Anda di halaman 1dari 6

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING

Strengthening National Identity through Language, Literature, and History


BOEKHANDEL TAN KHOEN SWIE KEDIRI, 1915-1953
Wisnu
Faculty of Social Science, UNESA, Surabaya

A. PENDAHULUAN
Pada foto tahun 1920-an itu terpampang sebuah tulisan: Toko Tan Khoen Swie, Sedia
Boekoe Djawa, Melajoe dan Ollanda Berawal dari sebuah bangunan kompleks pertokoan di
Jalan Dhoho Kediri itu, sejak tahun 1915-an, sejarah penerbitan di Kediri dimulai. Ditandai
dengan intensnya pencetakan buku-buku berbahasa Jawa oleh Boekhandel Tan Khoen Swie.
Beberapa naskah berbahasa Jawa berhasil dicetak kembali baik naskah aslinya maupun
salinan yang secara langsung diperoleh dari para pujangga dan beberapa berupa naskahnaskah lisan dari ungkapan-ungkapan para guru (1935).
Upaya Boekhandel Tan Khoen Swie untuk menggali kembali naskah-naskah yang
telah terkubur dalam memori masyarakat dan menghidangkan dalam bentuk buku-buku
yang secara bebas dapat dibaca oleh semua lapisan masyarakat menarik untuk dikaji. Tidak
ada lagi sesuatu yang bersifat rahasia dalam dunia mistik/ilmu kebatinan di sekitar ilmu
para guru dan budaya-budaya formal kehidupan di keraton,(Ghani, 1912) Boekhandel Tan
Khoen Swie mengungkapkan dengan metode tulisan yang lebih bebas untuk diketahui
umum. Apakah upaya Tan Khoen Swie merupakan langkah baru yang belum pernah
dilakukan oleh media-media cetak manapun di Hindia Belanda saat itu?
Percetakan Balai Pustaka yang baru muncul tahun 1917 sebenarnya berkecipung dalam
bidang yang sama, namun sayangnya percetakan itu dipandang lebih berpihak pada misi
politik penguasa Belanda. Bahasa yang dipelihara dianggap sebagai bahasa golongan yang
paling tinggi dan menjadi ikon kebudayaan elit. Balai Pustaka mencitrakan sekumpulan
orang terhormat, terpelajar, dan paling berjasa dalam membangun sastra, bahasa, dan
kebudayaan Indonesia. Penerbit Balai Pustaka lebih banyak menerbitkan sastra-sastra yang
sejalan dengan kebijakan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, dengan kata lain Balai
Pustaka sangat sedikit menaruh perhatian dengan sastra-sastra kebatinan Jawa. Mereka
berkarya di luar itu, dan termasuk bacaan liar, roman picisan, bahasa pasar, tak berbudaya,
marjinal (1948: 29).

