Anda di halaman 1dari 17

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN..2

A. Latar Belakang Masalah...............................................................................2


B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4

A. Letak dan Pembagian Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam....................4


B. Pengaruh Kondisi Alam Geografis terhadap Perkembangan

Kesultanan Aceh Darussalam....................................................................10

BAB III PENUTUP..............................................................................................15

A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15

DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam

terbesar yang pernah berdiri di Indonesia. Kesultanan ini berkembang begitu pesat

dan menorehkan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Kejayaan Kesultanan Aceh

ini tentu didukung oleh keadaan situasi kondisi serta lingkungan alam yang

mampu menyokong keberlangsungan kehidupan kerajaan. Tidak bisa dipungkiri

bahwa kondisi lingkungan geografis baik secara langsung maupun tidak langsung

sangat mempengaruhi terhadap keberlangsungan suatu kehidupan kerajaan.

Begitu pula dengan perkembangan Kesultanan Aceh Darussalam.

Umumnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Sultan-sultan Aceh

dipengaruhi oleh lingkungan alam wilayah yang dikuasainya. Bahkan dapat

dikatakan bahwa tanpa dukungan dari kondisi geografisnya maka Kesultanan

Aceh tidak akan mampu berkembang sebegitu pesatnya. Hal yang paling utama

mendukung kejayaan Kesultanan Aceh adalah letaknya di jalur yang sangat

strategis. Letaknya ini juga memberikan corak khas tersendiri dalam kehidupan

kerajaan. Dukungan alam tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh sultan untuk

semakin mengembangkan Kesultanan Aceh Darussalam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana letak dan pembagian wilayah Kesultanan Aceh Darussalam?
2. Bagaimana pengaruh kondisi alam geografis terhadap perkembangan

Kesultanan Aceh Darussalam?


C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui letak dan pembagian wilayah Kesultanan Aceh

Darussalam.
2. Untuk mengetahui pengaruh geografis alam terhadap perkembangan

Kesultanan Aceh Darussalam.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Letak dan Pembagian Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam

Peta wilayah Kesultanan Aceh Darussalam

3
Berdasarkan peta diatas dapat diketahui bahwa pusat Kesultanan Aceh

Darussalam berada di ujung Pulau Sumatra bagian Utara. Kesultanan ini

merupakan kesultanan yang terdapat di bagian paling Barat kepulauan Nusantara.

Tome Pires (2014: 199) mengatakan bahwa Aceh (Achin) adalah negeri pertama

yang dapat ditemukan setelah menelusuri terusan terusan Pulau Sumatra

sedangkan Lamuri (Lambry) terletak tepat disetelahnya, wilayah ini membentang

hingga ke pedalaman. Berdasarkan apa yang dikatakan Tome Pires tersebut dapat

dibuktikan bahwa Aceh tidak dibangun pada tempat Lambri dulu. Rusdi dan

Wibowo (2006) mengemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang

sekarang bernama Naggroe Aceh Darussalam (NAD). Tetapi pada masa Aceh

masih sebagai sebuah kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang

sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar (Aceh Rayeuk). Sebagian lain

menyebut nama ini dengan istilah Aceh Lhee Sago (Aceh Tiga Sagi/Segitiga)

karena bentuknya yang memang mirip segitiga dengan dasar di pantai laut. Selain

itu ada juga yang menggunakan Aceh Inti atau Aceh yang sebenarnya karena

daerah itulah yang pada awalnya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan

juga letak ibukotanya. Nama Aceh sering pula digunakan orang-orang untuk

menyebut ibukota kerajaan yakni yang bernama Bandar Aceh Darussalam.

Tentang nama Aceh sendiri masih belum bisa dipastikan dari mana asal dan kapan

mulai digunakan.

Secara garis besar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dibagi dalam tiga

wilayah yakni daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk. Daerah inti

merupakan wilayah yang telah dikuasai oleh Aceh sejak awal berdirinya yang

disebut Aceh Rayeuk. Di wilayah Aceh Rayeuk ini terdapat Sungai Aceh (Kreung

4
Aceh) dimana sungai ini mengubungkan ibukota dengan pelabuhan. Daerah pokok

merupakan wilayah yang dikuasai setelah Kesultanan Aceh berdiri dan

digabungkan dibawah kedaulatan Aceh. Daerah-daerah pokok itu meliputi Pidie,

Samudra, Pase, Perlak, Gayo, Alas, Barat, Singkel, Teuremon, dan Barus

(Poesponegoro, 2010: 141). Sedangkan daerah takluk merupakan wilayah yang

menyatakan diri takluk kepada Sultan Aceh atau yang dianggap Aceh sebagai

daerah takluknya. Daerah takluk ini tersebar di sebelah barat dan timur Pulau

Sumatra serta di Semenanjung Malaya. Daerah takluk tersebut meliputi Aru, Deli,

Siak Asahan, Tanjung Balai, Panai, Rokan, Kampar, Inderagiri, Palembang,

Jambi, Johor, Kedah, Patani, Pahang, Perak, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang,

