Anda di halaman 1dari 20

Angklung

Angklung (Aksara Sunda Baku: ᮃᮀᮊᮣᮥᮀ) adalah alat musik multitonal (bernada


ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat Sunda di Suku
Sunda Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi
disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang
bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar
maupun kecil. Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan Rigg, yang
diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung adalah alat
musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu yang dipotong ujung-ujungnya menyerupai
pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama dalam suatu bingkai, digetarkan
untuk menghasilkan bunyi.

Anak-anak Jawa Barat bermain angklung di awal abad ke-20.

Tidak ada petunjuk akan sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah
digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan
modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan
Nusantara.

Catatan mengenai angklung yang baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12
sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu seperti angklung berdasar pada
pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare)
sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri
Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang
dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari
ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah
satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus
padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman
padi rakyat tumbuh subur.

Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi
wulung) dan bambu ater (awi temen), yang jika mengering berwarna kuning keputihan. Tiap
nada dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah tiap ruas bambu dari ukuran
kecil hingga besar.

Di antara fungsi angklung yang dikenal oleh masyarakat Sunda sejak masa kerajaan Sunda
adalah sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa
semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya
pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung. Pelarangan
itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya dimainkan oleh anak-anak pada
waktu itu.[butuh rujukan]

Selanjutnya, lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi
tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana, dan kemudian lahirlah
struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat
pesta panen dan Seren Taun dipersembahkan permainan angklung. Pada penyajian angklung
yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya
arak-arakan, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong, Dongdang, dan
Jampana (usungan pangan) juga sebagainya.

Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke


Kalimantan dan Sumatra. Pada 1908, tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia
ke Thailand, antara lain ditandai dengan penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini
pun sempat menyebar di sana.
Aramba

Aramba atau Arumba adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten


Nias, Sumatera Utara. Alat musik ini dipakai oleh warga setempat dalam acara
kesenian daerah, seperti penikahan. Aramba terbuat dari tembaga, kuningan, suasa
dan nikel. Alat ini dimainkan oleh satu orang. Alat musik ini juga diyakini mempunyai
nilai keramat alias mistis oleh warga Nias.

Sejarah

Jika ditelaah dari sejarah alat musik Aramba, alat musik ini merupakan hasil
pertukaran budaya dari Jawa. Hal ini diperkuat dengan bentuk dari alat Aramba yang
seperti gong. Namun, sejarah ini masih menjadi perdebatan dan perlu adanya
pengkajian ulang.

Bentuk dan Bunyi

Aramba memiliki bentuk lingkaran dengan tonjolan kecil berbentuk lingkaran pada
bagian tengahnya. Alat musik ini biasanya digantungkan dengan tali pada sebuah
palang horizontal. Aramba mempunyai jenis bunyi ideofon, yaitu bunyi yang berasal
dari bahan dasarnya.Alat musik ini memiliki dua jenis ukuran, yaitu ukuran kecil dan
besar. Aramba yang memiliki ukuran kecil biasanya disebut dengan Fatao dengan
diameter 40-50cm. Sedangkan Aramba dengan ukuran yang besar biasanya disebut
dengan Hongo dengan diameter 60-90 cm.[1] Aramba yang memiliki berukuran kecil
biasanya berbunyi keras sementara yang berukuran besar cenderung menghasilkan
suara yang berdengung seperti gong.
Cara Memainkan

Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul dengan menggunakan suatu alat yang
terbuat dari kayu dan dibentuk sedemikian rupa. Bagian tengah menonjol pada
Aramba yang biasanya dipukul. Tidak hanya itu, apabila bagian sisi-sisinya dipukul,
alat musik ini juga bisa menghasilkan suara yang berbeda. Namun Aramba tidak
menjadi alat musik penentu dalam pagelaran musik, sehingga Aramba harus
dimainkan selaras dengan alat musik lainnya. Jika tidak bisa menyesuaikan, maka
suara alat musik ini menjadi tidak seirama dan tidak enak didengar.