196

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING


Strengthening National Identity through Language, Literature, and History
B. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
1. Siapa Tan Khoen Swie
Nama Tan Khoen Swie tidak pernah disebut-sebut dalam historiografi Indonesia. Sepak
terjangnya jarang mendapat perhatian, padahal ia memiliki kontribusi yang sangat penting
bagi perkembangan intelektualitas Jawa. Dia kelahiran Gunung Legong, Duren Siwo, bawah
Woerjantoro, Wonogiri pada 1884 (Tan Hoen Boen, 1935: 89), dan meninggal di Kediri 1953
(Jawa Pos, 5 Mei 1953). Semasa hidupnya, ia menggeluti kebatinan Jawa, fasih berbahasa
Jawa, menulis dan membaca aksara Jawa. Ia lebih dikenal sebagai seorang Cina yang
berbudaya Jawa. Pengalaman di dunia penerbitan, ia alami ketika bekerja di Drukkerijk Sie
Dhian Ho Solo (Benny G. Setiono, 2002: 339). Pekerjaannya itu yang mengenalkan dia
dengan Ki Padmosusastra, seorang pujangga keraton Solo.
Bagaimana Tan Khoen Swie membuka usaha penerbitan di Kediri? Tidak ada sumber
informasi yang ditemukan. Dugaan yang dapat dikemukakan adalah karena situasi
kehidupan sosial ekonomi di Solo kurang kondusif. Terjadinya kerusuhan rasial antara
pedagang Jawa dan Tionghoa yang dikelola oleh Firma Sie Dhian Ho, sehingga aktivitas
penerbitan di Solo terganggu.
Usaha penerbitan Tan Khoen Swie di Kediri mengalami perkembangan pesat.
Kepandaian Tan Khoen Swie dalam mengakomodir para penulis dari berbagai daerah
menjadi faktor penting keberhasilan usahanya. Beberapa penulis yang diundang untuk
membicarakan ide-ide yang akan ditulis antara lain berasal dari Yogyakarta, Solo,
Bojonegoro, Surabaya, dan Lumajang. Demikian halnya beberapa penulis dari Cilacap dan
Ngawi seringkali datang untuk bergabung (Ghani, 2012). Tan Khoen Swie menyediakan
rumahnya menjadi semacam artist residence. Ia membangun kamar-kamar khusus untuk
persinggahan jaringan penulis. Fasilitas untuk keperluan penulis menjadi perhatian utama
Tan Khoen Swie. Upaya ini dimaksudkan untuk menarik para penulis, seperti salah seorang
di antaranya sastrawan Keraton Solo Padmosusastro (Imam Supardi, 1961: 5-11).
Padmosusastro, tinggal di rumah Tan Khoen Swie selama kurang lebih 3 sampai 4
bulan pada akhir tahun 1914, berhasil menyelesaikan Serat Subasita (Jurnal Ilmu Arkeologi,
2009). Selain itu, pada tahun 1915, Tan Khoen Swie menulis ulang Serat Pustakaraja, Serat
Paramayoga, karya Ronggowarsito, dengan versinya sendiri. Selain Padmosusastro, penulis
Serat Nitimani, buku yang mengulas rahasia lika-liku senggama suami-istri, R. Tanojo pada
1916 juga menyelesaikan naskah itu di rumah Tan. Tan Khoen Swie juga didukung oleh
warga Tionghoa, di antaranya Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe, Sioe Lian, Tjoa Hien Tjioe, Tan
Soe Djwan. Mereka adalah para penulis, jurnalis, redaktur, dan pengusaha penerbitan

197

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING


Strengthening National Identity through Language, Literature, and History
Tionghoa. Aktivitas usaha mereka tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sastra Melayu
Tionghoa, pers dan dunia percetakan.
2. Perkembangan Penerbitan Tionghoa Peranakan
Seperti diketahui bahwa bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya sastra Melayu
Tionghoa, berkembang pula pers Melayu Tionghoa atau biasa disebut juga pers peranakan
Tionghoa. Sastra Melayu Tionghoa dan pers Melayu Tionghoa bagaikan dua sisi mata uang
yang sulit dipisahkan. Sastra Melayu Tionghoa dan pers Melayu Tionghoa saling mengisi
dan mendukung satu sama lain. Banyak sastrawan Melayu Tionghoa merangkap jadi
jurnalis, pemimpin redaksi, redaksi, pimpinan bahkan pemilik perusahaan penerbitan pers.
Malahan ada yang menjadi pemilik percetakan yang menerbitkan harian, mingguan,
bulanan atau majalah-majalah dan buku-buku sastra (Benny G. Setiono, 2002: 423).
Sejak tahun 1907 sampai 1923 bermunculan percetakan di Malang, Kediri, Bandung,
Jombang, Cirebon, Pekalongan dan Cilacap. Di Malang pada tahun 1907 oleh Kwee Khay
Khee didirikan Snelpersdrukkerij Kwee Khay Khee yang mencetak koran Tjahaja Timoer.
Pada 1918 percetakan lain Paragon Press didirikan oleh Kwee Shing Tjhiang (1898-1940).
Paragon Perss merupakan sebuah percetakan yang pada masa itu dianggap paling modern
di Hindia Belanda. Baru pad akhir 1920-an dan 1930-an Paragon Press mencetak dan
menerbitkan majalah-majalah dan karya sastra dalam bahasa Melayu termasuk Majalah
Liberty dan Tjerita Roman. Di Bandung pada 1917 berdiri Hoa Boe In Kiok dipimpin Lie
Kim San. Lalu muncul Tjan (1920), Toko Marie (1922) dan Sin Bin (1923). Di Semarang
pada 1909, Be Kwat Yoe sekretaris kamar dagang Tionghoa (Shang Hwe) mendirikan Java
Ien Boe Kong Sie berlokasi di Gang Pinggir 68. Perusahaan ini menerbitkan koran berbahasa
Melayu Djawa Tengah dan Djawa Kong Po dalam bahasa Tionghoa. Di Batavia Kho Tjeng Bie
yang pada 1904 mengambil alih perusahaan Yap Goan Ho banyak menerbitkan buku-buku
novel dan mencetak berkala-berkala antara lain Sin Po yang dicetaknya sampai koran
tersebut mempunyai percetakan sendiri. Ia juga mencetak Majalah Penghiboer yang
diterbitkan Lauw Giok Lan pada 1913 (Benny G. Setiono, 2002:431).
Perkembangan perusahaan percetakan dan penerbitan serta toko buku yang banyak
dirangkap oleh pemiliknya yang sekaligus penulis atau penterjemahnya menjadi trend saat
itu. Boekhandel Tan Khoen Swie Kediri menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
perkembangan itu.
Sastra melayu Tionghoa sebelumnya telah menjadi mode tulisan-tulisan yang
diterbitkan Tan Khoen Swie. Pengaruh sastra Melayu Tionghoa terlihat antara lain pada
buku, Nabi Kong Hoe Tjoe, Haw King, Ling Djiat, Ngo Loen, Sioe Lian, Soesi Siang Loen,
198

