Anda di halaman 1dari 18

BANUA SIMPAKNG

Sejarah asal usul, Adat istiadat dan dinamika sosialnya

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

Bab I : PENDAHULUAN
a. Latar belakang penulisan

Adil katalino bacuramin kasaruga basengat kajubata…arus arus aruus…

Salam semangat yang sering kita dengar dalam rangkaian acara adat
maupun berbagai kegiatan di lingkungan masyarakat Dayak. Salam semangat
ini menjadi bagian dari identitas masyarakat adat Dayak yang secara turun
temurun memegang teguh prinsip kehidupan adat (kearifan local ) sebagaimana
yang diturunkan oleh leluhurnya sampai saat ini. Prinsip kehidupan adat
melekat pada diri masyarakat adat Dayak dari dalam kandungan, lahir, kanak-
kanak, remaja, dewasa hingga ajal menjemput kesemuanya diatur dalam satu
budaya kepercayaan kepada leluhur sebagai pengejawantahan pengabdian
insan ciptaan Jubata. Seluruh bagian tersebut diyakini secara turun temurun
melekat pada setiap insan sehingga apapun yang dilakukan bersendikan tata
cara peradatan.

Masyarakat adat Dayak yang mrnjadi objek ini adalah masyarakat Dayak
di Kalimantan Barat yang bermukim atau berdomisili di Kec. Simpang dua Kab.
Ketapang Kalimantan Barat, kelompok masyarakat adat Dayak ini dikenal
sebagai masyarkat Dayak Banua Simpakng. Dari berbagai sisi kehidupan,
masyarakat Dayak banua simpankg ini sangat kental masih memegang teguh
warisan leluhur yaitu nilai-nilai keadatan yang setiap hari menjadi pedoman
kehidupan sosial. Terlihat dari adanya berbagai ritual- ritual adat yng di
jalankan, pemberian hukuman bagi pelanggar norma serta nilai- nilai luhur
bersosialisasi dengan masyarakat lain diluar komunitasnya. Hal tersebut
sangat menarik untuk diikuti oleh siapapun baik dari suku Dayak sendiri,
maupun suku lainya agar bisa diambil nilai positif yang terkandung sebagai
nilai budaya adiluhung peninggalan leluhur yang sudah pasti menjadi kekayaan
budaya di Negara kesatuan Republik Indonesia.

Seiring perkembangan zaman, penerapan prinsip keadatan yang menjadi


kebiasaan, tatanan maupun pedoman hidup sudah mulai meluntur. Banyak hal
yang mempengaruhi lunturnya nilai-nilai tersebut sekalipun masih tetap
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Factor- factor tersebut lambat laun
merusak tatanan adat yang sudah digariskan, dikhawatirkan justru menjadi alur
negative yang menjadikan image Adat Dayak tidak dapat diterima secara sosial
kemasyarakatan. Pengaruh kepentingan berniat menguntungkan diri sendiri dan
golongan tertentu yang dimotori oleh oknum-oknum dalam segala aspek
(EPOLEKSOSBUDHANKAM) menjadi pemicu perubahan-perubahan tersebut.
Perkembangan jaman yang diikuti dengan pesatnya pertumbuhan pengetahuan
dan tehnologi hingga seluruh lapisan masyarakat mau tidak mau terjerat dalam
kehidupan di era milenial dengan tingginya konsumsi internet, medsos serta
aplikasi-aplikasi lainya hingga melupakan budaya tinggalan nenek moyang.
Dan pada akhirnya, dikemudian hari tatanan adat tergerus dengan sendirinya
sehingga anak cucu nanti tidak lagi mengenal prinsip hidup masyarakat adat
Dayak yang memiliki warisan nilai kehidupan yang adiluhung. Lambat laun,
nilai- nilai luhur tersebut akan berubah secara signifikan menjadi nilai- nilai
yang cenderung merugikan berbagai pihak. hal ini harus segera diangkat
kepermukaan dengan MERAJUT KEMBALI BENANG YANG TERURAI, SEBAGAI
PENINGGALAN PERJUANGAN PARA LELUHUR DAN KITA SEBAGAI PENERUS
HARUS MENJALANKAN WARISAN TERSEBUT SECARA HIKMAT DEMI MASA
DEPAN YANG LEBIH CERAH demi mewujudkan marwah ADAT DAYAK BANUA
SIMPAKNG sehingga dengan terangkainya kata demi kata ini bisa menjadi
sarana mengangkat budaya leluhur untuk lebih memperkaya khasanah budaya
Indonesia.

