Anda di halaman 1dari 9

Tugas

Antropologi Seni

diampu oleh Prof. Dr. Sumandiyo Hadi

DARI PAHANG SAMPAI PINTO ACEH


Oleh: Iskandar, S.Sn

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

DARI PAHANG SAMPAI PINTO ACEH


(pengaruh asing dan perubahan identitas)
Oleh: Iskandar, S.Sn
Diantara ratusan jenis ornamen Aceh, terdapat satu jenis ornamen yang
sekarang sangat populer di Aceh. Ornamen tersebut telah mengalahkan
ratusan ornamen lain yang telah lebih dulu membumi di daerah yang
disebut serambi Mekah. Kepopuleran ornamen tersebut pun telah
menjadikannya bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai hiasan utama
dalam atribut tradisional Aceh. Ia adalah ornamen yang sekarang lebih
dikenal dengan Pinto Aceh (pintu Aceh), yang terdapat pada pinto khop di
situs Gunongan, salah satu peninggalan sejarah yang menautkan Aceh
dengan Pahang di Malaysia. Situs ini telah ada sejak abad ke-17 saat
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Situs tersebut dibuat
setelah sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang, di mana pada
kekalahan Pahang tersebut sultan memboyong seorang putri cantik jelita
untuk dijadikan permaisurinya di Aceh. Di Aceh, putri Pahang tersebut
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Putroe Phang.
Berada di Aceh untuk waktu yang lama karena telah menjadi permaisuri
dari raja membuat Putroe Phang kemudian sangat merindukan kampung
halamannya, Pahang. Raja Aceh yang mengetahui isyarat tersebut pun
ambil sikap dalam rangka menghibur Putroe Phang yang sampai sakit
karena terus dirundung sedih. Ditugaslah beberapa orang oleh raja untuk
merancang suatu tempat yang bisa mengembalikan ingatan Putroe Phang
terhadap kampung halamannya di Pahang, terutama suasana di tentang
Kerajaan Pahang.

Gambar Gunongan dan Pintu Khop dari depan, foto Mardira.


(Sumber: salmanmardira.wordpress.com)

Alhasil, dengan berbagai kepiawaian perancang kerajaan, pun masukan


dari tuan putri, terbentuklah suatu bangunan yang mengangkat konsep
suasana istana di Kerajaan Pahang, terutama yang sangat menonjol
adalah bentuk miniatur pegunungan, seperti pegunungan yang
mengelilingi istana Kerajaan di Pahang. Kelak bangunan inilah yang

dikenal dengan sebutan Gunongan.


Gambar ilustrasi Pintu Aceh, (Sumber: acehdesain.wordpress.com)

Dikisahkan dalam sejarah bahwa sultan kemudian berhasil membuat


sebuah Gunongan di dalam Taman Ghairah, di tepian Sungai Krueng
Dary
di
Aceh.
Cerita
tersebut
terdapat
dalam
manuskrip Bustanussalatin (1638) yang ditulis salah seorang ulama pada
kesultanan Aceh, yaitu Ar-Raniry. Melalui kutipannya, Ar-Raniry menulis;
Syahdan dari kanan sungai Dar-ul Isyki itu suatu medan terlalu amat
luas, kersiknya daripada batu pelinggam, bergelar Medan Khairani. Dan
pada sama tengah medan itu sebuah gunung di atasnya menara tempat
semanyam, bergelar Gegunungan Menara Permata, tiangnya daripada
tembaga dan atapnya daripada perak seperti sisik rumbia, dan
kemuncaknya suasa. Maka apabila kena matahari cemerlanglah
cahayanya itu. Adalah dalamnya beberapa permata puspa ragam,
Sulaimani dan Yamani. Dan ada pada gegunungan itu suatu guha,
pintunya
bertingkap
perak.
(http://yasirmaster.blogspot.co.id/2014/05/citra-surga-di-gunongan.html.
Diakses 5 Desember 2015).
Sekarang, kemasyhuran taman yang dibuat raja untuk untuk Putroe Phang
ini membuat taman itu dinamai Taman Putroe Phang. Yang
membedakannya dengan taman yang diceritakan dalam manuskrip
Bustanussalatin adalah karena taman Putroe Phang sekarang adalah
bagian kecil dari keseluruhan Taman di masa lalu.
Dari Pintu Taman untuk Putri Pahang Menjadi Pintu untuk Aceh
Yang menjadi pertanyaan penting dalam hal di atas adalah tentang
bagaimana proses sebuah kepopuleran itu bisa mengalahkan suatu hal
yang sifatnya telah ada dan menjadi tradisi di Aceh? Pertanyaan atau
fenomena yang tercipta kemudian tentunya merupakan suatu proses
yang diakibatkan oleh perubahan yang terjadi kemudian, baik oleh sebab
ekonomi, politik, sosiologi, situasi alam atau pun lainnya.
Perubahan yang diakibatkan oleh berbagai pengaruh di masa lalu tersebut
setidaknya telah menciptakan suatu fenomena yang sangat penting bagi
Aceh. Sebuah ornamen yang terdapat dalam Pinto Khop pada taman
Putroe Phang tersebut telah menjadi seperti suatu kebutuhan dalam dunia
estetika Aceh. Ornamen yang berasal dari unsur daun pakis tersebut
seakan telah dijadikan suatu citra atau ciri khas yang bisa mewakili Aceh
dalam hal identitas.

