Anda di halaman 1dari 11

Sayed Dahlan Al-Habsyi lahir di Panton Labu Aceh, 15 Juni 1944.

Beliau adalah
seorang seni rupa (pelukis) senior yang telah lama mendedikasikan ilmunya dilembaran kanvas sejarah
seni rupa Aceh yang kaya akan kebudayaan. Hasratnya yang ingin mengembangkan dan melestarikan
Budaya Seni Rupa Aceh patut dihargai. Sejak tahun 1962 , ia menekuni dunia cerganis di bawah
bimbingan Komikus Teguan Harjo dan beberapa cerganis lainnya di Medan. Ia pun telah menekuni
dunia senirupa dan telah mengikuti event Pameran berskala Nasional yang diselenggarakan di Sumatra
dan Jawa. Agar tidak melupakan regenerasi, beliau mempersembahkan ilmunya untuk anak bangsa
dengan mendidik mereka melalui Sanggar Seni Rupa Sayed Art saat menetap di Kota Lhokseumawe
pada tahun 1969-2003.
Pada tahun 1981 beliau mewujudkan gagasannya yang telah lama menjadi obsesi, yaitu Lukisan yang
memvisualkan Sejarah Aceh Sepanjang Sejarah, dan menjadi rujukan standard bagi regenerasi
selanjutnya atau siapa saja yang ingin mengkaji Sejarah tentang Aceh. Dan untuk hal ini beliau telah
mendapatkan dukungan penuh dari Gubernur Aceh pada saat itu.

Bolehlah hati kita bertanya-tanya, benarkah Aceh masa itu seindah lukisan ini? Tidak ada yang tahu
pasti. Namun, bila ingin mencari sebuah kebenaran, kita harus meneliti setiap jalan yang mengarah ke
sana. Bukalah setiap pustaka dunia, pelajari, lalu renungkan, benarkah Aceh seindah lukisan?
Mengenai makna lukisan Sayed Dahlan Al-Habsyi, khususnya yang gambarnya ada di halaman ini, kita
bisalah mencoba membahasnya sedikit, dengan berpegang pada nilai seni dan cara sang pelukis
menoreh warna di kanvas, juga landasan roh seni saat lukisan itu dibangun dalam jiwa seninya, sampai
dilahirkan ke kanvas hingga dapat kita pandang.

Sebelumnya, kita boleh merasa takjub, bagimana seorang yang hidupnya di zaman sekarang, mampu
mengembangkan intuisi begitu jauh ke masa ratusan tahun ke belakang, dengan hanya mengandalkan
sedikit fakta sejarah. Tentu saja itu bukan usaha mudah.

Pelukis ini ingin membuat sebuah gambar yang kelak akan menjadi acuan sejarah. Lihatlah sendiri,
apakah lukisan ini berhasil. Dari warna yang ia pilih, mencerminkan, lukisan-lukisan itu dibuat dengan
permenungan dan sikap optimisme kuat, sehingga lukisan yang jadi, membuat pemandangnya percaya.

Jika berbicara aliran seni lukisan yang ada gambarnya di sini, maka aliran seninya adalah romantik. Kita
menyebutnya romantik karena suasana yang diungkapkan adalah suasana yang berjauhan dengan kita
sekarang. Itulah romantik.

Mungkin juga ada yang bilang, kalau lukisan ini dilukiskan terlalu glamour dan mewah. Orang yang bilang
begitu adalah orang yang tak mengerti sejarah Aceh. Karena sejauh yang kita pelajari, keadaan Aceh
masa itu memang seperti dalam lukisan ini. Aceh memang seindah lukisan Sayed Dahlan Al Habsyi, ya,
itu Aceh dulu. Dulu sekali.

Satu hal yang pasti, kehadiran lukisan ini membuat jutaan tanya terjawab, bagaimanakah Aceh yang jaya
di masa silam itu? Jawabnya, seperti dalam lukisan. Lihatlah semua lukisan yang pernah dilukis oleh
pelukis tentang jayanya Aceh, dan begitulah adanya kebenaran itu. Semoga!

