Anda di halaman 1dari 3

Prasasti Padlegan I

(andrik1988) Berdasarkan VOJ 1891, menyebutkan bahwa prasasti yang bernama padlegan I
ditemukan atau berasal di Desa Pikatan, Distrik Srengat, Afdeling Blitar, Residentie Kediri.
Prasasti ini Kemudian dipindahkan ke Pendopo Kabupaten Blitar (sekarang jadi Museum
Penataran Kabupaten Blitar). Prasasti ini berbentuk stella, dengan puncak kurawal dengan
ukuran tinggi : 145 Cm, lebar atas 81 cm, lebar bawah : 70 cm, tebal : 18 cm. Meski sekarang
aksara jawa kunonya sudah banyak yang aus, prasasti ini telah terbaca oleh JLA Brandes dan
didokumentasikan lewat Oud Javansche Oorkonde dengan nomor prasasti no. LXVII. Prasasti
ini memiliki penanggalan angka tahun 1038 saka atau 11 Januari 1117 Masehi. Nama raja yang
disebut adalah Bameswara dengan bergelar lengkap r (mah)raja r bmewara
sakalabhuwaatuikraa (sa)rwwniwryyawryya parakrama digjayotunggadewa. Prasasti
ini sampai sekarang merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Raja Bameswara.
Dengan kata lain menjadi prasasti pertama kerajaan Panjalu/Kadiri setelah mengalami masa
gelap sejak Raja Samarawijaya (1042 M 1044 M) berkuasa di Daha setelah pembagian
kerajaan oleh Raja Airlangga.

Prasasti Padlegan I sisi depan

Prasasti Padlegan I sampai sekarang masih


tersimpan di Museum Penataran, Kabupaten
Blitar. Pada bagian atas (depan dan belakang)
prasasti terdapat ornamen lancana yang
disebut Candrakapala. Candrakapala lancana
digambarkan dengan kepala berupa tengkorak
yang terlihat dari tulang-tulang pipi dan dahi
yang menonjol, bermata bulat besar seperti
sedang melotot dan senyuman menyeringai
lebar dengan dua gigi besar di depan serta gigi
taring di kanan kirinya membuat sosok
tersebut tampak seram. Di dahinya terdapat
bulatan yang agak melengkung yang
dimungkingkan itu adalah itu adalah bulan
sabit dengan kedua ujungnya menghadap ke
bawah. Sekilas kepala dan bulan ini menyerupai candrakapala, yaitu perhiasan yang dipakai pada
rambut dewa siwa (Candrashekara). Pada sisi kanan kiri kepala itu dihiasi sulur-suluruan yang
melingkar (Witasari 2011 : 56-57).

Isi dari prasasti ini adalah memperingati penetapan suatu daerah menjadi sima sebagai anugerah
raja Bameswara kepada para pejabat Desa Padlegan, karena mereka telah menunjukan
kesetiaanya kepada raja dengan mengorbankan jiwanya di medan pertempuran (Boechari, 2012 :
16-17). Nopy Rahmawati dalam skripsinya (2002:38-39), menambahkan hak-hak istimewa yang
diberikan dalam prasasti ini antara lain rma para dwn i padlgan dapat memiliki dinding
rumah dengan tiang, dapat menindik, mejamah, menggunting dan memukul, serta menindik anak
yang diaku, dapat mengucapkan doa atau mantra, dapat mengadu celeng jantan dan dapat
memakan babi aduan

Prasasti Panumbangan I

(andrik-kun) Prasasti Panumbangan I berada di area situs Cagar Budaya Gapura Plumbangan, Di
Desa Plumbangan,Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar. Prasasti ini terbuat dari batu Andesit dan
berbentuk kurawal dan memiliki ukuran: Tinggi: 78 cm, Lebar atas : 120 cm, Lebar bawah : 90
cm, Tebal 26, pada bagian bawah terdapat ornament Padmasana dengan ukuran Tingi 35 cm
dan Panjang : 90 cm. Dinamakan prasasti Panumbangan I karena terdapat lagi Prasasti
Panumbangan II (Petung Ombo) yang kini berada di Pendopo Kabupaten Blitar.

Hasil pembacaan dalam OJO (LXIX :


159)angka tahun Prasasti ini adalah 1062
saka akan tetapi dikoreksi oleh Damais
(EEI IV) menjadi 1042 saka yakni masa
Raja Bameswara. Menurut Witasari
(2011 : 27), jika dibandingkan dengan
prasasti Raja Bameswara sebelumnya
yaitu prasasti Padlegan I (1038 Saka),
maka angka tahun tahun1062 saka terlalu
jauh untuk rentang waktu raja
mengeluarkan prasasti. Perlu diketahui
raja setelahnya yaitu Raja Jayabahaya
memerintah rentang waktu 1057 1066
saka. Jadi sangat dimungkinkan angka
tahun prasasti Panumbangan adalah 1042
saka, yang dimana raja Bameswara yang mempunyai candrakapalalancana ini masih
memerintah (1038 1056 Saka).

