Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH ANTROPOLOGI

PENELITIAN ALAT MUSIK SASANDO

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di Indonesia yang memiliki keragaman budaya ini terdapat beratus-ratus alat musik
tradisional yang tersebar di setiap daerah. Alat musik tradisional ini termasuk ke
dalam kekayaan budaya. Salah satunya budaya di Nusa Tenggara Timur.
Sasando merupakan alat musik tradisional dari kebudayaan Rote, Nusa Tenggara
Timur. Orang-orang Rote menyebutnya (Sasandu), artinya alat yang bergetar atau
berbunyi. Atau dalam bahasa Kupang sering menyebutnya sasando, alat musik
berdawai yang dimainkan dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Sasando
adalah sebuah alat instrumen musik yang dipetik. Konon sasando telah digunakan di
kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
2. Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN

1. APA ITU SASANDO ?


Sasando merupakan alat musik tradisional dari kebudayaan Rote, Nusa Tenggara Timur.
Orang-orang Rote menyebutnya (Sasandu), artinya alat yang bergetar atau berbunyi. Atau
dalam bahasa Kupang sering menyebutnya sasando, alat musik berdawai yang dimainkan
dengan cara memetik dengan jari-jemari tangan. Sasando adalah sebuah alat instrumen musik
yang dipetik. Konon sasando telah digunakan di kalangan masyarakat Rote sejak abad ke-7.
2. ASAL-USUL SASANDO
Ada beberapa versi cerita rakyat yang mengisahkan tentang awal mulanya sasandu/sasando,
diantaranya ceritra ini bermula dari terdamparnya seorang pemuda bernama Sangguana di
pulau Ndana. Kemudian oleh penduduk sekitar, ia dibawa ke hadapan raja Takalaa. Inilah
awal mula pertemuan Sangguana dengan putri raja. Sangguana pun jatuh cinta pada sang
putri, namun raja mempunyai syarat untuk menerima Sangguana. Sangguana diminta raja
untuk membuat alat musik yang lain dari yang lain. Dalam mimpinya Sangguana memainkan
alat musik yang indah bentuknya dengan suara yang merdu. Mimpi itulah yang mengilhami
Sangguana untuk membuat alat musik seperti yang diinginkan sang raja. Alat musik itu diberi
nama sasandu. Kemudian sasandu tersebut diberikan kepada putri raja dan putri raja memberi
nama Hitu (tujuh) makna dari pemberian nama tersebut karna 7 (tujuh) dawai sasando
bergetar bersamaan saat dipetik. Sangguanapun akhirnya mempersunting putri raja, karena
berhasil memenuhi keinginan raja. Oleh karena itu, secara fungsi dan pemakaiannya, sasando
biasanya dimainkan untuk mengiringi nyanyian, menirukan nyanyian, mengiringi pembacaan
syair daerah Rote juga untuk mengiri tari, menghibur keluarga yang berduka dan yang sedang
mengadakan pesta. Tidak ada syarat atau ritual khusus untuk bisa memainkanya. Siapa pun
bisa belajar untuk memainkannya.
Sejarah alat musik sasando menurut penuturan masyarakat di Pulau Rote diawali seorang
pemuda bernama Sangguana. Suatu hari ia pergi menuju padang sabana, karena kelelahan
kemudian ia berhenti untuk beristirahat sejenak di bawah pohon lontar. Secara tidak sengaja
ia pun tertidur dan bermimpi sedang memainkan sebuah alat musik dari pohon lontar dan
berikutnya mimpi tersebut menginspirasinya untuk menciptakan alat musik yang kemudian
dikenal sebagai sasando.
3. BAHAN-BAHAN YANG DIGUNAKAN UNTUK MEMBUAT SASANDO

Bahan utama sasando adalah bambu yang membentuk tabung panjang. Lalu pada bagian
tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi penyangga atau ganjalan-ganjalandalam
bahasa rote disebut sendatempat senar-senar atau dawai direntangkan mengelilingi tabung
bambu, bertumpu dari atas kebawah. Senda ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada
setiap petikan senar. Pada mulanya alat penyetem dawai terbuat dari kayu, yang harus diputar
kemudian diketok untuk mengatur nada yang pas. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam
sebuah wadah yang terbuat dari anyaman daun lontar yang disebut haik. Haik inilah yang
berfungsi sebagai resonansi sasando.
Sekilas bentuk sasando mirip alat musik petik lainnya yakni biola, gitar dan kecapi namun
uniknya sasando memiliki bunyi merdu khas yang berbeda. Hal itu dikarenakan sasando
terbuat dari bambu dengan badan utama dibentuk menjadi tabung panjang dan di bagian
tengah tabung diberi ganjalan melingkar dari atas hingga ke bawah. Senar atau dawai
direntangkan dari atas hingga ke bawah tabung. Tabung diletakan pada tempat yang terbuat
dari anyaman daun lontar dan dibentuk setengah melingkar seperti kipas. Sasando adalah alat
musik tradisional yang perlu dirawat rutin. Setiap 5 tahun sekali daun lontar harus diganti
karena sifatnya yang mudah berjamur. Pohon Lontar sendiri memiliki nama latin Borassus
flabellifer atau dikenal dengan pohon siwalan, sejenis palma (pinang-pinangan), dimana
pohon ini banyak tumbuh di Jawa Timur dan Jawa Tengah bagian timur, Madura, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Pohon ini banyak dimanfaatkan
penduduk Nusa Tenggara Timur selain sebagai bahan baku sasando juga digunakan untuk
kebutuhan sehari-hari seperti bahan pembuat kipas, tikar, topi, aneka keranjang, dan tenunan
pakaian.
4. PERKEMBANGAN SASANDO
Perkembangan sasando terhitung pesat, berawal dari sasando berdawai 7 (pentatonik) dengan
sebutan sasando gong, karena biasanya dimainkan dengan irama gong, kemudian sasando
gong berkembang menjadi alat musik petik pentatonik dengan 11 (sebelas) dawai. Sasando
gong sangat populer di kepulauan Rote. Kemudian diperkirakan pada akhir abad ke 18
sasando mengalami perubahan, dari sasando gong ke sasando biola. Sasando biola lebih
berkembang di Kupang. Dinamai sasando biola karena nada-nada yang ada pada sasando
meniru nada pada biola. Nadanya diatonis dan bentuknya mirip sasando gong tetapi bentuk
bambu dan diameternya lebih besar dari sasando gong dan jumlah dawai pada sasando biola
lebih banyak, awalnya 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 hingga 36 dawai. Sasando

