Anda di halaman 1dari 4

6 Nama Pakaian Adat Aceh yang Penuh Filosofi

1. Meukasah
Pakaian adat Aceh yang dipakai para pria bisa disebut sebagai linto baro. Pakaian ini memiliki terbagi
menjadi beberapa bagian. Atasan dari pakaian adat linto baro disebut meukasah.
Baju yang terlihat seperti beskap ini terbuat dari kain sutra yang ditenun. Pada umumnya, meukasah
memiliki warna hitam yang melambangkan kebesaran. Selain itu, meukasah ditutup dengan kerah yang
menyerupai kerah cheongsam. Di bagian kerah sampai dada terdapat sulaman berwarna emas.

2. Sileuweu
Bagian bawah dari linto baro disebut sileuweu. Celana ini juga disebut sebagai cekak musang. Sileuweu
memiliki warna yang sama seperti meukasah. Menggunakan bahan katun, celana ini ditentun dan
melebar pada pada bagian bawah.
Sileuweu biasanya dilengkapi dengan sarung songket saat digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk
menambah kewibawaan pemakainya. Cara memakainya cukup diikatkan pada pinggang dan batas
panjangnya sekitar 10 cm di atas lutut.

3. Meukeutop
Meukeutop merupakan kopiah khas Aceh. Kopiah ini memiliki bentuk lonjong ke atas. Selain itu,
meukeutop juga dihiasi dengan lilitan kain sutra berbentuk bintang segi delapan yang disebut tengkulok.
Meukeutop memiliki perpaduan lima warna yang masing-masing punya arti sendiri. Warna merah dalam
meukeutop memiliki arti kepahlawanan, kuning berarti kesultanan, hijau melambangkan agama Islam,
hitam sebagai lambang ketegasan dan putih sebagai lambang kesucian.

4. Baju kurung
Baju kurung merupakan gabungan dari kebudayaan Melayu, Arab dan China. Baju ini memiliki model
yang longgar sehingga gak memperlihatkan lekuk tubuh wanita. Baju kurung memiliki kerah serta motif
sulaman benang emas.
Dalam penggunannya, di bagian pinggang dililitkan songket khas Aceh menggunakan tali yang disebut
taloe ki ieng patah sikureung.

5. Cekak musang
Sama seperti pakaian pria, para wanita juga menggunakan celana cekak musang. Bedanya warna celana
pada wanita lebih cerah dan menyesuaikan dengan baju kurung yang dipakai. Bagian pergelangan kaki
celana ini dihiasi dengan sulaman benang emas.

6. Patam dhoe
Biasanya wanita Aceh juga mengenakan perhiasan dan penutup kepala. Salah satunya yaitu patam dhoe
yang memiliki bentuk seperti mahkota. Bagian tengah mahkota ini diukir membentuk motif daun sulur.
Di sisi lain, patam dhoe memiliki motif yang disebut boengong kalimah dengan dikelilingi bunga dan
bulatan.
Gimana menurut kamu pakaian adat Aceh untuk pria dan wanita di atas? Memesona bukan?
Sampai saat ini alat musik yang sudah diketahui yang berlaku dalam masyarakat Aceh dari zaman
endatu sampai sekarang ada 10 macam:
ALAT MUSIK ACEH

Arbab
Instrumen ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri (instrumen induknya) dan penggeseknya
(stryk stock) dalam bahasa daerah disebut: Go Arab. Instrumen ini memakai bahan: tempurung
kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh Barat. Arbab ini
dipertunjukkan pada acara-acara keramaian rakyat, seperti hiburan rakyat, pasar malam dsb.
Sekarang ini tidak pernah dijumpai kesenian ini, diperkirakan sudah mulai punah. Terakhir
kesenian ini dapat dilihat pada zaman pemerintahan Belanda dan pendudukan Jepang.
 
Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis isntrumen tiup dari bambu yang dijumpai di daerah Alas, Kabupeten
Aceh Tenggara. Secara tradisional pembuatan Bangsi dikaitkan dengan adanya orang meninggal
dunia di kampung/desa tempat Bangsi dibuat. Apabila diketahui ada seorang meninggal dunia,
Bangsi yang telah siap dibuat sengaja dihanyutkan disungai. Setelah diikuti terus sampai Bangsi
tersebut diambil oleh anak-anak, kemudian Bangsi yang telah di ambil anak-anak tadi dirampas
lagi oleh pembuatnya dari tangan anak-anak yang mengambilnya. Bangsi inilah nantinya yang
akan dipakai sebagai Bangsi yang merdu suaranya. Ada juga Bangsi kepunyaan orang kaya yang
sering dibungkus dengan perak atau suasa.
 