Prasasti Panumbangan adalah prasasti sima yang isinya adalah penetapan kembali desa
Panumbangan sebegai desa sima oleh Sri Bameswara yang pada prasast ini bergelar cr
maharaja rake sirikan cr paramecwara sakalabhuwanatustikarananiwaryyawryya
parakrama digjayottunggadewa. Penetapan tersebut berdasarkan keputusan raja yang pernah
diberikan kepada penduduk desa Panumbangan. Dalam prasasti ini disebutkan juga para rama
lima duwan i panumbangan i dalm thani mendapatkan hak-hak istimewanya. Rahmawati (2002 :
39-41) menambahkan beberapa hak-hak istimewa yang terdapat Prasasti Panumbangan I
diantaranya adalah dapat memiliki tempat tempat duduk kayu yang di Bubut, dapat memiliki
rumbai-rumbai dari suatu jenis kain halus/bananten ditepian altar rumah, dapat memiliki lesung
kuning, dapat memiliki balai-balai, dapat memiliki rumah berlantai, dengan balai-balai dan juga
dapat memperistri pelayan atau budak. Selain itu juga disebutkan bahwa para duwan i
panumbangan berhak memanggil men-men dan memberikan pertunjukan khusus untuknya.
Dalam SNI 2 (2010 : 362), men-men memiliki arti topeng, sedangkan menurut Edi Sedyawati,
(dalam Rahmawati 2002 : 84) men-men merupakan sejenis tontonan keliling. Kemungkinan yang
dimaksud dengan men-men adalah sejenis kesenian jalanan atau kesenian keliling yang
pemamakainya memakai topeng pada saat pertunjukan
Prasasti Palah

Di selatan candi utama masih berdiri tegak sebuah batu


prasasti. Menilik besarnya ukuran batu prasasti, para ahli
menduga sejak semula batu tersebut memang terletak di
tempat itu.

Prasasti yang ditulis menggunakan huruf Jawa Kuno


tersebut berangka tahun 1119 Saka (1197 M.), dibuat
atas perintah Raja Srengga dari Kerajaan Kediri. Tulisan
yang terdapat pada Prasasti Palah menerangkan bahwa
menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan
tidak terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana dari
kalimat tandhan krtajayayhya / ri bhuktiniran tan
pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhra
nika. Rasa senangnya tersebut kemudian dia curahkan
dengan perintah dibangunnya bangunan yang tertulis
dalam sebuah linggapala oleh Mpu Amogewara atau
disebut pula Mpu Talaluh. Bangunan tersebut dia
fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang
tertuang dalam prasasti tersebut yang berbunyi
sdangnira ri Maharaja sanityangkn pratidina i sira paduka bhatara palah yang berarti
Ketika dia Sri Maharaja senantiasa setiap hari berada di tempat Bathara Palah.[1]

Isi Prasasti Palah juga menyebutkan tentang peresmian sebuah tanah perdikan untuk kepentingan
Sira Paduka Batara Palah, mendasari dugaan bahwa yang dimaksud dengan Palah tidak lain
adalah Candi Penataran. Andaikata benar bahwa Palah adalah Candi Panataran, maka usia Candi
Panataran sekurangnya telah mencapai 250 tahun dan pembangunan candi ini mengalami
perjalanan panjang, yaitu dari tahun 1197, zaman Kerajaan Kediri, sampai pada tahun 1454,
zaman Kerajaan Majapahit. Hampir semua bangunan yang dapat masih dapat disaksikan
sekarang berasal dari masa pemerintahan raja-raja Majapahit. Barangkali bangunan-bangunan
yang lebih tua (dari zaman Kediri) telah lama runtuh

Candi utama di komplek ini menceritakan kisah ramayana dengan tokoh rama dan shinta. Selain
itu juga terdapat cerita Kresnayana dengan tokoh Krisna dan Rukmini. Selain itu juga terdapat
prasasi palah yang isinya

Prasasti Palah menerangkan bahwa menandakan Kertajaya berbahagia dengan kenyataan tidak
terjadi sirnanya empat penjuru dari bencana dari kalimat tandhan krtajayayhya / ri
bhuktiniran tan pariksirna nikang sang hyang catur lurah hinaruhra nika. Rasa senangnya
tersebut kemudian dia curahkan dengan perintah dibangunnya prasasti yang tertulis dalam
sebuah linggapala oleh Mpu Amogewara atau disebut pula Mpu Talaluh. Bangunan tersebut dia
fungsikan untuk menyembah Bathara Palah, seperti yang tertuang dalam prasasti tersebut yang
beerbunyi sdangnira ri Maharaja sanityangkn pratidina i sira paduka bhatara palah yang
berarti Ketika dia Sri Maharaja senantiyasa setiap hari berada di tempat bathara Palah.

Anda mungkin juga menyukai