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING


Strengthening National Identity through Language, Literature, and History
Soesi He Loen, Soesi Siang Beeng, Soesi He Beeng, Tay Hak Tiong Jong, Tjian Lie Gan
(Adji Penerawangan), yang semuanya diterbitkan pada tahun 1929 (Katalog, 1929). Pada
perkembangan berikut yang banyak diterbitkan adalah sastra dan tulisan tentang budaya
pemikiran Jawa. Kecenderungan ini yang kemudian menjadi fokus perhatian, terutama
terkait dengan persoalan substansi dan penggunaan bahasa.
3. Karakter Terbitan Tan Khoen Swie
Terbitan Tan Khoen Swie lebih berpihak pada kultur pribumi, praktis, mudah dimengerti
pembaca umum. Kendati yang diterjemahkan karya klasik, bahasa yang digunakan adalah
bahasa Jawa Modern (P.J. Zoetmulder,1983:34), efisien, dan efektif. Bahasanya tidak
banyak pengulangan, tanpa kata-kata mubazir, dan padat. Dicetak tipis-tipis, dengan bahan
dari kertas merang. Berdasarkan daftar harga pada katalog buku-buku Tan Khoen Swie,
kisaran harga yang tertera antara f 0.10 hingga f 3.50. Sebagian besar buku-buku Tan Khoen
Swie dijual dengan harga di bawah f 1.0, agar dapat terjangkau dan terbeli masyarakat kecil.
Bila diperhatikan dari bahasa yang digunakan, buku-buku terbitan Tan Khoen Swie
dapat dikategorikan dalam tiga versi : bahasa Melayu huruf latin, bahasa Jawa huruf latin,
dan bahasa Jawa huruf Jawa. Kategori tulisan meliputi kependidikan, sejarah, masakan,
religi, budaya, dan sastra. Klasifikasi jenis buku terbitan Tan Khoen Swie hingga tahun 1953
yang ditulis dalam bahasa Melayu huruf latin berjumlah 54 buku, bahasa Jawa huruf latin 15
buku, dan bahasa Jawa huruf Jawa 81 buku. Kategori pendidikan : 7 berbahasa Melayu
huruf latin, 2 bahasa Jawa huruf latin, dan 4 bahasa Jawa huruf Jawa. Untuk kategori
sejarah : hanya ada dua buku yang terbit berbahasa Jawa huruf Latin, dan 4 bahasa Jawa
huruf Jawa. Tentang masakan hanya satu buku, berbahasa Melayu huruf latin. Dalam
bentuk karya sastra, Tan Khoen Swie menerbitkan 7 buku berbahasa Melayu huruf latin dan
4 berbahasa Jawa huruf Jawa.
Terbitan Tan Khoen Swie banyak membahas masalah religi dan budaya. Hampir setiap
tahun mencetak buku-buku tentang tema-tema itu. Terdapat 20 naskah tentang religi yang
berbahasa Melayu huruf latin, 3 berbahasa Jawa huruf latin, dan 12 berbahasa Jawa huruf
Jawa. Sementara mengenai tema-tema budaya, terdapat 19 naskah berbahas Melayu huruf
latin, 9 berbahasa Jawa huruf latin, dan 59 berbahasa Jawa huruf Jawa (Katalog 1921-1953).
Tema-tema budaya dan kebatinan Jawa akan menjadi fokus penelitian ini. Tiga buku
terbitan Tan Khoen Swie yang kontroversial : Babad Kediri, Serat Darmogandul, dan Suluk
Gatoloco sangat menarik untuk diperbincangkan, ketiga naskah tersebut memunculkan
polarisasi kehidupan sosial masyarakat pada awal abad XX.