Catatan : Sebelumnya saya minta izin kepada Bapak Sayed Dahlan Al Habsyi, karena dengan lancangnya
telah memposting karya Bapak, dan mohon maaf kalau ada keslahan baik dalam artikel maupun
gambar,dan akan terus saya update gambarnya kalau saya mendapat karya-karya Bapak yang luar biasa.

monument Aceh Thanks To The World. Monumen ini adalah bentuk terimakasih masyarakat Aceh
kepada para relawan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga tinggi Negara, perusahaan, sipil, dan
ketentaraan dalam dan luar negeri yang telah berpartisipasi dalam merekonstruksi Aceh pasca musibah
Tsunami. Selain monument Aceh Thanks To The World, sebagai rasa terimakasih masyarakat Aceh, maka
setiap Negara yang berpartisipasi dibuatkan prasasti dan pohon persahabatan. Dimana prasasti tersebut
ditulis nama Negara, bendera Negara, dan ucapan ‘Terima Kasih dan Damai’ dalam bahasa masing-
masing Negara. Total terdapat 53 prasasti di lapangan Blang Padang ini.
Museum Aceh. Perhatian saya langsung tertuju ke rumah adat yang menarik, berpintu sempit dan
berwarna eksotis. Rumah tersebut adalah rumah adat Aceh yang biasa disebut sebagai Rumoh Aceh.
Seperti kebanyakan rumah adat di Sumatera, rumah adat ini juga berbentuk rumah panggung. Rumah
ini juga terlihat sangat terawat. Ukiran kayu dengan motif khas aceh tampak menghiasi eksterior dan
interior rumah ini. Dibagian bawah rumah ini terdapat beberapa koleksi lain seperti Kohler Boom atau
pohon Kohler yang berdiameter 130 cm dan dalam keadaan terbelah. Dinamakan Kohler Boom karena
pada tanggal 14 April 1873 panglima perang belanda pertama di Aceh, Jenderal Kohler, ditembak mati
oleh pejuang Aceh. Tidak jauh dari Rumoh Aceh terdapat Lonceng CakraDonya yang merupakan hadiah
dari Laksamana Cheng Ho pada tahun 1414. Sebuah bukti kalau Aceh sudah menjalin hubungan bilateral
yang baik sejak dahulu kala. Bangunan lain di komplek ini adalah Museum Aceh itu sendiri yang
didalamnya terdapat tulisan budaya Aceh, kerajinan, tarian, adat istiadat, ukiran, dan ragam hias khas
Aceh.

Sultan Iskandar Muda dimakamkan. Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam merupakan sultan
paling besar dalam kesultanan Aceh yang memerintah sejak tahun 1606 hingga 1636. Selama 30 tahun
masa pemerintahannya, Aceh mencapai masa kejayaan dimana beliau berhasil menyatukan wilayah
semenanjung, menjalin hubungan diplomatik dengan Negara tetangga, menjadikan Aceh sebagai salah
satu pusat ilmu pengetahuan di Asia Tenggara, dan membawa kerajaan Aceh Darussalam menjadi
kerajaan Islam terbesar kelima di dunia.

Taman Pintoe Khop Putroe Phang yang didalamnya terdapat Pintoe Khop yang dulunya adalah gerbang
yang menghubungkan istana dengan Taman Ghairah. Gerbang ke taman dari keluarga kerajaan, sultan,
permaisuri, pangeran dan putrid raja. Konon pembangunan taman ini merupakan permintaan dari
Putroe Phang, putri raja yang dibawa ke Aceh oleh Sultan Iskandar Muda setelah kerajaan Pahang
Ditaklukkan. Dilokasi ini juga terdapat semacam danau buatan berukuran kecil yang sering digunakan
warga setempat untuk memancing.