b. Metode Pengumpulan data dan penulisan

Pengumpulan data dan informasi yang mendukung penulisan diperoleh dengan


melakukan penelusuran pustaka, pencarian data melalui internet dan sumber-
sumber lain yang relevan dan kompeten. Teknik pengumpulan data yang
dilakukan antara lain :
1. Studi kepustakaan yang dilakukan sebelum dilaksanakannya analisis data
sebagai bahan pertimbangan dan wawasan penulis tentang lingkup
kegiatan dan konsep-konsep yang tercakup dalam penulisan.
2. Data referensi sebagai acuan untuk melakukan pembahasan analisis dan
sintesis data-data yang diperoleh sehingga dapat dikembangkan untuk
mencari kesatuan materi untuk memperoleh solusi dan kesimpulan .
3. WAwancara kepada beberapa pihak yang memiliki kompetensi terkait
budsaya adat Dayak, adat istiadat, hukum adat serta hal- hal lain yang
mendukung dalam penulisan.
Bab II : SEJARAH ASAL USUL DAN PENYEBARAN DAYAK SIMPAKNG
a. Tambak Rawang
Dayak Simpakng adalah salah satu sub suku dayak yang ada di Kalimantan
Barat. Dayak Simpakng bermukim di Kab Ketapang, Kec. Simpang Hulu dan Kec.
Simpang Dua. Ada empat pembagian wilayah, yakni Sungai Kualatn, Semanakng,
Banjur dan Baram yang digolong berdasarkan wilayah adat atau tempat bermukim.
Populasi masyarakat adat Dayak Simpakng hingga saat ini sekitar 60.000 jiwa yang
tersebar di wilayah Kec. Simpang hulu, Simpang dua dan laur Kab. Ketapang
Kalimantan Barat.
Berdasarkan berbagai literasi dan wawancara dg pihak- pihak yang
berkompeten( tetua-tetua adat) , diyakini Masyarakat adat Dayak Banua Simpakn
ini berasal dari suku adat asal yang bermukim di wilayah Tambak rawang (saat ini
masuk wilayah Kec. Sukadana KAb. KAyong utara) yang bermigrasi karena
berbagai tuntutan kehidupan. bukti arkeolog yang diyakini sebagai titik awal yakni
ditemukanya Gua Nek Takon (sukadana-kayong utara) dan Tiang junjung yang
ditemukan di hutan dekat sungai matan. Bukti- bukti peninggalan tersebut
merupakan peninggalan masayarakat adat Dayak yang kental menganut system
kepercayaan animism dinamisme yang turun temurun dari para leluhurnya.
Dikisahkan, titik mula kehidupan ini berada di lembah gunung Sembilan yang
sekarang dikenal sebagai TAMBAK RAWANG, dikabarkan bermula dari sebuah
tatanan kelompok masyarakat yang dimpimpin oleh SIAK BAHULUN yang
merupakan bagian pemangku dari kerajaan labia lawai (tanjungpura kuno) yang
kemudian berpindah di wilayah Sukadana (kerajaan tanjong pura era Sukadana).
Siak bahulun memimpin pergerakan masyarakat demi untuk melebarkan wilayah
dan mencari sumber0- sumber kehidupan untuk kelangsungan hidup. Gelar yang
disandang adalah MANGKU namun lenbih dikenal dengan sebutan KEK TAKUN.
Seiring perkembanganya, wilayah tambak rawang tersebut berubah menjadi
Kerajaan Sukadana (tanjong pura) dan berasimilasi karena pendudukan Kerjaaan
MAjapahit pada masa itu. Dikarenakan ada pengaruh dari kerajaan majapahit
berbagai perubahan-perubahan sosial pun terjadi sehingga nilai-nilai kehidupan
berasngsur-angsur berbaur dengan system yang di kembangkan. Namun, tidak bagi
MANGKU SIAK BAHULUN yang tetap memegang teguh turunan para leluhurnya.
Waktu terus berjalan seolah tidak ada yang dapat menghentikan, Putri SIAK
BAHULUN yang Bernama DAYAKNG PUTUNG sangat terkenal akan kecantikanya
yang kemudian dipersunting oleh Putra Raja Brawijaya IV dari kerjaan majapahit
yang Bernama PRABU JAYA dan kemudian menurunkan keturunan-keturunanya
yang dipercayai menjadi moyang dari masyarakat adat Banua simpakng.
b. Dayakng Putukng dan Brawijaya/Prabujaya

Alkisah, Dayakng putung adalah anak dari SIAK BAHULUN yang menikah
dengan PRABU JAYA putra Brawijaya IV dari kerajaan majapahit, dari berbagai
penuturan, DAYAKNG PUTUNG adalah anak dari Raja Ulu Aik yang dihanyutkan di
sungai dan ditemukan oleh SIAK BAHULUN. Dalam legenda Melayu DAYANK
PUTUNG dikenal sebagai RATU JUNJUNG BUIH dan RAJA ULU AIK sendiri adalah
pemimpin kerjaaan Ulu aik (kerajaan Dayak) di aliran sungai Krio yang saat ini
masuk dalam wilayah administrative kec, Hulu sungai Sandai. Dalam pengasuhan
SIAK BAHULUN, gadis JUNJUNG BUIH yang berganti nama menjadi DAYANG
PUTUKNG tumbuh kembang menjadi sangat cantik jelita, baik dari paras wajahnya,
begitupun dari eloknya hati serta baik budi pekertinya. Bukan tanpa alasan, semua
itu karena campur tangan SIAK BAHULUN yang menjadikanya sebagai Primadona
saat itu, tingkah laku yang selalu bersendikan nilai adat Dayak menjadi penunjang
kesempurnaan.
Setelah ekspansi Majapahit ke Kerajaan tanjong pura era Sukadana,
pembauran bilateral sudah menjadi hal yang biasa, beberapa perangkat-perangkat
kerajaan dan saudagar-saudagar yang berkeliling menjual dagangnya sering kali
singgah beberapa lama di Sukadana, dan bukan suatu mustahil jika berita-berita
apapun termasuk salah satunya adanya dara nan cantik jelita tersebar ke telinga
mereka. Dan suatu masa, Ketika putra Brawijaya IV yang Bernama PRABU JAYA
bertandang ke SUkadana mendengar berita yang menggelitik telinga untuk mencari
kebenaran akan berita tersebut, dan pucuk dicinta,ulam pun tiba, bertemulah Sang
pangeran dari kerajaan adidaya tersebut dengan sang Dara. Dan alhasil,
menikahlah sejoli itu sebagai pasangan hidup yang kemudian melahirkan
keturunan-keturunan dimana keturunanya terebut yang kemudian mengukir sejarah
sampai saat ini.