Indrapura, dan Nias. Jika dilihat berdasarkan peta yang digambarkan oleh

Augustin de Beaulieu (pelaut dan pedagang asal Prancis yang datang ke Aceh

tahun 1620) dibawah, dapat dilihat bahwa pembagian wilayah Aceh menjadi tiga

wilayah tergambar dengan jelas. Jika peta ini memang benar adanya, maka
Wilayah Kesultanan Aceh menurut Beaulieu (insert Sumatra Utara menurut Tome Pires 1515)

5
seluruh Pulau Sumatra dikuasai oleh Kesultanan Aceh. Hal ini menunjukkan

bahwa Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kesultanan yang kuat. Di

ujung Aceh terdapat pulau-pulau yang ditulis Beaulieu Poulo Gomes, Tome Pires

menyebutnya Gamispola, yang menyebabkan teluk sukar di masuki. Kapal yang

ditumpangi de Graaf pernah nyaris karam di karang-karang Puloway (Pulau Weh).

Selain daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk, terdapat juga nama

wilayah yang disebut dengan istilah gampong (kampung). Gampong merupakan

bentuk kesatuan wilayah terkecil di Kesultanan Aceh. Di setiap gampong biasanya

ada meunasah yang digunakan sebagai tempat beribadah, pertemuan, juga sebagai

tempat belajar ilmu keagamaan. Sebuah gampong dikepalai oleh seorang yang

disebut Keucik. Sedangkan kesatuan dari beberapa gampong dikepalai seorang

datu. Misalnya Datu Basa yang memerintah daerah di tepi kanan Sungai Samadua

meliputi beberapa gampong yakni Jeuret, Ladang, Ladang Kaseh Putih, Pan, dan

6
Balai. Adapun yang memerintah daerah di tepi kiri Sungai Samadua adalah Datu

Mauda NuaRadin. Di samping itu, beberapa gampong di dekatnya juga termasuk

dalam kekuasaannya, adalah gampong-gampong Sus Ulu, Paja, Alue Sialang Ulu,

Ujung Gampang, Tangga Pantan Laut, Dalam, Gunung Ketek, dan Kuta Baru

(Poesponegoro, 2010: 143). Di Aceh Besar kesatuan beberapa gampong disebut

mukim dikepalai oleh Imeum Mukim yang biasanya seorang ulama. Dalam

kesatuan gampong ini jika jumlah laki-lakinya 40 orang atau lebih maka

diwajibkan untuk Shalat Jumat di masjid. Sedangkan bagi gampong yang letaknya

berdekatan dengan istana, penduduknya diwajibkan membersihkan istana sultan.

Daerah inti atau Aceh Besar dibagi dalam tiga wilayah sagoe (sagi) dan

wilayah pusat kerajaan. Sagoe merupakan kesatuan mukim. Tiga sagi yang

terdapat di Aceh Besar yakni Sagi XXV Mukim meliputi daerah bagian barat,

Sagi XXII Mukim meliputi bagian tengah sebelah selatan, dan Sagi XXVI

Mukim meliputi daerah bagian timur. Nama sagi ini didasarkan atas jumlah

mukim yang disatukan, misalnya Sagi XXV Mukim berarti dalam sagi tersebut

terdapat 25 mukim. Kata sagi sendiri berarti sudut sebab di daerah Aceh Besar

jika digambar maka akan membentuk sebuah segitiga dengan pantai sebagai

dasarnya. Bentuk kesatuan wilayah sagi ini baru muncul pada abad ke-17 tepatnya

di masa Sultan Tajul Alam. Tajul Alam menggabungkan 22 mukim yang terleta di

sekitar hulu sungai dalam satu kesatuan. Tindakan ini kemudian ditiru oleh

mukim-mukim lain disebelah barat dan timur sehingga terbentuk dua sagi lainnya.