biola ada 2 bentuk yaitu sasando dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari daun
lontar/haik dan sasando biola dengan bentuk ruang resonansinya terbuat dari bahan kayu
maupun multiplex (kotak/box/peti). Seperti yang sering kita lihat pada uang kertas lima
ribuan emisi tahun 1992.
Di tahun 1958, sasando elektrik mulai dibuat hingga pada tahun 1960 berhasil dirampungkan
dan mendapatkan bunyi yang sempurna sama dengan suara aslinya. Bentuk sasando elektrik
ini dibuat sebanyak 30 dawai. Pembuat pertamanya adalah Arnoldus Edon, dan sasando
listrik buatan perdananya langsung di bawah ke Jakarta oleh Thobi Messakh (tokoh adat dari
Rote). Alat yang paling penting pada sasando elektrik, selain badan sasando dan dawai,
adalah spul (pickup) yang merupakan sebuah transducer yang akan mengubah getar dawai
menjadi energi listrik, lalu diteruskan melalui kabel dan masuk ke dalam amplifier.
5. KEMAMPUAN MEMAINKAN ALAT MUSIK SASANDO
Memainkan alat musik Sasando memanglah tidak mudah. Dibutuhkan harmonisasi perasaan
dan teknik sehingga tercipta alunan nada merdu. Akan tetapi, apabila Anda mau belajar
tentunya selain menyenangkan mendengar alunan merdu juga untuk ikut melestarikan
kesenian dan kebudayaan Indonesia. Bagi Anda yang sudah memiliki kemampuan dasar
dalam memainkan salah satu alat musik (gitar, biola, bass, dan sebagainya) maka akan sangat
membantu mempercepat menguasai alat musik mengangumkan ini. Memainkan sasando
memang memerlukan keterampilan jari jemari memetik dawai seperti pada harpa. Akan
tetapi, sasando dimainkan menggunakan dua tangan dengan arah berlawanan. Inilah yang
unik dan berbeda. Ketika Anda memainkannya maka pastikan tangan kanan berperan
memainkan accord sedangkan tangan kiri bertugas sebagai pengatur melodi dan bass. Di
Nusa Tenggara Timur sendiri, sasando dimainkan untuk beberapa keperluan seperti
menghibur kerabat atau orang yang berduka cita, sebagai pengiring tarian dan upacara adat,
menyambut tamu penting, atau sekadar alat musik penghibur.
6. JENIS-JENIS SASANDO
Sasando memiliki beberapa jenis yakni sasando gong dan sasando biola. Sasando gong lebih
dikenal di Pulau Rote, memiliki nada pentatonik, biasanya dimainkan dengan irama gong dan
dinyanyikan dengan syair khas Pulau Rote. Sasando jenis ini berdawai 7 buah atau 7 nada
kemudian kini berkembang menjadi 11 dawai.

Adapun sasando biola merupakan sasando yang telah berkembang dengan nada diatonis.
Bentuk sasando biola sekilas mirip sasando gong namun diameter bambunya lebih besar.
Sasando jenis ini diperkirakan mulai berkembang pada abad ke-18. Disebut sasando biola
karena menyerupai nada biola dengan 30 nada kemudian berkembang menjadi 32 dan 36
dawai.
Selain kedua jenis sasando di atas, ada pula sasando elektrik (listrik) yang umumnya
memiliki 30 dawai. Jenis sasando ini merupakan pengembangan dari sasando biola yang
diberi sentuhan teknologi. Sasando jenis ini diciptakan oleh Arnoldus Eden (almarhum),
seorang musisi sasando. Saat Hari Ulang Tahun Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang
ke-50, pada 20 Desember (2008), Gubernur NTT (yang menjabat pada saat itu) menyerahkan
piagam penghargaan untuk Arnoldus Eden (almarhum) yang telah berjasa dalam menciptakan
sasando listrik dan telah melestarikan kesenian tersebut. Awal mula diciptakan jenis sasando
ini karena ditemukan beberapa kelemahan pada sasando tradisional yakni tidak dapat
dinikmati secara maksimal oleh pendengar karena saat memainkannya jemari terhalang daun
lontar sebagai wadah penampung suara yang melingkari Sasando. Selain itu, suara merdunya
hanya dapat didengar beberapa orang saja yang berada di sekitar pemain sasando. Berbeda
dari Sasando tradisional yang sebagian besar menggunakan bahan alami, sasando elektrik
tidak menggunakan wadah dari daun lontar. Hal itu sebab tidak membutuhkan ruang
resonansi (wadah penampung suara) sehingga bunyi yang didapat tidak seperti sasando
tradisional yang hanya bisa didengar hanya oleh orang-orang di sekeliling pemain, melainkan
bunyi langsung dapat di perbesar lewat alat pengeras suara seperti sound system dan speaker.
Kini sasando makin berkembang dengan variasi dan jumlah senar atau dawai yang semakin
beragam.

Anda mungkin juga menyukai