Kehidupan pernikahan keduanya sangat Bahagia dengan dikaruniainya putra


dan putri yang kemudian menjadi cikal bakal etnis Melayu dan Dayak sampai saat
ini. Kondisi sedikit ada perubahan Ketika terjadi perang saudara yang terjadi di
Kerjaan majapahit yang terkenal dengan nama Perang Paregreg pada medio abag
14. Perang tersebut mempengaruhi seluruh wilayah naungan termasuk salah
satunya SUkadana. Hal tersebut menjadikan Prabu jaya memutuskan untuk
menetap hidup Bersama sang istri. Dari pernikahnya tersebut Prabu jaya dan Ratu
Junjung Buih atau Dayang putung memiliki 3 putra yaitu : PANGERAN PRABU yang
kemudian dikenal sebagai RAJA BAPARUNG (RAJA TANJUNG PURA KE III-era
Sukadana), GUSTI LEKAR yang berkuasa di MELIAU, dan PANGERAN MANCAR
yang bertahta di Kerajaan TAJAN (tayan-sanggau).
c. Perpindahan dari Tambak Rawang
1). Masa awal
Setelah pecah perang saudara di kerjaan majapahit yang dikenal dengan
sebutan perang paregreg, perang antara istana barat  Majapahit yang
dipimpin Wikramawardhana, melawan istana timur yang dipimpin  Bhre Wirabhumi.
Perang ini terjadi tahun 1404–1406 dan menjadi penyebab utama
kemunduran Majapahit. Kekalahan Bhre Wirabhumi disebabkan oleh Penghianatan
Patihnya Yaitu Raden Gajah/Minak Jinggo yang membelot
ke Wikramawardhana dan akhirnya Raden Gajah/Minak Jinggo dihukum Mati
oleh Suhita cucu Bhre Wirabhumi (diabadikan di cerita Minak Jinggo Vs
Damarwulan). Kemunduran majapahit tersebut mempengaruhi kerajaan-kerjaan
kecil dibawahnya yang salah satunya kerjaan sukadana tersebut, sehingga
penataan Kembali dilakukan dengan tanpa naungan dari kerjaan lain. Seiring waktu
disaat mulai menapaki kesejahterasan, disebutkan, Kerajaan Sukadana di serang
oleh Kerajaan mataram islam dari pulau jawa dibawah pimpinan Tumenggung
bahurekso. Peperangan tersebut kemudian membuat adanya perpindahan beberapa
masyarakat demi menghindari serangan-serangan maupun mencari titik aman untuk
melangsungkan hidup. Dari kejadian itu kemudian menjadi tonggak pecahnya
keturunan PRABU JAYA dan RATU JUNJUNG BUIH menjadi 2 etnis atau sub suku.
Yakni Suku Dayak matahari mati yaitu kelompok suku Dayak yang berdiam di
sepanjang sengai pawan dan sukadana, dan satunya suku Dayak matahari hidup
yaitu kelompok suku yang berdiam disekililing kerjaan Tanjung pura.
Peperangan oleh Mataram islam berkahir dengan takluknya Kerjaan
sukadana dibawah naungan kerjaan dari jawa tersebut, dan sudah pasti kehidupan
selanjutnya mempengaruhi keberlangsungan kehidupan saat itu. Hal itu di ikuti
dengan masuknya Agama Islam oleh kelompok suku Dayak yang masih berada di
lingkungan Kerajaan tanjonpura, hal tersebut yang menjadikan hal ihwal berdirinya
suku Melayu Sukadana. Dalam sebuah catatan yang ditulis H. VAN DE WALL
(Bangsa Belanda -1862), etnis suku yang masih berdiam di seputaran Sukadana
terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok Mambal (pribumi), Siring, Kaung serta
Priyahi (warga yang berasal dari jawa). Tidak semuanya dari kelompok tersebut
memeluk Agama islam, beberapanya masih tetap menganut kepercayaan
leluhurnya dan sekalipun terdapat perbadaan, kehidupan toleransi tetap dijaga,
jauh sebelum adanya BHINEKA TUNGGAL IKA selayaknya yang digaungkan oleh
negara kita. Sehingga dapat disimpulkan bahwa suku melayu dan suku Dayak di
daerah Sukadana adalah ADIK BERADIK atau bersaudara karena bermuara pada
satu titik, PRABU JAYA atau RAJA BAPARUNG dan RATU JUNJUNG BUIH.
2). Masa Kedua
Perpindahan demi perpindahan makin terus dilakukan dengan berbagai
alasan yang antara lain keinginan untuk peningkatan kesejahteraan atau
kelangsungan hidup. Dan perpindahan secara- besaran dilakukan setelah adanya
campur tangan kompeni di dalam politik Kerajaan Tanjungpura era sukadana.
Kekuatan hati untuk berpindah tersebut dikarenakan pengenaan pajak blesting
yang sangat memberatkan bagi mereka. Dan dibawah kepemimpinan MANGKU
LURAH (keturunan RAJA BAPARUNG), masyarakat tersebut mulai menyusuri alur
sungai matan dengan harapan menuju wilayah Simpakn dan sungai semandang
yang dikabarkan masih memiliki nilai potensi demi kelangsungan hidup.
Setelah mengarungi perjalanan dalam beberapa minggu, kelompok tersebut
bertemu dengan sebuah kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Simpakng,
kerjaan tersebut berdiri di atas tanah dekat dengan percabangan sungai
Matan( peninggalanya berada di Desa matan Kec. SImpang huilir Kab. Kayong
utara). Raja yang berjkuasa di kerjaan tersebut pada masa itu adalah
PANEMBAHAN ANOM SURYANINGRAT atau GUSTI MAHMUD (Raja SImpakng ke
II). Masyarakat di kerjaaan Simpakng begitu sangat membuka diri menerima
kedatangan kelompok masyarakat Dayak yang dipimpin oleh MANGKU LURAH
tersebut, karena memang meraka dikenal sebagai masyarakat berbudaya. Dan
dengan diterimanya kondisi itu, lambat laun ada yang menetap dan berbaur dengan
masyarakat asal. Nilai kebangsaan berupa toleransi dalam beragama ditunjukan
oleh kedua kelompok tersebut, hal tersebut tergambar dalam proses pembangunan
masjid di sekitar Keraton yang didirikan secara Bersama atau gotong royong. Hal
tersebut digambarkan dalam oleh tulisan GEORGE MULLER tahun 1815 dalam
catatanya dan sebuah lukisan kuno yang saat ini tersimpan di Museum LEIDEN di
Belanda.
Hal lain yang menjadi gambaran persatuan multi etnis di wilayah tersebut
yaitu bersatunya seluruh lapisan masyarakat dari suku yang berbeda dalam perang
Belangkaet hingga dapat memukul mundur gabungan kompeni yang akan menjajah.
Seiring perjalanan waktu, kelompok mangku lurah mulai tertarik pada areal
daratan di ujung sungai semandang (masih dalam wilayah naungan Kerajaan
simpakng) sehingga Ianya meminta kepada sang Raja untuk dapat dikelola. Dan
walhasil, perjalanan menuju wilayah tersebut dilanjutkan oleh MANGKU LURAH
Bersama Sebagian kelompoknya (Sebagian menetap) dengan menyusuri sungai
Semanakng atau semandang, Gorai, hingga menuju sungai kualatn, daratan yang
dimukimi oleh kelompok tersebut kemudian disebut sebagai BANUA SIMPAKNG,
sebuah daratan dibawah naungan Kerajaan Simpakng.

