DAFTAR ISI...........................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN..2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A. Kesimpulan................................................................................................15
B. Saran...........................................................................................................15
DAFTAR RUJUKAN...........................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan salah satu kerajaan Islam
terbesar yang pernah berdiri di Indonesia. Kesultanan ini berkembang begitu pesat
dan menorehkan tinta emas dalam sejarah Indonesia. Kejayaan Kesultanan Aceh
ini tentu didukung oleh keadaan situasi kondisi serta lingkungan alam yang
bahwa kondisi lingkungan geografis baik secara langsung maupun tidak langsung
Aceh tidak akan mampu berkembang sebegitu pesatnya. Hal yang paling utama
strategis. Letaknya ini juga memberikan corak khas tersendiri dalam kehidupan
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana letak dan pembagian wilayah Kesultanan Aceh Darussalam?
2. Bagaimana pengaruh kondisi alam geografis terhadap perkembangan
Darussalam.
2. Untuk mengetahui pengaruh geografis alam terhadap perkembangan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Letak dan Pembagian Wilayah Kesultanan Aceh Darussalam
3
Berdasarkan peta diatas dapat diketahui bahwa pusat Kesultanan Aceh
Tome Pires (2014: 199) mengatakan bahwa Aceh (Achin) adalah negeri pertama
hingga ke pedalaman. Berdasarkan apa yang dikatakan Tome Pires tersebut dapat
dibuktikan bahwa Aceh tidak dibangun pada tempat Lambri dulu. Rusdi dan
Wibowo (2006) mengemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang
sekarang bernama Naggroe Aceh Darussalam (NAD). Tetapi pada masa Aceh
masih sebagai sebuah kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang
sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar (Aceh Rayeuk). Sebagian lain
menyebut nama ini dengan istilah Aceh Lhee Sago (Aceh Tiga Sagi/Segitiga)
karena bentuknya yang memang mirip segitiga dengan dasar di pantai laut. Selain
itu ada juga yang menggunakan Aceh Inti atau Aceh yang sebenarnya karena
daerah itulah yang pada awalnya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan
juga letak ibukotanya. Nama Aceh sering pula digunakan orang-orang untuk
Tentang nama Aceh sendiri masih belum bisa dipastikan dari mana asal dan kapan
mulai digunakan.
Secara garis besar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dibagi dalam tiga
wilayah yakni daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk. Daerah inti
merupakan wilayah yang telah dikuasai oleh Aceh sejak awal berdirinya yang
disebut Aceh Rayeuk. Di wilayah Aceh Rayeuk ini terdapat Sungai Aceh (Kreung
4
Aceh) dimana sungai ini mengubungkan ibukota dengan pelabuhan. Daerah pokok
Samudra, Pase, Perlak, Gayo, Alas, Barat, Singkel, Teuremon, dan Barus
menyatakan diri takluk kepada Sultan Aceh atau yang dianggap Aceh sebagai
daerah takluknya. Daerah takluk ini tersebar di sebelah barat dan timur Pulau
