Anda di halaman 1dari 4

Aceh Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia Sebelum pemekaran, Aceh

Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km² atau 1.010.466 Ha dan merupakan bagian wilayah pantai
Barat dan Selatan pulau Sumatra yang membentang dari barat ke Timur mulai dari kaki gunung
Geurutee (perbatasan dengan Aceh Besar) sampai ke sisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan)
dengan panjang garis pantai sejauh 250 km².

Setelah dimekarkan luas wilayah menjadi 2.927,95 km² dan pada akhir tahun 2019 memiliki penduduk
sebanyak 210.113 jiwa.

HISTORY:

Wilayah bagian barat Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun pada abad ke-16 atas
prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588-1604), kemudian dilanjutkan
oleh Sultan Iskandar Muda (Sultan Aceh yang hidup tahun 1607-1636) dengan mendatangkan orang-
orang Aceh Rayeuk dan Pidie.

Daerah ramai pertama adalah di teluk Meulaboh (Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang
bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya (Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke-
15 telah berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin Riayat Syah dengan gelar
Poteu Meureuhom Daya.

Dari perkembangan selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad ke-17 telah berkembang menjadi
beberapa kerajaan kecil yang dipimpin oleh Uleebalang, yaitu: Kluang; Lamno; Kuala Lambeusoe; Kuala
Daya; Kuala Unga; Babah Awe; Krueng No; Cara' Mon; Lhok Kruet; Babah Nipah; Lageun; Lhok
Geulumpang; Rameue; Lhok Rigaih; Krueng Sabee; Teunom; Panga; Woyla; Bubon; Lhok Bubon;
Meulaboh; Seunagan; Tripa; Seuneu'am; Tungkop; Beutong; Pameue; Teupah (Tapah); Simeulue; Salang;
Leukon; Sigulai.

SISILAH RAJA MEULABOH:

Raja-raja yang pernah bertahta di kehulu-balangan Kaway XVI hanya dapat dilacak dari T. Tjik Pho
Rahman, yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama T. Tjik Masaid, yang kemudian diganti
oleh anaknya lagi yang bernama T. Tjik Ali dan digantikan anaknya oleh T. Tjik Abah (sementara) dan
kemudian diganti oleh T. Tjik Manso yang memiliki tiga orang anak yang tertua menjadi Raja Meulaboh
bernama T. Tjik Raja Nagor yang pada tahun 1913 meninggal dunia karena diracun, dan kemudian
digantikan oleh adiknya yang bernama Teuku Tjik Ali Akbar, sementara anak T. Tjik Raja Nagor yang
bernama Teuku Raja Neh, masih kecil.

Saat Teuku Raja Neh (ayah dari H.T. Rosman. mantan Bupati Aceh Barat) anak dari Teuku Tjik Raja Nagor
besar ia menuntut agar kerajaan dikembalikan kepadanya, namun T. Tjik Ali Akbar yang dekat dengan
Belanda malah mengfitnah Teuku Raja Neh sakit gila, sehingga menyebabkan T. Raja Neh dibuang ke
Sabang.

Pada tahun 1942 saat Jepang masuk ke Meulaboh, T. Tjik Ali Akbar dibunuh oleh Jepang bersama
dengan Teuku Ben dan pada tahun 1978, mayatnya baru ditemukan di bekas Tangsi Belanda atau
sekarang di Asrama tentara Desa Suak Indrapuri, kemudian Meulaboh diperintah para Wedana dan para
Bupati dan kemudian pecah menjadi Aceh Selatan, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Jaya. (teuku dadek)

Dimasa penjajahan Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui bahwa masing-masing
Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh
Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh
dan Daerah Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya Gouvernement Sumatra, Aceh dijadikan
Keresidenan yang dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling (provinsi) dan afdeeling dibagi
lagi atas beberapa onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi menjadi beberapa landschap
(kecamatan).

GEOGRAFIS:

Sebelum pemekaran, Kabupaten Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km² atau
1.010.466 hektare dan secara astronomi terletak pada 2°00'-5°16' Lintang Utara dan 95°10' Bujur
Timur dan merupakan bagian wilayah pantai barat dan selatan kepulauan Sumatra yang
membentang dari barat ke timur mulai dari kaki Gunung Geurutee (perbatasan dengan Kabupaten
Aceh Besar) sampai kesisi Krueng Seumayam (perbatasan Aceh Selatan) dengan panjang garis
pantai sejauh 250 Km.

Masjid Agung Baitul Makmur adalah masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai
barat Kota Meulaboh, Provinsi Aceh, Indonesia. Masjid yang terletak di Desa Seuneubok,
Kecamatan Johan Pahlawan, Kota Meulaboh ini memiliki arsitektur antara perpaduan Timur
Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan
warna merah bata di kubah masjid. Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah
tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua
kubah sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia

Bangunan Masjid Agung Baitul Makmur Meulaboh tampak sangat menonjol dengan gaya
arsitektur perpaduan Timur Tengah, Asia, dan Aceh serta pemilihan warna cokelat cerah yang
dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid.