d. Paoh Concong, Bukit Pandong dan gemuroh.


Titik di hilir semandang disebut sebagai PAOH CONCONG, wilayah tersebut
dinilai memiliki potensi-potensi kehidupan, oleh karena itu Sebagian kelompok
yang dipimpin KEK LUTAI mendiami wilayah tersebut berpuluh-puluh tahun dan
saat ini menjadi cikal bakal masyarakat di Desa semandang Simpang dua dan Desa
Selirang Simpang hulu. Pengaruh dari semakin menyebarnya agama islam dan juga
kekhawatiran pendudukan Kompeni, akhirnya kelompok tersebut melakukan
perpindahan Kembali menuju pertigaan aliran sungai semandang yang disebut
sebagai Gemuroh yaitu lembah bukit pandoh dan ditempat tersebut mereka berdiam
berates tahun lamanya hingga beranak cucu.

Beratus tahun orang-orang Dayak Simpakng keturunan dari Tambak Rawang


itu menetap di Gemuroh, dan lembah Bukit Pandong, pada awal abad ke 19, dari
munculnya sekutu hingga pendudukan tentara Jepang yang mengekspansi wilayah-
wilayah Indonesia. Penjajahan oleh kelompok sekutu mulai masuk dan
mengekspansi wilayah-wilayah di pedalaman Kalimantan Barat salah satunya yaitu
tempat dimana masyarakat banua simpakng tertsebut berdiam. Peristiwa-
peruistiwa itu berjalan hingga pendudukan jepang di sekitar tahun 1940 an. Kaum
mulai masuk dan menguasai pelabuhan Sukadana, dan menyisir kampung-kampung
di sekitarnya. Mereka merampas kaum lelaki untuk dipekerjakan sebagai pekerja
jalan, jembatan dan bandar udara, serta menganiaya dan bahkan membunuh
penduduk yang tidak mau tunduk kepada Jepang. Hampir diseluruh wilayah
Kalimantan Barat, telah dikuasai tentara penjajah. Peperangan kecil sering
terjadi, di kota Meliau, tokoh-tokoh Dayak Madjang dan Dayak Desa membentuk
Angkatan Perang Madjang Desa atau APMD yang dipimpin oleh Pang Dandan, atau
dikenal sebagai Temenggung Mandi. Setelah menyusun kekuatan militernya,
segera saja pasukan APMD menyerang pos-pos militer kaum penjajah serta titik-
titik vital lainya. Perang berlangsung hingga masa kemerdekaan yang hal itu
mempengaruhi pergerakan atau perpindahan masyarakat mengikuti beberapa aliran
sungai yaitu : DAS Labai, DAS Kualan, serta DAS Semandang.

e. Perpindahan dari Gemuroh

Meskipun cukup jauh dari jangkauan tentara Jepang, di Gemuroh, penduduk


merasa khawatir ada serangan tentara Jepang itu. Mereka kemudian memilih
mengungsi saja, dan meninggalkan kampung. Berkelompok-kelompok mereka
menyusuri sungai Semandang, dan anak-anak sungainya didaerah perhuluan yang
diperkirakan jauh dari jangkauan tentara Jepang. Diperhuluan sungai itu, mereka
akhirnya membangun pemukiman baru, terutama di sepanjang daerah aliran
Sungai Semandang, Sungai Kualan dan Sungai Aur Kuning (Sungai Laur sekarang
ini).
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1950-an, terjadi serangan wabah
penyakit sampar atau pandemi di Gemuroh dan Bukit Padong. Setiap hari, ada
saja penduduk yang mati, hingga yang masih hidup tidak mampu lagi melakukan
upacara penguburan jenasah keluarga mereka yang meninggal. Kek Jarang,
pemimpin di Gemuroh kemudian memutuskan untuk memindahkan seluruh
penduduk Gemuroh ke berbagai tempat yang diperkirakan aman dari serangan
wabah. Kelompok masyarakat etserbut terpecah menjadi 4 kelompok dan
mengikuti alur-alur sungai yang menurut mereka bisa membawa kesejahteraan.