Pembentukan kesatuan wilayah sagi ini bertujuan untuk melindungi kepentingan

masing-masing. Sagi merupakan sebuah wilayah otonom yang dikepalai oleh

seorang Panglima Sagi atau disebut juga Hulubalang Besar. Tiap sagi dibagi

7
dalam kesatuan wilayah setingkat distrik atau dalam Bahasa Aceh di kenal dengan

istilah naggroe (negeri) yang meliputi beberapa mukim. Sebagai contoh, di

wilayah Sagi XXV terdapat distrik IV Mukim, distrik VI Mukim, dan distrik IX

Mukim (Poesponengoro, 2010: 144). Tiap naggroe dikepalai oleh seorang

uleebalang (hulubalang).

Istana sultan terletak di Kuta Raja (Koeta Radja). Di ibukota kerajaan ini

mengalir sebuah sungai yang bernama Kreung Aceh (Kali Aceh), sungai ini

menghubungkan ibukota dengan pelabuhan yang terletak di muara sejauh lebih

kurang tiga km (Ibrahim, 1991). Hingga abad ke XIX Kreung Aceh merupakan

jalan utama menuju kota. Sungai ini hanya bisa dilayari oleh kapal-kapal kecil.

Terdapat perahu-perahu rata yang menghubungkan kedua tepi sungai. Jembatan

tidak dibangun sebab alur airnya yang tidak tetap menyulitkan untuk membangun

jembatan. Yang menarik dari sungai ini yakni mempunyai khasiat

menyembuhkan. Ada banyak kesaksian tentang khasiatnya seperti yang di

ungkapkan Dampier berkat adanya gunung berapi di dekatnya. Fr. Martin dalam

Lombard (1986:57) berkata bahwa berbeda dengan air lainnya yang dilaut tidak

dapat disimpan lebih dari 12 hari tanpa menjadi keruh, air sungai tadi bisa

disimpan sampai lima bulan tanpa ada sedikitpun tanda bahwa air itu rusak. Hal

ini senada juga terdapat Hikayat Aceh disebutkan bahwa para pendatang dari

negeri lain seperti Negeri Arab, Persi, Rum, Mughul, dan seluruh Nusantara

membanggakan khsaiat air itu.

8
Kuta Raja menurut peta Belanda tahun 1898

Berdasarkan peta menurut Belanda diatas kita bisa melihat ada banyak

daerah rawa di Kuta Raja. Didaerah rawa ini tumbuh pohon nipah yang lebat

dimana daunnya dapat digunakan penduduk sebagai atap rumah. Daerah rawa ini

seperti yang diungkapkan Beaulieu menjadi benteng alamiah sebab sulit untuk

dilewati. Oleh sebab itu istana sultan bagian barat laut tidak mempunyai tembok

benteng membuat para penjelajah Eropa tercengang. Hikayat Aceh menyebut

bahwa tembok benteng tidak perlu sebab gajah-gajah tempurnyalah yang

merupakan benteng kota. Namun pada akhir abad ke-XVIII Marsden menyebut

Aceh sebagai kota berbenteng. Sedangkan di sisi timur laut terdapat benteng-

benteng kecil yang tersembunyi. Beaulieu menyebut jika tidak memperhatikan

secara teliti atau tidak diberitahu, maka orang tiak akan menyadari bahwa di situ

ada benteng karena sama sekali tertutup semak. Berkat hal-hal tersebut membuat

kehidupan kota berjalan damai. Kesan John Davis (atau Dawis, orang Inggris

pertama yang mendarat di Aceh tahun 1599) dalam Lombard (1986: 59) yakni

9
Kota Achin, kalau bisa dinamakan kota, bukan main luasnya dan dibangun di

hutan sedemikian rupa hingga tak nampak rumah satu pun sebelum kita berada di

mukanya. Dan kemana pun kami melangkah, ada rumah dan kerumunan

penduduk sehingga saya kira kota itu meluas menutupi negeri.

B. Pengaruh Kondisi Alam Geografis terhadap Perkembangan Kesultanan

Aceh Darussalam

Sebagai suatu kerajaan yang berpusat di sekitar wilayah perairan dan

pantai maka sudah pasti Kesultanan Aceh Darussalam berkembang dalam bidang

maritim. Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan Kesultanan Aceh. Jika kita

lihat letaknya berdasarkan peta (yang terdapat di halaman sebelumnya) maka akan

terlihat bahwa Kesultanan Aceh berposisi sangat strategis dalam jalur

perdagangan dunia pada masa itu. Posisi strategis ini disebabkan di sebelah timur

Kesultanan Aceh terdapat Selat Malaka. Selat Malaka merupakan selat yang

memisahkan Pulau Sumatra dengan Semenanjung Malaya, serta menghubungkan

Samudra Hindia di bagian barat dengan Samudra Pasifik di bagian timur. Tidak

perlu diperdebatkan lagi bahwa pada masa itu (bahkan juga hingga sekarang)

Selat Malaka merupakan salah satu jalur perdagangan yang sangat ramai. Pelaut

atau padagang Arab yang menuju Tiongkok dari negerinya, tentu melintasi Selat

Malaka dan olah karena itu tidak mustahil lagi mereka mampir disalah satu pantai

di Sumatra Utara, baik untuk menunggu musim maupun untuk menambah

perbekalan, bahkan juga malakukan barter perdagangan (Said,1981: 53).