Serune Kalee (Serunai)
Serune Kalee merupakan isntrumen tradisional Aceh yang telah lama berkembang dan dihayati
oleh masyarakat Aceh. Musik ini populer di daerah Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat.
Biasanya alat musik ini dimainkan bersamaan dengan Rapai dan Gendrang pada acara-acara
hiburan, tarian, penyambutan tamu kehormatan. Bahan dasar Serune Kalee ini berupa kayu,
kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bambu. Warna dasarnya hitam yang fungsi
sebagai pemanis atau penghias musik tradisional Aceh.
Serune Kalee bersama-sama dengan geundrang dan Rapai merupakan suatau perangkatan musik
yang dari semenjak jayanya kerajaan Aceh Darussalam sampai sekarang tetap
menghiasi/mewarnai kebudayaan tradisional Aceh disektor musik.
 
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya seperti rebana dengan
warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi
pengiring kesenian tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya: Rapai Pasee (Rapai gantung), Rapai Daboih, Rapai Geurimpheng (rapai
macam), Rapai Pulot dan Rapai Anak.
 
Geundrang (Gendang)
Geundrang merupakan unit instrumen dari perangkatan musik Serune Kalee. Geundrang termasuk
jenis alat musik pukul dan memainkannya dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu
pemukul. Geundrang dijumpai di daerah Aceh Besar dan juga dijumpai di daerah pesisir Aceh
seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang nerupakan alat pelengkap tempo dari musik
tradisional etnik Aceh.
 
Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan Bak Iboh (batang iboh),
kulit sapi dan rotan sebagai alat peregang kulit. Tambo ini dimasa lalu berfungsi sebagai alat
komunikasi untuk menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan masyarakat
ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampung.
Sekarang jarang digunakan (hampir punah) karena fungsinya telah terdesak olah alat teknologi
microphone.
 
Taktok Trieng
Taktok Trieng juga sejenis alat pukul yang terbuat dari bambu. Alat ini dijumpai di daerah
kabupaten Pidie, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lainnya. Taktok Trieng dikenal ada 2 jenis :
Yang dipergunakan di Meunasah (langgar-langgar), dibalai-balai pertemuan dan ditempat-tempat
lain yang dipandang wajar untuk diletakkan alat ini.
jenis yang dipergunakan disawah-sawah berfungsi untuk mengusir burung ataupun serangga lain
yang mengancam tanaman padi. Jenis ini biasanya diletakkan ditengah sawah dan dihubungkan
dengan tali sampai ke dangau (gubuk tempat menunggu padi di sawah).
 
Bereguh
Bereguh nama sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh pada masa silam dijumpai
didaerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan terdapat juga dibeberapa tempat di Aceh. Bereguh
mempunyai nada yang terbatas, banyakanya nada yang yang dapat dihasilkan Bereguh tergantung
dari teknik meniupnya.
Fungsi dari Bereguh hanya sebagai alat komunikasi terutama apabila berada dihutan/berjauhan
tempat antara seorang dengan orang lainnya. Sekarang ini Bereguh telah jarang dipergunakan
orang, diperkirakan telah mulai punah penggunaannya.
 
Canang
Perkataan Canang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. Dari beberapa alat kesenian
tradisional Aceh, Canang secara sepintas lalu ditafsirkan sebagai alat musik yang dipukul, terbuat
dari kuningan menyerupai gong. Hampir semua daerah di Aceh terdapat alat musik Canang dan
memiliki pengertian dan fungsi yang berbeda-beda.
Fungsi Canang secara umum sebagai penggiring tarian-tarian tradisional serta Canang juga
sebagai hiburan bagi anak-anak gadis yang sedang berkumpul. Biasanya dimainkan setelah
menyelesaikan pekerjaan di sawah ataupun pengisi waktu senggang.
 