Fungsi

Fungsi alat musik ini selain sebagai alat komunikasi dalam masyarakat juga dipakai
sebagai alat musik tradisional untuk berbagai kegiatan seperti musik pengiring saat
upacara menanam dan memanen padi. Selain itu, Aramba juga menjadi alat musik
pengiring beberapa acara, seperti acara perkawinan, kematian, dan sebagainya.[2]
SERUNE KALEE

SERUNE Kalee adalah terompet khas Aceh dengan dengan struktur bentuk mirip
klarinet. Serune Kalee biasa dimainkan sebagai instrumen utama dalam sebuah
pertunjukan musik tradisi di Aceh, diiringi geundrang, rapai, dan sejumlah instrumen
tradisional lainnya. Hingga hari ini, Serune Kalee masih hidup lestari di lingkungan
masyarakat Aceh, serta berperan besar dalam ritus-ritus sosial warga Aceh.
Instrumen ini diklasifikasikan ke dalam jenis aerofon, atau instrumen yang memiliki
sumber bunyi dari hembusan udara pada rongga. Sejatinya, Serune Kalee berasal
dari dua kata, yakni (serune) yang merujuk pada instrumen tradisional Aceh, dan
(kalee) yang merupakan nama desa di Laweung, Kabupaten Pidie. Jadi secara
sederhana, Serune Kalee bisa diartikan sebagai serunai/seruling dari daerah Kalee.
Sangat mungkin penamaan tersebut dikaitkan dengan kemunculan atau tempat
pembuatan serunai/seruling tersebut.

Selain di Aceh, sejatinya alat musik serupa juga bisa dijumpai di daerah lainnya di
Sumatra, seperti di lingkungan masyarakat Minangkabau dan Agam. Lebih jauh dari
itu, Serunee Kalee juga memiliki kemiripan dengan beberapa instrumen dari negara
lain, seperti Malaysia, Thailand, dan Srilanka. Instrumen-instrumen serupa tersebut
memiliki sejumlah kemiripan dalam hal laras nada, vibrasi, volume suara, dan
dinamika suara.

Sejarah dan Perkembangan Serune Kalee

Merujuk pada data yang ada, instrumen ini sudah ada sejak masuknya Islam ke
Aceh. Ada sebagian yang mengatakan bahwa instrumen ini berasal dari Tiongkok
(Z.H Idris, 1993: 48-49, dikutip dalam melayuonline.com). Terlepas dari berbagai
asumsi yang ada, fakta sejarah menunjukan bahwa Aceh pada masa silam adalah
kerajaan dengan letak yang strategis, sekaligus juga bersifat terbuka, sehingga
banyak terjalin hubungan dengan berbagai bangsa dari luar. Dalam
perkembangannya, berbagai akulturasi yang ada telah melahirkan kesenian Aceh
yang khas, yang dominan bernafaskan Islam.
Serune Kalee memegang peranan penting dalam berbagai pertunjukan kesenian
diberbagai upacara, serta acara lainnya yang merupakan hiburan bagi masyarakat
aceh. Alat musuik ini berbentuk bulat lurus yang memanjang yang pada bagian atas
berbentuk kecil kemudian membesar hingga ujung pada bagian bawah pada bagian
tubuhnya terdapat lubang-lubang kecil untuk jari-jari, dan pada bagian bawah
berbentuk seperti kelopak teratai. Serune Kalee merupakan alat jusik yang mirip
dengan terompet yang berasal dari Aceh  yang dimainkan sebagai instrumen utama
dalam sebuah pertunjukan musik tradisi di Aceh, diiringi geundrang, rapai, dan
sejumlah instrumen tradisional lainnya.
Alat ini berperan dalam membawakan lagu yang cenderung insrumentalie, yang
dimainkan dengan alunan suara yang terus menerus. Yang dimainkan dengan cara
ditiup dengan mengambil nafas dari mulut hidung serta leher.  Biasanya dalam
memainkan alat musik ini pemain menggunakan pakaian adat dalam pertunjukan
maupun acara resmi.
Untuk menghasilkan suara yang indah pemain harus mempunyai gigi yang utuh
serta memiliki pernafasan yang kuat kemudian  jari-jari kedua tangan mengatur
tinggi dan rendahnya nada.
Alat Musik Tradisional Serune Kalee terbuat dari bahan kayu, yang mana kayu yang
dipilih sebagai bahan dasarnya adalah yang memiliki karakter kuat dan keras,
sekaligus ringan. Sebelum dibuat, kayu tersebut terlebih dahulu direndam selama
tiga bulan. Setelah fase perendaman selesai, selanjutnya kayu dipangkas sehingga
yang tersisa hanya bagian yang disebut sebagai ‘hati kayu’. kemudian di bor dan
dibubut untuk membentuk lobang dengan diameter sekitar 2 cm. Setelah tercipta
rongga, selanjutnya adalah tahap membuat lubang-lubang nada, yakni 6 lubang di
bagian muka-atas sebagai interval nada, dan 1 lubang di bawah sebagai syarat
terciptanya suara khas dari Serune Kalee.
Saluang

Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatra Barat. Yang


mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum
brachycladum Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus
untuk dibuat saluang berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang
ditemukan hanyut di sungai[1]. Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tetapi
lebih sederhana pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat
lubang. Panjang saluang kira-kira 40–60 cm, dengan diameter 3–4 cm. Adapun
kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lamang (lemang), salah
satu makanan tradisional Minangkabau. Dalam mebuat saluang ini kita harus
menentukan bagian atas dan bawahnya terlebih dahulu untuk menentukan
pembuatan lubang, kalau saluang terbuat dari bambu, bagian atas saluang
merupakan bagian bawah ruas bambu. Pada bagian atas saluang diserut untuk
dibuat meruncing sekitar 45 derajat sesuai ketebalan bambu. Untuk membuat 4
lubang pada alat musik tradisional saluang ini mulai dari ukuran 2/3 dari panjang
bambu, yang diukur dari bagian atas, dan untuk lubang kedua dan seterusnya
berjarak setengah lingkaran bambu. Untuk besar lubang agar menghasilkan suara
yang bagus, haruslah bulat dengan garis tengah 0,5 cm.

Pemain saluang legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya


Syamsimar.

Keutamaan para pemain saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan
meniup dan menarik napas bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan
alat musik itu dari awal dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernapasan ini
dikembangkan dengan latihan yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga
sebagai teknik manyisiahan angok (menyisihkan napas).
Tiap nagari di Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga
masing-masing nagari memiliki ciri khas tersendiri. Contoh dari ciri khas itu adalah
Singgalang, Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Ciri khas
Singgalang dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada
Singgalang ini dimainkan pada awal lagu. Sedangkan, ciri khas yang paling sedih
bunyinya adalah Ratok Solok dari daerah Solok.

Dahulu, kabarnya pemain saluang ini memiliki mantra tersendiri yang berguna untuk
menghipnotis penontonnya. Mantra itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari
mantra itu kira-kira: Aku malapehan pituang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-
tagun, aia mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga bunyi
saluang ambo, kununlah anak sidang manusia...... dan seterusnya [2].
Keris

Keris adalah senjata tikam golongan belati (berujung runcing dan tajam pada kedua


sisinya) dengan banyak fungsi budaya yang dikenal di kawasan Nusantara bagian
barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya
karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar, sering kali bilahnya berkelok-
kelok, dan banyak di antaranya memiliki pamor (damascene), yaitu terlihat serat-
serat lapisan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki
kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara
adalah kerambit.

Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan,[1] sekaligus


sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih
merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana, memiliki sejumlah simbol
budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya.

Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah


terpengaruh oleh Majapahit, seperti Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatra,
pesisir Kalimantan, sebagian Sulawesi, Semenanjung Malaya, Thailand Selatan,
dan Filipina Selatan (Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai kalis. Keris di
setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik
garapan, serta peristilahan.

Keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-


Bendawi Manusia sejak 2005.[2]
Asal usul dan fungsi

Asal usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang
deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah
"keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Namun diperkirakan
asal mula penyebutan kata "keris" merupakan singkatan
bahasa Jawa dari "Mlungker-mlungker kang bisa ngiris", dalam
bahasa Indonesia berarti "(Benda) berliku-liku yang bisa mengiris/membelah
(sesuatu)". Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada
analisis figur di relief candi atau patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai
fungsi keris dapat dilacak dari beberapa prasasti dan laporan-laporan penjelajah
asing ke Nusantara.

Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok

Ge, belati-kapak dari Tiongkok Kuna (abad V SM sampai III SM), memperlihatkan pamor pada bilahnya.

Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi pembuatan
keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian dari Kebudayaan
Dongson dan Tiongkok selatan[3]. Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuno
dalam penggunaan senjata tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk
melalui kebudayaan Dongson (Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya
pengaruh kebudayaan Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk
keperluan sesajian memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris
modern), sama dengan belati Dongson[3], dan menyatu dengan bilahnya.

Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan logam dapat ditelusuri sebagai


pengaruh India, khususnya Siwaisme[4]. Prasasti Dakawu (abad ke-6)
menunjukkan ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti trisula, kudhi, arit,
dan keris sombro[5]. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-
Singasari dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk
BATAGOR

Batagor.

Sajian Makanan ringan

Tempat asal Indonesia

Daerah Jawa Barat dan seluruh nusantara

Suhu penyajian hangat

Bahan utama Bakso dan tahu digoreng disajikan dengan kuah

kacang

Variasi Siomay

Batagor (akronim dari bakso tahu goreng) (Aksara Sunda Baku: ᮘᮒᮍᮧᮁ)


merupakan jajanan khas Bandung[1] yang mengadaptasi gaya Tionghoa-
Indonesia dan kini sudah dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Secara umum, batagor dibuat dari tahu yang dilembutkan dan diisi dengan adonan
berbahan Ikan tenggiri[2] dan tepung tapioka lalu dibentuk menyerupai bola yang
digoreng dalam minyak panas selama beberapa menit hingga matang. Variasi
lainnya yaitu siomay, digoreng dan dihidangkan bersama batagor dan
dikombinasikan dengan bumbu kacang, kecap manis, sambal, dan air perasan jeruk
nipis sebagai pelengkap
Nasi liwet

Nasi Liwet

Nasi liwet disajikan dengan santan kental, suwiran ayam dan telur.

Nasi Liwet, Keprabon, Solo, Jawa Tengah

Nasi liwet (bahasa Jawa: ꦱꦼꦒꦭꦶꦮꦼꦠ꧀, translit. Sega Liwet) adalah makanan


khas kota Solo dan merupakan kuliner asli daerah Baki, Kabupaten Sukoharjo. Nasi
liwet adalah nasi gurih (dimasak dengan kelapa) mirip nasi uduk, yang disajikan
dengan sayur labu siam, suwiran ayam (daging ayam dipotong kecil-kecil)
dan areh (semacam bubur gurih dari kelapa).

Penduduk kota Solo dan sekitarnya biasa memakan nasi liwet setiap waktu mulai
dari untuk sarapan, sampai makan malam. Nasi liwet biasa dijajakan keliling dengan
bakul bambu oleh ibu-ibu yang menggendongnya tiap pagi atau dijual di
warung lesehan (tanpa kursi). Tempat paling terkenal untuk penjualan nasi liwet
(warung lesehan) adalah di daerah Keprabon yang hanya berjualan pada malam
hari.

Sentra pedagang nasi liwet banyak dijumpai di


Desa Duwet dan Menuran Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo.

Lambat laun hidangan ini mulai memasyarakat, dan penjual nasi liwet pun banyak
bermunculan. “Kalau yang pertama namanya Mbah Karto,” ungkap Nurwanto
menjelaskan siapa generasi pertama yang menjual nasi liwet. Mbah Karto ini
merupakan penduduk asli Desa Menuran dan diketahui mulai menjajakan nasi
liwetnya di daerah Keprabon, Solo.
GOLOK

Golok adalah senjata khas rumpun melayu, bentuknya seperti pisau besar dan berat
yang digunakan sebagai alat berkebun. Senjata ini jamak ditemui di Asia Tenggara.
Hingga saat ini kita juga bisa melihat golok digunakan sebagai senjata dalam silat.

Ukuran, berat, dan bentuknya bervariasi tergantung dari pandai besi yang
membuatnya. Golok memiliki bentuk yang hampir serupa dengan machete tetapi
golok cenderung lebih pendek dan lebih berat, dan sering digunakan untuk
memotong semak dan dahan pohon. Golok biasanya dibuat dari besi baja karbon
yang lebih lunak daripada pisau besar lainnya di dunia. Ini membuatnya mudah
untuk diasah tetapi membutuhkan pengasahan yang lebih sering.
TEMPAYAN

Tempayan dari Kasongan

Tempayan adalah sejenis kendi batu atau gerabah dengan mulut lebar yang


ditemukan di banyak kebudayaan Austronesia kepulauan. Beberapa fungsinya
adalah sebagai wadah fermentasi beras (tapai), fermentasi cuka atau minuman
alkohol, menyimpan makanan dan air, masakan, dan juga tempat penyemayaman
jenazah.