Keberadaan selat ini memberikan suatu kelebihan bagi Kesultanan Aceh untuk

mengembangkan kegiatan perdagangan sebagai basis utama perekonomian.

10
Awalnya pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi pedagang di sekitar

Selat Malaka adalah Pelabuhan Malaka. Namun semenjak Malaka jatuh ke tangan

Portugis tahun 1511 terjadi perubahan penting. Wilayah perairan Selat Malaka

menjadi rebutan tiga negara besar yakni Aceh, Johor, dan Portugis di Malaka.

Pada akhir abad XVI masih tetap belum jelas pihak manakah yang berhasil

menjadi pemenang dalam pertikaian ini (Ricklefs, 1991: 50). Dalam

perkembangannya masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) Johor dapat diduduki

tahun 1623 sedangkan Portugis sendiri jatuh ke tangan VOC tahun 1641. Namun

persaingan untuk menjadi pengganti Malaka sebagai satu-satunya tempat

penyaluran barang-barang di Nusantara bagian barat tidak dimenangkan oleh satu

pihak pun. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa perdagangan Aceh sangat

berkembang pesat berkat hegemoninya di sekitar Selat Malaka. Hampir semua

wilayah yang terletak di sekitar Selat Malaka (kecuali Malaka sendiri) dikuasai

oleh Aceh dibawah kepemimpinan Iskandar Muda. Masa Sultan ini semua bidang

mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan ini seperti yang disebutkan oleh

Ricklefs (1991: 47) bahwa pada awal abad XVII untuk beberapa waktu lamanya

11
Aceh muncul sebagai negara paling kuat, makmur, dan beradab di kawasan sekitar

Selat Malaka. Jika pengganti Malaka tidak ada satu pihak pun, maka Aceh dapat

dikatakan merupakan pihak yang paling mendekati pencapaian Malaka.

Pelabuhan-pelabuhan Aceh menjadi ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai

negeri. Pedagang dari negeri Islam merupakan pengunjung yang paling banyak di

Aceh dibanding dengan pedagang dari bangsa lainnya.

Peta perdagangan Aceh paruh pertama abad XVII

Berdasarkan peta diatas dapat dilihat bahwa letak Aceh yang strategis

membuatnya ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negeri.

Berdasarkan peta diatas itu pula dapat kita lihat begitu banyak barang-barang yang

diperdagangkan Aceh. Tercatat dalam peta terdapat barang dagang seperti beras,

anggur, hasil olahan ikan, logam, belerang, minyak tanah, intan, lada, rempah-

rempah, tenunan, bahan perangsang (teh, kopi, madat), dan keramik. Lada

merupakan komoditi utama Aceh yang paling banyak mendatangkan keuntungan.

Mengingat pada masa itu lada adalah komoditi paling banyak digemari, maka

Sultan Aceh pun melakukan monopoli atas lada. Pada masa Sultan Iskandar Muda

12
saingan utamanya adalah Kedah. Maka untuk menjaga monopolinya Sultan Aceh

merusak perkebunan-perkebunan lada di Kedah sehingga Aceh menjadi satu-

satunya penjual lada serta bisa menentukan harga sesuka hati. Anthony Reid

menyebut bahwa pada tahun 1820-an Aceh mampu menghasilkan 150000 pikul

lada, atau separoh dari produksi total dunia (Reid, 2005:7). Hal ini tentu sangat

luar biasa. Keberadaan barang-barang dagang yang disebutkan diatas memberikan

gambaran bahwa Aceh juga berkembang dalam bidang pertanian.

Politik penaklukan Aceh juga ditentukan oleh keadaan geografis. Daerah

yang dikuasai atau ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh pada umumnya adalah kota-

kota pelabuhan dan yang menghasilkan barang-barang yang penting bagi

perdagangan (Poesponegoro, 2010: 141). Misalnya daerah-daerah di tepi Selat

Malaka merupakan daerah pelabuhan, Pasaman dan Tiku yang terkenal akan hasil

ladanya, atau daerah Barus dan Singkil yang menghasilkan kapur barus. Ini

menunjukkan bahwa Sultan Aceh terlebih dahulu meninjau topografi dan kondisi

wilayah yang ingin ditaklukkan. Gagasan ini terbukti ampuh dalam menunjang

perkembangan perekonomian Kesultanan Aceh.