Kelompokpertama berpindah dari Gemuroh itu kemudian menyebar ke


berbagai daerah aliran sungai seperti DAS banjur dan membangun pemukiman
baru di Sungai Dua (Sekarang Simpang Dua), Selantak, Bukang, Banjur, Karab,
Sebori, Pemocah, Pantan, Kemora, Merangin, Mentawak Biring, Lembawang,
Natai Kruing, dan Sekatap.

Sebagian kelompok lagi pindah dari Gemuroh ke sepanjang DAS Kualan,


terutama diperhuluan Sungai Kualan, dan membangun pemukiman baru yang
bernama Loko, Botong, dan seterusnya.
sebagian kelompok penduduk yang ketiga pindah menyusuri DAS
Semandang, dan membangun pemukiman baru seperti Sei Mara, Kenanga, Sei
Nibung, Pergung, Kesio, Pantong, Setutuh, Legong, Taga, Paser, Tolus,
Selangkut, Kek Lipur, Deraman, Sei Tontang dan Selirang.
Dari Selirang, sebagian kelompok penduduk menyebar lagi dan membangun
pemukiman baru di Tanjung Maju (sekarang Kecamatan Sungai Laur), dan Baram
(Kecamatan Simpang Hulu).

f. Kelompok suku dan bahasa di Banua Simpakng


Berdasarkan karakteristiknya, Dayak banua Simpakng dapat dibagi menjadi 4
dialek yaitu :

a. Dialek banjur :
Sub suku Dayak simpakng bertutur dialek banjur atau banyur bermukim di
sepanjang sungai banjur yang memanjang dari utara ke selatan maupun din
kampung- kampung sekitarnya. Kampung tersebut adalah kampung Simpang
dua, selantak, bukang, karab, seborai, pemocah, pantan, kemberah,
merangin, mentawak biring, lembawang, natai kruing, sekatab dan
sekitarnya.

b. Dialek kualatn:
Sub suku Dayak simpakn bertutur dialek kualatn bermukim sepanjang sungai
kualatn dan kampung disekitarnya sampai di hulu sungai kualatn terutama
kampung loko dan botong. Sub suku ini memiliki perbedaan dialek dengan
penutur dialek Bahasa kualatn bagian tengah. Dialek masyarakat tersebut
cenderung lantang dan cepat, bahkan beberapa kosakata dalam dialek
kualatn.

c. Dialek Semanakng.
Dikenal pula dengan istilah dialek Semandang. Penutur awalnya bermukim di
sepanjang Sungai Semanakng dan sekitarnya. Dalam perkembangannya,
dialek Semanakng dituturkan pula oleh orang-orang yang bermukim di
perkampungan yang jauh dari Sungai Semanakng, seperti Kampung Sie
Mara, Kenanga, Sei Nibung, Pergung, Kesio, Pantong, Setutuh, Legong,
Taga, Paser, Tolus, Selangkut, Ke? Lipur, Deraman, Sei Tontang dan
Selirang

4) Dialek Sajan.
Dialek Sajan seringkali dinamai oleh masyarakat sekitar sebagai bahasa
Saje? dan Baram. Kelompok orang Sajan tergolong kecil, baik dari segi
jumlah maupun wilayah penyebarannya. Dialek Sajan kadang menjadi bahan
kelakar bagi para penutur bahasa Simpakng berdialek lain karena
keunikannya. Hal ini dalam batas tertentu berakibat pada keengganan
generasi muda untuk berkomunikasi dalam bahasa Simpakng berdialek
Sajan, karena alasan malu. Penutur bahasa ini hanya bermukim di 2 wilayah
kampung, yaitu Kampung Baram dan Tanjung Maju. Baram terletak di Kec.
Simpang Hulu, sedangkan Tanjung Maju secara administratif berada di Kec.
Laur. 

g. Kisah Petinggi Jontot


a. Silsilah
b. Wilayah kekuasaan
c. Perubahan dan perkembang dari waktu ke waktu

Bab III: ADAT ISTIADAT DAN HUKUM ADAT DAYAK SIMPAKNG


a. Norma-norma dan tatanan adat istiadat
Masyarakat adat Dayak secara umum hidup dalam teritorial tertentu dengan
menerapkan sistem kehidupan sosial, institusi, kebiasaan, serta hukum adat itu
sendiri pada aturan turun temurun yang mejadi warisan para leuhur.
Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi masyarakat adat
tersebut memuat sanksi-sanksi yang melekat pada diri masingh- masing. Yang
kesemuanya itu merujuk kepada kepercayaan animism dan dinamisme yang secara
turun temurun dipegang secara erat untuk mengatur kehidupan sehari- hari. Dari
beberapa perkara memang ada yang tidak mengandung sanksi yaitu berbagai
kebiasaan- kebiasaan atau adat- istiadat. Tingginya nilai norma dan adat istiadat
yang dijunjung, menjadikan nilai lebih dalam mencegah timbulnya perbuatan yang
merugikan pihak lain (preventif). Pelanggar-pelanggar tersebut takut akan sanksi
social yang akan melakat selama hidupnya dikarenakan proses-proses tersebut
dilakukan secara sistemik dengan pelibatan Tetua adat, dan seluruh lapisan
masyarakat. Proses pengunggulan norma serta adat istiadat tersebut selalau
dihubungkan dengan alam ghaib dan sang pencipta sehingga jelas dapat di
gambarkan, rangkaian kehidupan yang dimluai dari manusia dalam kandungan
sampai pada dijemputnya ajal merujuk kepada sendi- sendi adat yang diyakini
sebagai upaya pengabdian kepada Sang pencipta atau disebut sebagai JUBATA.