Cinta dan kasih sayang yang tulus memang dapat membuat manusia menciptakan banyak hal yang
Indah demi belahan jiwanya. Jika di Agra, India kita mengenal bangunan megah bernama Taj mahal yang
merupakan representasi cinta dan kasih sayang Shah Jahan terhadap permaisurinya yang bernama
Mumtaz Mahal. Maka di Aceh kita dapat melihat simbol kasih sayang dalam bentuk yang lain…
Gunongan. Menurut kisah yang berkembang, bangunan bertingkat tiga yang berbentuk segi enam dan
seperti bunga yang dibangun sekitar abad 17 ini sejatinya merupakan lambang kasih sayang Sultan
Iskandar Muda kepada permasurinya yang cantik, Putroe Phang. Konon dahulu Putroe Phang sering
teringat kampung halamannya di Pahang dan sering merasa kesepian karena Sultan sibuk mengurusi
pemerintahan. Karena memahami kegundahan permaisurinya maka sultan membuatkan Gunongan,
yang berbentuk seperti Gunung Kecil. Gunung kecil itu berbentuk seperti miniatur perbukitan yang
mengelilingi istana Putroe Phang di Pahang. Putroe Phang menjadi sangat senang. Waktunya sering ia
habiskan di sana, bermain-main bersama dayang-dayangnya, sambil memanjatinya.

kerawang Gayo adalah kerajinan bordir masyarakat Gayo, Aceh Tengah. Bordir Kerawang Gayo memiliki
corak yang khas, dimana mempunyai makna filosofi yang dalam dari setiap ukiran dan bentuknya. Bordir
Kerawang Gayo ini sering dipakai untuk hiasan dinding, alas meja, motif pakaian, tas dan lain
sebagainya. Motif Kerawang Gayo tidak hanya diminati masyarakat lokal saja, namun daerah Aceh
lainnya juga banyak

Keureusang (Kerosang/Kerongsang/Bros)
adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10 Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada ini disematkan
di baju wanita (sejenis bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk
keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian sejumlah 102 butir.
Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti peneti) di bagian dada. Konon, perhiasan ini
merupakan barang mewah jadi hanya orang-orang tertentu saja yang memakainya sebagai perhiasan
pakaian harian.

Patam Dhoe

Patam Dhoe, mahkota khas pelengkap perhiasan pakaian adat Aceh. Foto: blogspot.com

adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari emas ataupun dari perak
yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga
bagian yang satu sama lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran
kaligrafi dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif ini
disebut Bungong Kalimah -yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan kecil dan bunga.
Peuniti, perhiasan yang dikenakan di pakaian wanita Aceh. Foto: blogspot.com

Peuniti
Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan motif Pinto Aceh. Motif
Pinto Aceh dibuat dengan ukiran piligran yang dijalin dengan motif bentuk pucuk pakis dan
bunga. Pada bagian tengah terdapat motif boheungkot (bulatan-bulatan kecil seperti ikan telur).
Motif Pinto Aceh ini diilhami dari bentuk pintu Rumah Aceh yang sekarang dikenal sebagai
motif ukiran khas Aceh. Peuniti ini dipakai sebagai perhiasan wanita, sekaligus sebagai
penyemat baju.

Simplah

Simplah, perhiasan dada yang dipasangkan pada baju adat wanita Aceh. Foto: blogspot.com

Merupakan perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari 24 buah
lempengan segi enam dan dua buah lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan
ukiran motif bunga dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan
tersebut dihubungkan dengan dua untai rantai.

Subang Aceh, pelengkap hiasan pada pakaian adat Aceh. Foto: blogspot.com

Subang Aceh
Subang Aceh memiliki diameter 6 cm. Sepasang Subang terbuat dari emas dan permata.
Bentuknya seperti bunga matahari dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas
berupa lempengan yang berbentuk bunga Matahari disebut "Sigeudo Subang." Subang ini
disebut juga subang bungong mata uro.

Taloe Jeuem
Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari rangkaian cincin-cincin kecil
berbentuk rantai dengan hiasan berbentuk ikan (dua buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung
rantai terdapat kait berbentuk angka delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat
laki-laki yang disangkutkan di baju.

Anda mungkin juga menyukai