Sumatra serta di Semenanjung Malaya. Daerah takluk tersebut meliputi Aru, Deli,
Jambi, Johor, Kedah, Patani, Pahang, Perak, Pasaman, Tiku, Pariaman, Padang,
Indrapura, dan Nias. Jika dilihat berdasarkan peta yang digambarkan oleh
Augustin de Beaulieu (pelaut dan pedagang asal Prancis yang datang ke Aceh
tahun 1620) dibawah, dapat dilihat bahwa pembagian wilayah Aceh menjadi tiga
wilayah tergambar dengan jelas. Jika peta ini memang benar adanya, maka
Wilayah Kesultanan Aceh menurut Beaulieu (insert Sumatra Utara menurut Tome Pires 1515)
5
seluruh Pulau Sumatra dikuasai oleh Kesultanan Aceh. Hal ini menunjukkan
ujung Aceh terdapat pulau-pulau yang ditulis Beaulieu Poulo Gomes, Tome Pires
Selain daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk, terdapat juga nama
ada meunasah yang digunakan sebagai tempat beribadah, pertemuan, juga sebagai
tempat belajar ilmu keagamaan. Sebuah gampong dikepalai oleh seorang yang
datu. Misalnya Datu Basa yang memerintah daerah di tepi kanan Sungai Samadua
meliputi beberapa gampong yakni Jeuret, Ladang, Ladang Kaseh Putih, Pan, dan
6
Balai. Adapun yang memerintah daerah di tepi kiri Sungai Samadua adalah Datu
dalam kekuasaannya, adalah gampong-gampong Sus Ulu, Paja, Alue Sialang Ulu,
Ujung Gampang, Tangga Pantan Laut, Dalam, Gunung Ketek, dan Kuta Baru
mukim dikepalai oleh Imeum Mukim yang biasanya seorang ulama. Dalam
kesatuan gampong ini jika jumlah laki-lakinya 40 orang atau lebih maka
diwajibkan untuk Shalat Jumat di masjid. Sedangkan bagi gampong yang letaknya
Daerah inti atau Aceh Besar dibagi dalam tiga wilayah sagoe (sagi) dan
wilayah pusat kerajaan. Sagoe merupakan kesatuan mukim. Tiga sagi yang
terdapat di Aceh Besar yakni Sagi XXV Mukim meliputi daerah bagian barat,
Sagi XXII Mukim meliputi bagian tengah sebelah selatan, dan Sagi XXVI
Mukim meliputi daerah bagian timur. Nama sagi ini didasarkan atas jumlah
mukim yang disatukan, misalnya Sagi XXV Mukim berarti dalam sagi tersebut
terdapat 25 mukim. Kata sagi sendiri berarti sudut sebab di daerah Aceh Besar
jika digambar maka akan membentuk sebuah segitiga dengan pantai sebagai
dasarnya. Bentuk kesatuan wilayah sagi ini baru muncul pada abad ke-17 tepatnya
di masa Sultan Tajul Alam. Tajul Alam menggabungkan 22 mukim yang terleta di
sekitar hulu sungai dalam satu kesatuan. Tindakan ini kemudian ditiru oleh
mukim-mukim lain disebelah barat dan timur sehingga terbentuk dua sagi lainnya.
seorang Panglima Sagi atau disebut juga Hulubalang Besar. Tiap sagi dibagi
7
dalam kesatuan wilayah setingkat distrik atau dalam Bahasa Aceh di kenal dengan
wilayah Sagi XXV terdapat distrik IV Mukim, distrik VI Mukim, dan distrik IX
uleebalang (hulubalang).
Istana sultan terletak di Kuta Raja (Koeta Radja). Di ibukota kerajaan ini
mengalir sebuah sungai yang bernama Kreung Aceh (Kali Aceh), sungai ini
kurang tiga km (Ibrahim, 1991). Hingga abad ke XIX Kreung Aceh merupakan
jalan utama menuju kota. Sungai ini hanya bisa dilayari oleh kapal-kapal kecil.