Adat merupakan kumpulan norma -norma yang bersumber pada perasaan


keadilan masyarakat yang selalu berkembang serta meliputi aturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari -hari yang senantiasa ditaati dan dihormati. Dalam
hubungan antara adat dengan hukum, Surojo Wignjodipuro, SH mengatakan:

"Tidak semua adat merupakan hukum. Ada perbedaan antara adat -istiadat biasa
dan hukum adat. Hanya adat yang bersanksi mempunyai sifat hukum serta
merupakan hukum adat (Vollenhovel). Sanksinya adalah berupa reaksi dari
masyarakat hukum yang bersangkutan. Reaksi adat masyarakat hukum yang
bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan oleh
penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang
bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat,
menjatuhkan keputusan hukuman." (Ter Haar, dengan teori keputusannya).
(Pengantar dan Azas -azas Hukum Adat 1973:6)

Penerapan hukum adat menjadi peran penting dalam mengatur masyarakat


adat Dayak itu sendiri dengan maksud dan tujuan demi terwujudnya kehidupan
yang aman damai sesuai budaya yang tercipta dan diberlakukan secara turunj
temurun. Pedoman keadatan yang melekat pada kehidupan masyarakat adat Dayak
menjadi khasanah budaya tersendiri yang tidak dimiliki oleh etnis lainya. Suatu
kebanggaan sampai saat ini masih dapat dijadikan pedoman dalam hidup.
Perangkat-perangkat adat terbentuk mulai dari tingkat kampung sampai ke tingkat
tertinggi yang memiliki symbol kuat sebagai kepanjangan tangan Jubata yang arif
dan bijaksana.

Norma -norma yang dijunjung tinggi tersebut mengikuti tahapan kehidupan


masing -masing individu mulai dari dalam kandungan,kemudian lahir menjadi bayi
hingga dewasa, selanjutnya meniti kehidupan dengan menikah dan memiliki
ketyurunan hingga pada titik nyawa dicabut dari kandung badan (kematian).
Penciptaan norma tersebut merupakan hasil olah fikir manusia sebagai mahluk
ciptaan Tuhan yang tidak akan bisa hidup sendiri. Dan hal itu melekat sebagai
kekayaan dari leluhur yang adiluhung. Dengan kata lain semua tahapan kehidupan
individu masyarakaty adat diatur dalam norma- norma tersebut. Dan jika, terjadi
pelanggaran-pelanggaran atas norma tersebut maka hukum adat sebagai Langkah
yang mengaturnya. Sehingga terlihat jelas korelasi antara norma-norma yang
berlaku dengan penegakan hukum adat di lingkungan masyarakat adat Dayak
tersebut.

Legalitas dan legitimasi atas hukum adat tersebut seyogyanya segera


dilakukan, mengingat perkembangan jaman yang sudah pasti ikut mempengaruhi
perubahan perilaku sehari-hari. Dan dengan ditulisnya ini bisa senbagai sarana
untuk melegitimasi pakemnya pedoman hukum adat sebagai pedoman yang dapat
dibaca saat ini, hari besok sampai mungkin pada anak cucu nanti. Norma harus
tetap dijunjung tinggi dan diharapkan selama darah etnis Dayak masih mengucur
maka nilai budaya ini masih tetap berlaku, secara khusus bagi masyarakat adat
Dayak banua simpakng.

b. perangkat adat dan tradisi Dayak banua Simpakng.

Dari penjabaran diatas, upaya pelestarian harus dilakukan oleh semua


pihak, baik oleh stakeholder di tingkat Kabupaten sampai di tingakat Desa yang
didukung oleh pemangku- pemangku adat itu sendiri. Salah satu permasalahan
dalam pelestarian kearifan lokal (kebudayaan) adalah pengaruh masuknya
perkembangan globalisasi. Dimana hal tersebut membuat masyarakat menjadi
cenderung konsumtif apalagi ditambah dengan dukungan keterbukaan informasi
dan komunikasi yang semakin pesat. Adapun bentuk konsumerisme terhadap
budaya luar tersebut adalah mulai mewabahnya penggunaan media social yang
dalam kesehariannya sering menyuguhkan kepada masyarakat dengan budaya
asing, yang sebenarnya bertolak dengan budaya adat turun temurun. Tidak bisa
dipungkiri jika hal itu menjadi semakin menjamur dikalngan masyarakat karena
memang sudah waktunya, namun harus diingat bahwa sejatinya kita terlahir dari
proses pembentukan olah cipta, rasa dan karsa para leluhur. Oleh karena itu, perlu
keseimbangan dalam proses tersebut.

Pengaruh negatif globalisasi dalam hal pelestarian budaya tergambar


dengan banyaknya kebudayaan Indonesia yang mulai terkikis. Salah satunya yaitu
Kebudayaan Dayak Simpakng (Simpang) di Kecamatan Simpang Dua yang sudah
mulai tergusur oleh perkembangan kebudayaan dari luar. Dayak Simpakng sendiri
memiliki adat tradisi yang beragam seperti “Adat Beridup, Adat Kelahiran, Adat
Beranak Bebuah, Adat Perkawinan, Adat Pelanggaran Perjodohan, Adat Rumah
Tangga, Adat Bercocok Tanam, Adat Pengobatan, Tradisi Tahunan, Adat
Pelanggaran Beridup, Adat Kematian, Adat Matiy serta Adat Pelanggaran
Kematian2 . Di samping itu juga terdapat upacara-upacara adat yang masih
bertahan hingga saat ini, di antaranya yaitu:

1. Bebentant Bapuja merupakan tradisi turun temurun dalam bentuk pesta


tahunan untuk membersihkan para pemimpin dan pemuka masyarakat dari
segala bentuk kesialan dan penyakit masyarakat seperti rasa iri dengki juga
dari roh-roh jahat yang ada dalam badan para pemimpin dan pemuka
masyarakat. Upacara ini dilakukan dengan mendirikan sebuah belay (tempat
sesajian untuk menyimpan bahan-bahan/perabot dukun). Setelah belay
didirikan selanjutnya para lemakuw menyembelih babi di atas jamban,
sementara para domong pateh dan pemuka masyarakat mandi darah babi
tersebut di hilir jamban sambil mengucapkan doa-doa dan permohonan agar
bersih dari segala bentuk penyakit dan sial sabal serta roh-roh pengganggu
yang bisa merusak pikiran dan tindakan mereka dalam menegakkan peraturan
adat yang berlaku dalam masyarakat.

