A. PENDAHULUAN
Pada foto tahun 1920-an itu terpampang sebuah tulisan: Toko Tan Khoen Swie, Sedia
Boekoe Djawa, Melajoe dan Ollanda Berawal dari sebuah bangunan kompleks pertokoan di
Jalan Dhoho Kediri itu, sejak tahun 1915-an, sejarah penerbitan di Kediri dimulai. Ditandai
dengan intensnya pencetakan buku-buku berbahasa Jawa oleh Boekhandel Tan Khoen Swie.
Beberapa naskah berbahasa Jawa berhasil dicetak kembali baik naskah aslinya maupun
salinan yang secara langsung diperoleh dari para pujangga dan beberapa berupa naskahnaskah lisan dari ungkapan-ungkapan para guru (1935).
Upaya Boekhandel Tan Khoen Swie untuk menggali kembali naskah-naskah yang
telah terkubur dalam memori masyarakat dan menghidangkan dalam bentuk buku-buku
yang secara bebas dapat dibaca oleh semua lapisan masyarakat menarik untuk dikaji. Tidak
ada lagi sesuatu yang bersifat rahasia dalam dunia mistik/ilmu kebatinan di sekitar ilmu
para guru dan budaya-budaya formal kehidupan di keraton,(Ghani, 1912) Boekhandel Tan
Khoen Swie mengungkapkan dengan metode tulisan yang lebih bebas untuk diketahui
umum. Apakah upaya Tan Khoen Swie merupakan langkah baru yang belum pernah
dilakukan oleh media-media cetak manapun di Hindia Belanda saat itu?
Percetakan Balai Pustaka yang baru muncul tahun 1917 sebenarnya berkecipung dalam
bidang yang sama, namun sayangnya percetakan itu dipandang lebih berpihak pada misi
politik penguasa Belanda. Bahasa yang dipelihara dianggap sebagai bahasa golongan yang
paling tinggi dan menjadi ikon kebudayaan elit. Balai Pustaka mencitrakan sekumpulan
orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan
kebudayaan Indonesia. Penerbit Balai Pustaka lebih banyak menerbitkan sastra-sastra yang
sejalan dengan kebijakan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, dengan kata lain Balai
Pustaka sangat sedikit menaruh perhatian dengan sastra-sastra kebatinan Jawa. Mereka
berkarya di luar itu, dan termasuk bacaan liar, roman picisan, bahasa pasar, tak berbudaya,
marjinal (1948: 29).
196
197
199
201