(peralihan baju adat dari dulu hingga sekarang dan ornamen Pintu Aceh, sumber
foto gambar 1: rh-indonesiadoeloe.blogspot.com, gambar 2:
nadaceh.blogspot.com, gambar 3: paketriaspengantian.net)

Namun yang lebih penting untuk disimak adalah pada proses terjadinya
suatu peristiwa yang akan kita namakan kemudian sebagai culture
change ini (Perubahan budaya). Culture change yang terjadi pada
identitas Aceh merupakan hasil dari adanya suatu tekanan yang kita
sebut kemudian sebagai tekanan modern. Yaitu suatu kondisi di mana
kebebasan berekspresi menjadi penting untuk diikuti, ketimbang
menitikberatkan pada suatu landasan berfikir tradisional. Culture change
adalah sebagai istilah yang digunakan dalam pembuatan kebijakan publik
yang menekankan pengaruh modal budaya pada perilaku individu dan
masyarakat, yang menempatkan tekanan pada faktor-faktor penentu
modal sosial, budaya dan cara di mana manusia dapat berinteraksi
dengan faktor-faktor lain di luar dirinya.
Dalam kasus pintu taman untuk Putri Pahang yang kemudian menjadi
Pinto Aceh, berbagai perubahan itu pastinya terjadi dengan berbagai
realitas yang telah membentuk itu semua. Berbagai pengaruh yang
datang merupakan cikal bakal terjadinya suatu peristiwa yang kemudian
kita sebut dengan proses dari Culture change ini. Proses di mana
melibatkan suatu branding yang dilakukan dengan menjadikan bagian
dari objek tersebut sebagai suatu produk budaya. Produk yang menjadi
materi untuk dikonsumsi dan kemudian menjadi budaya baru di Aceh.
Pengaruh politik, ekonomi, dan berbagai peristiwa penting di masa itu
menjadi penting untuk diteliti lebih jauh.
Lahirnya Tukang di Satterling Belanda
Dalam sejarah tentang ornamen Aceh yang menjadi perhiasan, motif pinto
Aceh ini awalnya muncul pada tahun 1926 di sebuah Satteling (pasar
malam) terbesar yang digelar Belanda saat mereka masih berada di

Kutaraja (Banda Aceh). Kegiatan yang diadakan di Lapangan Blang Padang


guna mencari simpati masyarakat Aceh terhadap Belanda tersebut diisi
oleh perajin emas dan perak untuk menggelar karya-karya hasil
kerajinannya. tentang terkenalnya perhiasan dari ornamen pinto
Aceh tersebut setidaknya bisa kita tandai dari hadirnya Mahmud Ibrahim,
salah satu warga Blang Oi yang memperoleh sertifikat untuk kesediaan
mengisi stand pada acara yang diadakan Belanda di Blang Padang.
Kesediaan memamerkan karya hasil olahan tangan Mahmud Ibrahim yang
saat itu dikenal sebagai pandai emas dan perak pada acara tersebut
merupakan tonggak bagi kehadiran berbagai seni kerajinan Aceh di
kancah perhiasan, terutama perhiasan pinto Aceh yang akhirnya populer.

Gambar kenang-kenangan dari Aceh (sumber: tokopedia.com)


Ketenaran Mahmud Ibrahim yang lebih dikenal dengan Utoh Mud oleh
masyarakat dalam perhiasan tidak terlepas dari adanya apresiasi
petinggi-petinggi Belanda dan keluarganya sebagai pemesan yang
menyukai perhiasan Aceh hasil tangan beliau. Utoh Mud yang saat itu
telah mengantongi sertifikat bergengsi atas keterarnpilannya yang diakui
Belanda pada tahun 1935 itupun pada akhirnya berani menciptakan
perhiasan baru, yaitu "Pinto Aceh", yang motifnya diambil dari
bangunan pinto khob, salah satu monumen peninggalan Iskandar Muda
yang saya ceritakan di atas.
Perhiasan yang dibuat Utoh Mud dengan ide yang berasal dari pinto
khop tersebut semulanya hanya berupa satu jenis perhiasan saja, yaitu
perhiasan pada bagian dada wanita atau biasa disebut bros. Jenis
perhiasan berupa bros memang telah ada dalam jajaran perhiasan