Ada hal menarik dengan letak Aceh di wilayah tropis. Selain tentunya

tanaman-tanaman yang menguntungkan, di wilayah tropis juga terdapat hewan-

hewan yang bisa dimanfaatkan Kesultanan Aceh untuk berbagai keperluan.

Melalui pohon-pohon besar yang terdapat di hutan Aceh bisa membuat kapal-

kapal yang membuat para penjelajah Eropa terkagum. Davis kagum akan ukuran

kapal Aceh (sering juga disebut galias) yang besar dan tanpa geladak, sedangkan

Beaulieu menyebut untuk pertama kalinya ia melihat ukuran galias sebesar yang

terdapat di Aceh. Ini menunjukkan bahwa penduduk Aceh masa itu telah memiliki

13
teknik pembuatan kapal yang tinggi. Bahkan satu dari kapal terbesar Aceh yang

berhasil direbut Portugis dalam peperangan, ketika dikirim ke Spanyol membuat

orang-orang terkagum sehingga diberi nama Espanto del Mundo (Momok Dunia).

Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hutan Aceh menyediakan

pohon-pohon yang besar yang bisa dijadikan sebagai sumber pembuatan kapal.

14
Selain pohon-pohon, wilayah tropis juga menyedia hewan-hewan serba

guna. Dalam hal ini Kesultanan Aceh menggunakan gajah sebagai sebuah

kekuatan militer. Sebelumnya telah disebutkan bahwa gajah tempur dianggap

sebagai benteng kota Aceh. Hal yang sama juga diungkapkan Davis bahwa

kekuatan kota itu bertumpu pada gajah-gajah tempurnya. Gajah-gajah tersebut

dilatih untuk bertempur. Menurut yang dihitung Beaulieu ketika datang ke Aceh

jumlah gajah ada 900 ekor. Terlepas dari kapal dan gajah, kekuatan Kesultanan

Aceh tetap diperhitungkan sebab letaknya yang strategis. Sebagaimana yang

disebut Diogo do Couto dalam Lombard (1986: 110) namun ketakutan kami

kepada Aceh tidaklah disebabkan karena kekuasaan kota itu berdasarkan armada-

armadanya yang besar dan ampuh, tetapi karena letaknya pada lintasan semua

perjalanan dari India ke Selatan.

Pen
ggambara n
kekuatan
militer
gajah

Kesultanan Aceh

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan yakni:

1. Kesultanan Aceh Darussalam berada di ujung Pulau Sumatra bagian Utara.

Secara garis besar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dibagi dalam tiga

wilayah yakni daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk. Di daerah inti

merupakan pusat Kerajaan (Kutaraja) dan dibagi dalam sagoe dab mukim.
2. Letaknya yang berada di wilayah perairan memdorong Kesultanan Aceh

berkembang dalam bidang maritim. Keberadaan Selat Malaka merupakan

faktor yang sangat mendukung pesatnya perdagangan Kesultanan Aceh. Lada

merupakan komoditi utama. Keberadaan tanaman-tanaman dan hewan-hewan

di sekitar wilayah Caeh digunakan sebagai penyokong kehidupan kerajaan.

B. Saran

Saya selaku penyusun makalah ini mengajak para pembaca yang budiman

agar memberikan rekomendasi berupa saran dan kritik yang membangun, baik itu

dari segi penulisan, isi, pembahasan yang kurang tepat maupun hal-hal lainnya

dalam makalah ini yang tidak sesuai dengan kaidah yang seharusnya. Saran dan

kritik dari pembaca yang budiman akan sangat bermanfaat bagi penyempurnaan

makalah ini selanjutnya.

DAFTAR RUJUKAN

16
Ibrahim, M., dkk. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Lombard, D. 1967. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Terjemahan Winarsih Arifin. 1986. Jakarta: Balai Pustaka

Pires, T. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco

Rodrigues. Terjemahan Perkasa & Pramesti. 2014. Yogyakarta: Penerbit

Ombak.

Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2010. Sejarah Nasional Indonesia (Jilid

IV). Jakarta: Balai Pustaka.

Reid, A. 1969. Asal Mula Konflik Aceh Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera

hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Terjemahan Masri Maris. 2005.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ricklefs, M.C. 1981. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono

Hardjowidjoyo. 1991. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rusdi, S. & Wibowo, A.B. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh:

Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Said, H.M. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid I). Medan: Percetakan dan

Penerbitan Waspada Medan.

17

Anda mungkin juga menyukai