Celempong
Celempong adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten Tamiang. Alat ini
terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara memainkannya disusun diantara kedua kaki
pemainnya.
Celempong dimainkan oleh kaum wanita terutama gadis-gadis, tapi sekarang hanya orang tua
(wanita) saja yang dapat memainkannnya dengan sempurna. Celempong juga digunakan sebagai
iringan tari Inai. Diperkirakan Celempong ini telah berusia lebih dari 100 tahun berada di daerah
Tamiang.
Macam-macam Rumah Adat Aceh
Orang-orang aceh biasa menyebut rumah Aceh dengan sebutan Rumoh Aceh. Rumah adat Aceh ini
memiliki beberapa jenis. Rata-rata, sama seperti rumah adat Sumatera lainnya, rumoh Aceh ini memiliki
konsep rumah panggung. Biasanya tinggi rumah dari permukaan tanah dibangun dengan jarak sekitar 2
sampai 3 meter. Jadi tak terlalu sulit untuk mengenali rumoh Aceh ketika Anda berkunjung ke sana.
Lalu ciri khas utama yang bisa Anda kenali berikutnya ada pada pintu yang tingginya sekitar 120-150 cm
saja. Maka dari itu, jika hendak melewatinya, Anda harus menunduk lebih dulu. Rumoh Aceh ini
mungkin sudah jarang ditemui di daerah perkotaan, sebab masyarakat sekarang lebih memilih bangunan
yang lebih modern. Namun rumah adat di Aceh masih bisa Anda temui di daerah-daerah pedesaan.
Adapun jenis-jenis Rumoh Aceh adalah sebagai berikut:

1. Rumah Krong Bade


Rumah adat pertama yang perlu Anda kenali adalah Rumah Krong Bade. Konsep bangunannya memakai
rumah panggung, yang tingginya mencapai 2 sampai 3 meter. Lalu hampir seluruh material
bangunannya memakai bahan alami, yaitu berbagai jenis kayu.
Lalu untuk atapnya banyak memakai daun rumbia. Pada kolong rumah panggung, pemilik rumah biasa
menyimpan bahan makanan di sana. Lalu kegiatan masyarakat terutama ibu-ibu di sana juga banyak
dilakukan di bawah rumah panggung, seperti saat menenun.
Ketika hendak masuk ke rumoh Aceh, akan ada tangga. Adapun jumlah tangganya sesuai dengan aturan
pembuatannya, harus berjumlah ganjil. Setelah Anda menaiki tangga, nantinya akan ada beberapa
hiasan seperti lukisan yang dipasang di dinding.
Jumlahnya bisa satu atau lebih. Jumlah hiasan di dinding inilah yang menunjukkan status sosial pemilik
rumah Krong Bade ini. Semakin banyak hiasan atau lukisan yang dipajang, artinya semakin tinggi pula
golongan pemilik Krong Bade tersebut. Begitu juga sebaliknya.

2. Rumah Santeut
Rumah adat Aceh yang kedua yaitu Rumah Santeut. Rumah ini juga biasa disebut dengan Tampong
Limong. Bentuknya cukup sederhana, sebab masyarakat juga banyak memakai desain rumah jenis ini.
Tiang pada bangunannya juga dibuat sama, yaitu sekitar 1,5 meter.
Lalu untuk material bangunan pada Tampong Limong ini juga jauh lebih murah dibanding dengan Krong
Bade. Atap rumahnya memakai daun rumbia, sementara untuk lantai digunakan belahan bambu yang
ditata atau di jajar rapat.
Selain sebagai lantai, belahan bambu ini dipakai juga karena sirkulasi udara di dalam ruangan yang
dihasilkan dengan memakai bahan tersebut jauh lebih bagus. Dengan begitu, lantai dan ruangan tidak
akan terasa lembab, namun lebih sejuk.
Rumah Santeut ini biasanya memang tidaklah terlalu luas. Maka dari itu, di bagian kolong biasanya akan
dipakai untuk tempat mengadakan acara rumahan tertentu atau untuk menerima tamu.

3. Rumah Rangkang
Rumah adat Aceh yang terakhir yaitu rumah Rangkang. Rumah ini bukanlah rumah tinggal seperti
sebelumnya, melainkan tempat untuk beristirahat bagi masyarakat atau disebut tempat singgah. Rumah
ini memang dibuat untuk orang-orang yang ingin bersinggah. Seperti mereka yang ingin beristirahat saat
sedang dalam perjalanan jauh.
Bentuk rumahnya adalah rumah berkonsep panggung. Karena hanya sebagai tempat singgah, maka
biaya pembuatannya juga cukup murah. Bahan yang dipakai biasanya berupa kayu biasa ditambah
dengan daun rumbia sebagai atapnya. Meski sederhana, namun rumah ini amat berguna bagi
masyarakat Aceh. Sebab saat lelah, mereka dapat memakai tempat ini untuk istirahat sejenak.

Anda mungkin juga menyukai