Istilah tempayan kadang juga digunakan untuk menyebut alat batu martaban
(bahasa Belanda: martavan), yang mulanya berasal dari Tiongkok
Selatan dan Indochina. Tempayan sejenis itu digunakan utamanya untuk
menyimpan makanan dan barang berharga selama pelayaran, tetapi juga
merupakan barang dagangan yang bernilai tinggi. Martaban dapat menjadi benda
pusaka dan lambang kekayaan dan derajat bagi banyak kebudayaan di kepulauan
Asia Tenggara.
KEUTO YONG

Peralatan dapur khas Aceh tempo dulu dipamerkan pada peringatan hari jadi Museum
Nasional, di Museum Aceh, Banda Aceh, Aceh, Kamis, 12 Oktober 2017. Alat masak hingga
bumbu khas Aceh turut dipajang di sana.

Beragam bumbu dapur yang masih khas seperti tomat Aceh, cabai kering, bumbu pliek u,
lengkuas, kelapa gongseng dan 50 jenis koleksi rempah masakan Aceh lainnya dipamerkan
di Museum Aceh.

semua masyarakat untuk kembali membudayakan peralatan tersebut. Setidaknya, kata dia,
mengerti cara penggunaannya.

“Seperti tempat makanan yang digantung, itu kan mengajarkan kita bagaimana tingkat
menjaga kebersihan yang sudah dipopulerkan oleh orangtua kita zaman dulu,” katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Aceh, Reza Fahlevi mengatakan,
pihaknya mengangkat tema ‘Aroma Memikat dari Dapur Aceh’ kali ini untuk
memperkenalkan kembali khazanah budaya kuliner di Aceh. Salah satunya, rempah-rempah
yang diolah menjadi kuliner yang memiliki cita rasa tinggi.

“Perlu kita sosialisasikan agar ini lestari. Banyak masyarakat yang tidak mampu mengelola
hasil rempah itu, racikan dan sebagainya. Makanya kita kenalkan kembali seperti rempah-
rempah, bumbu, agar tidak hilang ditelan zaman
Pedang Jenawi, Pusaka Antik Masyarakat
Banjar

Riau, merupakan salah satu provinsi yang berada di Pulau Sumatera. Begitu banyak
hal yang menarik untuk diamati dan diteliti, salah satunya adalah kebudayaan.
Provinsi ini memiliki ciri khas tersendiri yaitu kebudayaan melayu. Salah satunya
senjata tradisional Pedang Jenawi misalnya.

Baca Juga : Tarian Pason Surit, Tarian Suku Batak yang Tak Terekspose
Sepanjang sejarah, Pulau Sumatera memiliki banyak Kerajaan-kerajaan besar
diberbagai daerahnya. Kerajaan tersebut mulai dari Kerajaan Sriwijaya hingga
Kerajaan Melayu yang wilayah kekuasaannya membentang hingga semenanjung
Malaysia. Kerajaan Melayu pada masa lalu memiliki angkatan bersenjata yang
cukup disegani dan memiliki berbagai persenjataan termasuk pedang. Senjata
tradisional yang dimiki oleh Riau tentunya sangat banyak, namun yang dibahas
disini adalah Pedang Jenawi. Pada zaman dahulu, senjata digunakan sebagai alat
untuk melindungi diri dari ancaman lingkungannya, Seperti halnya untuk melawan
binatang buas atau untuk kelengkapan berperang melawan Kerajaan lain.

Pedang Jenawi merupakan pedang yang awalnya berasal dari Kerajaan Banjar yang
kini dikenal sebagai Banjarmasin. Banjarmasin yang juga merupakan kerajaan Islam
saat ditaklukkan oleh penjajah berpencar hingga ke wilayah Sumatera. Para prajurit
dan petinggi bekas Kerajaan Banjar membawa berbagai perlengkapan yang
kemudian diadaptasi oleh kerajaan Melayu. Salah satunya adalah senjata ini yang
dikenal mulai abad ke 18. Banyak artikel yang keliru dengan memberikan
keterangan visual bahwa senjata ini disamakan bentuknya dengan Samurai Jepang.