2. Bejujonk yaitu tradisi turun temurun sebagai acara pesta panen yang
dilaksanakan oleh seluruh warga kampung sebagai ungkapan syukur atas hasil
panen. Bejujonk biasanya dilakukan dengan melakukan panen padi biasa dan
padi pulut (ketan) selama tiga hari berturut-turut oleh petani yang selanjutnya
dijadikan emping untuk dijadikan hidangan dalam acara tersebut. Dalam ini
dilakukan ngumpant (memberi makan) segala peralatan berladang yang
digunakan seperti parang, beliung, batu asah, perumponk pedarink apeh
dengan emping, tiga hari berikutnya para petani istirahat mantank taliy. Acara
ini dilakukan oleh seluruh petani yang biasanya dipusatkan di satu tempat pada
zaman dahulu di rumah Betang, namun karena sudah tidak ada rumah Betang
biasanya dipusatkan di salah satu rumah warga.

3. Nyapat Taun’t biasanya dilakukan pada Bulan Mei. Acara ini dimaksudkan
untuk meminta izin kepada Dewatowe (Dewa) untuk memulai kembali berladang
(nobas).

4. Mutar Pesalikng yaitu sebuah upacara adat yang dilakukan pada saat
pelantikan kepala desa di mana pada upacara adat ini kepala desa di hadapan
masyarakat desa mengucapkan sumpahnya untuk menjadi kepala desa yang
baik dan mengabdikan diri kepada masyarakat dan desa. Adapun
pelaksanaannya yaitu kepala Desa berdiri di hadapan masyarakat kemudian di
atas kepalanya ditaruh tempayan Tajau baru kemudian ia mengucapkan
sumpah pelantikannya .

5. Bebiyou yaitu upacara pelepasan dari mimpi buruk, kesialan dan sebagainya3
Selain tradisi diatas masih banyak lagi upacara-upacar lainya yang sudah jarang
ditemui. Alas an tidak sinkronya dengan perkembangan masih menjadi alas an
utama sehingga cenderung mulai tidak dikenal saat sekarang ini.

Kelompok Dayak simpakng secara politis disebut sebagai umakng Desa samilan
domong sapuluh (Kawasan Desa Sembilan Demong sepuluh ) dibawah naungan
Daulat Kerajaan ULU AIK. Sejalan dengan itu, terdapat pemimpin yang secara adat
berkuasa atas ketiga Kawasan itu.

1. RANGKAYA berkedudukan di Kualan, dan hanya orang kualan yang boleh


menduduki jabatan tersebut. RANGKAYA membawahi patih-patih
(demung/Ketua adat) yang memimpin di masing-masing desa dan mempunyai
kewenangan secara adat diwilayah yang di pimpinya.

2. KANUROH berkedudukan di Semandang yang memimpin masyarakat adat di


wilayah Semandang sampai di balai bekuak. Seperti halnya jabatan diatas,
KANUROH juga membawahi patih-patih (demung/ketua adat).

3. PETINGI berkedudukan di bukang selantak dengan wilayah kekuasanya meliputi


Bukang Kemintinding, banjor, karab, gorei, Kampar sebomban, merangin,
pemocah, lembawang, mentawa biring, pantan kamora, baya keranji. Seorang
petingi juga membawahi pateh-pateh yang ditunjuk sebagai pemimpin adat di
masing- masing Desa.

c. Hidup dikandung Adat mati dikandung tanah, hidup beradat mati beradat

d. Hukum dan Peradilan Adat


a. Hukum Adat
b. Sistem Peradilan

e. Prespektif Hukum Adat Dayak Simpakng korelasinya dengan penegakan Hukum


positif.

Keberagaman hukum di dalam dunia modern adalah suatu keniscayaan.