tidak dibangun sebab alur airnya yang tidak tetap menyulitkan untuk membangun
ungkapkan Dampier berkat adanya gunung berapi di dekatnya. Fr. Martin dalam
Lombard (1986:57) berkata bahwa berbeda dengan air lainnya yang dilaut tidak
dapat disimpan lebih dari 12 hari tanpa menjadi keruh, air sungai tadi bisa
disimpan sampai lima bulan tanpa ada sedikitpun tanda bahwa air itu rusak. Hal
ini senada juga terdapat Hikayat Aceh disebutkan bahwa para pendatang dari
negeri lain seperti Negeri Arab, Persi, Rum, Mughul, dan seluruh Nusantara
8
Kuta Raja menurut peta Belanda tahun 1898
Berdasarkan peta menurut Belanda diatas kita bisa melihat ada banyak
daerah rawa di Kuta Raja. Didaerah rawa ini tumbuh pohon nipah yang lebat
dimana daunnya dapat digunakan penduduk sebagai atap rumah. Daerah rawa ini
seperti yang diungkapkan Beaulieu menjadi benteng alamiah sebab sulit untuk
dilewati. Oleh sebab itu istana sultan bagian barat laut tidak mempunyai tembok
merupakan benteng kota. Namun pada akhir abad ke-XVIII Marsden menyebut
Aceh sebagai kota berbenteng. Sedangkan di sisi timur laut terdapat benteng-
secara teliti atau tidak diberitahu, maka orang tiak akan menyadari bahwa di situ
ada benteng karena sama sekali tertutup semak. Berkat hal-hal tersebut membuat
kehidupan kota berjalan damai. Kesan John Davis (atau Dawis, orang Inggris
pertama yang mendarat di Aceh tahun 1599) dalam Lombard (1986: 59) yakni
9
Kota Achin, kalau bisa dinamakan kota, bukan main luasnya dan dibangun di
hutan sedemikian rupa hingga tak nampak rumah satu pun sebelum kita berada di
mukanya. Dan kemana pun kami melangkah, ada rumah dan kerumunan
Aceh Darussalam
pantai maka sudah pasti Kesultanan Aceh Darussalam berkembang dalam bidang
maritim. Hal ini terlihat jelas dalam perkembangan Kesultanan Aceh. Jika kita
lihat letaknya berdasarkan peta (yang terdapat di halaman sebelumnya) maka akan
perdagangan dunia pada masa itu. Posisi strategis ini disebabkan di sebelah timur
Kesultanan Aceh terdapat Selat Malaka. Selat Malaka merupakan selat yang
Samudra Hindia di bagian barat dengan Samudra Pasifik di bagian timur. Tidak
perlu diperdebatkan lagi bahwa pada masa itu (bahkan juga hingga sekarang)
Selat Malaka merupakan salah satu jalur perdagangan yang sangat ramai. Pelaut
atau padagang Arab yang menuju Tiongkok dari negerinya, tentu melintasi Selat
Malaka dan olah karena itu tidak mustahil lagi mereka mampir disalah satu pantai
Keberadaan selat ini memberikan suatu kelebihan bagi Kesultanan Aceh untuk
10
Awalnya pelabuhan yang sangat ramai dikunjungi pedagang di sekitar
Selat Malaka adalah Pelabuhan Malaka. Namun semenjak Malaka jatuh ke tangan
Portugis tahun 1511 terjadi perubahan penting. Wilayah perairan Selat Malaka
menjadi rebutan tiga negara besar yakni Aceh, Johor, dan Portugis di Malaka.
Pada akhir abad XVI masih tetap belum jelas pihak manakah yang berhasil
tahun 1623 sedangkan Portugis sendiri jatuh ke tangan VOC tahun 1641. Namun
pihak pun. Hanya saja perlu digaris bawahi bahwa perdagangan Aceh sangat
wilayah yang terletak di sekitar Selat Malaka (kecuali Malaka sendiri) dikuasai
oleh Aceh dibawah kepemimpinan Iskandar Muda. Masa Sultan ini semua bidang
mengalami kemajuan yang pesat. Kemajuan ini seperti yang disebutkan oleh
Ricklefs (1991: 47) bahwa pada awal abad XVII untuk beberapa waktu lamanya
11
Aceh muncul sebagai negara paling kuat, makmur, dan beradab di kawasan sekitar
Selat Malaka. Jika pengganti Malaka tidak ada satu pihak pun, maka Aceh dapat
negeri. Pedagang dari negeri Islam merupakan pengunjung yang paling banyak di
Berdasarkan peta diatas dapat dilihat bahwa letak Aceh yang strategis
Berdasarkan peta diatas itu pula dapat kita lihat begitu banyak barang-barang yang