Tidak sembarangan orang dapat memiliki senjata ini. Pemakai Pedang Jenawi
pastilah orang yang memiliki kekuasaan, orang yang dihormati, memiliki kecerdasan,
sehingga menjadi panutan, dan sebagainya. Senjata ini memiliki ketajaman di tiga
sisi, yakni bagian kanan, kiri, dan depan.

Ini sangat menguntungkan penggunanya. Ketika perang berlangsung musuh tidak


terduga datang dari mana saja, jadi senjata ini sangat cocok untuk peperangan.
Mata pedangnya terbuat dari besi kualitas baja sedangkan hulunya terbuat dari
tembaga.

Pada tempo dulu Pedang Jenawi digunakan sebagai senjata perang yang sering
digunakan oleh panglima zaman dahulu. Berarti senjata ini tidak sembarangan orang
boleh memakainya. Pedang biasanya diukir dengan hati-hati dan memiliki bentuk
istimewa. Tidak heran jika kemudian memang digunakan untuk orang istimewa.

Baca Juga : Berbau Mistis, Bambu Gila Jadi Kesenian Unik Masyarakat
Maluku
Pedang jenawi memiliki makna kecerdasan, ketangguhan raga, kekayaan, dan lain-
lain. Mengapa dimaknai kecerdasan? Berarti orang yang memakainya haruslah
mereka yang memiliki kecerdasan. Hal ini agar senjata ini dapat digunakan dengan
bijak dan tidak sembarangan.

Katangguhan raga memiliki arti ketangguhan jenawa jika digunakan dalam


peperangan. Pemakainya pun harus memilki ketangguhan yang sama, agar pedang
ini dapat digunakan secara benar dan tidak jatuh ke tangan lawan.

Kekayaan berarti bahwa pembuat pedang ini merupakan orang berpunya. Pasalnya
pedangnya sendiri terbuat dari besi dengan kualitas tinggi. Pedang jenawi terbuat
dari besi dengan kualitas baja. Bagian hulunya dibuat dengan berbahan dasar
tembaga.
BADIK SULAWESI

Badik adalah senjata pusaka khas masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel).


Setiap daerah di Sulsel, yang memiliki beragam suku: Bugis, Makassar,
Luwu, Enrekang, dan Toraja, memiliki jenis badik berbeda-beda. 

Badik sama terkenalnya dengan senjata pusaka tradisional nusantara


seperti Keris dari suku Jawa, Kujang dari Pasundan atau Rencong dari
Aceh. Pada zaman dahulu, Badik wajib dimiliki setiap orang Bugis-
Makassar.

Ada istilah yang berlaku pada masa lalu: bukan orang Bugis atau orang
Makassar jika tidak memiliki badik. Tokoh pahlawan dari Sulsel, Sultan
Hasanuddin terkenal dengan Badik yang selalu disematkan di
pinggangnya.

Bagi pria Bugis-Makassar juga dikenal falsafah tiga ujung yang harus
selalu di junjung: ujung lidah, ujung kelamin, dan ujung badik. Ujung lidah
bermakna piawai diplomasi, ujung kelamin berarti pejantan tangguh, ujung
badik berarti tidak gentar dan berani mengambil risiko, termasuk resiko
kematian.
Bahkan pada masa lalu, persoalan antar pria Bugis atau Makassar
diselesaikan secara adat menggunakan badik dan selembar sarung:
“Sigajang Laleng Lipa”, dua pria baku tikam dalam sarung. Dua pria saling
adu kemampuan menggunakan badik dan harus memiliki ilmu kebal. Yang
berhasil keluar dari sarung dalam keadaan selamat akan menjadi
pemenangnya.

Setiap badik terdiri dari tiga bagian: bilah dari besi pilihan yang memiliki
pamor, gagang dan sarungnya. Keistimewaan badik bisa dilihat dari
pamornya di bilah, karakter (sissik) dan ukurannya yang pas bagi
pemiliknya.

Jenis badik bisa dibedakan dari bilahnya dan gagangnya. Gagangnya


biasa dibuat dari kayu Kemuning atau tanduk dan gading. Sedangkan,
sarungnya dari kayu Cendana. 

Anda mungkin juga menyukai