Begitu pula suatu kenyataan bahwa setiap negara mempunyai hukum dan
membangun sistemnya sendiri yang oleh Rene David di sebut “legal system”.
Sebagai konsep hukum, sistem hukum juga memiliki makna ganda. Di satu pihak
sebagai “the concep of law”, di lain pihak sebagai “the legal concept”. The concept
of law menunjukkan pada makna konsep yang mengandung arti dari istilah itu
sendiri merujuk pada definisinya, sedangkan the legal concept, menunjuk pada
pranata hukum dan istilah yang secara khusus digunakan dalam bidang hukum oleh
Meusen disebut “figur hukum” (seperti: hak milik, kontrak, perbuatan melanggar
hukum, hak dasar). Sistem hukum ialah keseluruhan aturan dan prosedur spesifik
yang secara relatif konsisten diterapkan oleh otoritas formal.
Dibalik itu dari segi figur hukum, setiap sistem hukum memiliki kriteria,
yaitu: pertama, dari segi taknis: sistem hukum memiliki perbendaharaan kata (bahasa
hukum) untuk mengekpresikan konsep-konsep hukumnya, aturan hukum dan sumber
hukum yang hirarkis, teknik yuridis untuk membentuk dan menafsirkan atau
menginterpratasikan konsep-konsep hukumnya, aturan hukum dan menafsirkan atau
menginterpretasikan hukum itu, dan kedua, dari segi kultural: memiliki filsafat,
prinsip-prinsip politik dan ekonomi untuk mencapai masyarakat yang di idealkan.
Kedua kreteria tersebut saling melengkapi dan bahkan konprehensip. Dari segi
“family law”, sistem hukum Indonesia dikelompokkan ke dalam sistem hukum
kontinental atau sistem hukum sipil, melalui penerapan asas konkordansi dan politik
hukum pemerintah kolonial di zaman Hindia Belanda. Dengan azas konkordansi
diberlakukan ketentuan hukum yang berlaku di Negeri Belanda untuk wilayah
jajahan Hindia Belanda yang kita warisi sampai sekarang: KUHP (Kitab
UndangUndang Hukum Pidana), KUH-Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) dan KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang).
Konfigurasi sistem hukum dalam tata hukum memberi pengaruh tersendiri
dalam pembentukan hukum, diantaranya adalah sistem hukum adat. masyarakat
merupakan kesatuan organis yang memiliki kesatuan keyakinan umum, yang
disebutnya jiwa masyarakat, yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap
sesuatu. Dalam perkembangannya kemudian hukum tidak semata-mata merupakan
bagian dari jiwa rakyat, melainkan juga merupakan bagian dari ilmu hukum. Savigny
menyebut hukum belakangan itu sebagai hukum sarjana, dan oleh karenanya
berdasarkan pandangannya hukum dikelompokkan menjadi dua bagaian, yaitu
pertama; hukum yang wajar, yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyrakat,
yaitu hukum kebiasaan-hukum adat, dan kedua; hukum sarjana yang bersifat teknis.
Hukum asli adalah hukum kebiasaan yang hidup di masyarakat (hukum adat).
Hukum asli itulah yang harus diselidiki dan diperbaharui secara berangsur-angsur,
bukan menciptakan hukum dari fikiran sendiri untuk diberlakukan secara umum,
tetapi hukum umum yang berkembang di masyarakat itulah yang diharus dipelajari
perkembangannya dan diperbaharui daya lakunya.
Kekuatan untuk hukum terletak pada rakyat, yang terdiri dari kompleksitas
individu dan perkumpulan-perkumpulan. Mereka mempunyai ikatan rohani dan
menjadi kesatuan Bangsa dan jiwa. Hukum adalah bagian dari rohani mereka, yang
juga mempengaruhi perilaku mereka. Pembentuk undang-undang harus mendapatkan
bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum
dan perasaan keadilan masyarakat. Tampa cara demikian undang-undang senantiasa
akan menjadi sumber persoalan, menghambat dan menghentikan perkembangan, atau
bahkan akan merusak kebiasaan hidup dan jiwa masyarakat.
Maka murut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakt, dan isinya
adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk,
melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.
Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas
kehendak masyarakat itu melalui Negara. Hukum adat merupakan nilai-nilai yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar
Hukum Adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam
masyarakat. Ada sanksi tersendiri dari masyarakat jika melanggar aturan hukum
adat. Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat ini bagi masyarakat yang masih
kental budaya aslinya akan sangat terasa. Penerapan hukum adat dalam kehidupan
sehari-hari juga sering diterapkan oleh masyarakat. Bahkan seorang hakim, jika ia
menghadapi sebuah perkara dan ia tidak dapat menemukannya dalam hukum tertulis,
ia harus dapat menemukan hukumnya dalam aturan yang hidup dalam masyarakat.
Artinya hakim juga ha rus mengerti perihal Hukum Adat. Hukum Adat dapat
dikatakan sebagai hukum perdata-nya masyarakat Indonesia.
A. Kedudukan Hukum Adat Dalam UUD Negara RI 1945.
Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah Hindia
Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di Belanda
menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas konkordansi
dimana berlaku untuk warga yang saat itu mendiami wilayah hindia Belanda baik
warga pribumi sendiri maupun warga eropa yang tinggal di Indonesia.
Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah Kolonial, sampai
di mana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta
kepentingankepentingan ekonominya, dan sampai di mana hukum adat itu dapat
dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa
Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah kolonial. Konstitusi kita sebelum
amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian
istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya
rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum
adat.
Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini
mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilainilai, pola pikir dan
hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal
33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara
mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat
dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) yang menyatakan : Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang. Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban”.
Antara Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) pada prinsipnya
mengandung perbedaan di mana Pasal 18 B ayat (2) termasuk dalam Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah sedangkan 28 I ayat (3) ada pada Bab XA tentang
Hak Asasi Manusia. Lebih jelasnya bahwa Pasal 18 B ayat (2) merupakan
penghormatan terhadap identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
(indigeneous people). Dikuatkan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 6 ayat 1 dan ayat 2 yang
berbunyi:
(1) Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan
dalam masyarakat hukum dapat harus diperhatikan dan dilindungi oleh
hukum, masyarakat dan pemerintah.
(2) Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman

Bab IV: DAYAK SIMPAKNG DIMASA SEKARANG INI


a. Kehidupan sosial dan ekonomi

Secara umum, wilayah yang Masuk dalam territorial Dayak simpakng


b. Kebudayaan
c. De-moralisasi
d. Faktor-faktor internal dan eksternal

BAB V : PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Rekomendasi
1. Merevitalisasi situs-situs Dayak Simpakng
2. Muatan lokal untuk tingkat SD, SMP dan SMA
3. Melakukan legitimasi sejarah dengan Napak Tilas
4. Melakukan even-even seni dan budaya Dayak Simpakng
5. Unifikasi dan Kodefikasi Hukum Adat Dayak Simpakng

DAFTAR PUSTAKA
TENTANG PENULIS DAN EDITOR

Anda mungkin juga menyukai