tradisional Aceh, namun awalnya dengan mengambil motif lain. Bros pinto
Aceh dengan meniru pintu gerbang bersejarah tersebut berbentuk
ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang ditambah lagi
sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua sisi.
Bahan baku pembuatan perhiasan pinto Aceh awalnya adalah berupa
emas berkadar 18 sampai 22 karat, sebelum akhirnya berganti dengan
berbagai bahan lain seperti perak, tembaga dan bahan baku lainnya
seiring perkembangan teknologi dan tempat produksi yang menyebar di
berbagai kota di Indonesia. Kendati demikian, keunggulan emas murni
(emas kertas) yang mudah berlipat-lipat, baik ketika membuatnya
ataupun ketika memakainya masih menjadi catatan penting penggunaan
emas sebagai bahan bagi pembuatan perhiasan yang melegenda
tersebut.
Pembuatan perhiasan pinto Aceh sendiri memang tidak dapat dilakukan
sembarang utoh saat itu, karena disamping pembuatannya yang
memerlukan ketrampilan mapan, pelatihan sebagai pembumian perhiasan
tersebut juga tidak dilakukan terbuka. Hal ini tentunya dipengaruhi juga
oleh adanya persaingan sesama utoh saat itu. Maka Setelah Utoh Mud
meninggal dunia dalam usia 80 tahun, keterampilan khusus pembuatan
perhiasan Pinto Aceh hanya dilanjutkan oleh muridnya yang bernama M.
Nur atau biasa disebut Cut Nu, yang juga penduduk Blang Oi.
Cut Nu melanjutkan pembuatan perhiasan tersebut sampai akhir hayatnya
di usia 80 tahun. Toko mas milik H. Keuchik Leumiek merupakan tempat
Cut Nu membina kelanjutan seni membuat pinto Aceh tersebut. Dari
sanalah pinto Aceh kemudian mulai dikenal kembali dan mendapat
apresiasi sebagai salah satu jenis perhiasan yang kaya seni dan
mentradisi. Sepeninggal Cut Nu, keterampilan ini pernah dilanjutkan oleh
seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.
Saat ini, seiring populernya perhiasan pinto Aceh, tempat produksi
perhiasan tersebut tidak hanya berada di Aceh dan dibuat oleh orang asli
Aceh, namun juga oleh orang luar Aceh, terutama di Pulau Jawa yang
banyak terdapat tukang-tukang mahir dan peralatan yang canggih.
Bahan-bahannya pun secara otomatis telah bervariasi, sesuai dengan
tingkat ekonomi pembeli dan kekayaan bahan-bahan sebagai tempat
aplikasi.
Perkembangan bahan tentunya juga semakin berpengaruh pada
penempatan motif pinto Aceh. Motif pinto Aceh yang awalnya hanya
berada dalam beberapa jenis seperti tusuk sanggul, gelang, subang,
cincin, kalung, peniti, jepitan emas untuk dasi, dan lainnya kini telah

berkembang dalam berbagai produk lain seperti kaos, kemeja, kopiah,


undangan, meja, kursi, kosen pintu, jilbab, kebaya, bagian bawah celana,
berbagai hiasan rumah tangga dan sauvenir khas Aceh lainnya.
Pembuatan perhiasan motif Pinto Aceh yang semakin populer memang
tidak pernah lepas dari peran Haji Keuchik Leumiek yang bukan cuma
menampung utoh-utoh pada tempatnya, namun juga mengoleksi bendabenda hasil kerajinan dari putra terbaik Aceh hingga saat ini. Pernakpernik dari toko mas yang berlokasi di Jalan Perdagangan Banda Aceh
(sekarang Jalan Tgk. Chik Pante Kulu) milik beliau telah dikenal sampai ke
luar Aceh semenjak tahun-tahun 1950-an. Sekarang, anaknya masih
melanjutkan tradisi pembinaan dan pelestarian tersebut.
Dari paparan di atas, seperti yang pernah juga saya tulis di media online
seputar seni Aceh (www.acehmediart,com), kepopuleran ornamen pinto
khop hingga kemudian menjadi pinto Aceh karena telah berhasil dilahirkan
dalam bentuk baru oleh seorang Utoh atau tukang (desainer saat ini) ini
menjadi kejadian fenomenal. Terutama karena telah mampu menggeser
berbagai hal lama yang sifatnya dipercaya sebagai bersifat tradisional.
Yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan ini adalah tentang adanya
berbagai pengaruh luar yang berperan sebagai pembentuk suatu identitas
baru tersebut. Contohnya peran apresiasi Belanda hingga pengaruh mesin
atau teknik modern. Tidak bisa disanggah bahwa berbagai pengaruh
tersebut lah yang kemudian telah membawa suatu nilai-nilai baru
memasuki ruang-ruang hati masyarakat Aceh, hingga menganggapnya
sebagai suatu identitas yang bisa mewakili Aceh. Hal ini bisa dilihat dari
banyaknya logo-logo atau sauvenir Aceh yang menggunakan ornamen
pinto Aceh di dalamnya.
Dalam hubungan dengan perubahan budaya, pinto Aceh telah menyajikan
resistensi besar untuk merubah dan meredefinisi suatu nilai atau bentukbentuk lama menjadi bentuk baru yang dapat dijadikan rujukan dalam hal
identitas baru di Aceh. Hal ini boleh jadi merupakan modal besar yang
sifatnya materialistik dan merupakan bencana besar dalam dunia
tradisionalistik yang perlu dilestarikan dan dikembangkan dalam media
baru dengan berbagai kreatifitas.

