Antropologi Seni
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
(peralihan baju adat dari dulu hingga sekarang dan ornamen Pintu Aceh, sumber
foto gambar 1: rh-indonesiadoeloe.blogspot.com, gambar 2:
nadaceh.blogspot.com, gambar 3: paketriaspengantian.net)
Namun yang lebih penting untuk disimak adalah pada proses terjadinya
suatu peristiwa yang akan kita namakan kemudian sebagai culture
change ini (Perubahan budaya). Culture change yang terjadi pada
identitas Aceh merupakan hasil dari adanya suatu tekanan yang kita
sebut kemudian sebagai tekanan modern. Yaitu suatu kondisi di mana
kebebasan berekspresi menjadi penting untuk diikuti, ketimbang
menitikberatkan pada suatu landasan berfikir tradisional. Culture change
adalah sebagai istilah yang digunakan dalam pembuatan kebijakan publik
yang menekankan pengaruh modal budaya pada perilaku individu dan
masyarakat, yang menempatkan tekanan pada faktor-faktor penentu
modal sosial, budaya dan cara di mana manusia dapat berinteraksi
dengan faktor-faktor lain di luar dirinya.
Dalam kasus pintu taman untuk Putri Pahang yang kemudian menjadi
Pinto Aceh, berbagai perubahan itu pastinya terjadi dengan berbagai
realitas yang telah membentuk itu semua. Berbagai pengaruh yang
datang merupakan cikal bakal terjadinya suatu peristiwa yang kemudian
kita sebut dengan proses dari Culture change ini. Proses di mana
melibatkan suatu branding yang dilakukan dengan menjadikan bagian
dari objek tersebut sebagai suatu produk budaya. Produk yang menjadi
materi untuk dikonsumsi dan kemudian menjadi budaya baru di Aceh.
Pengaruh politik, ekonomi, dan berbagai peristiwa penting di masa itu
menjadi penting untuk diteliti lebih jauh.
Lahirnya Tukang di Satterling Belanda
Dalam sejarah tentang ornamen Aceh yang menjadi perhiasan, motif pinto
Aceh ini awalnya muncul pada tahun 1926 di sebuah Satteling (pasar
malam) terbesar yang digelar Belanda saat mereka masih berada di
tradisional Aceh, namun awalnya dengan mengambil motif lain. Bros pinto
Aceh dengan meniru pintu gerbang bersejarah tersebut berbentuk
ramping dengan jeruji-jeruji yang dihiasi motif kembang ditambah lagi
sebagai pelengkap dengan rumbai-rumbai sepanjang kedua sisi.
Bahan baku pembuatan perhiasan pinto Aceh awalnya adalah berupa
emas berkadar 18 sampai 22 karat, sebelum akhirnya berganti dengan
berbagai bahan lain seperti perak, tembaga dan bahan baku lainnya
seiring perkembangan teknologi dan tempat produksi yang menyebar di
berbagai kota di Indonesia. Kendati demikian, keunggulan emas murni
(emas kertas) yang mudah berlipat-lipat, baik ketika membuatnya
ataupun ketika memakainya masih menjadi catatan penting penggunaan
emas sebagai bahan bagi pembuatan perhiasan yang melegenda
tersebut.
Pembuatan perhiasan pinto Aceh sendiri memang tidak dapat dilakukan
sembarang utoh saat itu, karena disamping pembuatannya yang
memerlukan ketrampilan mapan, pelatihan sebagai pembumian perhiasan
tersebut juga tidak dilakukan terbuka. Hal ini tentunya dipengaruhi juga
oleh adanya persaingan sesama utoh saat itu. Maka Setelah Utoh Mud
meninggal dunia dalam usia 80 tahun, keterampilan khusus pembuatan
perhiasan Pinto Aceh hanya dilanjutkan oleh muridnya yang bernama M.
Nur atau biasa disebut Cut Nu, yang juga penduduk Blang Oi.
Cut Nu melanjutkan pembuatan perhiasan tersebut sampai akhir hayatnya
di usia 80 tahun. Toko mas milik H. Keuchik Leumiek merupakan tempat
Cut Nu membina kelanjutan seni membuat pinto Aceh tersebut. Dari
sanalah pinto Aceh kemudian mulai dikenal kembali dan mendapat
apresiasi sebagai salah satu jenis perhiasan yang kaya seni dan
mentradisi. Sepeninggal Cut Nu, keterampilan ini pernah dilanjutkan oleh
seorang perajin yang bernama Keuchik Muhammad Saman.