diperdagangkan Aceh. Tercatat dalam peta terdapat barang dagang seperti beras,
anggur, hasil olahan ikan, logam, belerang, minyak tanah, intan, lada, rempah-
rempah, tenunan, bahan perangsang (teh, kopi, madat), dan keramik. Lada
Mengingat pada masa itu lada adalah komoditi paling banyak digemari, maka
Sultan Aceh pun melakukan monopoli atas lada. Pada masa Sultan Iskandar Muda
12
saingan utamanya adalah Kedah. Maka untuk menjaga monopolinya Sultan Aceh
satunya penjual lada serta bisa menentukan harga sesuka hati. Anthony Reid
menyebut bahwa pada tahun 1820-an Aceh mampu menghasilkan 150000 pikul
lada, atau separoh dari produksi total dunia (Reid, 2005:7). Hal ini tentu sangat
yang dikuasai atau ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh pada umumnya adalah kota-
Malaka merupakan daerah pelabuhan, Pasaman dan Tiku yang terkenal akan hasil
ladanya, atau daerah Barus dan Singkil yang menghasilkan kapur barus. Ini
menunjukkan bahwa Sultan Aceh terlebih dahulu meninjau topografi dan kondisi
wilayah yang ingin ditaklukkan. Gagasan ini terbukti ampuh dalam menunjang
Ada hal menarik dengan letak Aceh di wilayah tropis. Selain tentunya
Melalui pohon-pohon besar yang terdapat di hutan Aceh bisa membuat kapal-
kapal yang membuat para penjelajah Eropa terkagum. Davis kagum akan ukuran
kapal Aceh (sering juga disebut galias) yang besar dan tanpa geladak, sedangkan
Beaulieu menyebut untuk pertama kalinya ia melihat ukuran galias sebesar yang
terdapat di Aceh. Ini menunjukkan bahwa penduduk Aceh masa itu telah memiliki
13
teknik pembuatan kapal yang tinggi. Bahkan satu dari kapal terbesar Aceh yang
orang-orang terkagum sehingga diberi nama Espanto del Mundo (Momok Dunia).
Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa hutan Aceh menyediakan
pohon-pohon yang besar yang bisa dijadikan sebagai sumber pembuatan kapal.
14
Selain pohon-pohon, wilayah tropis juga menyedia hewan-hewan serba
guna. Dalam hal ini Kesultanan Aceh menggunakan gajah sebagai sebuah
sebagai benteng kota Aceh. Hal yang sama juga diungkapkan Davis bahwa
dilatih untuk bertempur. Menurut yang dihitung Beaulieu ketika datang ke Aceh
jumlah gajah ada 900 ekor. Terlepas dari kapal dan gajah, kekuatan Kesultanan
disebut Diogo do Couto dalam Lombard (1986: 110) namun ketakutan kami
kepada Aceh tidaklah disebabkan karena kekuasaan kota itu berdasarkan armada-
armadanya yang besar dan ampuh, tetapi karena letaknya pada lintasan semua
Pen
ggambara n
kekuatan
militer
gajah
Kesultanan Aceh
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara garis besar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam dibagi dalam tiga
wilayah yakni daerah inti, daerah pokok, dan daerah takluk. Di daerah inti
merupakan pusat Kerajaan (Kutaraja) dan dibagi dalam sagoe dab mukim.
2. Letaknya yang berada di wilayah perairan memdorong Kesultanan Aceh
B. Saran
Saya selaku penyusun makalah ini mengajak para pembaca yang budiman
agar memberikan rekomendasi berupa saran dan kritik yang membangun, baik itu
dari segi penulisan, isi, pembahasan yang kurang tepat maupun hal-hal lainnya
dalam makalah ini yang tidak sesuai dengan kaidah yang seharusnya. Saran dan
kritik dari pembaca yang budiman akan sangat bermanfaat bagi penyempurnaan
DAFTAR RUJUKAN
16
Ibrahim, M., dkk. 1991. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta:
Pires, T. Suma Oriental: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku Francisco
Ombak.
Reid, A. 1969. Asal Mula Konflik Aceh Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera
hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Terjemahan Masri Maris. 2005.
Rusdi, S. & Wibowo, A.B. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh:
Said, H.M. 1981. Aceh Sepanjang Abad (Jilid I). Medan: Percetakan dan
17