Perlawanan yang Tradisional dan Modern


Berbicara mengenai modern, kita akan mengetahui bahwa hal ini akan
sangat berbeda dengan yang berdasar pada teori tentang tradisionalisme,
terutama tentang keaslian suatu ide. Sikap-sikap yang berdasar pada
kemerdekaan seakan lebih diutamakan daripada menghamba pada yang

sifatnya keasliaan. Karena dalam teori tentang modern, suatu hal pasti
mendapatkan suatu pengaruh yang signifikan dari hal lain di luar dirinya.
Pengiyaan dan pembiaran pengaruh lain dalam kaitan dengan modern
adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Untuk itulah, orang-orang di zaman
modern yang lebih pragmatis itu lebih cenderung mengabaikan hal-hal
yang sifatnya tradisional. Persentuhan dengan orang-orang yang berasal
dari Barat bisa kita tandai sebagai cikal bakal terjadinya perubahan pada
diri orang-orang yang tidak bisa bertahan dalam situasi pengaruh
tradisionalnya. Dalam hal ini terjadi pada Utoh Mud yang telah
memproduksi perhiasan dari ornamen asing, yaitu ornamen yang hanya
ditujukan untuk mewakili identitas dari seorang permaisuri sultan hasil
penaklukan kerajaan Pahang.
Ornamen dari unsur daun paku/pakis yang menjadi tumbuhan khas pada
salah satu gunung di Pahang yang dipakai untuk menggambarkan
identitas di sana, dan untuk mengembalikan ingatan tentang kerinduan
kampung halaman permaisuri sultan itu telah terlanjur dijadikan suatu
unsur dalam identitas Aceh di masa kini. Ornamen yang hanya walaupun
terdapat dis alah satu pintu pada tempat pemandian tersebut telah
mengalahkan ratusan jenis ornamen asli lokal yang banyak terdapat pada
situs-situs zaman kerajaan di Aceh.
Dari kasus di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa suatu perubahan itu
dapat terjadi dan sangat berpengaruh pada hal lainnya. Dalam kasus di
atas, situasi yang sedang dijajah asing dan pengaruh ekonomi hingga
situasi politik telah memberikan pengaruh beratnya pada yang namanya
pertahanan pada keaslian identitas lokal yang sifatnya tradisional.
Perilaku yang lahir kemudian adalah suatu fenomena baru, yang
menjadikan suatu identitas asing menjadi lebih kuat.
Modal budaya yang sifatnya tradisional itu seakan sanga mudah berjalan
dan bisa bergeser akibat dipengaruhi oleh perilaku manusia yang terus
berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran dan perubahan ini terjadi seiring
adanya norma-norma sosial dan nilai-nilai baru yang mendominasi. Narasi
politik, ide-ide baru dan inovasi berkembang membentuk brand tersendiri.
Ketika kita berbicara tentang kebiasaan umum bersama dari masyarakat
yang sifatnya tradisional, kita akan tahu bahwa suatu waktu, perubahan
memang akan terjadi dan pada waktu yang berbeda, seiring dengan
perilaku bersama dan ide-ide umum yang juga bisa diganti oleh
adanyanya sesuatu apresiasi, kebijakan, pembiaran, atapun kondisi di
tempat tersebut. Kasus di atas merupakan secuil dari masalah dalam
hubungannya dengan pengaruh dan perubahan budaya yang terjadi
dalam sejarah manusia.

Anda mungkin juga menyukai