Ciri khas masjid yang dapat dilihat secara kasatmata adalah tiga kubah utama yang diapit dua
kubah menara air berukuran lebih kecil. Bentuk kepala semua kubah sama, yakni bulat
berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia. Masjid ini akan dilengkapi dua
menara baru yang hingga tulisan ini diturunkan masih dalam tahap penyelesaian. Menara
tersebut akan membuat masjid terlihat semakin megah dan dapat berfungsi sebagai
landmark Kota Meulaboh wilayah setempat.
Masyarakat pesisir Aceh merupakan masyarakat yang hidup di dalam kawasan Provinsi Aceh.
Mereka mendiami daerah pantai sebagai salah satu tempat tinggal yang diyakini cocok untuk
mereka bersosialisasi. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan, kebutuhuan hidup
masyarakat didaerah ini diperoleh dari sumber daya alam di wilayah pesisir yang di dominasi
oleh usaha perikanan pada umumnya.Situasi ini terjadi karena masyarakat setempat memiliki
tingkat pendidikan yang masih rendah dan masih berada pada garis kemiskinan. Pada setiap
sosial –Cultur Masyarakat tentunya memiliki sistem nilai yang melekat pada budaya
masyarakat, terutama yang memiliki budaya Agama tertentu, seperti di Aceh yang menganut
Syariat Islam dengan mempertahankan nilai-nilai religius dalam tatanan Pancasila. Penelitian ini
dilakukan di Gampong Padang Seurahet Kabupaten Aceh Barat guna untuk mengetahui kajian
secara mendalam tentang bagaimana kearifan lokal dan identitas yang masih dipertahankan
oleh masyarakat pesisir Padang Seurahet yang bertempat tinggal di daerah tersebut, juga untuk
mengetahui mata pencaharian masyarakat pesisir Padang Seurahet setelah mereka tinggal di
wilayah relokasi dengan jarak yang jauh dengan laut dan untuk mengetahui secara keseluruhan
potret sosial kehidupan masyarakat Padang Seurahet secara alami. Penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan kualitatif dengan Pemilihan informan dilakukan menggunakan teknik
purposive sampling yang lebih menitikberatkan atas pertimbangan-pertimbangan tertentu agar
dapat tercapai data yang diharapkan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa karakteristik
masyarakat pesisir dan perdesaan khususnya masyarakat Padang Seurahet mampu berperan
aktif dalam mengelola alam dan potensinya seperti kualitas hidup, kualitas lingkungan
meskipun memiliki ragam profesi yang berbeda. Perlunya adanya kerja keras dari aparatur desa
gampong dalam bidang pendidikan untuk merubah pola fikir masyarakat setempat terutama
para generasi muda untuk lebih mengenal perkembangan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi. Peningkatan Keagamaan perlu ada pemikiran yang lebih maju dan Perlunya
peningkatan Model pembangunan ekonomi, lingkungan, serta penguatan kapasitas masyarakat
dan management dalam mengelola sumber daya alam sesuai dengan potensi dan pengalaman
yang dimilikinya menuju kehidupan yang lebih mandiri.

Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan salah satu kabupaten baru di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai hasil pemekaran wilayah yang sebelumnya termasuk dalam Kabupaten Aceh Selatan
memiliki luas sebesar 2.334,01 kilometer persegi dengan jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak
116.676 jiwa yang tersebar dalam 6 kecamatan dan 131 desa atau kelurahan dengan Pendapatan
Regional Domestik Bruto tahun sebesar 5,79 juta rupiah. Sebagai sumber mata pencaharian penduduk di
kabupaten ini mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan, kedua sektor inilah yang menjadi pilar
utama kabupaten ini untuk berpisah secara resmi dengan Kabupaten Aceh Selatan.
Kegiatan perdagangan sebagai sektor yang berpotensi di Aceh Barat Daya lebih dipusatkan di kota
Blangpidie yang kini juga merupakan sebagai ibukota kabupaten ini, kegiatan perdagangan di kota ini
cukup dinamis terutama dalam memasarkan hasil-hasil pertanian yang menjadi sektor andalan utama ke
daerah-daerah lain tetapi juga memasok barang-barang yang tidak dari luar daerah terutama dari Kota
Medan terhadap produk-produk yang tidak dihasilkan di kabupaten ini.

Dalam pada itu, upaya menggerakkan perekonomian di daerah ini terutama pada sektor pertanian tidak
hanya ditopang oleh sub-sektor pangan saja seperti padi, kacang jagung dan lain-lainnya, akan tetapi
sub-sektor perikanan, perkebunan dan 180 Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya dalam Lintasan Sejarah
perikanan juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDRB Kabupaten Aceh Barat Daya. Luas
perairan di Aceh Barat Daya menurut catatan BPS adalah seluas 10 ha sedangkan areal perkebunan dan
kebun campuran masing-masing 52.331 ha dan 6.432 ha. Melihat potensi ini pergerakan roda
perekonomian kabupaten Aceh Barat Daya akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Struktur
ekonomi Kabupaten Aceh Barat Daya secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 6.1 berikut berdasarkan
data yang diperoleh dari hasil kerjasama Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Selatan dan Badan
Pembangunan Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya tahun 2005.

Anda mungkin juga menyukai