Anda di halaman 1dari 3

KIAI AS’AD DALAM PUISI

K.H.R As’ad Syamsul Arifin diantara salah satu tokoh pesantren yang dinobatkan sebagai
Pahlawan Nasional tahun 2016 lalu. Penghargaan itu memberikan penegasan bahwa Kiai
As’ad bukan hanya miliknya pondok pesantren tapi menjadi milik bangsa dan negara.
Semasa hidupnya, Kiai As’ad memberikan konstribusi penting dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Konstribusi Kiai As’ad semasa hidupnya begitu besar. Semasa menjadi santri,
Kiai As’ad sudah mendapat kepercayaan dari Syaikhana Kholil Bangkalan untuk
mengantarkan isyarat tasbih dan tongkat kepada Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Kedua
isyarat itu menjadi restu Syaikhana Khalil atas pendirian Nahdlatul Ulama. Hingga kini, Kiai
As’ad dikenal sebagai mediator berdirinya NU. Bersama para pejuang lainnya, Kiai As’ad
ikut terlibat dalam perang 10 Nopember yang kemudian dicetuskan sebagai Hari Pahlawan.

Sekitar tahun 2007, K.H. D. Zawawi Imron membacakan puisinya berjudul Ode Buat Kiai
As’ad di Masjid Jamik Ibrahimy dalam rangka Haul Masyayikh Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Dalam puisinya itu, penyair berjuluk Clurit Emas itu
menguraikan panjang lebar riwayat hidup dan perjuangan Kiai As’ad mulai dari lahir sampai
wafat. Dalam petikan puisinya, Kiai Zawawi menyampaikan bahwa gelar pahlawan bagi Kiai
As’ad tidak pernah terpikirkan dan menjadi prioritas kehidupannya. Termasuk ingin
mendapatkan keuntungan dan mengejar kedudukan.

kiai As’ad berjuang menjadi perisai kemerdekaan /bukan untuk meraup keuntungan
bukan untuk disebut pahlawan/ bukan untuk mengejar kedudukan
tapi ikhlas semata- mata karena Allah/ agar Indonesia merdeka
Agar seluruh bangsa Indonesia tersenyum
Agar bangsa Indonesia meraih harkat dan kehormatan / tanpa penindasan
Tanpa kekejaman / serta mampu berdiri tegak / dengan taqwa dan kemakmuran
Sejajar dengan bangsa- bangsa yang merdeka / itulah cita-cita cemerlang buat ummat
Untuk meraup masa depan gemilang/ di bawah sinar iman dan islam

Puisi itu ditulis jauh hari sebelum Kiai As’ad dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional.
Mengenai gelar, kedudukan dan jabatan senantiasa ditolak Kiai As’ad semasa hidupnya.
Dalam hal ini ada keyakinan dalam Kiai As’ad bahwa keikhlasan menjadi ruh dalam setiap
perjuangannya. Bagi Kiai As’ad, berjuang tanpa keihlasan akan mendapatkan hal yang sia-sia
di sisi Allah SWT. Apa yang dilakukan Kiai As’ad terkait keikhlasan juga disebutkan Syekh
Ibnu Athaillah Assakandary bahwa Perbuatan kita hanyalah sebatas gambaran luaran saja,
adapun ruh/subtansi dari perbuatan itu adalah cahaya keikhlasan yang ada padanya. Raedu
Basha salah seorang penyair pesantren dalam buku antologi puisinya Hadrah Kiai menulis
puisi berjudul Terompah Kiai As’ad

bunyi terompah mendedah dini hari


barangkali langkah seorang abdi muda
membawa sebilah tongkat Musa
dan seuntai tasbih yang dikalungkan
dibawa dari Bangkalan ke Jombang
ialah safar Kiai As’ad Syamsul Arifin
yang terompah kayunya senantiasa berderapan
dalam kenangan abad silam
Dalam puisi itu, Raedu ingin menyampaikan alas kaki yang dipakai Kiai As’ad berupa
terompah. Ini sebuah cerminan kesederhanaan dan ciri khas pesantren yang dicontohkan Kiai
As’ad termasuk ketika menyampaikan tongkat dan tasbih dari gurunya.

Zainul Walid sebagai santri langsung Kiai As’ad juga tidak ketinggalan menulis puisi
berjudul Sajak Bromocorah. Dalam puisinya, Zainul Walid lebih banyak mengulas pasukan
Kiai As’ad yang bernama Palopor. Palopor adalah pasukan Kiai As’ad dalam kancah
perjuangan menghadapi penjajahan khususnya pada perang 10 November di Surabaya.

Sebagai bromocorah
aku bangga berdiri di sini
di tanah babatanmu
di tanah Pesantren Sukorejo
yang karena menghadapi penjajah
menjadi markas pasukan perang Sabilillah
asal Situbondo, Bondowoso, Jember, Banyuwangi, Madura, dan daerah lain berkumpul di
sini
Akulah pasukan bromocorah
kaulatih perang
kaujaza' bermacam kekebalan
kaukobarkan api jihat dalam darah kami,
"Jangan hanya merebut negara,
itu hanya mengejar dunia," tegur Kiai As'ad dengan wajah seorang panglima
"Niatlah menegakkan agama dan membela negara.
Kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga."

Dalam puisi itu, disebutkan bagaimana niat yang ditanamkan Kiai As’ad pada bromocorah
setiap kali melangkah dalam perjuangan yaitu bukan semata-mata merebut negara tapi juga
menegakkan agama sehingga kalau mati di medan perang maka matinya dikategorikan mati
syahid dan ada jaminan masuk surga. Apa yang disampaikan Kiai As’ad tersebut, sebenarnya
sudah difatwakan oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari yaitu Resolusi Jihad yang dicetuskan
pada tanggal 22 Oktober. Sebagai bentuk penghargaan, pemerintah menetapkan tanggal
tersebut sebagai Hari santri Nasional. Menurut Budayawan Emha Ainun Najib, bahwa perang
10 November busur panahnya adalah fatwa tersebut.

Apa yang dilakukan Kiai As’ad terus mengalir dalam puisi penyair. Banyak puisi tentang
Kiai As’ad lahir bukan hanya dari para santri dan pecintanya. Tapi dari siapapun yang merasa
mendapatkan pencerahan dari riwayat hidup dan perjuangannya.

Selamat Hari Pahlawan!

NURTAUFIK,
beralamat di Dusun Airlangga RT 06 RW 02 Desa Suling Kulon Kecamatan Cermee
Kabupaten Bondowoso. Sehari-hari bergiat sebagai Guru Bahasa Indonesia MA Nurut
Taqwa Grujugan Cermee Bondowoso. Buku kumpulan puisinya termuat dalam antologi
bersama yaitu Negeri Bahari (Komunitas Negeri Poci), Wasiat Debu(kumpulan puisi santri
dan alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Siubondo), Requiem Tiada
Henti (Kumpulan Puisi Penyair ASEAN), Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (Kumpulan
Puisi Penyair Asean). Saat ini sedang berproses menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya
Sokarajjhe Semerbak Jejak. Penulis bisa dihubungi melalui no WA/hp 082 334 483 842,
email: iftaberkah@gmail.com, FB: Muhammad Nur Taufiq Mu’thi, IG: Muhammad N Taufiq
Nomor Rekening 0318002223 (BANK JATIM) An. Nurtaufik

Anda mungkin juga menyukai