Anda di halaman 1dari 5

Tari Ale Tunjang

I. Sejarah

Jauh sebelum diproklamasikannya Republik Indonesia, Aceh adalah sebuah negeri berdaulat
dan dikenal sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Mencapai puncak kejayaan pada
masa Sultan Iskandar Muda. Pada abad XVI, Aceh pernah tercatat sebagai salah satu kerajaan
Islam besar di dunia.

Posisi Aceh yang dekat dengan laut, mejadikannya sebuah wilayah persinggungan berbagai
budaya dari seluruh dunia. Tercatat sejak abad VIII, Aceh menjadi tempat strategis untuk
persinggahan pelayaran bagi para pedagang yang berasal dari Arab, Persia, Turki, maupun
Spanyol yang hendak menuju Cina maupun India. Beberapa pedagang menetap di Aceh dan
melangsungkan perkawinan dengan perempuan – perempuan Aceh. Maka terjadilah akulturasi
budaya.

Lokakarya (1980 : 64) menjelaskan bahwa Sudah menjadi suatu kebiasaan bagi seorang raja
di zaman dahulu, jika lahir seorang putra atau putrinya diharuskan untuk melihat nasibnya
dimasa datang. Hal ini terjadi pula pada seorang raja di daerah Buloh Blang Ara Kabupaten Aceh
Utara. Kebetulan sang nujum menyatakan bahwa putra raja tersebut akan membawa malapetaka
bagi daerah tersebut. Raja memerintahkan menterinya untuk membuang putranya ke dalam
rimba.

Setelah beberapa lama putra raja berada di dalam rimba, pada suatu waktu beberapa pencari
rotan mendengar suara (bunyi-bunyian) yang namanya indah dan menarik. Oleh pencari rotan
timbul lah hasrat untuk menyelidiki bunyi apakah itu. Setelah diadakan penyelidikan, maka
terlihat oleh mereka bahwa seorang anak laki-laki sedang bermain-main dengan menumbuk-
numbuk batang kayu yang rebah dengan akar tunjang sehingga menimbulkan bunyi yang
berirama. Pencari rotan terus mendekati si anak dan ternyata dia adalah putra raja yang dibuang
beberapa waktu yang lalu. Kemudian anak itu diambil dan dibawa pulang ketempat pencari rotan
itu dan memeliharanya sebagai anaknya sendiri.

Permainan rimba itu diteruskan di desa bersama-sama dengan anak-anak lainnya. Lama-
kelamaan permainan itu mengalami proses penyempurnaan dan menjadi kegemaran penduduk
setempat, dan dinamakan Alee tunjang.
Seni tari Ale Tujang berasal dari permainan rakyat Buloh Blang Ara. “Asal muasalnya
dari Desa Krueng Manyang, Buloh Blang Ara,” kata T. Idris Thaib. “Masa silam, piasan ini
dimainkan menjelang musim tanam padi di sawah yang diadakan di tanah lapang atau lapangan
terbuka. Seusai masa panen, digelar di tempat ceumeulho ateuh jumpung lam blang (di atas
jerami di sawah).

Top Ale Tunjang dikreasikan menjadi tarian Top Ale Tunjang, dan (saat itu) tarian ini
menjadi dominan untuk menyambut tamu sekaligus memberi hiburan kepada masyarakat. Tarian
Top Ale Tunjang terdiri dari delapan pemain tunjang, dan lesung terbuat dari pohon nangka dan
tualang. Sedangkan ale terbuat dari pelepah daun nira/bak jok”.

II. Struktur Musik

Setiap penampilan/satu grup Ale Tunjang dahulunya melibatkan delapan pemain


menggunakan delapan ale dan lima leusong. Permainan Ale Tunjang kemudian dikreasikan
menjadi tarian sejak tahun 1980-an. “Saat itu, masa Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Bupati
Aceh Utara Ramli Ridwan, seluruh kesenian tradisional dibangkitkan, setelah itu terlupakan,”
ujar Idris Thaib yang juga Imum Mukim Buloh Blang Ara.

Setelah piasan Ale Tunjang dikreasikan menjadi tarian, menurut Idris Thaib, biasanya tidak
lagi melibatkan perempuan sebagai penari. Selain itu, jika dahulunya hanya mengandalkan bunyi
ale dan leusong, kini dilengkapi dua syahi/vokalis yang melantunkan syair dan meniup seruling.

Dahulunya, rata-rata leusong terbuat dari batangan tualang. Belakangan, menurut Idris Thaib,
ada juga bak panah (batangan nangka) lantaran tualang kini tergolong langka. “Leusong dari
batang tualang yang ditunjang dengan ale melahirkan bunyi sangat indah. Leusong terbuat dari
batang nangka juga lumayan bagus bunyinya, tapi harus dipilih dengan kriteria khusus,” katanya.
Pelepah pohon enau untuk ale juga punya kriteria tertentu yang dipilih dengan keahlian
khusus. Misalnya, menurut Hamdani, dijemur sebulan sebelum digunakan, sehingga akan
melahirkan bunyi indah saat ditunjang ke dalam leusong.

Berdasarkan data teknis Ale Tunjang dipublikasikan acehmusician.org, pembuatan peralatan


itu digunakan bahan baku dari kayu nangka dan batang mane untuk dan lesungnya. Sedangkan
untuk alu dibuat dari pelepah enau atau sejenis kayu lembut/lunak. Ale penuh dengan ukiran-
ukiran spesifik semacam hiasan urat-urat yang melingkar, dan ornamen-ornamen lain yang
menarik dan memesonakan. Lesung biasanya dibuat ukiran cantik dan spesifik Aceh berupa
dimensi-dimensi lengkung dan motif seperti bunga-bungaan.