199

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING


Strengthening National Identity through Language, Literature, and History
Naskah-naskah terbitan Tan Khoen Swie beredar di hampir seluruh lapisan
masyarakat. Terutama buku kebatinan, ramalan, primbon, legenda yang dapat dijumpai di
setiap rumah-rumah baik di desa maupun di kota. Buku-buku terbitan Tan Khoen Swie tidak
hanya menjadi konsumsi para pembaca dalam kalangan terbatas di Kediri, Solo,
(Jayabaya,1982) Yogyakarta, Cilacap, Ngawi, Bojonegoro, Surabaya, dan Lumajang (Jawa)
melainkan dibaca secara luas oleh masyarakat di luar Jawa. Hal ini terbukti dari buku
register pengiriman tahun 1958-1959, Boekhandel Tan Khoen Swie telah melakukan
pengiriman pesanan kitab-kitab kepada S. Karjono, yang beralamat di PLN Samarinda, dan
Sobat Wirowardojo di Banjarmasin (Register,1958).
Beberapa buku Tan Khoen Swie tergolong best seller pada zamannya, sehingga
mengalami beberapa kali cetak ulang. Buku-buku tersebut umumnya berupa buku
pengetahuan populer, seperti tentang oriental, kebatinan, ramalan, primbon, legenda, dan
filsafat. Misalnya saja Kitab Horoscoop, Kitab Rama Krisna, Kekoeatan Pikiran, Kitab
Ramalan dan Ilmu Pirasat Manusia, Kitab Achli Noedjoem, serta Alamat Ngimpi dan
Artinja. Buku-buku itu diterbitkan dalam tahun 1919 hingga 1956. Pada masa itu, buku-buku
demikian paling banyak diminati masyarakat.
C. PENUTUP
Tidak dapat dipungkiri bahwa karya Boekhandel Tan Khoen Swie menandai awal masa
pencerahan bagi masyarakat Kediri dan bahkan untuk seluruh masyarakat Hindia Belanda
di Jawa dan luar Jawa. Naskah-naskah itu membuka cakrawala baru dari budaya lisan
menuju budaya baca. Berkembangnya intelektualitas muncul ketika masyarakat terbiasa
dengan budaya baca. Proses transformasi pemikiran dari berbagai substansi dalam naskahnaskah itu secara visioner memberi pemahaman baru dan berpengaruh terhadap tingkat
budaya intelektulitas masyarakat Kediri.
Gagasan Tan Khoen Swie sangat berarti untuk turut menyelamatkan lokal jenius yang
semula diwariskan melalui tradisi lisan, serta mengembangkan sastra Jawa dan
mengakrabkan ilmu pengetahuan Jawa kepada masyarakat luas merupakan misi
terselubung yang diusungnya selama menggumuli bisnis percetakan. Melalui buku-buku
terbitannya, Tan Khoen Swie menyatakan pandangannya kepada masyarakat, agar
menselaraskan serta melestarikan nilai-nilai luhur kebudayaan dalam kehidupan. Hal ini
tersirat dalam setiap kata pengantar di setiap halaman depan terbitannya. Seringkali Tan
Khoen Swie mengingatkan pembacanya agar tidak sekedar menikmatinya sebagai suatu
buku bacaan mapun cerita saja, tetapi juga memperhatikan falsafahnya, yang menjadi bekal
untuk masa tua.
200

INTERNATIONAL SEMINAR PROCEEDING


Strengthening National Identity through Language, Literature, and History
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pustaka, Sewajarnya 1908-1942 (Jakarta: Balai Pustaka, 1948).
Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Jakarta: Elkasa, 2002).
Buku Register 958-1959, Boekhandel Tan Khoen Swie.
Jawa Pos, 5 Mei 1953.
Jurnal Ilmu Arkeologi, Minggu, 24 Mei 2009.
Katalog Buku Tan Khoen Swie,1929.
Kitab Ilmoe Wedjangan Goeroe-goeroe (Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie, 1935).
Narasumber Jojo Soetjahjo Ghani, Cicit Tan Khoen Swie, 24 April 2012.
Tan Hoen Boen, Orang-orang Tionghoa yang Terkemoeka di Jawa (Solo: The Biographical
Publishing Center, 1935).
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang pandang (Jakarta: Djambatan,
1983).

201

Anda mungkin juga menyukai