Saat ini, seiring populernya perhiasan pinto Aceh, tempat produksi
perhiasan tersebut tidak hanya berada di Aceh dan dibuat oleh orang asli
Aceh, namun juga oleh orang luar Aceh, terutama di Pulau Jawa yang
banyak terdapat tukang-tukang mahir dan peralatan yang canggih.
Bahan-bahannya pun secara otomatis telah bervariasi, sesuai dengan
tingkat ekonomi pembeli dan kekayaan bahan-bahan sebagai tempat
aplikasi.
Perkembangan bahan tentunya juga semakin berpengaruh pada
penempatan motif pinto Aceh. Motif pinto Aceh yang awalnya hanya
berada dalam beberapa jenis seperti tusuk sanggul, gelang, subang,
cincin, kalung, peniti, jepitan emas untuk dasi, dan lainnya kini telah
sifatnya keasliaan. Karena dalam teori tentang modern, suatu hal pasti
mendapatkan suatu pengaruh yang signifikan dari hal lain di luar dirinya.
Pengiyaan dan pembiaran pengaruh lain dalam kaitan dengan modern
adalah suatu hal yang lumrah terjadi. Untuk itulah, orang-orang di zaman
modern yang lebih pragmatis itu lebih cenderung mengabaikan hal-hal
yang sifatnya tradisional. Persentuhan dengan orang-orang yang berasal
dari Barat bisa kita tandai sebagai cikal bakal terjadinya perubahan pada
diri orang-orang yang tidak bisa bertahan dalam situasi pengaruh
tradisionalnya. Dalam hal ini terjadi pada Utoh Mud yang telah
memproduksi perhiasan dari ornamen asing, yaitu ornamen yang hanya
ditujukan untuk mewakili identitas dari seorang permaisuri sultan hasil
penaklukan kerajaan Pahang.
Ornamen dari unsur daun paku/pakis yang menjadi tumbuhan khas pada
salah satu gunung di Pahang yang dipakai untuk menggambarkan
identitas di sana, dan untuk mengembalikan ingatan tentang kerinduan
kampung halaman permaisuri sultan itu telah terlanjur dijadikan suatu
unsur dalam identitas Aceh di masa kini. Ornamen yang hanya walaupun
terdapat dis alah satu pintu pada tempat pemandian tersebut telah
mengalahkan ratusan jenis ornamen asli lokal yang banyak terdapat pada
situs-situs zaman kerajaan di Aceh.
Dari kasus di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa suatu perubahan itu
dapat terjadi dan sangat berpengaruh pada hal lainnya. Dalam kasus di
atas, situasi yang sedang dijajah asing dan pengaruh ekonomi hingga
situasi politik telah memberikan pengaruh beratnya pada yang namanya
pertahanan pada keaslian identitas lokal yang sifatnya tradisional.
Perilaku yang lahir kemudian adalah suatu fenomena baru, yang
menjadikan suatu identitas asing menjadi lebih kuat.
Modal budaya yang sifatnya tradisional itu seakan sanga mudah berjalan
dan bisa bergeser akibat dipengaruhi oleh perilaku manusia yang terus
berubah dari waktu ke waktu. Pergeseran dan perubahan ini terjadi seiring
adanya norma-norma sosial dan nilai-nilai baru yang mendominasi. Narasi
politik, ide-ide baru dan inovasi berkembang membentuk brand tersendiri.
Ketika kita berbicara tentang kebiasaan umum bersama dari masyarakat
yang sifatnya tradisional, kita akan tahu bahwa suatu waktu, perubahan
memang akan terjadi dan pada waktu yang berbeda, seiring dengan
perilaku bersama dan ide-ide umum yang juga bisa diganti oleh
adanyanya sesuatu apresiasi, kebijakan, pembiaran, atapun kondisi di
tempat tersebut. Kasus di atas merupakan secuil dari masalah dalam
hubungannya dengan pengaruh dan perubahan budaya yang terjadi
dalam sejarah manusia.