“Ale Tunjang biasanya tidak dicat atau diwarnai. Paling-paling dipelitur dengan warna coklat
tua ataupun dipernis, karena bahan kayu yang terpilih dari batang nangka atau mane biasanya
lambat laun akan berwarna coklat dan kalau sering-sering dimainkan atau dipegang-pegang
otomatis akan menjadi licin dan berkilat”.

Adapun lesungnya terdiri dari satu lesung aneuk sempom dibuat dari bahan batang nangka,
satu lesung syup syup dari batang nangka atau batang mane, dua atau tiga lesung rempah, dan
dua alu dibuat dari pelepah enau dan dari jenis kayu yang lembut.

III. Nilai Filosofi

Kesenian Musik Alee Tunjang adalah musik tradisional Aceh Utara. Musik Alee Tunjang
termasuk kedalam jenis musik perkusi. Terdiri dari tujuh orang, yaitu enam pemain musik, lima
laki-laki, satu wanita, dah satu orang Ceh. Musik Alee Tunjang memiliki syair yang dinyanyikan
oleh Ceh. Ceh dalam bahasa Indonesia adalah penyanyi. Alee atau alu dalam bahasa Indonesia
mempunyai arti sebagai penumbuk, yaitu penumbuk yang ditumbukkan ke dalam lesung
sehingga mengahasilkan suara yang nyaring dan indah. Permainan musik Alee Tunjang
menggunakan Alee dan lesung. Alee terbuat dari pelepah Aru yang masih muda dan panjang Alee
mencapai 2-4 meter.
Lesung terbuat dari batang pohon nangka. Terdapat enam lesung pada musik Alee Tunjang,
masing-masing lesung memiliki ukuran yang bebeda-beda, karena perbedaan ukuran lesung
sehingga menghasilkan efek suara yang berbeda-beda juga.

Fungsi musik Alee Tunjang adalah awalnya musik ini berasal dari permainan rakyat yang
fungsinya sebagai hiburan masyarakat dan untuk menyiarkan agama islam melalui syair-syair
yang di lantunkan dalam musik Alee Tunjang, akan tetapi pada saat ini telah berubah fungsi dari
permainan rakyat menjadi hiburan rakyat sehabis panen di sawah yang di gelar di halaman
terbuka atau halaman rumah.

IV. SIMBOLIK DAN RELIGIUS

Seni Aceh dipengaruhi latar belakang adat agama dan latar belakang cerita rakyat (mitos
legenda). Seni tari yang berlatar belakang adat dan agama seperti tari saman, meuseukat, rapai
uroh maupun rapai geleng, juga Rampou Aceh dan Seudati. Sementara seni yang berlatar
belakang cerita rakyat (mitos legenda) seperti tari Phom Bines dan Ale Tunjang.

Makna lain seni Aceh adalah dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari dimensi-dimensi
agama. Ini dimungkinkan karena pesan-pesan dakwah juga dapat disampaikan lewat seni.
Banyak hal menarik kita jumpai dalam kesenian Aceh. Pertama, kesenian Aceh dilakonkan oleh
banyak orang. Kecuali menyanyi yang dilakukan sendiri (solo). Rata – rata kesenian Aceh
dilakukan banyak orang (group). Jika kita tilik lebih dalam maknanya, masyarakat Aceh adalah
masyarakat yang menjunjung tinggi bentuk kerjasama tim. Tarian seudati, saman, laweut, rapai
geleng, likok pulo dan lain-lain adalah bentuk-bentuk kesenian Aceh yang dilakukan secara
berkelompok.

Sedangkan dalam konteks filsafat, makna yang tersirat yakni masyarakat Aceh sejak dulu
adalah masyarakat bersatu. Leluhur Bangsa Aceh sejak dahulu adalah kalangan yang menjunjung
tinggi nilai-nilai persatuan. Dalam pergaulan dan tata kemasyarakatan akan terlihat sikap dan
nilai-nilai persatuan. Kesatuan gerakan dan suara yang terlihat dalam penampilan seni Aceh,
memberikan makna bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi niali-nilai ukhuwah dan
persaudaraan.Dalam seni kelompok seni Aceh selalu dipimpin oleh seorang syekh. Syekh adalah
orang yang memimpin atau yang mengarahkan gerakan-gerakan atau syair-syair . Dalam Ale
Tujang, maka syekh dikenal sebagai orang yang mengarahkan gerakan tarian dan lirik. Dalam
hal ini, maka kepiawaian seorang syekh akan sangat menentukan kesuksesan tim seni secara
keseluruhan. Semua anggota tim seni selalu tunduk dan mengikuti gerakan dan syair yang
dipimpin syekh.
Dilihat dari sudut pandang social budaya, hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat Aceh
adalah tipikal masyarakat yang taat kepada pemimpin atau wali. Semua yang dilakukan atau
yang diucapkan oleh seorang pemimpin kepada masyarakatnya, maka akan diikuti oleh rakyat
atau komunitas yang dipimpinnya. Menilik beberapa literatur sejarah Aceh, pemimpin adalah
ulama atau umara. Jadi bukan sekedar pemimpin formal, tapi juga pemimpin informal.

Anda mungkin juga menyukai