceh memiliki tingkat budaya tektonika
dan seni yang tinggi. Sebab bangunan ini dapat diterima dan disepakati bersama oleh
masyarakat Aceh dimulai dari zaman dahulu kala, dan dapat bertahan hingga saat ini. Dengan
demikian sikap paling arif yang perlu dimiliki para arsitek Indonesia adalah mensenyawakan
inovasi dan teknologi maju dengan kaidah-kaidah perancangan arsitektur yang bersumber dari
20
daerah tempat bangunan berpijak, dengan selalu mempertimbangkan norma, tata nilai dan
tingkah laku manusia yang menggunakannya.
AKHIRUL KATA
Proses perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan, karena merupakan suatu
keniscayaan, conditio sine qua non yaitu sesuatu yang tidak bisa dipertanyakan lagi, sudah
harus begitu. Erosi budaya memang sudah terjadi, namun ada beberapa perubahan yang
merupakan modernisasi. Ada yang dilestarikan dan ada juga pengembangan budaya, agar tidak
mati. Di dalam menghadapi proses perubahan (changing) kita harus sangat bijak dan teliti
jangan sampai terjadi kita seperti yang disebutkan dalam hadih maja ini:
Jadi menghadapi gejolak perubahan itu kita harus bijak. Jangan nanti kita cabut gelang
emas murni kita ganti dengan gelang emas imitasi, karena kita tidak bisa lagi membedakan
emas dengan sepuhan. Ini nasehat untuk kita berhati-hati.
Filsafat yang menjadi jati diri orang Aceh adalah filsafat holistik. Paradigma Tauhid
adalah paradigma holistik yang menekankan keharmonisan hubungan antar manusia dengan
Tuhan, dengan sesama dan dengan alam. Paradigma Tauhid inilah jatidiri orang Aceh, yang
dimanifestasikan dalam segala karya seni dan budayanya. Walaupun sekarang banyak variasi
yang dibuat saat kita membangun rumah, namun masyarakat Aceh hendaknya tetap ingat dan
tidak meninggalkan ciri-ciri penting dan khas dari rumoh Aceh. Sekaranglah saatnya kita
melestarikan kembali hutan kayu dan bambu, memunculkan dan menggerakkan kembali
sumber daya utoh agar dapat bersama-sama dengan sarjana arsitektur melestarikan keluhuran
budaya tektonika Arsitektur Aceh. Dengan kesadaran penuh akan pentingnya aset budaya itu
maka perlulah kita memelihara, merawat dan mendokumentasikan segenap artefak arsitektur
yang masih tersisa, dan berupaya melanjutkan keluhuran nilai-nilainya dalam bentuk dan kreasi
desain baru yang sustainable namun inovatif sesuai tuntutan era kontemporer bahkan futuris.
21
Heraklitus, seorang Filsuf Yunani berkata: Panta Rhei, everything flows" segala sesuatu
itu mengalir, tanpa henti tidak ada yang tetap, yang abadi hanya perubahan. Sejarah itu
mengalir, dan situasi selalu berubah. Namun janganlah sampai perubahan itu tanpa arah,
anything goes, apa saja boleh. Di dalam perubahan itu seharusnya manusia muslim Aceh
menjadi khalifah, sebagai aktor yang menentukan arah perubahan. Maka marilah kita gunakan
kesempatan untuk berbuat, mengubah nasib dalam rangka mencapai fitrah yang tinggi. Dalam
arsitektur Aceh simbol-simbol keislaman itu begitu kuatnya, orang-orang tua kita dulu memang
hebat-hebat dalam hal memberi pesan kepada generasi penerus: Boh mala iri, ie pasang surot,
adat datok nini beutaturot... !
DAFTAR PUSTAKA
1. Antoniades, Anthony C. (1992) Poetics of Architecture, Theory of Design, Van Nostrand Reinhold, New York
2. Arif, Kamal A. (2008) Citra Kota Banda Aceh, interpretasi sejarah, memori kolektif dan arketipe arsitekturnya,
ISBN 978-979-18744-0-3, Pustaka Bustanussalatin- RANTF BRR, Banda Aceh
3. Arif, Kamal A. (2004) Buku III : Data Penelitian, Peta dan Gambar dari Koleksi Arsip Perpustakaan di Negeri
Belanda, Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi NAD, Banda Aceh.
4. Arif, Kamal A. (2014) Seni Budaya Aceh Dalam Perspektif Sejarah Dinul Islam, makalah seminar Syareh
Budaya Pekan Kebudayaan Aceh 23 Desember 2014, di Meulaboh.
5. Dall, Greg (1982) The Traditional Acehnese House, dalam John Maxwell (ed), The Malay-Islamic World of
Sumatra: studies in polities and culture, hal. 35-61, Monash University
6. Frampton, Kenneth (1995) Studies in Tectonic Culture; the poetics of Construction in Nineteenth and Twentieth
Century Architecture, MIT Press, Cambridge
7. Hurgronje, Snouck C. (1906) The Acehnese, Translated by A.W.S. OSullivan, Vol. I-II, Leyden.
8. Husin, Amir (ed) (2003) Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, Dinas Perkotaan dan Permukiman Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Ban
9. Keumala, Indah (2008), Tektonika dalam Arsitektur Rumah Aceh, skripsi, Jur. Arsitektur UNPAR, Bandung
10. Leigh, Barbara (1989) Hands of Time, The Crafts of Aceh, Penerbit Djambatan, Jakarta
11. Moehammad Hoesin, (1970), Adat Atjeh, Dinas P dan K Propinsi Daerah Istimewa Atjeh, Banda Atjeh
12. Nas, Peter J.M. (1999) Ethnic Identity in Urban Architecture, Generations of Architects in Banda Aceh, Leiden
University, Leiden
13. Schefold, R., Domenig G., Nas, P.J.M, (ed)., (2004), Indonesian houses, SUP, Singapore
14. Sidharta, Prof,Ir. (1987), Pendidikan Arsitektur dan Masa Depan Arsitektur Indonesia, dalam Arsitek bicara
tentang Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung.
22
RIWAYAT HIDUP
Dr. Ir. Kamal A. Arif, M. Eng.
23